Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Catatan yang Mengusik
Klinik Psikiatri Dr. Rahmat Santosa adalah sebuah oase ketenangan di tengah hiruk pikuk Jakarta. Berlokasi di sebuah bangunan tua yang direnovasi apik di kawasan Menteng, tempat itu memancarkan aura profesionalisme yang hangat. Dinding berwarna krem lembut, aroma terapi yang samar, dan suara gemericik air dari kolam kecil di taman belakang, semuanya dirancang untuk menenangkan jiwa yang bergejolak. Dr. Rahmat, dengan kacamata berbingkai tipis yang selalu bertengger di hidungnya, adalah perwujudan dari ketenangan itu sendiri. Suaranya yang rendah dan menenangkan, tatapan matanya yang penuh empati, serta gestur tubuhnya yang selalu terkontrol, telah menjadi jangkar bagi banyak pasiennya yang terombang-ambing badai mental.
Pagi itu, seperti biasa, Rahmat memulai harinya dengan secangkir kopi hitam pekat dan meninjau berkas-berkas pasien. Dia duduk di meja mahoni miliknya, yang selalu rapi, hanya dihiasi sebuah lampu baca minimalis dan tumpukan jurnal medis terbaru. Udara pagi yang sejuk merasuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa serta aroma melati dari taman dan samar-samar deru lalu lintas yang masih tipis.
Namun, ketenangan itu mendadak terusik ketika tangannya menyentuh sebuah map biru tua yang terasa asing di antara tumpukan berkas yang teratur. Map itu tidak memiliki label nama pasien yang jelas, hanya sebuah nomor seri yang samar tertulis di sudut kanan atas. Dr. Rahmat mengerutkan kening. Sistem pengarsipan kliniknya dikenal sangat rapi, hampir obsesif, dan map tanpa label adalah anomali. Dia mengambil map itu, membalik-baliknya, mencoba mengingat apakah ada pasien baru atau kasus khusus yang luput dari perhatiannya. Tidak ada.
Rasa penasaran mengalahkan keengganannya. Dia membuka map itu. Di dalamnya, bukan rekam medis standar atau hasil tes psikologi, melainkan seikat halaman buku catatan yang usang, dengan tulisan tangan yang rapat dan miring. Di halaman pertama, sebuah nama tertulis dengan tinta hitam pekat: Ardi.
Rahmat mulai membaca.
23 September.
Ada cermin dalam diriku. Ia menunjukkan wajah yang bukan milikku. Sebuah topeng. Aku tidak ingat kapan aku memakainya, atau siapa aku sebelum ini. Mereka bilang aku Ardi. Tapi siapa Ardi? Mengapa aku merasakan sakit ini? Mengapa tanganku selalu ingin melukai?
Napas Rahmat sedikit tertahan. Kata-kata itu begitu mentah, begitu penuh keputusasaan. Dia seorang psikiater. Dia telah membaca ribuan kasus dengan tingkat keparahan yang beragam. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari tulisan ini. Ada getaran yang familiar, resonansi aneh yang mengguncang sesuatu di dalam dirinya.
Dia terus membaca, larut dalam dunia Ardi yang terfragmentasi. Ardi sering melukai diri, memiliki kecenderungan bunuh diri, dan mengalami delusi identitas. Dia sering merasa ada "orang lain" yang tinggal di dalam tubuhnya, sebuah entitas yang mengendalikan pikirannya, atau sebaliknya, ia sendiri yang adalah entitas lain itu. Setiap kata, setiap frasa, terasa seperti pukulan halus yang merasuk ke relung-relung kesadaran Rahmat. Ada deskripsi tentang ketakutan akan cermin, tentang suara-suara yang membisikkan instruksi, tentang rasa sakit fisik yang begitu nyata padahal tidak ada luka.
Yang paling mengusik Rahmat adalah gaya bahasanya. Ada metafora yang rumit, diksi yang puitis namun kelam, dan ritme kalimat yang terasa sangat… dia. Dr. Rahmat adalah seorang penulis di waktu luangnya. Dia suka menulis esai-esai pendek tentang psikologi manusia, ...