Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Cinta Diantara Dua Dimensi
1
Suka
230
Dibaca

“T… tolong aku…” suara lemah itu masih terngiang di telinga Arga, pemuda misterius yang baru saja menolong gadis itu dari serangan harimau hutan. Cahaya biru dari tangannya perlahan memudar, meninggalkan aroma tanah basah dan kabut tipis yang menari di antara pepohonan. Gadis itu menatapnya dengan mata membulat.

“Kamu… siapa? Kok bisa ngeluarin cahaya kayak gitu?” tanyanya dengan nada heran dan sedikit takut. Arga tersenyum kecil. “Namaku Arga. Aku… bukan dari dunia yang sama denganmu.” Gadis itu, yang ternyata bernama Lira, terdiam. Ia menatap Arga dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Bukan dari dunia yang sama? Maksudmu… zombie?” tanyanya polos.

Arga tertawa kecil. “Bukan alien. Aku dari dunia lain, dunia tempat sihir dan makhluk magis hidup berdampingan dengan manusia.” Lira menelan ludah. Semua itu terdengar seperti cerita dari novel yang pernah ia baca. Tapi kali ini, semuanya nyata. “Terus… kenapa kamu bisa ada di sini?”

Wajah Arga berubah sendu. “Pintu antara dua dimensi terbuka secara tak sengaja. Aku terseret ke duniamu… dan sekarang, aku belum tahu bagaimana caranya kembali.” Hening sejenak. Angin malam berhembus lembut, menggoyangkan daun-daun yang mulai basah oleh embun. Lira menatap luka di kakinya yang mulai sembuh perlahan. Ia baru sadar, luka itu sudah tertutup cahaya biru tadi. “Kamu juga nyembuhin aku?” tanyanya lirih. Arga mengangguk. “Itu sihir penyembuh sederhana. Di dunia kami, itu hal biasa.” Lira tersenyum. “Kalau di sini, hal kayak gitu cuma ada di film.”

Mereka berdua tertawa kecil. Untuk sesaat, ketakutan di hutan itu hilang, tergantikan kehangatan aneh yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Sejak malam itu, Lira dan Arga sering bertemu diam-diam di tepi danau dekat hutan. Arga bercerita tentang dunia magisnya, tentang naga, peri, dan bintang yang bisa bicara. Lira menceritakan tentang sekolahnya, ujian, dan teman-teman yang suka bergosip. Mereka tertawa bersama, dua orang dari dunia yang berbeda, tapi hatinya mulai saling terikat tanpa sadar.

Namun, suatu malam, Arga datang dengan wajah sedih. “Lira… gerbang antar dimensi akan tertutup besok malam. Kalau aku tidak kembali, aku akan terperangkap di sini selamanya.” Lira menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kalau kamu pergi… aku bakal sendirian lagi.” Arga menggenggam tangannya lembut. “Kalau takdir memisahkan kita di dua dunia, aku janji… akan mencarimu lagi, bahkan kalau harus menembus ribuan dimensi.”

Lira meneteskan air mata. “Dan aku akan menunggumu… sampai kapan pun.” Cahaya biru kembali muncul, membungkus tubuh Arga. Lira hanya bisa menatap, sambil berbisik, “Selamat tinggal… penyihir dari dunia lain.” Dan ketika cahaya itu menghilang, hanya keheningan yang tersisa tapi di dada Lira, ada hangat yang tak pernah padam.

Sudah setahun sejak malam itu, malam ketika cahaya biru membawa Arga kembali ke dunianya. Sejak saat itu, Lira sering datang ke tepi danau tempat mereka biasa bertemu. Duduk di batu besar yang sama, menatap langit, berharap ada keajaiban.

“Arga… kamu masih ingat janjimu, kan?” bisiknya sambil menatap bintang yang berkerlip di langit. Angin malam berhembus lembut, membawa daun-daun gugur menari di sekelilingnya. Di sekolah, teman-temannya sering menggoda. “Lira, kamu ngelamun mulu. Nunggu siapa sih? Cowok dari dunia lain?” Lira cuma tersenyum. “Iya, mungkin.” Mereka tertawa, mengira itu cuma candaan. Tapi Lira tahu — itu bukan cuma mimpi.

Malam itu, langit terlihat berbeda. Bintang-bintang berkilau lebih terang dari biasanya, seolah menggambar lingkaran cahaya. Tiba-tiba, danau di hadapannya bergetar lembut, muncul gelombang cahaya biru — sama seperti dulu. Lira berdiri dengan mata melebar. “Tunggu… itu—”

Cahaya itu semakin terang, lalu muncul siluet seorang pemuda dengan jubah biru dan senyum yang tak pernah berubah. “Lira…” suaranya lembut, tapi jelas terdengar di antara riuh air dan cahaya. Lira menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca. “Arga… kamu beneran balik?”

Arga melangkah pelan mendekat. “Gerbang dua dimensi terbuka lagi. Tapi kali ini, bukan karena kecelakaan. Aku membukanya… untuk menepati janji.” Tanpa sadar, air mata Lira jatuh. Ia berlari menghampiri Arga dan langsung memeluknya. “Aku kira kamu nggak bakal balik.” Arga tertawa pelan. “Aku kan udah janji, bakal menembus ribuan dimensi buat nemuin kamu lagi.” Lira tersenyum sambil menghapus air matanya. “Terus sekarang gimana? Kamu bakal tinggal di sini?” Arga menatap langit, lalu menatap Lira. “Kali ini, aku nggak mau kehilangan kamu lagi. Dunia boleh berbeda, tapi hati kita… tetap di tempat yang sama.”

Langit malam itu dipenuhi cahaya biru dan bintang yang berputar seperti pusaran sihir. Di bawah langit dua dunia, mereka saling menggenggam tangan — dua hati yang akhirnya bersatu setelah dipisahkan oleh dimensi.

Sudah beberapa minggu sejak Arga kembali ke dunia manusia. Ia berusaha menyesuaikan diri — belajar hal-hal yang bagi Lira terasa biasa, tapi baginya sungguh aneh.

Misalnya, ia kaget saat pertama kali melihat motor lewat. “Itu… kuda besi yang bisa jalan tanpa sihir?” katanya polos, membuat Lira ngakak sampai hampir jatuh dari jok sepeda. Setiap hari sepulang sekolah, Lira dan Arga pergi ke tepi danau yang dulu menjadi tempat pertemuan pertama mereka. Arga sering bercerita tentang dunia magisnya yang penuh kastil dan bintang hidup, sementara Lira mengajarkan hal-hal dari dunianya: cara memakai ponsel, makan bakso, dan menonton film di laptop.

“Dunia kamu aneh banget, tapi… menyenangkan,” kata Arga sambil menatap langit senja. Lira tersenyum. “Aneh tapi bikin betah, kan?” Arga menatapnya lama, lalu menjawab pelan, “Iya. Karena di sini ada kamu.” Lira langsung menunduk, pipinya memerah. “Dasar penyihir gombal.” Mereka tertawa bersama. Suasana sore itu terasa hangat, seolah waktu ikut tersenyum melihat mereka.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Malam berikutnya, Arga dipanggil oleh cahaya biru di langit. Suara dari dimensi asalnya bergema lembut, seperti bisikan angin. “Arga, penjaga dua dunia, waktumu di sana hampir habis. Dunia kami mulai kehilangan keseimbangan tanpa keberadaanmu.”

Arga menatap Lira yang berdiri di tepi danau, matanya penuh kebingungan. “Lira… sepertinya aku harus kembali. Kalau tidak, dunia sihir bisa runtuh.” Lira terdiam. Ia menatap air danau yang berkilau oleh cahaya biru. “Jadi… kita harus berpisah lagi?”

Arga menggenggam tangannya. “Aku nggak mau ninggalin kamu, tapi kalau aku tinggal, banyak yang akan menderita.” Air mata Lira mulai menetes. “Aku ngerti… tapi rasanya nggak adil.” Arga menyeka air matanya pelan. “Cinta kita mungkin terpisah jarak dan dimensi, tapi bukan hati.”

Lira mengangguk, meski hatinya terasa sesak. “Aku janji nggak bakal lupa kamu.” Arga tersenyum hangat. “Dan aku janji akan menemukan jalan agar dua dunia bisa bersatu — suatu hari nanti.” Cahaya biru makin terang. Lira memeluk Arga erat, takut itu akan jadi pelukan terakhir. “Aku sayang kamu, Arga…” bisiknya lirih. “Aku juga, Lira. Lebih dari yang bisa dijelaskan oleh sihir apa pun,” jawab Arga sambil perlahan menghilang dalam cahaya itu.

Hening. Hanya suara jangkrik dan riak air yang tersisa. Beberapa bulan berlalu. Lira kini duduk sendirian di taman sekolah, membaca buku sambil menatap langit. Banyak yang mengira ia sudah melupakan Arga, tapi di dalam hatinya, janji itu tetap hidup. Suatu sore, saat langit mulai jingga, ia melihat sesuatu aneh. Awan membentuk lingkaran cahaya — seperti simbol sihir yang dulu muncul di danau. Dari tengah cahaya itu, muncul secarik kertas melayang turun perlahan ke pangkuannya.

Lira membuka kertas itu. Tulisan di atasnya bercahaya samar:

“Untuk Lira — aku masih di sini, di dunia lain. Tapi langit kita tetap sama. Lihatlah bintang yang paling terang malam ini… di sanalah aku menatapmu.”

Lira tersenyum sambil menatap langit yang mulai dipenuhi bintang.

“Langit yang sama, ya…” gumamnya pelan. Ia menutup mata, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya. Sejak saat itu, setiap malam Lira selalu menatap satu bintang yang paling terang. Kadang ia merasa bintang itu berkilau sedikit lebih hangat setiap kali ia tersenyum. Mungkin… di balik dimensi lain, Arga juga sedang tersenyum padanya.

Cinta di antara dua dunia itu kini bukan hanya kisah dalam mimpi… tapi kenyataan yang melampaui batas waktu dan ruang.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Cinta Diantara Dua Dimensi
Felicia Cuanglimnata
Novel
Gold
The Memories of Algebra
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Dilarang Bercanda dengan Kenangan
Republika Penerbit
Novel
Gold
Placebo
Noura Publishing
Skrip Film
AFTER YOUR WEDDING DAY
Reiga Sanskara
Flash
Cinderella Pencari Jodoh
Leni Juliany
Novel
What We've Always Had (raw)
Heni Purwati
Flash
Pulang
Dara Oct
Novel
Bronze
We're (Not) Really Break Up
Keita Puspa
Komik
Dolphin
farikhatul hima
Flash
Raut
lidia afrianti
Novel
Bronze
SELENDANG PATAHERI
Greace Lee Mayer Ectas Latul
Novel
Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta
Jane Lestari
Cerpen
Bronze
Subuh yang Hilang
Galih Priatna
Novel
Hari Hari Terakhirku Bersamamu
Hafizh Isya
Rekomendasi
Cerpen
Cinta Diantara Dua Dimensi
Felicia Cuanglimnata