Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Apa-apaan sih kok pajak kita dinaikin 20 persen?” omel Rendy
Putra tertawa kencang. “Kacau nih emang negara.”
“Yaelah gausah kaget-kaget amat orang udah biasa gitu mah,” celetuk Revan
“Gua kasian aja sih sama orang yang banting tulang pagi malem, eh duitnya dipake buat ngebayar orang-orang gak jelas,”
Revan dan Putra saling tatap. “Gue juga gak ikhlas lah anjir,” balas Revan
“Kalo orang itu bener mah, ya gue fine-fine aja sih. Apalagi kalo program nya benefit buat orang-orang kayak kita gini kan.”
Mereka mengangguk setuju.
Malam itu, sebuah kabar memenuhi linimasa. Tertangkapnya seorang pejabat atas dugaan korupsi. Berita perselingkuhan artis. Kebijakan kontroversi yang baru saja disahkan. Berita soal peperangan. Semua terjadi dalam sekejap.
Satu berita naik. Berita baru muncul. Belum sampai sehari, sudah ada berita hangat kembali.
Entah ada maksud apa dibaliknya, Rendy yang berprofesi sebagai guru hanya bisa mengelus dadanya yang dipenuhi dengan kekesalan-kekesalan yang tak bisa diungkapkan.
Sebenarnya, menjadi guru bukan pilihan yang sangat diinginkan oleh Rendy. Fresh Graduate yang baru saja mendapatkan gelar sarjana akuntansi membuat dirinya sangat excited untuk menggapai mimpinya sebagai direktur di perusahaan multinasional.
Tapi sayang seribu sayang. Enam bulan melamar. Ditolak. Gagal. Ditambah ratusan email dan bekas sudah dikirimkan. Tetap saja, menjadi seorang sarjana tidak menjamin akan bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah.
Padahal, selama berkuliah, Rendy sangat aktif di himpunan. Sering menjadi ketua panitia. Ikut pertukaran mahasiswa. Tidak akan menjamin dirinya bisa langsung di terima oleh HRD perusahaan.
Akhirnya, tawaran menjadi guru honorer ia terima ketika temannya mengabarkan informasi lowongan pekerjaan menjadi guru akuntansi di salah satu sekolah.
Memang, mengajar bukan sesuatu yang asing bagi Rendy. Ia senang sekali belajar dan membaca buku. Mengikuti kegiatan sosial, memberikan materi soal kepemimpinan saat di bangku perkuliahan, membuat dirinya sudah sangat lihai dengan itu semua. Ia juga sangat senang mendidik seorang anak kecil supaya dapat tumbuh membanggakan.
Tapi, hidup tak seperti di sinetron. Rendy anak pertama dari dua bersaudara. Bapaknya baru saja pensiun dari perusahaan. Sedangkan ibunya hanya di rumah karena sering sakit-sakitan. Alhasil, biaya hidup keluarga banyak ditanggung oleh Rendy. Sebab, jika Rendy tak segera bekerja, uang pensiunan Bapaknya akan segera habis untuk kebutuhan hidup mereka.
Sebulan mengajar cukup membahagiakan bagi seorang lulusan sarjana. Pengalaman baru. Memasuki bulan kedua sudah mulai tau sedikit bagaimana sistem pendidikan yang ada di negaranya. Begitu memasuki bulan ketiga, kebutuhan semakin banyak, tekanan mulai dirasa. Ia baru menyadari bahwa gaji 300 ribu sebulan sangat tidak layak bagi dirinya.
Ia sempat protes ke kepala sekolah soal gaji yang diterima.
Kepala sekolah hanya bisa merespon dengan kalimat,
“Kamu ini masih muda loh. Jangan pikirin gaji dulu. Menjadi guru itu tugas mulia. Kamu mengajar itu dibayar pahala. Kamu juga bisa dapet pengalaman berharga.”
Mendengar itu, respon Rendy hanya diam tak berkutik.
Ada benarnya ucapan kepala sekolah.. Tapi disaat yang bersamaan, ada perasaan tidak menerima atas ucapannya.
Ia berpikir, “Jika gaji guru hanya 300 sebulan, dimana letak kesejahteraan mereka?”
“Bagaimana nasib anak bangsa kedepannya jika pendidik nya aja udah enggak dihargai?”
Rasa kesal itu yang akhirnya membuat Rendy terus merasa lelah dari pekerjaan yang ia jalani. Ingin sekali keluar, tapi bekerja sebagai apa. Sedangkan belum ada satu pun panggilan kerja yang ia terima.
Akhirnya, yang ia bisa lakukan hanya diam dan memendam itu semua.
***
Semburat senja keluar saat burung camar terbang menghiasi langit yang tak lagi biru. Semilir angin memeluk Revan saat dirinya sedang menikmati suasana pantai dengan lagu favorit yang sedang didengarkannya.
Ini kali pertamanya pergi ke pantai setelah seribu bujukan menghujam dirinya. Leka dan Jackson yang kebetulan sedang libur dari atas panggung mengajaknya pergi ke sebuah pantai di daerah utara.
“Yaelah Rev, masih makan nasi aja lu sok sokan banget alergi air laut,” celetuk Leka
Revan membalas, “Gue gak alergi ya sialan. Gue males doang. Ngapain coba ke pantai duduk di pasir sambil berjemur terus ngeliatin air laut doang. Aneh banget,”
“Lu kalo lagi jenuh kemane sih emang?,” tanya Jackson.
“Ya kalo ga dugem maen game doang sih gue,”
“Nah kali kali lu ke pantai napa, lu ngga tau kan gimana sense nya di pantai dengerin lagu sambil bengong. Chill di pantai tuh lebih tenang daripada lu di tempat dugem coy,” balas Jackson.
Revan menatap balik mata Jackson, “Hah yang bener lo.”
Jackson mengangguk setuju. “Tapi gue gak mau kena air lautnya ya. Chill doang kan di pinggir?,” tanya Revan
“Iye terserah lu itu mah,” balas Leka
Akhirnya, Jackson, Leka dan Revan pun berangkat ke pantai tersebut.
Selama di perjalanan, Revan mempertanyakan banyak hal. Mulai dari alasan orang senang pergi ke tempat alam padahal banyak gak enaknya. Kenapa mereka sebegitu ngototnya ngajak Revan ke Pantai. Mengapa negaranya indah akan pariwisata tapi masih belum maju-maju. Sampai ke pertanyaan kenapa banyak orang yang masih suka protes ke pemerintah.
Pertanyaan itu membuat Revan sangat penasaran. Sebab, di keluarganya ia sangat jauh dari kata ketidakenakan. Semuanya penuh kenyamanan. Ia tumbuh dengan rasa aman dan apapun yang ia inginkan selalu terpenuhi.
Bapaknya seorang manajer perusahaan terkenal. Ibunya seorang psikologi ternama. Kakanya juga seorang artis dan beauty influencer. Sedangkan Revan hanya asik bermain game dan menghabiskan uang keluarganya untuk foya-foya.
Singkat cerita, dua hari ia menghabiskan waktu di pantai. Akhirnya Revan menemukan titik kenyamanan tersendiri saat menikmati ombak dengan penuh penghayatan.
“Gile sumpah baru kali ini gue ngerasa tenang banget coy,” ucapnya sambil tertawa.
Leka dan Jackson ikut tertawa kencang. “Kan gua bilang juga apa. Nagih kan lu?” celetuk Jackson.
“Asik besok-besok mah gue yakin autopilot sih doi kesini mulu,” timpal Leka
Revan hanya tertawa, diikuti dengan deru mobil yang sedang melaju kencang.
Sebelum mereka pulang ke rumahnya masing-masing, ada satu pertanyaan yang membuat Leka dan Jackson hanya bisa terdiam tanpa suara.
“Hidup gue tuh sebenarnya nyaman banget sih. Gue gak pernah ngerasa kelaperan kayak kalian. Hidup susah juga ngga. Tapi, gue ngeraa kenyamanan itu gak bisa ngebuat hati gue tenang. Dan yang pengen gue tanyain ke kalian, ketenangan itu adanya dimana sih?”
***
SKILL IS DEAD.
Sebuah slogan band terpampang jelas di dinding kantor. Putra yang baru saja menandatangani LO sebagai desainer membaca itu dengan penuh seksama.
“Lusa kamu udah bisa langsung kerja ya mas, meja kamu ada di depan ruangan ini. Terus siapin baju semi formal aja buat hari pertama,” ucap HRD padanya
“Oh baik, bu,” balas Putra. “Oiya, baju kemeja aja berarti ya yang harus saya bawa,”
“Eh paling sama laptop pribadi mas,” balas HRD itu
Putra mengangguk dan kemudian pamit untuk pulang.
Di sepanjang perjalanan, ada perasaan campur aduk yang sedang ia rasakan. Senang karena dirinya akhirnya bisa bekerja sebagai desainer. Pengalaman pertama yang sangat membanggakan. Ada perasaan takut juga, karena ia takut apa yang ia kerjaan tidaksesuai harapan dari kantornya.
Sebab, ia tak pernah menyangka akan bisa diterima sebagai desainer grafis di sebuah agensi. Padahal ia sama sekali belum pernah terjun di industri itu. Sebagai anak pertanian, ia hanya senang membuat desain dan foto ala ala estetik dengan kamera jadulnya yang ia posting di feed instagram.
Sesekali, ia membuat pamflet untuk acara peringatan hari tani di saung miliknya.
Ketertarikannya pada dunia desain hanya sebatas ia sangat hobi memotret dan membuat tampilan feednya dengan estetik. Selebihnya, ia tidak pernah tau bagaimana seorang desainer profesional membuat project desain dengan menarik. Ia tidak mengerti standar pelaku kreatif dan apapun yang berhubungan dengan itu.
Tapi, suatu ketika, ia melihat ada postingan lowongan pekerjaan sebagai desainer grafis dan dengan keisengan dirinya, sebuah lamaran, cv dan portofolio ia kirim dan alhasil ia langsung diterima tak jauh dari itu.
“ANJIRRRRR GUE JADI DESAINER COYYY,” tulisnya di cuitan X
“Sumpah gak nyangka banget iseng-iseng berhadiah anjir,”
Sebuah komentar dari kerabatnya membalas, “Congrats ya bro!”
“Gila gila selamat put”
“Apaan sih kok tiba-tiba banget jadi desainer. Gokil”
Dalam lamunannya, Putra hanya bisa berdoa dan yakin pada kemampuannya. Ia tidak pernah menyangka akan bisa sampai pada hal yang tak pernah ia bayangkan. Bahkan, Putra masih mempertanyakan semuanya.
“Mengapa ini bisa terjadi?”