Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Hey denger-denger anaknya Bu Widya bawa laki masuk rumah loh! Katanya sih calonnya, tapi masa gak nikah-nikah. Padahal dia udah lebih dari satu kali bawa laki itu."
"Masa sih? Kapan dia bawa? Si Alma kan?"
"Iya Jeng, si Alma. Siapa lagi anaknya Bu Widya yang belum nikah kan cuma si Alma. Padahal nih ya, temen satu SD-nya udah pada nikah semua. Cuma tinggal dia aja yang masih betah sendiri. Entah betah entah gak laku. Ya, walaupun berkali-kali dia bawa laki ke rumah, tapi sampe sekarang gak ada tuh yang jadi! Sama yang ini juga belum jadi apa-apa. Pacar? Paling bentaran doang."
Kalimat demi kalimat pedas terus bermunculan saat Alma membawa pulang teman laki-lakinya. Dia yang memang masih sendiri diusia seperempat abad mau tidak mau harus siap mendengar cibiran tetangga. Belum lagi desakan kedua orang tua Alma yang turut serta mendesak Alma agar cepat menikah.
"Al, mau sampai kapan kamu sendiri terus? Kamu gak malu apa jadi bahan gunjingan tetangga? Kuping ibu aja sampe panas dengan omongan mereka! Ibu juga capek harus terus-terusan tutup kuping. Kamu pikir ibu gak mau punya mantu? Ibu pengen Al. Pengen banget!" keluh Ibu saat telinganya tak sengaja mendengar nada sumbang yang diucapkan tetangga dekat rumah.
Jika ada satu kerumunan Ibu-ibu bisa dipastikan ada satu anak tetangga yang sedang menjadi tranding topik pembicaraan mereka.
Masalah yang dibahas bermacam-macam. Mulai dari asmara, karir, gaya hidup sampai siapa orang terdekatnya pun bisa menjadi bahan diskusi yang menyenangkan. Namun, akhir dari semua itu hanyalah sebuah cibiran belaka.
"Bu, aku mohon. Jangan bahas itu lagi. Ibu hampir setiap hari nyuruh aku nikah. Nikah lagi nikah lagi. Emang gak ada yang lain?" sahut Alma jengkel karena setiap hari terus saja ditanya pertanyaan yang sama.
Hampir setiap hari Ibu mengungkap keinginannya memiliki menantu. Tapi, apa daya? Untuk saat ini, Alma belum memiliki niat melangkah ke jalan yang lebih serius.
Bagi Alma, menikah bukan hanya soal dua hati, tapi juga dua keluarga. Belum lagi cibiran yang sebenarnya tidak akan pernah berhenti sebelum salah satunya mati.
Alma hanya tidak ingin menyesali keputusannya. Dia tidak akan mau menikah jika hanya untuk menutupi mulut tetangga.
"Emang gak ada!" sahut Ibu enteng tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Alma.
Sejak lulus dari bangku SMA, Alma tentu memiliki banyak tantangan. Mulai dari lingkungan pekerjaan, pertemanan, asrama sampai sekarang rumah.
Sungguh Alma sangat bosan dan jengkel mendengar kata, "Nikah."
"Udahlah Bu. Nanti dia juga nikah. Kamu ini! Gak bisa sabar. Mulut tetangga doang jadi masalah!" imbuh Ayah membela Alma.
Pembelaan yang bagus, namun tetap tidak bisa membungkam mulut Ibu yang terlanjur pedas.
"CUMA KAMU BILANG! Heh Mas, aku yang nanggung malu. Aku yang terus jadi sasaran mereka. Kamu mah enak, pagi kerja sore pulang. Kuping kamu mana pernah denger cibiran mereka. Kalian emang gak bisa ngerti!" balas Ibu setengah berteriak lantas berlalu pergi dengan wajah yang masam.
Kalimat yang keluar dari mulut Ibu laksana petir di siang bolong. Kilatan cahayanya tampak begitu biru, belum lagi suara menggelegar yang bukan hanya memekakan telinga, tapi juga hati.
Cibiran tetangga belum usai sudah ditambah dengan cibiran keluarga sendiri.
Saat Alma keluar dari rumah, beberapa tetangga sering kali menatap intens padanya. Bukan peduli, tapi mereka penasaran. Akan ke mana Alma setiap kali keluar dari rumah.
Pergaulan Alma sangatlah terbatas. Hanya sekitar lingkungan rumah dan pekerjaan. Wajar jika hingga kini dia masih melajang. Lagipun Alma belum ada niatan untuk menikah.
Karena kesal dan lelah menghadapi sikap kedua orang tuanya, terutama Ibu. Siang ini, Alma memutuskan keluar mencari angin. Semoga saja pikirannya bisa jernih kembali.
Siang terik dengan matahari mulai meninggi. Kulit putih bersih Alma bisa saja terbakar, tapi dia tidak peduli. Otaknya bisa sungsang jika terus berada di rumah bagai neraka.
"Bian, jemput gue dong. Gue suntuk banget di rumah. Gue tunggu ya! Gak terima penolakan!" tulis Alma di salah satu aplikasi chating.
Bian, pria berusia 27 tahun yang kini menjadi teman dekat Alma. Catat baik-baik hanya teman dekat bukan kekasih. Tetapi, tetangga sekitar rumahnya sering menganggap Bian sebagai kekasih Alma. Karena sejauh ini, hanya Bian yang sering berkunjung.
Pria lain yang sempat menjadi kekasih Alma satu dua ada yang datang ke rumah. Sisanya Alma temui di luar rumah.
Dalam hal cinta, Alma termasuk orang yang selektif. Dia tidak ingin tergesa-gesa mengambil keputusan apalagi memaksa mitranya untuk menempuh jalan keseriusan.
"Neng Alma mau ke mana? Kok udah rapih aja nih!"
Nah, kan! Baru saja kaki Alma melangkah keluar dari pintu rumah, satu tetangga yang terkenal dengan mulut embernya datang menghampiri sambil tersenyum manis. Senyum yang terasa janggal dan Alma anggap sebagai senyum penasaran.
"Jailangkung banget hidupnya!" cibir Alma dalam hati.
Alma buru-buru memasang topeng wajahnya. Tersenyum simpul yang tampak indah di mata tetangganya padahal hati kecil Alma dongkol bukan main.
"Main keluar Tan. Bosen di rumah terus," sahut Alma tanpa menunjukkan ekspresi wajah berlebihan.
Setiap kali ada yang bertanya Alma akan ke mana? Maka jawaban yang Alma berikan konsisten sama. Alma tidak ingin manusia lain di luar rumahnya tahu dia akan pergi ke tempat di mana dia bisa menyegarkan kepala. Bisa jadi bahan gosip baru, walaupun beberapa menit lagi kedatangan Bian akan menjadi tranding topik ke sekian di desa Angklong.
"Sama laki yang kemarin datang ke rumah? Duh, dia ganteng banget. Kamu pinter deh kalau milih laki. Udah ganteng, takjir pula. Perfect banget lah!" puji tetangga Alma yang bernama Ibu Romlah.
Ibu Romlah inilah biang gosip satu desa. Mata-mata para anak gadis dan bujang yang masih melajang. Dia si paling sibuk menggali informasi kehidupan orang lain. Terkadang menjelekkan, melebih-lebihkan fakta dan memaksa.
"Alhamdulillah," jawaban singkat Alma menjadi seksi terakhir tanya jawab siang itu.
Tak berselang lama, Bian datang dengan mengendarai mobil mewah berwarna hitam yang dia beli setelah lelah menabung.
Ada rasa lega dalam hati Alma saat melihat mobil berhenti tepat di depan halaman rumahnya. Tapi,
"Cepet-cepet nikah ya Neng. Kasian loh Ibu kamu. Dia kan udah tua, ngebet pengen punya mantu juga. Dia sering loh curhat sama ibu-ibu di sini. Ngeluh anak gadisnya masih lajang. Saran Ibu, coba kamu omongin masalah ini sama dia. Pepet terus, paksa aja! Nanti dia juga luluh," cerocos Bu Romlah setengah berbisik di telinga Alma yang setiap kalimatnya tidak mengenal spasi dan koma.
Anggukan kepala jadi jawabannya. Tanpa menunggu waktu lama, Alma bergegas masuk ke dalam mobil Bian. Bian yang hendak turun pun urung.
"Kenapa sih tuh ibu-ibu ngatur hidup gue banget!" cicit Alma sesaat setelah duduk di samping kursi kemudi.
Mulutnya komat-kamit memperagakan setiap ucapan Bu Romlah. Tubuhnya bergerak-gerak membuat Bian gemas sendiri.
Bian hanya menoleh sekilas ke belakang, tepat di mana tetangga Alma berdiri tegak sambil memperhatikan mobilnya.
Tanpa sempat menjawab, Bian lebih dulu menancap gas. Dia akan menjelaskan semuanya saat di perjalanan nanti. Sekarang Bian harus keluar lebih dulu dari kawasan yang membuat Alma kesal.
Entah kali keberapa Alma mengeluh soal tindakan tetangganya yang terus saja ikut campur dalam urusan pribadinya. Alma selalu bilang jika hidupnya selalu diatur tetangga. Membuat kehidupan yang dijalaninya semakin kacau.
"Gue tahu gue udah gede! Udah cukup umur buat nikah. Tapi, kalau calonnya gak ada---gue mau nikah sama siapa? Tuh orang kayak gak mikir! Sekalinya mikir dan bantu cari calon dapetnya asal-asalan. Duda anak satu lagi! Gila kali tuh orang! Serasa paling bener aja. Padahal anaknya sendiri cerai. Gak sadar diri!" keluh Alma mengeluarkan semua kekesalannya.
Sejauh yang Bian tahu, Alma memang sedang sendiri. Dalam artian dia tidak sedang terikat hubungan asmara dengan siapapun.
Selain itu, desas-desus akan hubungan dirinya dan Alma mulai terdengar disetiap penjuru desa. Sebenarnya Bian juga kesal saat privasi hidupnya diganggu orang lain, tapi mau bagaimana lagi. Kehidupan sosial selalu setiap pribadi agar mau membuka diri.
Suka tidak suka, yang namanya hidup bermasyarakat pasti akan ada gunjingan ataupun cibiran yang melekat. Terlebih jika status percintaan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Di mata masyarakat usia ideal menikah seorang wanita berkisar antara 20 tahun sampai 25 tahun. Dalam perjalanannya tentu harus siap telinga. Mungkin usia paling ideal dan masuk akal bagi masyarakat berpikiran kolot usia menikah seorang wanita itu setelah lulus dari bangku pendidikan formal. Padahal tidak semua wanita siap mengemban tugas seorang istri sekaligus ibu.
Kaum pria kadang lebih parah. Tidak hanya melihat usia, tetapi kesuksesan, wajah, gaya hidup, rumah, tatakrama dan lain sebagainya.
Namun, pria lebih dominan diam. Menutup mulut dan menganggap semua cibiran tetangga hanya sebatas angin lalu.
"Sabar Al. Nanti pas lo nikah mereka juga berhenti. Paling ganti topik ke anak," sahut Bian realistis dengan kenyataan.
Ya begitulah, setelah menikah pembahasan tetangga nyinyir akan beralih pada anak. Seolah kehadiran anak itu beban kedua setelah seorang gadis dan bujangan bertemu di pelaminan.
"Gedek tahu! Hampir tiap hari gue diomelin Ibu. Kepala gue rasanya mau pecah! Apalagi pas gue tahu alasan ibu ngomel itu gara-gara mulut tetangga. Astaga! Pengen banget gue lakban tuh mulut!" geram Alma.
Kedua tangan Alma terkepal kuat sampai buku-buku jari tangannya memutih juga urat-urat di lengannya yang menonjol keluar.
Sebenarnya apa yang kurang dalam diri Alma? Jawabnya banyak. Tapi, rasanya egois jika mengerucutkan masalah asrama.
Pernah suatu hari setelah Alma pulang bekerja, kondisinya sangat lelah, badan meriang membuat kepala pusing berkunang-kunang. Alma ingin segera masuk ke dalam kamar. Tapi, ibu lebih dulu menghadangnya dan mengatakan,
"Tante Romlah punya calon yang bagus buat kamu. Dia seorang pedagang sayuran di pasar. Katanya, dagangan dia selalu laku. Anaknya baik, pinter cari duit, pokoknya cocok buat kamu. Tapi, dia duda ditinggal istrinya setelah satu minggu menikah. Kamu mau ya kenalan sama dia. Soalnya dia lagi cari calon istri, mau ya!" celetuk Ibu semakin memperkeruh suasana hati Alma.
Tubuh Alma yang lemas jatuh tepat di atas sofa. Dia duduk sambil menatap nanar lantai pualam di hadapannya.
"Bu, aku bisa cari calon sendiri. Ibu kenapa gak bisa belajar dari kejadian yang udah-udah sih?" tanya Alma pelan. Alma tidak ingin ucapannya menyakiti hati Ibu, tapi mengapa ucapan Ibu sering kali menyakiti hatinya?
Terlebih lagi saat mendengar nama, "Tante Romlah." Astaga! Wanita itu belum kapok juga. Setelah dia mempertemukan Alma dengan pria brengsek yang menjadikan Alma sebagai tempat pelariannya, lantas kini---dia berusaha mempertemukan kembali Alma dengan pria lain.
Duda, ditinggal istrinya setelah 1 minggu menikah? Alma jelas tidak mau. Dia takut, kapok dan trauma. Apa Ibu tidak bisa mengenali anaknya sendiri?
Sejak kejadian itu, Alma trauma menjalin cinta. Dia merasa semua pria itu sama saja, dia tidak pernah bisa percaya pada siapapun. Alma benar-benar berubah 180 derajat. Alma juga butuh waktu untuk menyembuhkan luka hatinya, tapi tidak ada seorangpun yang mau mengerti itu. Termasuk keluarganya sendiri.
"Jangan paksa aku Bu. Aku juga manusia biasa yang membuat batas. Jika Ibu memaksa aku untuk menikah dengan pria itu, maka Ibu akan patung yang diberi nyawa. Jiwanya kosong, namun dipaksa hidup," ucap Alma lantas berlalu pergi lalu masuk ke dalam kamarnya.
Di dalam kamar, Alma meringkuk di balik selimutnya. Tangisnya pecah dengan dada yang sesak. Alma menyalahkan dirinya, Ibu juga Bu Romlah. 3 hari Alma terjebak dalam rasa sakit, 3 hari setelah Alma memutuskan untuk pergi liburan. Dia butuh udara segar. Bersama Bian, Alma mulai merakit kembali puing-puing perasaan yang sempat hilang.
Bian dengan senang hati memberikan dekapan hangatnya. Namun, Alma selalu berujar, "Gue gak bisa percaya sama siapapun. Mau itu cowok ataupun keluarga. Gue gak mau tersakiti lagi," ucapnya membuat nyali Bian sering kali menciut.
Tetangga, lingkungan terdekat setelah keluarga yang sedikit banyaknya memberikan pengaruh besar bagi kehidupan. Tetangga menjadi tolak ukur manusia itu hidup senantiasa berdampingan. Namun, toxic dari tetangga juga bisa menghancurkan satu hubungan.
"Gue gak mau jadi korban Bu Romlah lagi. Liat Abang gue nikah karena cibiran Bu Romlah aja rasanya sakit banget. Abang gue jelas gak bahagia," cicit Alma mengingat betapa hancur hati kakaknya saat menikah didorong rasa terpaksa.
Satu minggu setelah acara pernikahan Kakak Alma, dia sempat bercerita bahwa dia tidak bahagia di hari pernikahannya. Pukulan itu telak mengenai hati Alma. Sungguh Alma tidak ingin hal itu terjadi padanya.
"Lo tahu sendiri kan gimana Bu Romlah itu. Gimana keluarga dia, anak dia, cucu dia. Dan kenapa dia harus repot-repot ngurusin hidup gue? Gue kan bukan siapa-siapa dia!" imbuh Alma kembali mengungkit kehidupan Bu Romlah.
Anak Bu Romlah ada dua. Semuanya laki-laki dengan grafik perjalanan rumah tangga yang berantakan.
Cucu satu-satunya harus merasakan betapa sulitnya hidup tanpa kasih sayang yang lengkap. Orang tuanya bercerai lantas dia dibesarkan nenek dan kakek.
Di sisi lain, ada anak bungsu Bu Romlah yang pernikahannya juga berakhir berantakan.
Menantunya memilih pulang ke rumah orang tuanya lantas sampai sekarang belum ada kata cerai, tapi baik anak Bu Romlah dan menantunya sudah menjalin hubungan dengan orang lain. Apa itu yang dinamakan keluarga panutan masyarakat? Lantas dari segimana Alma bisa percaya jika calon yang dipilihkan Bu Romlah itu calon yang baik?
"Al, hidup yang lo jalani itu ada di tangan lo sendiri. Bu Romlah, ibu dan orang lain hanya pelengkap yang berusaha melengkapi cerita kehidupan. Karena mau kek gimana pun, lo gak akan bisa hidup sendirian. Jadi wajar kalau mereka terus ikut campur. Walau kadarnya berlebihan. Solusi dari gue sih, lo sabar dulu aja. Nanti juga ada yang datang. Lo tunggu aja," jawab Bian senetral mungkin.
Bian juga berusaha memposisikan dirinya di kubu Alma, tapi dia hanya manusia biasa yang jelas tidak akan pernah bisa merasakan rasa sakit yang tertanam dalam hati Alma.
"Iya, gue tahu itu. Tapi, tetep aja! Cibiran itu ganggu banget. Lo tahu sendiri kan, kalau mental yang kena itu susah banget diobatin!" sahut Alma kekeh mempertahankan argument soal rasa sakit yang dia terima selama ini.
Mulut tetangga itu satu, tapi dari satu mulut bisa menyebar ke seluruh penjuru desa.
"Yaudah. Kalau ceritanya kek gitu, gimana kalau kita nikah aja? Beres, kan? Setelah nikah kita pindah ke kawasan perumahan. Jadi aman. Gak ada tetangga yang kepo. Dunia serasa milik kita berdua," ucap Bian enteng. Tangannya bahkan fokus mengemudi, matanya menatap lurus ke depan, tapi mulutnya bernyali besar.
"Gila lo! Lo pikir nikah bisa kayak goreng tahu bulat apa?" jawab Anna tidak habis pikir dengan jalan pikiran Bian.
Anna keluar untuk mencari solusi bukan menambah rumit keadaan.
"Gue serius Al. Gue langsung to the point karena kita udah kenal lama. Gue kenal keluarga lo, lo juga kenal keluarga gue. Keluarga kita akrab, bisa menerima satu sama lain. Apalagi yang kurang? Kerjaan? Gue kerja, rumah on going, ekonomi lumayan lah. Dibilang ngerangkak enggak, tapi cukup buat biaya hidup kita. Nah, soal cinta itu bisa diatur. Kan cinta bisa diperjuangkan, bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Jadi gak perlu pusing, kan?" jelas Bian tanpa perlu basa-basi apalagi minder dengan latar belakangnya.
Hari ini, tekadnya sudah bulat. Apapun jawaban yang akan diberikan Alma, dia akan menerimanya dan memberikan tenggat waktu pada Alma.
Bian sudah menduganya. Respon yang diberikan Alma jelasp penolakan Tetapi, beberapa bulan setelahnya Alma pasti akan luluh.
"Bercanda lo gak lucu! Lo pikir nikah cuma soal cinta, harta dan tahta? Gak gitu konsepnya Bambang!" geram Alma. Wajah cantiknya tampak mengeras, tonjolan rahang begitu terlihat membuat Bian tersenyum singkat.
"Demi apapun gue gak bercanda Al. Gue serius. Daripada lo terus jomblo terus dicibir tetangga mending nikah sama gue. Apa salahnya sih? Lo juga gak pernah menganggap gue teman. Gue yakin ada cinta di hati lo. Cuma belum muncul aja," balas Bian kekeh mempertahankan prinsipnya.
Kening Alma terlipat, alisnya mengkerut. Dia tidak bisa menjawab apapun kecuali, " Sumpah! Lo gila Ian!" tuntas Alma.
Mobil berhenti tepat di parkiran sebuah danau. Tempat ini seringkali Alma kunjungi saat dirinya dirundung duka. Bersama Bian, Alma akan menghabiskan waktu siang hingga tenggelamkan sang Surya.
Bukannya turun, Bian justru mencekal tangan kir Alma yang hendak membuka pintu mobil.
"Sekarang apa lagi? Lo mau ngajak gue nikah lagi? Gak usah ngaco deh!" berang Alma yang bukan hanya kesal, tapi dia sudah kehilangan kesabaran.
Menahan emosi bagi Bian jelas bukan hal yang mudah. Tapi, saat berada di samping Alma, dia rela mengalah. Baginya segala sesuatu tentang Alma itu penting.
"Gue akan tunggu sampe lo siap. Gue tahu ini dadakan banget. Tapi, gue gak mau lo terus-terusan hancur," ucap Bian lalu melepaskan tangan Alma.
Alma diam, memikirkan maksud kalimat Bian. Pikirannya buntut membuat dia berlalu pergi.
Yang Alma butuhkan saat ini adalah ketenangan. Berusaha mengambil jalan tengah dari permasalahannya.
Bu Romlah! Apa cibirannya akan menjadi boomerang lagi? Entahlah.
Akankah Alma jadi korban cibiran Bu Romlah yang berujung menikah?
Tapi, itu tidak masuk akal dan sangat sulit untuk diterima Alma.
" Cibiran itu pasti menyakitkan. Gue yakin, lo gak bisa terima nikah karena dicibir. Tapi, bisa jadi itu jalan menuju kebahagiaan. Selama ini lo terus menahan diri, kan? Sekarang mungkin saatnya lo bergerak maju. Berusaha menerima dengan lapang dada kalau akhirnya lo juga jadi korban cibiran Bu Romlah yang berakhir di pelaminan," ujar Bian di samping Alma yang sedang berdiri menatap jernihnya air danau seluas 20 meter persegi.
Korban cibiran Bu Romlah memang tidak satu, tapi semua korban cibiran itu gagal dalam pernikahannya. Alma takut jadi korban kemalangan yang sama.
"Jalan hidup lo beda sama yang lain. Mereka yang juga jadi korban Bu Romlah bisa gagal pernikahannya karena mungkin mereka nikah tanpa persiapan. Makanya gue minta lo persiapan diri lo dulu. Kalau udah yakin, udah siap, ya! Ayo. Gue akan terus di sini, di samping lo, gak akan ke mana-mana," sambung Bian.
Matanya menatap ke samping. Tepat Alma menoleh, kedua bola mata mereka bertemu.
Ada cinta di mata Bian. Cinta yang mungkin telah Bian simpan sejak dulu, tapi baru hari ini Bian berani mengutarakannya.
Sedangkan di mata Alma ada keraguan dan ketakutan yang membuat dia semakin bingung bertindak.
Enam jam berlalu sang Surya sempurna tenggelam. Tepat saat suara adzan berkumandang, Alma dan Bian memutusakan untuk pulang.
Berhari-hari tanpa kepastian, tak terasa satu bulan berlalu. Cibiran masih terdengar nyaring di telinga Alma dan keluarganya.
"Loh, kok pacar kamu gak pernah ke sini lagi Al?" tanya Bu Romlah di bulan kedua setelah Bian mengajaknya menikah.
Bian? Sejak kejadian itu, dia jarang mengunjungi Alma. Di balik itu, tentu ada rencana.
"Dia sibuk kerja Tan," jawab Alma sekedarnya.
Setalah mendapatkan jawaban dari narasumbernya, Bu Romlah bergegas menghampiri kerumunan Ibu-ibu yang sejak tadi sudah duduk menunggu.
"Jadi gimana?" tanya Nek Darmi. Orang tua itu sebelas dua belas dengan Bu Romlah. Tepatnya Nek Darmi itu kompor Bu Romlah.
"Kayaknya putus. Keliatan banget si Alma sedih. Dua bulan cowoknya gak dateng. Ya, wajarlah. Selera Alma ketinggian, jadi laki pada minder," jawab Bu Romlah melebih-lebihkan.
Jika dianalogikan, informasi dari Alma itu sekedar bahan mentah. Singkong yang belum dikupas, dicuci, belum diparut masih bingung hendak dibuat apa. Tapi, dimulut Bu Romlah dan tetangga yang lain singkong itu beralih jadi makan yang lezat. Disantap beramai-ramai.
"Dasar wanita gak becus. Sok-sokan pengen jadi ratu dunia!" celetuk Nek Darmi yang ucapannya tak kalah pedas dari cabe rawit.
Alma diam menguping di balik pohon mangga dekat pos kamling.
"Kenapa mulut mereka pedes banget, ya? Gak pernah disekolahin apa?" cerocos Alma pelan.
Lelah mendengar kalimat ibu-ibu tidak jelas, Alma memutuskan untuk mengabari Bian.
"Bi, ketemu yuk! Di danau jam 4 sore. Gue tunggu."
Pesan terkirim, saatnya Alma mengungkapkan kejujuran dalam hatinya.
Dua bulan waktu yang cukup untuk Alma mencari pembenaran dalam hatinya.
Dijauhi Bian membuat Alma sadar walau masih sebagian. Alma berharap semoga jalan ini bisa menjadi solusi dari setiap permasalahannya.
"Mau ke mana kamu? Udah sore juga!" tegur Ibu saat melihat penampilan Alma yang sudah rapih.
"Keluar sebentar. Mau ketemu Bian," sahut Alma tanpa menunjukkan ekspresi yang berlebihan.
Biarlah orang rumah berbuat sesuka hatinya. Alma sudah terbiasa dan terlanjur hampa.
"Kamu gak bisa dibilangin ya! Kalau kamu sama Bian gak PACARAN, buat apa kamu ketemu sama dia? Ada tetangga yang liat bisa jadi bahan gosip lagi. Kamu gak kagok-kagok ya! Giliran ketemu sama calon yang Ibu pilih kamu malah gak mau!" cerocos Ibu seakan sejak awal Alma setuju dengan rencana perjodohan yang sempat mencuat saat bulan pertama Alma dijauhi Bian.
"Terserah Ibu. Aku capek, aku harus pergi!" sahut Alma tidak peduli kekesalan Ibu.
Untuk kali ini Alma tidak bisa tinggal diam dan beralasan. Waktunya bergerak sesuai dengan apa yang sudah Bian bicarakan.
Maka sore itu, Alma bertemu kembali dengan Bian.
Bian sudah menunggu kedatangan Alma sejak sepuluh menit yang lalu. Dia gugup sekaligus senang. Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba.
"Jadi ada apa?" tanya Bian pura-pura tidak peduli.
"Tawaran itu masih berlaku, kan? Lo masih ada di samping gue, kan?" tanya Alma memastikan di hati Bian masih ada namanya.
Alma pasrah, Alma kalah. Rongga dadanya teramat sakit jika terus disalahkan. Keputusan yang Alma ambil bukan keputusan sembarangan tanpa pertimbangan. Ini keputusan yang Alma ambil setelah memastikan tidak ada lagi kejanggalan dalam hidupnya.
Mendekati mantan pacar sudah, menerima pria asing sudah, tapi dalam kepalanya dia hanya memikirkan satu hal, "Bian ke mana? Kenapa dia tiba-tiba menjauh? Kenapa rasanya asing banget?"
"Tentu, selama ini gue nunggu lo. Gak mungkin gue mundur sebelum ada kata luntur. Gue yakin selama ini lo terus mencari pembenaran di hati, iya kan?" jawab Bian.
Yes! Bian berhasil, rencananya mencapai kesuksesan. Dia tidak akan kesepian lagi di rumah besar yang bulan lalu rampung. Dia akan berkerja jauh lebih giat agar keluarganya hidup dengan nyaman.
"Terserah lo mau mikir apa? Lo mau berpikir gue kalah sama cibiran tetangga---silahkan. Tapi, yang pasti gue sekarang yakin perasaan ini lebih dari sekedar perasaan seorang teman. Ya, lo bener. Selama ini perasaan itu emang belum muncul. Gue akui lo emang solusi terbaik. Dan semoga aja pilihan gue gak salah----" kalimat Alma terhenti. Dia lebih dulu menarik napasnya lantas menghembuskannya secara perlahan ke udara lepas.
"Will you marry me?" celetuk Bian menengahi. Bian buru-buru berlutut di hadapan Alma lantas tangan kanannya mengeluarkan kotak kecil dari saku celana.
Cincin berwarna putih dengan permata indah berwana hitam. Detik itu juga Bian menggunakan kesempatan emasnya untuk melamar sang pujaan hati yang selama ini hanya bisa dia pandangi tanpa pernah diketahui.
Alma bukan hanya kaget, dia bahkan bingung hendak menjawab apa. Badannya kaku, bibirnya kelu, matanya terbelalak, tapi jawabannya---
"Ya aku mau."
Akhir dari sebuah cibiran tetangga-tetangga terkadang membawa kebahagiaan, kadang membawa keburukan. Tapi, sejauh yang Alma rasakan, momen ini merupakan momen termanis dalam hidupnya.
Walau berawal dari cibiran yang mengharuskan Alma menjalani hidup sebagai korban cibiran mulut pedas Bu Romlah dan kawan-kawannya, tapi Alma tetap menyambut bahagia hari pernikahannya.
"Karena hidup juga tentang seberapa kuat kamu bertahan di lingkungan sosial yang kadang memaksamu untuk bertindak di luar batas kemampuan. Lingkungan yang penuh dengan berbagai komentar, lingkungan yang sehat saat kecil, tapi sakit saat dewasa, lingkungan yang membesarkan pribadi manusia. Tetapi, semua itu membuat setiap pribadi berdiri kokoh dan terbiasa dengan cibiran yang datang tanpa henti. Dan soal jatuh bangun dalam hidup, biarlah itu terjadi, karena hidup memang soal ujian satu dan ujian lain yang membuat manusia naik kelas dalam segi pikiran dan tindakan."
--Alma dan Bian, pengantin korban cibiran tetangga.--