Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Arian! Arian Salimin!"
Terperanjat, tak terduga, tahu-tahu namaku muncul lewat mulutnya. Ah ... cinta pertama.
"Kemari!"
Sekarang? Saat ini? Mengapa tidak? Secepatnya aku akan datang. Datang kepadamu, wahai permata hati. Mendekat, aku mendekat. Tolong sambutlah aku.
"Di mana dasimu?"
Dasi? Maksudmu hati, bukan? Ini hatiku, ambillah. Seluruhnya menjadi milikmu, sekalian dengan ragaku.
"Jawab!"
Jawaban apalagi yang hendak kau dengar? Jawaban dari cinta? Benar, aku jatuh cinta. Jawaban dari sayang? Benar, aku sayang engkau. Jawaban dari suka? Aduhai ... asal kau tahu, sukaku seluas Hindia, setinggi Himalaya, sedalam Palung Mariana. Kurang apa?
"Arian!"
Perempuan itu, dia yang tercantik seantero bumi, ialah seorang pengawas upacara bendera, seorang jawara, suri teladan, ketua kelas, sekaligus cinta pertama dari semua lelaki waras. Namanya Nirmala Sari, luar biasa indah.
Pertama kali aku berjumpa dengannya adalah ketika menanti pengumuman penerimaan murid baru di SMA Negeri 1, sekaligus satu-satunya SMA di kampungku. Sedang SMA yang lain berada di ibukota, 100 kilometer jauhnya. Jika kata Bapak, "Buang-buang uang, buang-buang waktu! Kalau tidak menjadi pintar, percuma!"
Sewaktu itu aku sedang berdiri tegang di depan papan pengumuman, bersimbah keringat sampai ke celana dalam. Sebab aku bodoh. Tolong jangan menyela, ini darurat, kiamat! 100 kilo-"METER", bayangkan! Tidaklah seorang bodoh sepertiku akan dilepas bersekolah sejauh itu. Sedangkan bersekolah yang dekat saja aku dicekal bapakku, apalagi jauh, paling tidak aku dijual.
"Lebih penting kau sudah bisa membaca, sudah bisa berhitung. Apa susah? Bekerjalah saja di warung Ibu Marni. Syarat cuma membaca dan berhitung, lebih-lebih, tanpa ijazah."
"Tidak, Bapak. Aku akan tetap bersekolah! SMA, Bapak, ini SMA. Masa paling indah untuk orang-orang muda sepertiku!" Dikutip dari beberapa novel percintaan remaja yang pernah kubaca.
"Tiada keindahan dihidup jikalau kantong kering. Makan tidak bisa, perut lapar, otak kosong, mata buram, gelap semua yang dilihat, gelap! Gunung sudah macam kue lupis. Sungai sudah macam air sirup. Batu bata akan kau kunyah-kunyahi sebab kau pikir roti lapis. Fa ... fa ... apa itu namanya? Fatimah!"
"Fatimah? Fatamorgana, Bapak."
Seorang ibu guru datang sambil membawa selembar kertas besar, sebesar papan pengumuman itu sendiri, lalu dia tempelkan. Berduyun-duyun semua orang kemudian, menuju ke papan pengumuman, bertabrak-tabrakan, berdesak-desakkan, tidak tentu mau laki-laki atau perempuan, mereka semua satu tujuan. Hendak melihat peringkat kelulusan.
Para calon murid pemuncak kelak akan berada di kelas 10-A. Para calon murid tanggung, yaitu tidak pintar tapi tidak bodoh, kelak akan berada di kelas 10-B. Sedang para bramacorah tidak perlu kuberitahu.
Aku pula ikut berdesak-desakan, ikut bertabrak-tabrakan, dan sering dengan sengaja menabrak perempuan-perempuan, namun aku berbeda tujuan. Tidaklah aku ingin melihat peringkat, sebab sudah pasti buah jambu jatuh dekat dengan pohon jambu pula. Aku hanya ingin memastikan satu hal. Loloskah? Gagalkah?
Terbayang-bayang ucapan Bapak, adalah kesepakatan yang sudah kami bentuk berdua. Janji di antara dua orang pria.
"Silahkan kau mendaftar SMA, tapi!"
"Tapi?"
"Jika tidak lolos, bekerjalah di warung Ibu Marni."
Sepakat.
Kami bersalaman berdua, tidak selayaknya anak dan bapak. Lebih mirip seperti budak dan tuannya.
Adapun soal bekerja di warung Ibu Marni, dan mengapa tidak Ibu Siti, atau Ibu Santi, atau Ibu Dewi, ialah sudah pengetahuan umum, sebab Ibu Marni sendiri seorang janda cantik rupa, seksi, dan berwarung sendiri dibayar kontan. Dan, lantaran Bapak sadar kalau dia seorang duda buruk rupa, miskin, berijazah SD, dan serabutan, jadilah aku yang dikorbankan.
Sehingga, demi menghindari diri dari segala maksud buruk dan tercela itu, dengan cermat, khidmat, dan sangat berhati-hati aku mencari namaku di papan pengumuman.
Amirul Sahid, Azizah Jubaidah, Beni Putra Tegar, Chairil Anuwar, Dian Tampan, sampai kepada yang berabjad Z yaitu Zulkifli Nurrahman, kubacai semua nama-nama itu. Aku tahu mereka semua sebab aku sekaum mereka pula. Pemalas, bodoh, badung, sering ditindas guru, konyol, dan bramacorah sudah tentu. Lagi pun, mereka adalah kawan-kawan SMP-ku.
Namun mengejutkan, tiada nama Arian Salimin, yaitu namaku.
Kutelan air ludah, kuusap air keringat, kuulangi lagi membaca daftar pengumuman, dengan lebih cermat, dengan lebih khidmat, dan dengan lebih sangat berhati-hati, sambil menelan air ludah lagi
Sekelebat wajah Ibu Marni melintas di dalam angan, dia tersenyum dengan bibir bergincu merah semerah-merahnya warna merah. Setiap kubaca satu nama, setiap itu pula terbayangkan suruhan Ibu Marni kepadaku. Menyapu warungnya, mencuci piring-piringnya, membuatkan kopi, membuatkan teh, memasakkan mie goreng untuk orang tua-tua hidung belang yang datang demi menggodai dirinya.
Aku menelan air ludah untuk yang terakhir kali. Namaku memang tiada. Sialan!
Kutatapi semua orang. Selain daripada Jumaidi yang berwajah kecewa, mereka semua senangnya bukan kepalang. Amirul Sahid bertos-tosan dengan Beni Putra Tegar. Chairil Anuwar melompat-lompat macam tupai kesemutan. Dian Tampan menjadi tampan betulan. Zulkifli Nurrahman bersujud syukur sampai bahkan tidak bangun-bangun.
Jumaidi kemudian memelukku.
"Meskipun perpisahan ini amatlah ironis, namun selamat, Kawanku! Aku pun tidak menyangka ini terjadi kepadamu. Selamat, kawan! Selamat! Hebatnya dirimu."
Kuingat lagi. Ah ... Jumaidi Jumanji, peringkat 26 dari 26 calon murid bramacorah. Dia lolos.
"Tidak usahlah kau risau, Jum. Aku akan tetap di kampung ini, hendak lanjut bekerja saja di Warung Ibu Marni."
Suaraku bergetar, air mataku keluar, kubalas pelukannya. Kami sudah tidak lagi sahabat senasib sepenanggungan. Lekas dia akan menemukan sahabat baru.
Sejujurnya aku senang melihat Jumaidi lolos SMA, namun aku iri sekaligus benci kepadanya. Sebab jika merunut ke masa-masa semenjak awal bersekolah sampai kepada masa-masa akhir di SMP, tiada pernah dia di atasku. Umpama aku bodoh, Jumaidi tolol. Umpama aku jelek, Jumaidi buruk. Umpama aku hewan, dia kedapatan najisnya. Jika jumlah murid adalah 26, aku semestinya berada di peringkat 25, dan Jumaidi akan menjadi penyempurna, angka 26 itu sendiri.
Matematika, kimia, fisika, biologi, geografi, sosiologi, sejarah, ekonomi, agama islam, dan hampir di seluruh mata pelajaran nilaiku dan nilai Jumaidi selalu seimbang, yaitu mendekati nol besar. Namun adalah bahasa Indonesia yang menjadi satu-satunya kunci keunggulanku daripada dia. Sayang seribu satu kali sayang, tepat ketika ujian bahasa Indonesia itu pula aku terkena penyakit orang miskin melarat, mencret bertubi-tubi alias diare.
"Selamat⸺" Ucapanku berhenti, kemudian diam sejenak, kemudian melayang satu tinjuku ke wajah Jumaidi. "Apa maksudmu?!"
"Mengapa, Kawan? Apa salahku?"
"Beginikah caramu berkawan, Jum? Tidakkah kau lihat, aku bersedih, Jum! Bersedih!"
"Mengapa pula kau bersedih, Kawan? Tapi itu urusan nanti. Sekarang, mengapa kau meninjuku?"
"Masih berani kau bertanya rupanya, Jum? Aku, Jum, kawanmu ini tidak lolos masuk SMA. Tapi mengapa kau selamati aku, Jum? Mengapa? Apa maksudmu itu sebenarnya, Jum? Begitukah caramu mengolok-olokku, Jum? Tidak ingatkah kau bagaimana perjuangan kita semenjak dahulu, Jum? Berbanting-banting badan kita belajar agar lolos remedial, Jum. Berkongsi makanan agar tidak lapar. Bersuap-suapan, berpeluk-peluk⸺"
Jumaidi kemudian menutup mulutku menggunakan tangan kiri. Selain daripada tidak sopan, dia pula kurang ajar lantaran tangannya bekas mengorek-ngorek lubang dubur. Busuknya tidak tanggung-menanggung.
"Apa yang salah, Kawan?"
"Aih! Masih berani kau bertanya lagi rupanya, Jum?"
Hampir kulayangkan tinju kedua, Jumaidi langsung berkata, "Kawan, kau lolos! Lolos! Kelas atas, para jawara!"
Terperanjat. Lekas kemudian aku menghadap kepada papan pengumuman. Tanpa perlu lagi memandang daftar nama calon murid di kelas bramacorah, lantaran sudah dua kali beruntun kupandangi nama para murid badung itu, langsung saja kutatapi daftar penghuni barisan atas, yaitu nama-nama calon murid di kelas unggulan. Peringkat ke-24 dari 24 calon murid, Arian Salimin, lolos!
Menangis-nangis kemudian, kupeluk Jumaidi sampai hirup napas penghabisan. Hendak pula kucium-ciumi dia, namun dia sigap menutupi mulutku, lagi-lagi dengan tangan kiri. Namun tak apa, pantas kudapatkan bau dubur Jumaidi lantaran aku telah meninjunya tadi. Adalah satu caraku meminta maaf kepadanya.
"Aku lolos, Jum! Lolos! Aku sudah menjadi murid SMA, Jum! SMA! Kita bisa terus bersahabat sampai air menjadi batu, sampai tanah menjadi bunga, sampai daging menjadi tulang, Jum! Tulang!"
Tidak kupikirkan soal alasan mengapa namaku bisa berada di kelas para pemuncak, sedang aku adalah salah seorang bramacorah akut stadium ujung. Heran? Barang tentu. Bukan aku saja bahkan, Jumaidi pun sama, Amirul Sahid pun sama, Azizah Jubaidah pun sama, Beni Putra Tegar pun sama, Chairil Anuwar pun sama, Dian Tampan pun sama, sampai kepada Zulkifli Nurrahman, pun sama. Namun di kala itu, satu-satunya urusanku ialah bahwa aku rupanya bukan buah jambu yang jatuh dari pohon jambu. Aku buah mengkudu. Pahit tapi berkhasiat.
(Terima kasih sudah membaca cerita pendek pertamaku. Maaf tulisan ini belum rampung dan akan berlanjut hari Sabtu, tanggal 24 November 2024)