Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Cinta di Antara Tetesan Hujan
0
Suka
25
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hujan deras mengguyur kota, memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram di atas trotoar basah. Udara lembap bercampur dengan aroma tanah basah, menyusup hingga ke sudut-sudut taman kecil yang terhimpit gedung-gedung tinggi. Langkah-langkah kaki jarang terdengar, hanya sesekali suara roda mobil melintasi genangan melengkapi simfoni gerimis yang turun tanpa jeda.

Di bawah pohon trembesi yang menjulang, seorang pria berjongkok sambil memegang kamera. Jas hujan tipisnya menempel di tubuh, menahan dingin yang merayap dari ujung kaki. Jemarinya lincah menyesuaikan lensa, mengunci fokus pada sebuah genangan air yang memantulkan bayangan daun-daun bergoyang. Dia memicingkan mata, memeriksa cahaya yang jatuh di permukaan genangan.

"Kontrasnya sempurna," gumamnya sambil mengarahkan jari ke tombol rana.

Namun sebelum dia menekan, langkah-langkah ringan terdengar dari arah lain. Bayangan seseorang muncul, melintas perlahan di bawah payung kuning cerah. Pria itu mendongak, matanya tertuju pada sosok perempuan yang berhenti di depannya. Wajah perempuan itu nyaris tersembunyi di balik bayangan payung, tapi pergerakan tangannya yang memegang kanvas kecil membuat pria itu terpaku.

Kanvas itu penuh dengan garis-garis basah, cat yang mengalir seolah menari mengikuti tetesan hujan. Warna-warna biru, abu-abu, dan sedikit merah muda berbaur, menciptakan ilusi hujan yang hidup.

“Kamu melukis hujan?” tanya pria itu tanpa mengalihkan pandangan dari kanvas.

Perempuan itu sedikit tersenyum. "Hujan punya banyak cerita. Aku hanya mencoba menangkap satu di antaranya."

Pria itu berdiri perlahan, menggenggam kameranya. "Biasanya aku menangkap cerita itu lewat lensa, tapi caramu menangkapnya... berbeda."

Perempuan itu tertawa kecil, suaranya jernih meski teredam hujan. "Dan caramu melihat dunia lewat lensa juga berbeda. Kita sama-sama berburu cerita, hanya medium kita yang berbeda."

Pria itu mengangguk pelan. "Aku Bima," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

“Arini,” jawab perempuan itu, tangannya yang dingin menyentuh tangan Bima sebentar.

Mereka berdiri dalam hening sejenak, hanya ditemani suara hujan yang menimpa daun-daun di atas mereka. Bima memperhatikan payung kuning Arini, warnanya mencolok di tengah palet abu-abu taman.

“Payungmu seperti cahaya matahari di hari hujan,” komentarnya tiba-tiba.

Arini tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Aku memilihnya untuk itu. Kadang kita butuh warna cerah untuk mengingatkan bahwa hujan tidak selamanya kelabu."

Bima mengangkat kameranya, mengarahkan lensa pada Arini. “Boleh aku memotretmu?”

Arini mengangguk pelan, menyesuaikan posisinya di bawah payung. Tapi sebelum Bima memotret, dia melangkah maju, mendekati genangan air yang dipotret Bima sebelumnya.

“Gunakan ini sebagai latar belakang,” katanya sambil menunjuk genangan itu. "Bayangan pohon dan tetesan airnya akan membuatnya lebih menarik."

Bima mengikuti arahan itu, mengintip lewat lensa. Saat Arini berdiri di depan genangan, bayangannya dan payung kuningnya menyatu dengan pantulan di air. Cahaya dari lampu jalan menciptakan efek dramatis yang membuat seluruh adegan terasa magis.

“Tahan di situ,” ujar Bima sambil memotret, suara rana terdengar berulang-ulang.

Ketika dia selesai, Arini mendekat lagi, menatap kamera Bima dengan rasa ingin tahu. "Bagaimana hasilnya?"

Bima menunjukkan layar kecil di belakang kameranya. Mata Arini membesar, kekaguman tergambar jelas di wajahnya. "Ini indah," ucapnya, suaranya nyaris berbisik.

Bima tersenyum kecil. "Kamu yang membuatnya indah."

Arini tertawa ringan, tapi ada rona hangat di pipinya. "Kamu pandai memilih kata."

Bima menggeleng pelan. "Aku hanya menyampaikan apa yang aku lihat."

Hujan masih turun deras, tapi mereka tetap berdiri di tempat itu, berbagi cerita tentang hujan dan apa yang mereka temukan di dalamnya. Bima menceritakan pengalamannya memotret hujan di berbagai sudut kota, bagaimana dia selalu mencari momen ketika hujan membawa kehidupan baru ke dalam gambar.

“Setiap tetes punya alur sendiri,” jelasnya sambil menunjuk tetesan air di daun di dekatnya. "Saat tertangkap kamera, alur itu seperti berhenti sejenak, seperti rahasia kecil yang disimpan untuk selamanya."

Arini mendengarkan dengan mata berbinar. "Aku selalu berpikir hujan adalah pelukis yang tak terlihat. Lihat cat airku, garis-garisnya tidak pernah seperti ini jika aku tidak melukis saat hujan. Aku membiarkan hujan membantu menyelesaikannya."

Bima mengamati lukisan Arini lebih dekat. Warna-warna itu terlihat seolah hidup, bergerak meski kanvasnya diam. "Kamu memberi hujan kesempatan untuk bicara lewat lukisanmu," katanya sambil mengangguk kagum.

Angin tiba-tiba bertiup kencang, membuat daun-daun beterbangan dan payung kuning Arini hampir terlepas dari tangannya. Bima refleks meraih gagangnya, membantu Arini menahannya. Jemari mereka bersentuhan lagi, kali ini lebih lama.

Mereka saling pandang, hening di tengah ributnya hujan. Mata Arini menyiratkan sesuatu yang tak terucap, sementara Bima merasakan denyut jantungnya sedikit lebih cepat dari biasanya.

“Kamu sering ke taman ini?” tanya Bima akhirnya, mencoba memecah keheningan.

Arini mengangguk. "Ini tempat favoritku. Hujan di sini selalu terasa berbeda, seolah lebih ramah."

Bima tersenyum tipis. "Aku juga. Mungkin kita sudah sering melewati satu sama lain tanpa sadar."

"Atau mungkin hujan yang akhirnya memutuskan untuk mempertemukan kita," balas Arini dengan nada ringan.

Percakapan mereka berlanjut, menjelajahi topik-topik kecil tentang hidup, mimpi, dan hujan. Arini bercerita tentang galeri kecil tempat dia sering memamerkan lukisannya, sementara Bima berbagi tentang ambisinya menggelar pameran foto tunggal suatu hari nanti.

Ketika hujan mulai mereda, langit menyisakan rintik-rintik kecil yang memantulkan warna jingga dari matahari terbenam. Bima memandang ke arah Arini, merasa ada sesuatu yang tak ingin dia lewatkan.

"Arini," panggilnya perlahan.

Arini menoleh, wajahnya dihiasi senyum lembut. "Ya?"

"Aku ingin memotret lebih banyak hujan... dan mungkin, lebih banyak kamu."

Arini tertawa kecil, tapi ada kilatan antusiasme di matanya. "Aku tidak keberatan, selama aku bisa melukis lebih banyak cerita dari hujan dan kamu."

Payung kuning itu kini terlihat seperti bingkai bagi momen baru yang mungkin mereka ciptakan bersama. Hujan yang telah mempertemukan mereka seolah berbisik lembut, bahwa cerita mereka baru saja dimulai.

Pagi itu, langit terlihat kelabu, seperti mengisyaratkan hujan akan kembali turun kapan saja. Di sebuah kafe kecil di sudut kota, aroma kopi bercampur dengan wangi kayu manis dari kue yang baru saja dipanggang. Bima duduk di dekat jendela besar, kamera tergantung di lehernya, sementara secangkir kopi hitam mengepul di depannya.

Dia menatap layar kameranya, memeriksa foto-foto dari hari sebelumnya. Gambar Arini dengan payung kuningnya terlihat mencolok di tengah nuansa hujan. Ada sesuatu yang unik dari foto itu, bukan hanya karena komposisi atau pencahayaannya, tetapi karena sosok di dalamnya.

Pintu kafe terbuka, suara lonceng kecil berdenting lembut. Angin dingin masuk bersamaan dengan sosok yang dikenalnya. Arini melangkah masuk, membawa kanvas baru yang dibungkus plastik transparan.

“Pagi,” sapa Bima sambil melambaikan tangan.

Arini menoleh, lalu tersenyum hangat. Dia menghampiri meja Bima dan duduk di kursi seberangnya. “Pagi. Sudah lama menunggu?” tanyanya sambil melepaskan syal dari leher.

“Tidak terlalu. Aku tadi sibuk memeriksa hasil foto,” jawab Bima, menunjuk kameranya. “Mau lihat?”

Arini mengangguk antusias. Bima memutar layar kamera, memperlihatkan foto-foto dari taman kemarin. Mata Arini berbinar saat melihat gambar bayangannya di genangan air.

“Kamu membuatnya terlihat... seperti dongeng,” ujar Arini, jari-jarinya menyentuh layar kamera seolah takut merusaknya.

“Kamu sendiri yang membuatnya seperti itu,” balas Bima sambil tersenyum.

Pelayan datang membawa secangkir teh untuk Arini. Dia mengucapkan terima kasih, lalu membuka bungkus plastik kanvasnya. Bima memiringkan kepala, penasaran dengan apa yang ada di kanvas itu.

“Aku melukis ini semalam,” kata Arini, memutar kanvas ke arah Bima.

Lukisan itu menggambarkan hujan di taman yang sama, tetapi ada tambahan sosok pria dengan kamera di tengahnya. Payung kuning terlihat samar di latar belakang, memberikan sentuhan kehidupan pada gambar yang didominasi warna biru dan abu-abu.

“Itu aku?” tanya Bima, matanya tak lepas dari kanvas.

Arini tersenyum kecil. “Aku hanya melukis apa yang aku lihat.”

Bima tertawa, meskipun nada dalam suaranya mengandung kekaguman yang tak bisa dia sembunyikan. “Kalau begitu, aku harus membalas. Boleh aku memotret kamu lagi, kali ini dengan lukisan ini?”

Arini mengangguk. “Di sini?”

“Tidak. Aku punya tempat lain di pikiran.”

Tanpa banyak basa-basi, mereka meninggalkan kafe, berjalan menyusuri jalan yang mulai basah oleh gerimis halus. Langkah mereka membawa mereka ke sebuah jembatan kecil di pinggiran kota, di mana sungai mengalir tenang di bawahnya. Pohon-pohon di sepanjang tepi sungai menciptakan kanopi alami, tetesan air jatuh dari daun-daun, memantulkan cahaya seperti berlian kecil.

Arini berdiri di tengah jembatan, memegang kanvasnya. Bima mengarahkan kamera, mencari sudut yang sempurna. Angin membawa aroma segar sungai bercampur dengan wangi cat yang masih baru dari kanvas Arini.

“Angkat sedikit kanvasnya,” kata Bima sambil mengatur fokus.

Arini mengikuti arahannya, memiringkan kepala sedikit untuk menatap lukisannya. Saat dia melakukannya, gerimis mulai berubah menjadi hujan deras. Air membasahi kanvasnya, membuat beberapa garis cat mulai melumer perlahan.

“Oh tidak!” seru Arini, mencoba melindungi kanvasnya.

Bima cepat bertindak. Dia membuka jas hujannya, menutupi Arini dan kanvas itu sekaligus. “Santai, aku yang salah membawa kamu ke sini tanpa persiapan,” ucapnya, setengah tertawa.

Arini menggeleng, meskipun wajahnya basah kuyup. “Bukan salahmu. Lagipula, lihat ini.” Dia menunjukkan kanvasnya, di mana tetesan hujan telah menciptakan pola baru di atas lukisan. “Hujan ini memberikan sentuhan yang aku sendiri tidak bisa buat.”

Bima menatap lukisan itu dengan kagum. Pola baru itu memang tidak terduga, tetapi membuat lukisan terasa lebih hidup. Dia mengambil kamera lagi, memotret Arini bersama kanvas yang sekarang basah oleh hujan.

“Ini akan jadi foto terbaikku,” gumamnya.

Arini tertawa kecil. “Dan ini akan jadi lukisan terbaikku.”

Mereka berdiri di bawah hujan, berbagi tawa dan cerita, tanpa peduli bahwa pakaian mereka telah basah kuyup. Di antara tetesan hujan yang terus turun, ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka, sesuatu yang bahkan tidak membutuhkan kata untuk dijelaskan.

Langit senja mulai berubah warna menjadi kelabu keunguan, menandakan hujan mungkin akan kembali hadir malam itu. Di studio kecilnya yang beraroma minyak cat dan kayu tua, Arini berdiri di depan kanvas besar. Tetesan terakhir dari kuasnya membentuk siluet seorang pria dengan kamera yang tergantung di lehernya, wajahnya samar tapi penuh emosi.

Arini melangkah mundur, matanya memandang hasil karyanya dengan saksama. Dia menyentuh dagunya, berpikir keras. Ada sesuatu yang kurang, sesuatu yang belum mampu dia tuangkan. Dia mencoba mengingat momen di jembatan saat hujan deras itu, bagaimana Bima berdiri di dekatnya, melindungi lukisannya sambil tertawa lepas, seolah dunia di luar hujan tidak berarti apa-apa.

Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Dia membuka pintu, dan Bima berdiri di sana, mengenakan jaket kulit yang masih menguarkan aroma udara sore. Dia tersenyum, membawa dua cangkir kopi di tangannya.

“Aku ingat kamu suka yang tanpa gula,” ucapnya sambil menyerahkan satu cangkir pada Arini.

Arini tersenyum. “Kamu selalu ingat detail kecil, ya?”

Bima hanya mengangkat bahu, lalu melangkah masuk tanpa undangan, seperti sudah mengenal tempat itu bertahun-tahun. Dia langsung mendekati kanvas yang berdiri di tengah ruangan. Matanya mengamati setiap garis dan warna dengan seksama.

“Ini keren,” komentarnya sambil menyesap kopi. “Tapi kenapa aku merasa ada yang berbeda dari lukisanmu sebelumnya?”

Arini menyandarkan tubuh di dinding, memandangi karyanya dari sudut pandang Bima. “Mungkin karena aku mencoba menangkap sesuatu yang belum sepenuhnya aku pahami.”

Bima menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Apa itu?”

“Hujan,” jawab Arini singkat.

Dia tertawa kecil, tapi Arini tetap serius. Dia menatap hujan yang mulai turun pelan di luar jendela studionya. “Aku selalu merasa hujan punya bahasa sendiri, semacam cerita yang dia sampaikan lewat setiap tetesnya. Tapi aku belum menemukan cara untuk menerjemahkannya ke dalam lukisan ini.”

“Kalau begitu, biarkan aku membantumu,” ujar Bima sambil meletakkan cangkirnya di meja kayu yang penuh bercak cat.

Dia mengeluarkan kameranya, mengarahkan lensa ke jendela yang berembun. Dengan cahaya lampu studio dan senja yang temaram, bayangan Arini tercermin di kaca, seolah menyatu dengan tetesan hujan di luar.

“Lihat ini,” katanya sambil menunjukkan hasil bidikannya pada layar kamera.

Arini mendekat, wajahnya hampir menempel pada layar kecil itu. Bayangan dirinya yang membaur dengan hujan menciptakan kesan melankolis sekaligus magis. Mata Arini berbinar, seolah dia baru saja menemukan kunci yang selama ini dia cari.

“Ini dia,” bisiknya, hampir tidak terdengar.

Bima tersenyum, puas melihat reaksi itu. Dia meletakkan kameranya dan menatap Arini yang sudah kembali berdiri di depan kanvasnya, kuas di tangan. Dengan gerakan cepat, Arini mulai menambahkan bayangan samar di sudut kanvasnya, menciptakan kesan seolah sosok dalam lukisan itu memang terlahir dari hujan.

“Aku selalu kagum melihat caramu bekerja,” ujar Bima.

Arini menoleh sekilas, senyum kecil terukir di wajahnya. “Dan aku selalu kagum pada caramu menangkap momen dengan kamera itu.”

Mereka saling diam, membiarkan suara hujan di luar mengisi kekosongan. Di dalam keheningan itu, ada koneksi yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Hanya suara kuas yang bergesekan dengan kanvas dan detak kamera yang sesekali terdengar.

Beberapa saat kemudian, Bima melangkah mendekat. “Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru?”

Arini menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Apa maksudmu?”

“Aku memotret prosesmu melukis, sementara kamu menangkap apa yang kamu lihat dariku ke dalam lukisanmu. Kita biarkan hujan di luar jadi penghubungnya,” usul Bima.

Arini terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Kedengarannya seperti ide bagus.”

Dengan cepat, mereka menyiapkan segalanya. Bima mulai memotret setiap gerakan Arini, dari cara dia mencampur warna hingga cara kuasnya menyentuh kanvas. Sementara itu, Arini terus melukis, memasukkan bayangan Bima yang sesekali memotret ke dalam karyanya.

Hujan di luar semakin deras, membasahi kaca jendela hingga menciptakan pola yang terlihat seperti tarian. Malam semakin larut, tetapi mereka tidak peduli. Waktu seolah berhenti di studio kecil itu, meninggalkan hanya mereka berdua dan karya yang tengah tercipta.

Ketika akhirnya mereka berhenti, Arini menatap hasil lukisannya dengan kagum. Di sana, hujan bukan lagi sekadar latar, melainkan bagian dari cerita. Sosok Bima dan dirinya yang samar terlihat seperti bayangan di balik tirai hujan, seolah-olah hujan adalah medium yang menyatukan mereka.

“Aku rasa ini salah satu karya terbaikku,” ujar Arini, suaranya lembut namun penuh keyakinan.

Bima mengangguk, matanya tak lepas dari lukisan itu. “Dan ini mungkin salah satu malam terbaik dalam hidupku.”

Mereka saling pandang, membiarkan kata-kata terakhir itu menggantung di udara. Hujan terus turun di luar, membawa keheningan yang terasa hangat, seperti pelukan yang tak terlihat.

Hujan malam itu seperti irama lagu yang tak pernah bosan mengalun, memenuhi celah-celah keheningan. Di studio Arini, kehangatan yang lahir dari cangkir kopi, percakapan sederhana, dan cahaya lampu redup membuat dunia luar terasa jauh.

Bima duduk bersandar di sofa usang di sudut ruangan. Di tangannya, kamera tergenggam erat, lensanya mengarah pada Arini yang tengah menatap lukisannya dengan intensitas yang sulit dijelaskan. Dia tidak menyadari bagaimana matanya berbinar setiap kali menemukan detail baru di kanvasnya, atau bagaimana tubuhnya sedikit membungkuk seolah sedang berbicara dengan lukisannya.

“Apa yang membuatmu mencintai hujan?” Bima akhirnya bertanya, suaranya mengisi celah di antara bunyi gemericik air di luar.

Arini menoleh, memutar kuas di antara jarinya. Dia tidak langsung menjawab, membiarkan pertanyaan itu mengendap sebelum diucapkan. “Hujan selalu membawa kenangan,” ucapnya akhirnya. “Tentang kehilangan, kebahagiaan, dan semua hal yang membuatku merasa hidup. Kamu sendiri, kenapa hujan selalu menjadi objek favoritmu?”

Bima menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tersenyum kecil. “Karena hujan selalu jujur. Dia tidak peduli apa yang orang pikirkan. Dia turun begitu saja, apa pun yang terjadi. Membasahi, membekukan, atau kadang, menyembuhkan.”

Arini menatapnya, senyumnya perlahan tumbuh. “Aku rasa, kita melihat hujan dengan cara yang mirip.”

Suasana hening kembali hadir, tapi kali ini tidak kaku. Hening yang terasa seperti teman lama, nyaman dan tidak mengganggu. Bima berjalan mendekat, duduk di bangku kayu di sebelah Arini. Dia menatap lukisan itu lagi—sosok mereka yang samar, seperti bayangan yang melebur dengan hujan.

“Kita sudah hampir selesai,” ujarnya.

Arini mengangguk, matanya tetap terpaku pada kanvas. “Tapi ini bukan tentang selesai atau tidaknya lukisan ini. Aku merasa ini tentang perjalanan.”

“Perjalanan kita?” tanya Bima, nadanya setengah bercanda, setengah serius.

Arini terkekeh pelan. “Mungkin. Kamu tahu, aku tidak pernah membiarkan siapa pun masuk terlalu jauh dalam hidupku. Tapi hujan, dan kamu, entah bagaimana membuatku merasa... aman.”

Bima terdiam. Matanya menatap jendela, di mana tetesan air menciptakan pola abstrak yang berubah setiap detiknya. “Aku juga. Selama ini, aku selalu memotret hujan sendirian. Aku kira, itu adalah caraku memahami dunia. Tapi mungkin, aku hanya menunggu seseorang untuk memahaminya bersamaku.”

Arini menoleh padanya, mata mereka bertemu. Ada sesuatu dalam keheningan itu yang tidak membutuhkan kata-kata. Hujan di luar menjadi saksi, memantulkan cahaya kecil dari lampu studio, menciptakan kilauan seperti bintang yang jatuh ke bumi.

Bima meraih kameranya, mengangkatnya perlahan. “Izinkan aku mengabadikan ini.”

Arini mengangguk, membiarkan dirinya menjadi bagian dari momen itu. Cahaya kilat kecil dari kamera menghidupkan ruang itu sejenak, seolah menciptakan perayaan kecil di tengah malam yang sederhana.

“Kamu tahu, aku rasa kita bisa membuat pameran bersama,” kata Bima setelah beberapa saat.

Arini tertawa kecil. “Kamu yakin orang lain akan mengerti apa yang kita coba ceritakan?”

“Bukan soal mereka mengerti atau tidak,” jawab Bima sambil menyimpan kameranya. “Ini tentang berbagi. Tentang memperlihatkan bagaimana hujan menghubungkan kita.”

Arini tersenyum. “Kamu selalu punya cara melihat sesuatu dari sudut yang berbeda.”

Waktu terus berjalan, tapi malam itu terasa enggan berakhir. Ketika akhirnya hujan mulai mereda, hanya meninggalkan genangan kecil di luar, mereka tahu bahwa momen itu telah menciptakan kenangan yang tidak akan pudar.

“Arini,” Bima memanggil, suaranya pelan namun tegas.

“Ya?”

“Aku ingin kita melanjutkan perjalanan ini, bukan hanya dalam lukisan dan foto, tapi dalam hidup.”

Arini terdiam, matanya menatap wajah Bima yang penuh harapan. Kemudian, dia mengangguk pelan. “Aku juga ingin itu.”

Dan dengan itu, malam yang penuh hujan itu menutup cerita mereka, bukan sebagai akhir, tapi sebagai awal dari sesuatu yang baru.

TAMAT

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Perfect Relationship
yochi yang
Novel
War of Love
Dian hastarina
Novel
Gold
Memeluk Masa Lalu
Bentang Pustaka
Cerpen
Cinta di Antara Tetesan Hujan
kevin andrew
Novel
Bronze
Prolog
Ivana Putri Zacharias
Skrip Film
Kala
Nadya Christie
Novel
Bronze
Tragedi Jatuh Cinta
Alfiani Intan
Novel
Bronze
Serpihan Hati
Qarina R Jussap
Cerpen
Rinai Hujan
Ningningluvvzz
Novel
Hello, Spring
Tearose
Novel
Gold
Little Women
Mizan Publishing
Novel
Bahagia Usai Ditalak
Pena_Receh01
Novel
Bronze
Ujung Jalan Setapak
Fitri Manalu
Novel
Bronze
Gengsi karena Cinta
LSAYWONG
Cerpen
Bronze
Kisah Cinta di Tanah Aceh
Rizkia Firnandha
Rekomendasi
Cerpen
Cinta di Antara Tetesan Hujan
kevin andrew
Cerpen
Bronze
Adu Teka-Teki di Kafe
kevin andrew
Cerpen
Bronze
Jemputan Tengah Malam
kevin andrew
Cerpen
Bronze
Paket Salah Kirim
kevin andrew
Cerpen
Bronze
Sisa Surat yang tertinggal
kevin andrew
Cerpen
Bronze
Surat dari Masa Lalu
kevin andrew