Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ruangan yang gelap tanpa ada celah untuk sinar menembus. Pengap juga dingin membuat bulu kuduk merinding siapapun yang memasuki ruangan itu.
Sebenarnya ruangan itu adalah kamar milik Ben. Berada di lantai tiga paling atas rumah besar milik orang tuanya yang kaya raya. Ia adalah pemuda dua puluhan tahun, memiliki sikap tertutup dan tidak terduga. Terkadang tempramental dan suka marah, terkadang menjadi baik dan ramah.
Namun dari sikap tidak terduganya itu, semua orang yang mengenal Ben tidak pernah berpikir tentang apa yang bisa ia lakukan persis tiga puluh menit yang lalu. Tepatnya di lantai bawah rumah besar nan mewah hasil jerih payah seorang kepala keluarga yang seorang pebisnis. Ben menyebutnya Ayah, namun jika sedang marah, ia tidak pernah sudi menyebutnya Ayah.
"Dimana tuan muda Ben?" Suara seorang laki-laki tua itu bergetar. Ia tak mampu untuk melihat keadaan sekitar, pandangan matanya bingung, bersedih dan juga takut. Namun ia harus melihat keadaan sekitar. Setidaknya melihat siapa saja yang selamat.
"Dimana Tuan muda Ben?" tanyanya kembali setelah melihat masih ada banyak yang selamat tanpa luka seperti dirinya.
Namun tidak ada satupun yang menjawab dari lima orang yang berdiri kaku tidak jauh darinya itu. Mereka sama-sama syok atas apa yang terjadi didepan mata mereka sendiri.
"Segera hubungi polisi dan cepat kita keluar meminta pertolongan."
***
"Apa yang sudah kamu lakukan Bram?" Suara itu berada dalam kegelapan ruangan. Tak nampak jelas wujudnya, tapi dialah Ben.
"Kita dalam masalah besar," ucapnya lagi bergetar ketakutan.
"Saya sudah membereskan masalah." Suara lain menyahut dengan dingin.
"Masalah apa kata mu!" Bentak Ben. "Kamu sudah membunuh Ayah!"
"Dia bukan ayah saya!"
"Kamu membunuh Om Brama!"
"Saya nggak peduli siapa dia!" Sahut Bram ikut berseru.
Bram adalah sisi lain Ben. Tidak banyak yang tau bahwa Ben mengidap gangguan kejiwaan yang disebut sebagai kepribadian ganda. Ben adalah Bram, Bram adalah Ben. Dua kepribadian yang berdiri sendiri di satu tubuh yang sama.
Jika Ben baik dan ramah. Bram memiliki kepribadian yang berbeda, tempramental, pendendam juga dingin tidak berprikemanusiaan.
"Kamu membunuh ibu," pelan Ben kembali berucap. Bibirnya bergetar dan air mata menetes membasahi sebelah pipinya.
Dalam kegelapan ruangan kamar itu Bram tampak diam. Ia tak bisa berkata apa-apa setelah mendengar fakta tersebut. Ia adalah gambaran negatif dari Ben, penuh dendam dan mudah marah. Penyebab ia muncul akibat rasa sakit yang diterima Ben. Masa kecil yang penuh kekerasan. Tumbuh dalam bayang-bayang ayahnya.
***
"Cepat Ben! Jadi laki-laki jangan lelet! Seperti banci saja kamu!"
Seorang laki-laki dewasa terus menyeret anak usia sepuluh tahun untuk mengikutinya. Mereka akan datang pada acara pembukaan perusahaan baru rekan kerja. Laki-laki dewasa itu adalah ayah Ben. Lalu wanita anggun tampak terburu mengikuti langkah kaki dua orang didepannga.
"Kris, jangan tarik-tarik Ben, dia bisa jalan sendiri."
Namun nasihatnya diabaikan oleh suaminya. Ia tetap menyeret Ben agar menyamai langkahnya.
"Inget Ben, jangan membuat masalah, jika kamu membuat masalah hukuman akan menanti mu!"
Anak sepuluh tahun itu hanya bisa mengangguk. Ia benci diseret untuk mengikuti kegiatan ayahnya. Ia ingin di rumah saja, namun ayah terus mengancam dengan hukuman jika tidak menuruti perkataannya. Selalu seperti itu.
Akhirnya Ben duduk di kursi kosong ditengah-tengah keramaian. Ibu menasihatinya untuk duduk disana dan jangan kemana-mana karena tidak lama ibu akan menyusulnya.
"Kok sendirian?" Tiba-tiba suara terdengar dekat dengan Ben. Ia pun menoleh ke belakang, melihat seorang perempuan dewasa berpenampilan ketat mendekatinya. Ben merasa takut, namun ia hanya berdiam diri ketika wanita itu mengambil duduk di kursi sebelahnya.
"Kamu sama siapa kesini? Kok sendirian?" Wanita itu kembali bertanya.
"Sa-sama ayah, sama Ibu," jawab Ben tergagap takut dengan orang asing disebelahnya.
"Oh, emang kamu umur berapa sih?"
"Sepuluh."
"Namanya siapa?"
"Ben."
Wanita itu tersenyum melihat ketakutan Ben. Ia pun semakin mendekat dan memegang tangan Ben di atas meja. Ia mengusap punggung tangan Ben membuat anak usia sepuluh tahun itu bergidik ketakutan.
"Ben tampan ya?"
Suara wanita itu membuat Ben merinding semakin ketakutan. Ia langsung menarik tangannya dan segera menjauh dari wanita asing itu. Ia terburu-buru melangkah akibat ketakutan. Tidak melihat kesekelilingnya yang sangat ramai. Alhasil ia menabrak seseorang, lalu semakin kacau karena seseorang itu jatuh menghantam hidangan makanan di meja.
PRANG!
Semua langsung menoleh. Ben terdiam kaku di tempatnya berdiri.
"Anak itu yang menabrak saya!"
***
PLAK!
Suara tamparan keras terdengar dibarengi dengan Ben terjatuh membentur meja dibelakangnya. Anak itu langsung menangis akibat rasa sakit di pipinya juga kepalanya. Sedangkan ibu berteriak agar ayah berhenti memberikan hukuman pada Ben.
"Anak kurang ajar! Kamu malah menghancurkan reputasi ku di depan atasan!"
Ayah sangat marah akibat Ben membuat kerusuhan. Ia menahan amarah selama di perjalanan pulang dan langsung melampiaskan setelah sampai di rumah.
"Kris, Ben tidak sengaja."
"Diam kamu! Sebagai ibu terus saja memanjakan dia. Kamu liat sendiri, anak sialan ini buat rusuh dan selalu buat rusuh, tidak bisa diam dan terus buat masalah!"
Ben menangis tersedu. Kepalanya pusing akibat membentur meja. Pipinya juga sakit akibat tamparan. Dan ia sangat takut ketika ayah semakin mendekat padanya.
"Sini kamu! Hukuman tidak makan sepertinya terlalu ringan bagi mu!" Ayah menyeret paksa lengan Ben. Ibu mencoba mencegah namun didorong ayah hingga terjatuh. Sedangkan Ben semakin merintih.
"Lepas." Ben memberontak dengan sisa-sisa tenaganya yang tidak sebanding dengan laki-laki dewasa itu. Semakin Ben memberontak semakin ayah marah.
Ada tongkat baseball yang terletak di lemari yang mereka lewati. Ayah segera mengambilnya dan dengan gelap mata ia memukulkannya pada pinggang Ben kuat.
"AAAAAAAA!" teriak Ben kesakitan. Dua kali dia mendapat pukulan di kedua sisi pinggangnya. Sakit sekali, kepala, pipi dan ditambah pinggang. Ia tak kuat lagi untuk terus membuka mata.
Lalu...
Gelap.
***
"Geledah semua ruangan, jangan ada yang terlewat!" Perintah seorang polisi berpangkat komandan.
Garis polisi membentangi ruangan yang penuh simpah darah serta tiga mayat tergeletak disana. Garis polisi juga dipasang di depan pintu utama dan dijaga oleh beberapa polisi berpistol agar kerumunan orang tidak masuk kedalam.
Sedangkan itu laki-laki tua yang menghubungi polisi serta kelima asisten rumah tangga menjadi saksi untuk dimintai keterangan. Beberapa petugas pun berusaha mengangkat ketiga mayat kedalam ambulans.
"Dimana kamar Ben?" tanya seorang polisi wanita yang sedang mengintrogasi para saksi.
"Di lantai tiga paling atas dan di pojok kanan," jawab laki-laki tua yang ternyata adalah seorang tukang kebun di rumah itu.
Sang komandan yang mendengar penuturan laki-laki tua itu segera memberitahu anak buahnya melalu walkie talkie.
"Di lantai tiga, kamar pojok kanan."
***
BRAK!
Pintu kamar pojok kanan di lantai tiga berhasil di dobrak. Gelap, tiga polisi saling memandang dan mengangguk untuk segera masuk memeriksa ruangan.
"DIAM! JANGAN BERGERAK!" Suara berteriak mengagetkan mereka. Segera salah satu dari mereka menyalakan lampu untuk melihat orang didalamnya.
"Lihatlah Ben, polisi sudah datang untuk menangkap mu." Bram berbicara mencemooh kepada Ben. Namun nyatanya yang dilihat oleh para polisi adalah ia sedang berbicara sendiri dengan ekspresi yang berubah-ubah.
"Kamu yang sudah melakukan semua itu, kamu yang harus tanggung jawab, Bram!"
"Tidak ada yang tau Bram, semua orang tau Ben pemilik tubuh ini."
"Saya akan memberitahu bahwa kamulah pelakunya."
"Kamu akan disebut gila seperti biasanya," Bram semakin mencemooh. "Akuilah bahwa kamu senang melihat dia mati, dan mari kita sama-sama menanggung hukumannya."
"BRENGSEK BRAM! KAMU PELAKUNYA! KAMU YANG AKAN DIHUKUM!"
Tiga polisi itu terdiam bingung ketika melihat Ben atau Bram memukul dirinya sendiri. Kejadian itu terus berlanjut hingga beberapa menit kemudian salah satu polisi tersadar dan segera menghentikan aksi pukul memukul diri sendiri yang dilakukan Ben atau Bram itu. Mereka bingung namun harus melakukan perintah dengan semestinya untuk menangkap sang pelaku.
"Kamu tau Ben kenapa saya hadir didalam tubuh dan pikiran mu?" Bram bertanya setelah sang polisi berhasil memborgol kedua lengan Ben.
"Kamu selalu kebingungan dengan diri mu sendiri juga emosi mu. Kamu ingin melawan apa yang dia lakukan kepada mu, tapi disisi lain kamu merasa lemah. Kamu merasa marah atas apa yang dia lakukan kepada mu, tapi kamu juga merasa tidak bisa melakukan apa-apa."
"Kamu lemah dan terlalu memendam emosi mu, itulah yang membuat saya hadir," lanjut Bram seiring polisi membawa Ben keluar. "Saya hadir untuk menguatkan mu, untuk menanggung semua rasa sakit mu, dan juga untuk melawan siapa saja yang akan menyakiti tubuh ini."
"Dan kamu tau Ben, kenapa saya semakin kuat menguasai?" Tanya Bram sekali lagi.
Polisi bingung dengan pelaku yang berbicara sendiri, namun mereka diam saja dan terus menuntun pelaku tanpa perlawanan itu.
"Kamu semakin bingung dengan hadirnya saya. Kamu selalu menolak kehadiran saya karena kamu tau bahwa saya berbahaya, tapi di lain sisi kamu sangat membutuhkan, itulah yang membuat saya semakin kuat dan kamu semakin lemah."
"Kini musuh mu bukan lagi dia," ucap Bram semakin dingin. "Laki-laki itu sudah mati, sekarang musuh mu adalah saya, diri mu sendiri."
"Lihat Ben, betapa lemahnya kamu sekarang," cemooh Bram. "Hanya bisa menangis menyesali apa yang terjadi dan tidak tau apakah senang melihat dia mati atau malah merasa sedih."
"Biarlah keraguan semakin menggerogoti mu, maka dari itu saya akan semakin kuat untuk menguasai mu."
Tawa menggema berasal dari Bram. Namun yang terlihat oleh ketiga polisi itu, Ben lah yang sedang tertawa. Mereka semakin yakin apabila sang pelaku mengidap gangguan kejiwaan tertentu ketika melihat Ben yang menangis tersedu setelah tertawa-tawa mengerikan.
Mereka membawa pelaku ke lantai dasar rumah mewah itu. Beberapa polisi termasuk komandan sedang berkumpul disana semakin berjaga ketika sang pelaku dibawa semakin mendekat.
Para saksi pun menyaksikan betapa menyedihkannya sang tuan muda. Lemah dan tidak berdaya, berbeda sekali ketika pertikaian terjadi beberapa jam yang lalu.
Ketiga mayat yang tergeletak sudah diangkut menuju rumah sakit untuk dilakukan otopsi. Hanya sisa simpahan darah yang sedang dibersihkan. Dan juga suasana riuh ramai berasal dari halaman depan.
Para wartawan sudah berdatangan untuk meliput peristiwa yang menghebohkan. Yaitu kematian tragis keluarga kaya pebisnis sukses. Mereka hanya menginformasikan apa yang sedang terjadi, belum tau apa penyebab hingga peristiwa itu terjadi.
Ketika para polisi keluar dan membawa anak tunggal dari kedua korban dengan keadaan terborgol, mereka langsung berebut untuk meminta keterangan. Namun polisi berjaga sangat ketat untuk membawa Ben menuju mobil polisi.
Ben akan diintrogasi. Namun dia terlalu larut dengan kesedihan dan penyesalan. Ia melihat Bram berjalan menjauh tanpa menoleh. Dan ia melihat seorang anak laki-laki usia sepuluh tahun menangis tersedu-sedu kesakitan.
***
"Ben?" Panggil seorang wanita mencoba membangunkan Ben yang tertidur. Ia lah ibu, dengan kelembutannya ia mengusap kepala anaknya. "Ben, ayo bangun, kamu ada jadwal kuliah pagi ini."
"Nanti bu," Ben melenguh, menolak untuk bangun.
"Cepatlah bangun, ibu sudah menyiapkan sarapan kesukaan mu," ucap ibu. "Dan dalam sepuluh menit kamu tidak muncul, ibu akan kasih nasi gorengnya ke Pak Joko."
Ancaman ibu manjur membangunkan Ben. Dengan raut kesal akibat masih ingin tidur, Ben berjalan mengambil handuknya.
"Ingat, dalam sepuluh menit--"
"Iya iya! Ibu cerewat banget sih!" Ujar Ben yang membuat ibunya tertawa.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian keluar dari kamar anaknya itu menuju dapur.
Tidak sampai sepuluh menit Ben sudah datang dan langsung mengambil duduk di depan ibunya. Ia berpakaian santai dengan kemeja yang dipadukan kaos juga jins. Wajahnya bersih dan putih, anak muda yang tampan.
"Nah gitu dong, sekarang kan jadi tampan dan bersih," ibu mengangsurkan piring berisi nasi goreng buatannya kehadapan Ben.
Tanpa menunggu lagi, Ben langsung melahapnya. Ia sangat senang masakan ibunya. Sangat enak dan paling enak.
"Sepertinya kamu harus cari istri yang bisa masak," ucap ibu membuka percakapan.
"Tenang saja bu, itu kriteria pertama, harus bisa masak," ujar Ben menjawab.
"Ibu pasti sangat bahagia ketika waktu itu tiba, melihat kamu menikah."
"Iya nanti aku pasti menikah, tapi sekarang aku mau berangkat kuliah," Ben berdiri dari duduknya. Ia telah menyelesaikan makannya. Segera Ben menyalimi punggung tangan ibunya. Kemudian mencium pipi kanan kiri ibunya itu.
"Ben sayang ibu."
***
"Benar Ben, itu adalah ibu yang paling kamu sayangi, paling kamu cintai, itu adalah ibu mu."
Wanita setengah baya berjas putih itu menatap orang dihadapannya. Ben berlinangan air mata dan tangannya bergetar memegang pigura foto seorang wanita bersama dengan dirinya.
"Ben anak yang baik, sayang sama ibu, dan tidak akan bisa melakukan hal buruk melukai ibu."
"Ben anak yang baik," wanita itu menekankan kalimatnya memberi keyakinan terhadap orang dihadapannya.
Ia adalah ahli kejiwaan, yang didatangkan pihak kepolisian untuk berbicara khusus dengan Ben.
"Ben?" Panggil wanita itu penuh kasih sayang. Ia ingin agar Ben menatap dirinya.
"Jika Ben khawatir disebut orang gila, itu tidak akan terjadi lagi, Ben dan Bram berbeda."
Ben seketika mendongakkan kepalanya, ia menatap wanita dihadapannya dengan tatapan sendu. Wajahnya sembab dan terlihat berantakan, berbeda sekali dengan Ben yang tampan.
"Kamu adalah Ben yang baik hati, bukan Bram. Bram berbeda dengan Ben. Ben bukan Bram." wanita itu berkata perlahan dengan setiap kalimat yang ia tekankan. Ia berkata menatap mata Ben dengan kelembutan sekaligus ketegasan untuk meyakinkan tentang ucapannya.
Ketika Ben mulai membuka diri, ia kembali melanjutkan. "Jika Ben bersedia, bisa ceritakan sedikit mengenai Bram, tentang bagaimana perilakunya, sikap dan bagaimana bisa terjadi peristiwa malam itu."
Ben sempat terdiam. Lalu tak lama ia pun menceritakan semuanya.
[TAMAT]