 
				 
							Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit sore di atas kota tampak berwarna perak keemasan, seolah matahari sedang menolak tenggelam terlalu cepat. Dari balik jendela besar rumah itu, cahaya menembus kaca patri dan jatuh di lantai marmer seperti lukisan yang memudar. Aku berdiri diam beberapa detik, mencoba memahami keheningan yang terasa terlalu sempurna untuk sebuah rumah sebesar ini. Tidak ada suara burung, tidak ada langkah kaki pelayan, bahkan suara jam antik di dinding pun seakan menahan detiknya.
Rumah itu elegan — setiap sudutnya seperti dipahat dengan kesempurnaan yang disengaja. Pilar tinggi menjulang seperti penjaga setia, lukisan potret tua menggantung di sepanjang koridor, dan aroma kayu jati serta bunga melati memenuhi udara. Namun di balik keindahan itu, ada sesuatu yang terasa tidak seimbang. Terlalu bersih. Terlalu diam. Seakan rumah itu berusaha menutupi sesuatu.
Pelayan tua yang menjemputku di depan pintu tadi belum kembali. Ia hanya berkata dengan suara parau,
“Silakan tunggu di ruang tamu. Tuan sedang menerima tamu penting di ruang kerjanya.”
Aku tidak menanyakan siapa tamu penting itu — tapi anehnya, dari awal aku datang, aku belum melihat satu pun mobil lain di halaman.
Aku berjalan perlahan di sepanjang koridor, jari-jariku menyentuh permukaan dinding dingin yang berlapis cat putih gading. Beberapa foto keluarga terpajang dalam bingkai perak. Di setiap foto, wajah sang pejabat — tuan rumah — tersenyum lebar, penuh keyakinan. Tapi selalu ada satu detail yang sama: seseorang di latar belakang foto tampak buram, seperti diselimuti kabut tipis. Bukan hasil cahaya atau kamera buruk, tapi seperti sengaja dihapus.
Mataku berhenti pada satu lukisan besar di ujung koridor. Lukisan itu menggambarkan ruang makan dengan meja panjang yang penuh hidangan, namun kursinya kosong. Hanya kursi di ujung meja — kursi pemimpin — yang tampak diduduki sosok tanpa wajah. Aku merasakan bulu kudukku meremang. Ada sesuatu pada lukisan itu yang terasa… hidup.
Aku berbalik, dan di saat itu, aku mendengar suara langkah kaki. Pelan, ritmis, dari arah tangga di belakangku.
Ketuk. Ketuk. Ketuk.
Suara itu berhenti ketika aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya tangga kayu berlapis karpet merah yang mengarah ke lantai atas — tempat yang tadi diingatkan oleh pelayan tua untuk tidak kudatangi.
Rasa penasaran adalah musuh dari kehati-hatian, tapi juga bahan bakar dari setiap kebenaran yang tersembunyi. Aku tahu aku seharusnya tetap di ruang tamu, menunggu dengan sopan, seolah tamu biasa. Tapi ada sesuatu dalam keheningan rumah itu yang memanggil.
Langkahku naik perlahan. Tangga itu berderit ringan, dan setiap bunyi kayunya terdengar seperti peringatan. Di puncak tangga, lorong panjang membentang, diterangi cahaya lembut dari lampu dinding. Ada beberapa pintu di sana, semuanya tertutup rapat — kecuali satu, di ujung. Sedikit terbuka, menebarkan cahaya redup kekuningan ke lantai.
Aku berjalan mendekat, menahan napas. Dari celah pintu itu, terdengar suara berdesis halus seperti lembaran kertas yang disentuh angin. Aku mendorongnya perlahan.
Ruangan itu… berbeda dari seluruh bagian rumah. Tidak ada kemewahan, tidak ada lukisan atau lampu kristal. Hanya rak-rak tinggi berisi dokumen, map, dan bundelan kertas yang tersusun rapi. Di tengahnya, ada meja besar dari kayu mahoni, dan di atasnya berdiri lampu baca tua. Di sekeliling meja, berserakan surat, foto, dan peta negara yang ditandai dengan tinta merah.
Aku mengenali beberapa simbol itu — lambang kementerian, logo lembaga keuangan, bahkan tanda tangan pejabat tinggi. Semuanya seperti potongan teka-teki yang menunjukkan sesuatu yang tidak seharusnya dilihat.
Lalu aku melihat sesuatu di bawah meja — sebuah kotak logam kecil. Terkunci. Tapi di sampingnya tergeletak gantungan kunci berinisial A.M.
Itu inisial pejabat itu.
Tanganku ragu, tapi naluri mendorongku untuk membuka. Ketika kunci itu berputar, terdengar suara klik halus. Di dalam kotak, ada satu berkas tebal berisi laporan proyek infrastruktur. Semua tampak biasa sampai mataku menemukan satu kalimat yang disorot tinta merah:
> “Anggaran yang dialihkan ke rekening pribadi — disetujui oleh pihak dalam.”
Aku terpaku. Kertas-kertas itu bukan sekadar laporan. Ini adalah bukti. Bukti bahwa pria yang duduk di ruang kerjanya dengan jas mahal dan senyum karismatik… telah mencuri dari rakyat.
Namun sebelum aku sempat menutup kotak itu, terdengar suara dari belakang.
“Sedang mencari sesuatu?”
Suaranya tenang, namun dingin.
Aku menoleh perlahan. Di ambang pintu berdiri sang pejabat, mengenakan jas hitam, matanya redup tapi tajam. Senyumnya tidak lagi ramah seperti di foto.
“Kau tidak seharusnya di sini,” katanya, melangkah maju. Setiap langkahnya bergema dalam ruangan yang tiba-tiba terasa sempit.
Aku menelan ludah, mencoba menahan tatapan. “Pintu ini terbuka, saya pikir—”
“Tidak ada pintu yang terbuka di rumah ini tanpa seizin saya.”
Ia mendekat, dan cahaya lampu membaca menerangi sebagian wajahnya. Ada sesuatu di matanya — bukan kemarahan, tapi semacam kelelahan yang tua, seperti seseorang yang sudah terlalu lama menutupi sesuatu yang berat.
“Kau tahu,” katanya pelan, “kadang, rahasia bukan untuk disembunyikan demi kejahatan. Tapi untuk mencegah kehancuran yang lebih besar.”
Ia mengambil berkas di tanganku, lalu menutup kotak itu perlahan.
“Jika semua orang tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik proyek itu, negara ini mungkin tidak akan bertahan seminggu.”
Aku ingin membantah, tapi tidak ada kata yang keluar. Ada kebenaran aneh dalam suaranya — seperti seseorang yang sadar ia berdosa, tapi yakin dosanya punya alasan.
Ia menatapku lama, lalu berjalan ke arah jendela. “Rumah ini indah, bukan?” katanya.
Aku hanya diam.
“Setiap lukisan, setiap pilar, setiap batu marmer di sini dibayar oleh sesuatu — atau seseorang.”
Ia menatap bayangannya sendiri di kaca. “Kau tahu kenapa aku membiarkanmu masuk?”
Aku menggeleng pelan.
“Karena aku ingin seseorang melihat. Sekali saja. Sebelum rumah ini menelan semuanya.”
Hening. Lalu dari bawah, suara pelayan tua memanggil, “Tuan, mereka sudah datang.”
Pejabat itu menatapku sebentar, matanya seolah memohon sesuatu yang tak sempat diucapkan. Lalu ia berkata lirih,
“Turunlah. Jangan kembali ke ruangan ini. Apa pun yang kau lihat, biarkan menjadi mimpi buruk yang tak pernah kau ceritakan.”
Aku menuruni tangga dengan tubuh gemetar. Dari bawah, kudengar deru mesin mobil mendekat — mungkin para tamu yang disebut tadi. Tapi di dalam diriku, rasa penasaran justru semakin besar. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Siapa “mereka” yang baru datang? Dan mengapa pria itu tampak seperti seseorang yang menunggu akhir dari segalanya?
Ketika aku menoleh sekali lagi ke atas, pintu ruangan itu sudah tertutup rapat. Namun di sela-sela cahaya, aku bisa bersumpah melihat bayangan seseorang lain berdiri di balik kaca jendela lantai atas — bukan sang pejabat, tapi sosok yang lebih tinggi, samar, dan tidak bergerak.
Dan entah kenapa, aku merasa rumah itu sedang mengawasi kepergianku.
Bukan karena takut aku tahu terlalu banyak — tapi karena ia tahu aku akan kembali.