Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Cinderella dan Sepatu Kaca Pecah
0
Suka
183
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Beling-beling kaca berkilau tertimpa lampu neon minimarket 24 jam—bukan dari sepatu kaca dongeng, tetapi dari botol bir yang baru saja kubanting ke tembok. Aku Cinderella Pertiwi, dan aku baru saja mengacaukan pernikahanku sendiri.

Ironis memang. Nama seindah itu, tetapi hidupku jauh dari dongeng. Di sinilah aku, duduk di trotoar dengan gaun pengantin kusut, riasan luntur, serta rambut berantakan. Sebelah sepatu hak tinggi putihku patah, sementara pasangannya entah tersangkut di mana ketika aku lari tergesa dari gedung resepsi.

“Mbak, kalau mau mabuk jangan di sini,” tegur satpam minimarket dengan nada setengah mengantuk.

Aku tertawa getir. “Nggak mabuk, Pak. Cuma patah hati.”

“Sama aja bahayanya, Mbak,” ia menggeleng. “Apalagi sendirian tengah malam begini.”

Sendirian. Benar. Aku sendirian. Ponsel mati, dompet tertinggal, dan rasa malu menancap lebih tajam dari pecahan botol bir di aspal. Apa aku bisa kembali setelah membuat semua hadirin pesta melongo dengan aksi dramatisku—membanting kue pengantin lima tingkat di depan para tamu?

Semua berawal dari satu pesan WhatsApp. Lima menit sebelum prosesi.

 

Enam Bulan Sebelumnya

“Benaran mau nikah sama Evan?” tanya Kaia ketika menyeruput es kopi di kafe langganan kami.

“Kenapa nggak?” Bahuku terangkat. “Dia mapan, baik, silsilah keluarga bagus. Sempurna, kan?”

Kaia memiringkan kepala. “Justru itu masalahnya. Terlalu sempurna. Saat SMA dulu kau bilang pengen nikah sama cowok yang bikin kau tertawa sampai sesak napas? Yang betah duduk di warung kaki lima sampai ayam berkokok hanya buat dengerin ceritamu?”

“Itu dulu.” Aku tersenyum kecil, memandang cangkirku. “Aku sudah 28 tahun, Kai. Waktunya realistis.”

“Realistis atau menyerah?” Dia mengetuk-ngetuk meja, seolah mencari ritme. “Masih sering mikirin Creighton?”

Tanganku yang tadi mengaduk kopi langsung berhenti. Creighton. Nama yang seharusnya sudah menjadi fosil. Mantanku yang hidupnya bagaikan awan—selalu berpindah. Terakhir aku dengar, dia sedang memotret suku pedalaman di Papua.

“Nggak,” jawabku akhirnya. “Ngapain juga? Dia sibuk keliling dunia, sementara aku …” Aku tak menyelesaikan kalimat itu.

Kaia mendesah. “Dia masih suka nge-like foto-fotomu di Instagram, lho.”

“Kai, please. Aku udah move on. Dia masa lalu.”

“Tapi kau bahagia?” tanyanya pelan. “Bukan kelihatan bahagia, Ella. Tapi benar-benar bahagia?”

 

Tiga Bulan Sebelum Pernikahan

“Sayang, ini undangan pernikahan kita yang final,” Evan menyerahkan undangan berwarna gold elegant dengan tulisan meliuk-liuk seperti naskah kuno.

Aku memandangi desainnya. Formal. Elegan. Dan entah mengapa, terasa seperti milik orang lain.

“Gimana? Bagus, kan? Papa sudah approve desainnya,” kata Evan bangga.

Ah, ya, tentu saja papanya yang approve. Seperti hampir semua dalam persiapan pernikahan ini: venue, dekorasi, entertainment, semua harus sesuai standar keluarga Evan yang merupakan salah satu keluarga terpandang di kota ini.

“Iya, bagus kok,” jawabku pelan.

“Oh iya, soal fotografernya ... papa sudah booking tim dari Singapore. Jadi—”

“Tapi aku sudah bilang mau pakai jasa Kaia,” potongku.

“Sayang, Kaia itu specialty-nya street photography. Ini, kan, pernikahan formal, butuh yang lebih ... profesional.”

Aku menggigit bibir. Lagi-lagi mengalah. Padahal Kaia sudah berjanji akan membuat dokumentasi pernikahan yang berbeda, lebih personal, yang menangkap momen-momen spontan alih-alih pose formal yang kaku.

 

Satu Bulan Sebelum Pernikahan

“Kau harus diet lebih ketat lagi, Ella,” ujar calon ibu mertuaku sambil mengukur pinggangku. “Gaun ini harus pas sempurna di hari H.”

Aku mengangguk lemah. Sudah tiga minggu aku hanya makan salad dan protein shake. Tubuhku letih, jiwaku apalagi. Namun kata mereka ini normal. Semua demi hari sempurna yang sudah direncanakan sejak setahun lalu.

Malamnya, aku bermimpi. Aku berlari bebas sambil tertawa di padang rumput, mengenakan gaun santai dan sneakers. Di kejauhan, kulihat seseorang memotretku. Creighton. Senyum akrabnya terukir di balik kamera.

Aku terbangun dengan tersengal dan pipi basah air mata.

 

Hari H

“Ella! Ya ampun, akhirnya ketemu!”

Aku menoleh. Suara akrab itu menembus gemuruh di kepalaku. Kaia, sahabatku yang selalu terlihat rapi, berlari kecil dengan sepatu hak yang pasti akan menyesal dia pilih. Dia berdiri di depanku, terengah.

“Kai? Bukannya kau di Sumba?”

“Harusnya. Tapi mana mungkin aku ketinggalan hari besar sahabatku sendiri?”

Dia terdiam sejenak, lalu berujar pelan, “Aku ketemu seseorang di lobi.”

Jantungku berontak. “Siapa?”

“Creighton.”

Aku membeku.

“Dia bilang …” Kaia ragu, lalu melanjutkan, “Dia ada di lobi, Ella. Kalau kau mau tahu, dia masih menunggumu.”

Ponselku bergetar di tangan. Satu pesan dari nomor tak dikenal.

Ella, ini Creighton. Aku tau ini telat banget. Tapi ingat, kan, 5 tahun lalu, waktu kita duduk sampai subuh di warung Pak Wawan? Waktu kita duduk sampai subuh dan aku bilang, kalau suatu hari aku sudah keliling Indonesia dan motret semua keindahannya, aku bakal balik. Balik buat motret satu hal paling indah yang pernah aku temui—dirimu. Well … aku balik. Dan kalau kau masih percaya mimpi kita dulu, aku ada di lobi. Masih pakai jaket jeans butut yang sama, kamera yang sama, dan cinta yang sama.”

Tanganku gemetar. Pesan itu kabur karena air mata.

“Ella?” Kaia mengguncang pundakku. “You okay?”

Aku menggeleng. “No. I'm not okay. I haven't been okay for a long time.”

👟

Dan begitulah bagaimana aku berakhir di sini, di trotoar depan minimarket, dengan gaun pengantin kotor dan sepatu yang pecah. Namun untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa ... bebas.

“Mbak?” si satpam minimarket memanggilku lagi. “Ada yang nyariin, tuh.”

Aku menoleh. Di ujung jalan, sosok akrab dengan jaket jeans butut dan kamera menggantung di leher. Creighton. Di sampingnya, Kaia tersenyum lebar.

Creighton mendekat. “Ketemu juga.” Suaranya rendah, tetapi cukup kuat untuk membuatku ingin menangis lagi. “Susah, tahu, cari pengantin kabur tengah malam begini.”

Aku tertawa di tengah air mata. “Lima tahun, Creighton. Kau telat lima tahun.”

Better late than never?” Dia mengulurkan tangan. “Ayo. Aku tahu warung yang buka 24 jam. Pak Wawan pindah lokasi, tapi masakannya masih juara.”

Aku menatap tangannya, lalu menatap sepatu kacaku yang pecah. Metafora yang terlalu sempurna untuk diabaikan.

“Tunggu.” Aku melepas sepatu itu dan melemparnya ke tempat sampah terdekat. Berdiri telanjang kaki di aspal kasar, aku menyambut uluran tangan Creighton.

Much better.” Dia tersenyum sembari mengeluarkan sepasang sneakers usang dari ransel. “Aku selalu bawa cadangan. Jaga-jaga kalau ketemu pengantin kabur yang butuh sepatu nyaman.”

Kaia bertepuk tangan riang. “Nah, begitu, dong! Akhirnya cerita Cinderella versi yang masuk akal. Who needs glass slippers when you can have sneakers?”

👟

Di warung Pak Wawan yang baru, kami duduk sampai subuh. Aku masih dengan gaun pengantin, kali ini dengan sneakers butut. Creighton menunjukkan foto-foto perjalanannya—suku Dani di Papua, Festival Pasola di Sumba, Saman di Aceh.

“Tapi ini masih foto yang paling favorit.” Dia mengeluarkan selembar foto lama. Fotoku lima tahun lalu, tertawa lepas di bawah hujan.

“Norak, ih,” aku memukul bahunya pelan, tetapi tak bisa menahan senyum.

By the way,” Kaia menyela dengan mulut mengunyah nasi goreng, “besok—eh, maksudnya hari ini, kalian mau ngapain? Pasti bakal rame banget berita: ‘Putri Konglomerat Kabur dari Pernikahan’.”

Aku dan Creighton berpandangan, lalu tersenyum.

Well,” Creighton mengeluarkan dua tiket pesawat dari saku jaket. “Kebetulan, besok aku ada project motret festival di Flores. Butuh asisten fotografer. Tertarik?”

Aku memandang tiket itu, lalu menunduk ke sneakers butut di kakiku. Dulu aku bermimpi tentang sepatu kaca dan istana dongeng. Namun mungkin kebahagiaan sejati justru dimulai ketika sepatu kaca itu pecah.

Count me in,” jawabku mantap. “Tapi aku ganti baju dulu, ya? Gaun pengantin kurang cocok buat motret festival.”

“Nah,” Kaia mengeluarkan ransel besar dari bawah meja. “Aku bawa baju ganti. Seseorang harus jadi ibu peri dalam cerita ini, kan?”

Kami tertawa. Begitulah kisah Cinderella versi masuk akal ini berakhir—bukan dengan sepatu kaca yang pas, tetapi dengan sepatu kaca yang pecah dan digantikan sneakers butut. Bukan dengan pesta dansa di istana, tetapi dengan nasi goreng di warung pinggir jalan. Bukan dengan pangeran sempurna, tetapi dengan fotografer pengelana yang membuat tertawa.

Terkadang, bahagia selamanya dimulai ketika kita berani melepas sepatu kaca yang tak pernah benar-benar pas.

-Selesai-

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Di Penghujung Senja
JOSÉPH AL-IQBAL
Novel
Bronze
Nightmare Tutor
nabilaaebil
Novel
The Moon After The Sun
Kayandra Wang
Novel
Bronze
DUNIAKU DUNIAMU
Ika_muntadzirotul
Novel
Gold
Milea
Mizan Publishing
Novel
Gold
Gloomy Gift
Bentang Pustaka
Cerpen
Cinderella dan Sepatu Kaca Pecah
angel
Novel
Bronze
Love Speedometer
Kyna Nixie
Novel
Bronze
Langit Senja
Primasari Lovexz
Novel
Bronze
I Love My Army Wife 2
Author WN
Novel
Bronze
I Love My Army Wife
Author WN
Novel
Lewati badainya, jangan ganti orangnya
Indy Mega Riany
Novel
Kisah Cinta Yang Rumit
@Fatamorgana16
Novel
Gold
Kalau Baper Makan Dulu
Falcon Publishing
Novel
Save me my love!
axelle rahardika
Rekomendasi
Cerpen
Cinderella dan Sepatu Kaca Pecah
angel
Novel
Sembilan Tiga Perempat
angel
Flash
Buahwacana
angel
Flash
Bronze
LELURI
angel