Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namaku Lila. Aku ingin menceritakan kisahku, bukan untuk menakuti siapa pun, tapi karena aku merasa harus. Karena mungkin, jika aku menuliskannya, kalian akan mengerti mengapa aku memilih pohon itu. Mengapa aku tersenyum. Dan mengapa, meskipun aku sudah tak lagi bernapas, aku tak pernah merasa lebih hidup.
Kami bertemu di bawah pohon jambu tua itu — entah bagaimana, entah kapan. Rasanya seolah sudah sejak dunia ini belum selesai menjadi seperti sekarang. Pohon itu berdiri sendirian di ujung kampung, di tepi sungai yang airnya kerap keruh saat musim hujan. Akarnya menjalar keluar seperti ular tidur, kulit batangnya kasar, berwarna abu-abu kecoklatan, dan daunnya selalu hijau, bahkan di musim kemarau. Orang-orang bilang usianya lebih tua dari desa itu sendiri.
Nama kekasihku Ardan. Ia anak penjaga perkebunan karet milik kakeknya. Aku anak guru sekolah dasar di desa seberang. Kami bertemu saat aku sedang mengajar anak-anak menggambar pohon. Salah satu siswaku menggambarkan pohon jambu tua itu, dengan dua figur kecil di bawahnya, bergandengan tangan. Saat aku bertanya mengapa, ia menjawab, “Itu Lila dan Ardan, Bu. Mereka janjian di situ tiap sore.”
Aku tertawa. Tapi hatiku berdebar.
Memang benar. Ardan dan aku, meski tak pernah banyak bicara sebelumnya, sering berada di pohon itu. Bukan bersama, bukan. Tapi kami tahu — seperti disepakati diam-diam — bahwa pohon itu adalah tempat kami menemukan kedamaian. Ia duduk di sisi timur, aku di barat. Kita tak bicara, hanya menatap matahari terbenam, kadang saling menoleh, tertawa kecil, atau mengangguk. Seperti bahasa khusus yang hanya dimengerti dua orang yang jatuh cinta tanpa perlu kata-kata.
Hingga suatu sore, ia berdiri tiba-tiba dan menghampiriku. Ia berlutut. Bukan dengan cincin — ia tak punya uang untuk itu — tetapi dengan sebuah biji jambu yang dipotong halus lalu diukir dengan nama kami: Lila & Ardan. Satu akar, satu dahan. Sampai mati.
“Aku mau menikah denganmu di bawah pohon ini,” katanya, suaranya gemetar. “Tepat di hari bunga jambu mekar pertama kali setelah musim hujan. Seperti tanda alam bahwa cinta kita juga tumbuh.”
Aku menangis. Tapi aku tersenyum. Aku mengangguk.
Kami menandai tanggal itu: tiga tahun dari hari itu. Cukup waktu bagi Ardan menabung, membangun rumah kecil di dekat sungai, menjual hasil karet; dan aku pun menabung dari gajiku. Kami tak menceritakan pada siapa pun. Ini janji kami. Suci. Pribadi.
Tapi dua bulan sebelum hari itu, Ardan menghilang.
Kakeknya datang ke rumah, matanya merah. “Disambar petir waktu hujan deras. Di bawah pohon jambu… Dia sedang menanam bunga di tanah dekat akarnya. Mau bikin taman kecil untuk hari pernikahanmu.”
Aku tak percaya. Aku berlari ke pohon itu. Lumpur, bekas genangan air, dan bunga — yang baru mulai mekar — hampir seluruhnya hancur. Tetapi ada bekas galian tanah. Dan bau ozon masih menempel di udara. Di antara dedaunan, angin berbisik seolah memanggil namanya.
Aku menangis berhari-hari. Tak makan. Tak tidur. Aku hanya duduk di pohon itu, menyentuh batangnya seolah meraba tulang belulangnya. Aku bilang pada pohon, “Jika kau bisa, biarkan aku bertemu dia. Sekali saja. Di sini. Di tempat yang kita janjikan.”
Lalu aku pergi. Pindah ke kota. Mengajar di sekolah negeri. Tapi hatiku tetap di bawah pohon itu. Aku tak mampu menikah. Tak mampu mencintai siapa pun. Malam-malam, aku mimpi Ardan, berdiri di bawah jambu, memanggilku.
“Tunggu saja, Lila. Aku akan menunggumu.”
Dan aku percaya.
Tiga tahun kemudian, aku kembali.
Bukan karena rencana, bukan karena rindu semata. Suatu malam aku melihat bayangan di jendela kamarku — bukan bayanganku. Tinggi. Berjas putih. Seperti yang pernah ia gambarkan: jas pengantin dari kain yang dijahit kakeknya, putih seperti embun pagi. Aku menoleh, dan ruanganku kosong. Tapi angin berhembus, dan daun jambu kering di sudut meja — yang kubawa dari pohon itu bertahun lalu — bergoyang seolah digoyang tangan tak terlihat.
Aku tahu. Ia mengingat janjinya.
Maka aku kembali ke desa. Mereka semua sudah tua; guru-guru baru; anak-anak yang dulu kuajar kini punya anak sendiri. Pohon jambu? Masih tegak. Bahkan lebih besar. Daunnya lebih lebat. Dan anehnya, di sekelilingnya tumbuh bunga putih, seperti kembang melati, padahal tak pernah kutanam di sana.
Sore itu aku datang menjelang senja. Angin berhembus pelan. Suara sungai mengalir. Dan di bawah pohon, aku melihatnya.
Ardan.
Ia berdiri, membelakangiku, mengenakan jas putih. Lusuh. Kusam. Tapi utuh. Rambutnya rapi. Ia menoleh perlahan. Senyumnya sama; lembut, seperti kenangan.
“Aku sudah menunggumu, Lila,” katanya. Suaranya tak bergema, tapi langsung masuk ke dalam dada, seperti ingatan lama.
Aku ingin berlari, menangis, meraihnya. Tapi aku berjalan pelan. Kaki terasa ringan, seperti aku bukan lagi manusia, tapi bayangan.
“Ibu sudah menungguku di rumah?” tanyaku, main mata. Cara kita dulu bercanda.
Ia tertawa kecil. “Tak ada lagi ibu. Tak ada lagi waktu. Hanya kita. Dan pohon ini.”
Ia mengulurkan tangan. Aku meraihnya. Dingin, tapi nyaman. Seperti salju pertama di tanah datar.
Lalu ia menarikku pelan, memelukku. Aku menutup mata. Napasku berhenti — bukan karena mati, tapi karena sempurnanya pelukan itu. Aku belum pernah merasa seaman ini. Bahkan saat hidup, bahkan saat ia masih bernapas.
Kami mulai berdansa.
Tak ada musik. Tapi ada irama: suara daun bergesekan, alunan air sungai, suara jantungku yang berdetak pelan, seakan menyesuaikan tempo dengan napasnya yang tak ada.
Kami berputar perlahan di bawah bayangan pohon. Langit berubah jingga, lalu ungu, lalu hitam. Bintang-bintang muncul. Tapi kami tak berhenti. Aku tak merasa lelah. Aku hanya ingin waktu berhenti, berdansa selamanya.
“Aku tak bisa pergi,” bisiknya, dahi menyentuh keningku. “Aku janji. Di sini. Sampai kamu datang.”
“Sekarang aku di sini,” sahutku.
“Tapi kau masih hidup,” katanya pelan. “Dan aku… bukan.”
Aku memeluknya erat. “Aku akan mati. Di sini. Denganmu.”
Ia menggeleng. “Tidak. Kau harus hidup.”
“Hidup tanpa kamu bukan hidup.”
“Kau tak akan kehilangan aku. Kita sudah menikah, Lila.”
“Bagaimana bisa? Kita bahkan tak ada saksi.”
Pohon itu tiba-tiba bergetar. Daunnya jatuh pelan. Di antara rimbunnya tumbuh sebuah bunga jambu yang putih dan besar — bukan merah seperti biasanya. Pertama kalinya.
“Aku memohon pada pohon ini,” katanya. “Saat aku mati, aku berjanji pada akarnya. Jika Lila kembali, biarkan aku menemuinya. Biarkan kami menyelesaikan janji. Dan pohon ini mengabulkan.”
Aku menatap bunga itu. Lalu ke Ardan. “Maka sekarang aku ingin yang sama. Berikan aku tempat di sisimu. Biarkan aku tak kembali. Biarkan aku tinggal.”
“Kau harus kembali,” jawabnya. “Untuk hidup. Untuk bercerita. Agar cinta kita tak hilang.”
Aku tertawa, tapi berlinang air mata. “Cinta kita tak akan hilang. Kau tahu itu.”
“Tapi dunia harus tahu,” katanya, lalu ia menciumku.
Ciuman itu bukan dari bibir, tetapi dari udara, dari bayangan, dari sesuatu yang lebih dalam daripada jiwa. Rasanya hangat dan dingin bersamaan. Pelan-pelan, aku merasa tubuhku ringan — seperti debu, seperti asap.
Dan aku tahu. Aku sedang mati.
Tapi aku tak takut.
Karena aku mati di pelukannya.
Ketika warga menemukanku keesokan harinya, aku tergantung di dahannya yang paling rendah. Tali dari kain jas putih yang kubawa — yang kusiapkan bertahun lalu, tanpa tahu saat itu aku memang akan menggunakannya.
Kakiku tak menyentuh tanah. Rambutku terurai, terangkat oleh angin lembut. Wajahku — menurut mereka — tersenyum. Sebuah senyum damai. Seperti bayi yang tertidur dalam pelukan ibu. Seperti wanita yang baru saja menikah.
Mereka memotongku, membawaku pulang. Memakamkanku di samping kakek nenekku. Tapi kain jas putih itu tak mereka temukan. Hilang. Padahal aku yakin — aku membawanya.
Namaku Lila. Aku ingin menceritakan kisahku, bukan untuk menakuti siapa pun, tapi karena aku merasa harus. Karena mungkin, jika aku menuliskannya, kalian akan mengerti mengapa aku memilih pohon itu. Mengapa aku tersenyum. Dan mengapa, meskipun aku sudah tak lagi bernapas, aku tak pernah merasa lebih hidup.
Ketika mereka memotong tubuhku dari dahan pohon jambu, aku sudah bukan milik dunia lagi. Kain jas putih itu — yang dulu kusimpan dalam peti kayu berlapis kertas minyak — telah menghilang. Mereka mencari, bertanya-tanya, mengira mungkin angin membawanya terbang. Tapi bukan angin yang membawanya. Aku tahu, karena saat itu aku sudah berada di balik tirai, menatap mereka dari tempat yang tak terlihat. Dan kain itu mengalir perlahan ke akar pohon, menyerap ke dalam tanah, menyatu seperti akar baru yang tumbuh dari cinta yang tak pernah mati.
Aku dikubur di samping kakek nenekku, di tanah kering di bukit timur desa. Tapi tanahku tak pernah tenang. Setiap malam, saat bulan purnama menyapa bumi, tanah di makamku bergerak pelan. Bukan karena cacing, bukan karena hewan liar. Karena aku sedang berjalan. Dalam mimpi para warga. Dalam hembusan angin yang tak wajar. Dalam bisikan yang terdengar di antara dentingan genta sekolah lama.
Anak-anak mulai bercerita. Mereka bilang kalau malam-malam, mereka melihat dua bayangan di bawah pohon jambu. Satu tinggi, mengenakan jas putih. Satu lagi, perempuan berambut panjang, berdiri menari pelan seolah mengikuti irama yang hanya mereka berdua dengar. Tak ada suara, hanya bayangan. Tapi mereka bilang udara di sana selalu bergetar, seperti ditusuk rindu.
Ardan tak pernah pergi. Dan aku pun tidak.
Kami tetap di bawah pohon itu. Karena janji kami bukan hanya untuk satu kehidupan, tetapi untuk selamanya. Pohon jambu itu — yang dulunya hanya saksi bisu — kini menjadi tuan rumah bagi roh-roh yang tak bisa pergi. Akarnya menjalar lebih dalam dari yang bisa dilihat mata. Ke dalam tanah, ke dalam waktu. Menyentuh masa lalu dan masa depan sekaligus.
Hujan turun pertama kali setelah aku mati, dan bunga jambu putih itu kembali mekar. Dari satu menjadi lima, lalu sembilan, lalu entah bagaimana kini puluhan. Bunga putih yang tak pernah ada sebelumnya. Wanginya menyengat, manis tapi menusuk, membuat orang yang menghirupnya jatuh tertidur. Dalam mimpi mereka, kami datang.
Kami menunjukkan cinta yang tak terputus. Kami menampilkan pernikahan yang terjadi tanpa kata, tanpa doa, tanpa saksi dari dunia manusia — namun diakui oleh alam. Saat dua bunga jambu tumbuh berdampingan dari satu batang, orang-orang mulai mengerti. Mereka bilang pohon itu mulai bernapas. Kulitnya mengembang dan mengempis seolah paru-paru. Getaran halus terasa jika seseorang menyentuh batangnya. Seperti detak jantung. Dua detak. Bersamaan.
Dan aku? Aku sudah bukan lagi Lila yang dulu mengajar anak-anak menggambar. Aku bukan lagi perempuan yang menangis di kota. Aku adalah bagian dari pohon. Dari tanah. Dari bunga-bunga putih yang mekar di malam hari dan memancarkan cahaya kebiruan.
Aku adalah penjaga janji.
Anak-anak yang dulu kugambarkan bersama Ardan kini tumbuh. Beberapa menjadi penjaga pohon. Mereka yang percaya, yang merasakan suara kami, yang mendengar tawa kecil di antara daun saat senja, dibiarkan mendekat. Mereka diberi mimpi: mimpi tentang dua orang yang menari, tentang cinta yang tak terputus oleh kematian, tentang sumpah yang lebih kuat daripada daging dan darah.
Tapi mereka yang datang dengan skeptis — yang tertawa, yang ingin menebang pohon sebagai kayu bakar, atau menjadikannya tempat parkir sepeda motor — mereka tak kembali.
Hilang. Tenggelam. Jika tubuh mereka ditemukan, biasanya di sungai, terikat akar-akar menjalar, wajahnya membeku dalam teror. Anehnya, tangan mereka selalu memegang bunga jambu putih — segar, tak layu, meski dicabut dari batangnya.
Ardan mengajarku cara melindungi. Tak dengan kekerasan, tetapi dengan kehadiran. Dengan ingatan. Dengan rasa yang begitu kuat hingga alam sendiri memilih berpihak.
Sekarang, aku bisa merasakan seluruh pohon. Daun adalah mataku. Akar adalah kakiku. Kulit kasar itu adalah kulitku. Angin adalah nafasku. Dan setiap malam, saat bunga mekar, aku bisa melihat — bukan dengan mata, tetapi dengan jiwa — semua orang yang pernah mencintai dan kehilangan. Mereka semua lewat, entah sengaja entah tidak, di depan pohonku.
Beberapa menangis. Beberapa berdoa. Beberapa tertawa, menceritakan kisah lama. Aku mendengar semuanya. Kadang, jika cinta mereka murni, jika rindu mereka tulus, aku izinkan mereka melihat: melihat bayangan dua orang yang menari di bawah cahaya bunga, melihat kebahagiaan yang tak bisa dirampas oleh kematian.
Ardan tetap di sampingku. Bukan hantu. Bukan arwah. Tapi sesuatu yang lebih — perwujudan cinta yang terus tumbuh, seperti akar yang mencari air di musim kemarau. Ia berbisik padaku setiap malam, “Kita berhasil, Lila. Kita bertahan.”
Dan aku tersenyum, meski mulutku tak ada lagi.
Karena kini seluruh pohon tersenyum bersamaku.
Kalian mungkin membaca ini dan mengira aku gila; bahwa ini hanya cerita seorang perempuan yang gugup karena cinta. Tapi lihatlah pohon jambu tua di ujung kampung. Jika kalian pergi ke sana saat senja, dan angin tiba-tiba berhenti, dan bunga putih mekar di luar musim, pergilah. Jangan duduk. Jangan menyapa. Jangan menangis.
Kami bukan hantu yang ingin menyakiti.
Tapi kami juga bukan roh yang akan diam jika kalian mengganggu.
Aku tetap Lila.
Aku tetap mencintai Ardan.
Dan pohon ini…
Ini bukan sekadar pohon.
Ini adalah pernikahan kami.
Ini adalah rumah kami.
Ini adalah batas antara hidup dan mati yang telah kami lebur.
Jika kalian merasa sesuatu menyentuh pundakmu di bawah naungannya, jangan berteriak. Balaslah dengan senyuman. Karena mungkin, aku hanya ingin kalian tahu bahwa cinta sejati… tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya berubah bentuk. Ia hanya menunggu. Ia hanya tumbuh. Seperti bunga jambu putih di bawah sinar rembulan. Seperti akar yang tak pernah berhenti mencari yang dicintainya.
Jadi, jika kalian pernah ke desa itu dan melihat seorang perempuan berambut panjang berdiri di bawah pohon, tersenyum sambil menatap langit, jangan hampiri. Jangan panggil. Cukup diam. Dan rasakan. Karena mungkin… aku sedang menunggu Ardan kembali dari balik bayangan. Untuk berdansa lagi. Untuk mengulang janji lagi. Untuk mencintai… selamanya.
Namaku Lila. Aku sudah tak bernapas. Tapi aku lebih hidup dari sebelumnya.
Catatan:
Nama Lila tak pernah muncul di daftar korban bunuh diri resmi pemerintah. Entah bagaimana, catatan itu selalu rusak saat disalin. Tapi di desa kami, kami tahu ceritanya. Kami melindungi pohon itu. Kami menjaganya.
Dan setiap tahun, di tanggal 17 Maret — hari janji pernikahan kami — para remaja jatuh cinta di bawahnya. Mereka berjanji sehidup semati. Entah mengapa, di antara bisikan angin, terdengar suara dua orang berdansa. Seperti tarian tanpa akhir. Seperti cinta yang menolak mati.