Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
*** Doa di Malam Sunyi ***
Malam itu sunyi. Hanya suara kipas angin dan detak jam dinding yang menemani Raka di kamarnya. Usai sholat Isya, ia duduk bersila, kedua tangan terangkat, matanya terpejam. "Ya Allah, jika memang ada jodohku di dunia ini, pertemukan aku dengannya dalam kebaikan. Yang bisa mengerti aku, meski aku bukan orang yang pandai bicara."
Sementara itu, di tempat berbeda, Yuki juga sedang menengadah. Duduk di kamar dengan poster desain dan buku sketsa berantakan di belakangnya. "Tuhan... kalau memang aku berjodoh dengan seseorang, tolong pertemukan aku dengan orang yang bisa terima aku apa adanya. Yang bisa kerja bareng, dan nggak ribet. Aamiin."
Tak ada yang tahu, bahwa doa mereka malam itu akan segera dijawab.
*** Proyek Web Marketing ***
Keesokan harinya di kampus Fakultas Teknik dan Desain, Pak Arif, dosen web programming yang dikenal santai tapi jago coding, menyapa Raka setelah kelas selesai.
"Rak, kamu lagi kosong minggu ini? Aku ada proyek freelance, bikin website marketing produk fashion. Klien dari luar kampus. Tertarik join?"
Raka mengangguk. "Boleh, Pak."
Di saat berbeda, Pak Arif juga menghampiri Yuki yang sedang menyelesaikan sketsa.
"Yuk, desain kamu bagus banget. Aku butuh desainer buat proyek website fashion. Butuh orang kreatif. Kamu mau ikutan?"
"Boleh, Pak. Selama jadwalnya fleksibel."
*** Grup WA, Pertemuan Pertama ***
Tak lama kemudian, Pak Arif membuat grup WhatsApp [RY Visual - Project Web]
- Pak Arief (Admin)
- Raka
- Yuki
Pak Arif: Halo Raka dan Yuki, ini grup buat komunikasi kita selama proyek. Kalian berdua belum kenal ya?
Yuki: Hai, aku Yuki, DKV semester 5. Salam kenal ya ✌️
Raka: Salam kenal juga, aku Raka, Teknik Informatika semester 5.
Pak Arif: Mantap. Yukki desain, Raka koding. Nanti aku bantu supervisi. Brief menyusul ya.
*** Tantangan Desain ***
Project berjalan. Karena perbedaan jadwal kuliah, komunikasi mereka banyak terjadi lewat WhatsApp. Yuki mulai kirim desain landing page, detail, warna-warna fashion-forward, dengan elemen-elemen animasi micro-interaction. Raka yang melihat desain itu sempat geleng-geleng. "Detail banget ini. SVG custom, hover effect, animasi... Haduh...". Tapi di grup WA, dia hanya membalas:
Raka: Siap, desainnya keren. Akan aku coba implementasikan.
Yuki: Hehe, semangat ya. Aku bantu kalau ada yang kurang pas.
Raka: Siap. Bisa diatur.
*** Akhir Proyek, Awal Getaran ***
Setelah dua minggu intens, proyek selesai. Website di-launching dan klien pun puas. Pak Arif mengundang mereka bertemu langsung di kampus untuk penutupan dan evaluasi proyek. Raka datang lebih awal. Tak lama kemudian, Yuki muncul. Raka menoleh... dan terdiam.
Yuki datang dengan gaya santai mengenakan kaos putih polos, jaket denim, rambut sebahu dengan headphone tergantung di leher, tapi senyum dan caranya menyapa membuat detak jantung Raka berdebar.
"Hai... akhirnya ketemu juga. Kamu Raka kan?"
"I-iya... Kamu Yuki ya."
Baru kali ini Raka benar-benar salah fokus. Biasanya hanya logika, tapi kali ini, hatinya ikut bicara. Pak Arif tiba, mereka ngobrol santai dan berterima kasih satu sama lain. Tapi di dalam hati Raka... "Ternyata kamu yang selama ini bantu aku dari balik layar...". Dan Yuki? Sesekali curi pandang juga ke Raka. Seperti melihat sisi lain dari cowok kaku yang ternyata sabar dan konsisten.
*** Rasa yang Tumbuh Diam-Diam ***
Sejak pertemuan itu, grup WA tidak dibubarkan. Justru makin sering ada chat ringan.
Yuki: Rak, kamu orangnya sabar banget ya. Aku kira bakal banyak protes wkwk
Raka: Nggak juga. Aku malah belajar banyak dari desain kamu.
Yuki: Wah serius? Aku juga belajar gimana pentingnya realisasi dari desain. Coding tuh susah juga ya.
Kadang obrolan menjalar ke hal-hal lain. Soal musik, soal tugas kampus, soal tempat makan enak di sekitar kampus. Mereka mulai saling mengenal. Tanpa sadar, setiap chat menumbuhkan rasa. Pak Arif kadang nimbrung di chat:
Pak Arif: Kalian makin akrab ya. Cie cieee~
Raka & Yuki: 😳
*** Hujan dan Hati yang Basah ***
Hari itu hujan turun deras. Raka baru keluar dari ruang praktikum ketika layar HP-nya menyala.
Yuki: Rak, kamu masih di kampus nggak? Aku kejebak hujan di depan studio 😅
Raka melihat ke luar. Langit kelabu, dan air menetes dari ujung atap. Ia langsung membalas:
Raka: Masih. Aku ke situ ya, bawa payung.
Beberapa menit kemudian, Raka muncul di depan studio dengan jas hujan dan payung hitam besar. Yuki melambai dari bawah kanopi. "Wow, penyelamat datang," kata Yuki sambil tertawa kecil. Raka tersenyum kikuk. "Yuk, aku antar ke halte atau mau ke mana?". "Mau pulang aja sih. Tapi... boleh nggak kita jalan pelan-pelan dulu? Kayaknya adem gitu..."
Mereka menyusuri jalan setapak di belakang kampus, berbagi payung, langkah selaras. Tak banyak kata, tapi diam-diam, hati mereka saling mendekat. Di bawah satu payung, Yuki sesekali melirik ke arah Raka yang terlihat fokus menjaga agar ia tak kehujanan. Dan Raka, untuk pertama kalinya, merasa... nyaman.
*** Debug dan Detak Jantung ***
Malam hari, Raka sedang ngoding saat notifikasi muncul.
Yuki: Rak, bisa bantu cek tugas coding-ku nggak? Error mulu padahal aku udah ngikutin step-nya 😭
Raka: Kirim file-nya aja, aku coba bantu cek.
Beberapa menit kemudian...
Raka: Yuki... kamu kurang titik koma di baris terakhir. Itu bikin semuanya kacau 😅
Yuki: YA AMPUN 😩 kok bisa segitu pentingnya sih titik koma.
Raka: Hehe, kadang hal kecil yang kita lewatkan justru bikin error.
Hening sejenak, lalu Yuki membalas:
Yuki: Iya juga ya... kayak perasaan. Kalau dipendam terus, lama-lama bisa meledak.
Raka terpaku menatap layar. Dan entah dorongan dari mana, dia mengetik:
Raka: Kamu lagi ngomongin coding... atau ngomongin kita?
Tiga titik. Lalu balasan muncul.
Yuki: Kamu jawabnya coding dulu deh 😆 tapi... kalau soal yang satunya, nanti kita bahas waktu ketemu.
Raka tak bisa tidur malam itu.
*** Konser Kecil di Balkon ***
Sabtu sore, mereka janjian nugas bareng di kosan Yuki. Setelah tugas selesai, Yuki mengajak Raka ke balkon. "Aku mau nyanyi satu lagu. Tapi jangan diketawain ya.". Yuki mengambil gitar kecil dan mulai menyanyikan lagu sederhana dengan suara lembut.
Raka hanya bisa menatap.
Lagu itu tentang dua orang yang bertemu karena proyek, lalu jatuh cinta tanpa direncanakan. "Ini lagu yang aku tulis waktu proyek kita belum kelar. Tapi kayaknya sekarang makin cocok ya..." kata Yuki sambil tersenyum kecil.
Raka tertawa kecil. "Berarti kamu udah curiga dari dulu?".
"Yah... kamu itu ngoding sambil mikirin aku nggak sih?"
"Hampir tiap malam," jawab Raka, jujur.
Dan di antara senja dan senar gitar yang bergetar... cinta itu akhirnya menemukan suara.
*** Peluang dan Perasaan ***
Setelah proyek kampus selesai, Raka dan Yuki mulai menjalani hari-hari mereka seperti biasa. Namun kedekatan itu tak lagi sama. Ada kebiasaan baru: sarapan bareng di kantin, saling nitip cemilan, dan berbagi headphone di sudut perpustakaan.
Suatu hari, Raka dipanggil oleh Pak Arif. “Rak, aku dapet tawaran kerja sama dari perusahaan software lokal. Mereka butuh dua mahasiswa buat proyek magang intensif. Aku mau kamu dan Yuki yang ikut. Tertarik?”
Raka terdiam sejenak. Ia melirik Yuki yang sedang sibuk merapikan presentasi di ujung ruangan. Lalu ia mengangguk. “Saya tertarik, Pak. Saya yakin Yuki juga.”
Dan begitulah, mereka kembali satu tim.
*** Detik-Detik Skripsi ***
Tahun terakhir. Skripsi.
Raka tenggelam dalam penelitian machine learning untuk klasifikasi emosi pengguna. Yuki mengambil topik desain UI untuk aplikasi islami ramah difabel. Di balik kesibukan, mereka tetap saling menyemangati. Menemani begadang. Kadang hanya lewat voice note:
Yuki: “Rak, jangan lupa minum ya. Aku bikin kopi di termos buat kamu tadi pagi.”
Raka: “Aku simpen kue di laci kanan meja kamu. Semangat, Yuk.”
*** Lulus dan Lanjut ***
Hari itu, mereka resmi jadi sarjana.
Setelah prosesi wisuda, Yuki memeluk ibunya. Air mata menetes. Sementara Raka berdiri agak jauh, menatap dengan bangga.
Beberapa jam kemudian, saat semua orang sibuk berfoto, Raka mendekati Yuki.
“Yuki,” ucapnya pelan.
Yuki menoleh. “Hm?”
“Aku... belum tahu masa depan kita bakal seperti apa. Tapi kalau kamu setuju, aku pengen masa depanku kamu ada di dalamnya.”
Yuki terdiam. Matanya berembun. “Maksudnya?”
Raka mengeluarkan sebuah kotak kecil dari jasnya.
“Memang belum lamaran resmi. Tapi... ini cincin janji. Boleh aku jadi tempat pulangmu suatu hari nanti?”
Yuki menatap cincin sederhana itu. Lalu menatap Raka. Lalu tersenyum, meski pipinya basah.
“Iya, Rak. Kamu udah jadi tempat aku belajar pulang dari lama.”
Dan di tengah keramaian wisuda dan gemuruh kehidupan yang baru dimulai, dua hati itu mengikat janji.
Bukan akhir. Tapi awal dari segalanya.