Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Plak!!!
"Dasar anak tak tahu malu! Kamu sudah membuat Mama sangat kecewa!"
Tamparan keras dari telapak tangan seorang ibu mengena tepat di pipi Nina. Gadis berambut cepak itu langsung menangis tersedu-sedu sambil sesekali mengusap pipinya yang terasa panas.
"Pokoknya Mama nggak mau tahu! Kamu harus mau Mama antar ke pesantren, sekarang juga!" teriak sang ibu lagi dengan sangat histeris. Melihat anaknya salah pergaulan membuatnya frustasi.
Bagaimana tidak? Pasalnya, anak gadis Lidya itu selalu pulang larut malam setiap hari. Bukan hanya sekedar jalan-jalan. Namun, Lidya mengetahui jika putri semata wayangnya kerap berboncengan mesra dengan seorang pemuda. Seperti hari ini, putrinya ketahuan bermesraan di atas motor dengan kekasihnya. Entah anak siapa, tapi yang pasti Lidya sangat malu karena para tetangga sudah hampir tahu semua.
"Kamu ini sudah membuat Mama malu, Nin. Jadi anak gadis mbok ya yang pinter, di rumah saja, nurut sama Mama, dan jangan kelayapan aja kerjanya."
Lidya bersungguh-sungguh dengan niatnya. Wanita itu segera mengemasi beberapa pakaian milik putrinya ke dalam tas jinjing yang berukuran besar. Ia meninggalkan anaknya yang masih duduk menangis di ruang tamu.
Sambil mengumpulkan barang milik sang putri yang akan dibawanya ke pesantren, Lidya masih saja terus mengomel. Wanita berjilbab lebar itu sangat geram dengan apa yang telah dilakukan putrinya. Berharap sang anak yang duduk di ruang sebelah bisa mendengar kegundahan hatinya dan mau berubah.
"Kamu itu tidak kasihan sama Mama, ya? Papamu sudah meninggal, bukannya jadi anak baik yang selalu mendoakan, ini malah jadi anak nakal. Seneng banget bikin Mama naik darah!" omel Lidya lagi. Sepertinya beban di dalam hatinya sudah sangat menumpuk, hingga sampai kapan pun dikeluarkan, tetap saja belum berkurang.
Nina yang duduk di ruang tamu masih terus menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sudahlah sakit pipinya kena tampar, masih terus ditambah dengan omelan yang sangat mengena perasaan. Namun, bukannya sadar akan kesalahan, Nina malah menggerutu sendirian.
"Mama cerewet banget! Nggak bisa lihat anaknya seneng! Mana mau kirim aku ke pesantren?? Ck! Males!" Gadis yang memakai kaos oblong itu bangkit dari duduk, melangkahkan kaki dengan cepat keluar rumah. Entah kenapa, mendengar siraman rohani yang tiada henti dari sang ibu membuatnya semakin jengah.
Lidya yang terus menyelesaikan aktivitasnya di dalam kamar tidak sadar jika anaknya pergi. Ia masih saja menyiapkan semua barang milik putrinya sambil mengomel tiada henti. Hingga, tiga puluh menit berlalu akhirnya persiapan selesai, dan wanita itu pun keluar dari kamar sang putri.
Mendapati sang anak tidak lagi di tempat semula, ia masih merasa biasa-biasa saja. Lidya pikir Nina pasti di dapur, kalau tidak ya di kamar mandi. Wanita itu meletakkan satu tas besar yang berisi semua perlengkapan putrinya ke atas meja ruang tamu.
Lama menunggu sang anak yang tidak segera muncul, Lidya mulai gelisah. "Nina ini ke mana sih? Kenapa belum keluar juga?" Wanita itu bangkit dari duduknya berniat mencari sang anak di dapur dan kamar mandi.
"Nin! Nina!" panggilnya berulang kali, tapi yang dipanggil tak kunjung menjawab.
"Nina!" Suara Lidya semakin lantang. Namun, masih tetap sama. Sang putri belum juga menampakkan batang hidungnya. Jangankan datang menghampiri sang ibu, menjawab panggilannya saja tidak. Seperti ditelan bumi, ketiadaan Nina yang tiba-tiba membuat Lidya cemas dan khawatir.
Wanita itu sudah mencari putrinya di setiap ruangan rumah, tapi tetap tidak ketemu. Ya wajar saja, karena yang dicari sudah...