Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Cerita yang Belum Disampaikan
1
Suka
7
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di suatu sore yang hangat, aku berbincang-bincang dengan Mama di dapur setelah kami berdua selesai memasak untuk makan malam hari itu. Mungkin karena aku sudah dewasa, Mama akhirnya berani membicarakan tentang apa yang pernah menimpanya di masa lalu—perceraian.

Seperti orang kebanyakan, perceraian terjadi antara mama dan ayah kandungku berefek signifikan terhadap kehidupan kami berdua. Namun, dulu aku hanya mengetahui cerita sebatas ayahku yang tak pernah menafkahi kami berdua barang sepeser pun.

“Yang beliin kamu baju dulu itu Nenek, lho. Nenek suka pergi belanja ke Tanah Abang tiap bulan. Pulang dari sana, pasti dia ada bawain baju baru untuk kamu,” kenang Mama melankolis.

“Terus ada tante kamu yang biasa bawa kamu jalan-jalan dan pergi makan. Dia nggak punya anak perempuan, jadi kamu udah kayak dianggap anaknya sendiri,” sambung Mama.

Tampak Mama sedang berusaha mengangkat kedua kakinya ke atas kursi, itu adalah posisi yang paling nyaman untuknya ketika duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan rumah kami. Meja makan itu terletak di dapur rumah. Mengingat ukuran rumah kami yang bisa dibilang pas-pasan, menggabungkan meja makan dengan dapur berhasil menyelamatkan beberapa ruang untuk barang-barang lain.

“Merekalah yang banyak membantu kita, Nak,” kata Mama, sudut-sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas, raut wajah Mama masih terlihat sendu.

Aku tak tahu harus berkata apa menanggapi cerita Mama. Jujur saja, aku sudah tidak sedih lagi mengenai fakta ayahku yang tidak pernah menafkahi kami. Tentang ayahku yang lepas tangan begitu saja terhadap tanggung jawabnya sebagai suami sekaligus ayah dalam keluarga. Apa mau dikata? Sudah jalannya.

Namun, mendengarkan Mama mencurahkan isi hatinya kepadaku, aku justru sangat menghargainya. Aku merasa hubungan kami sebagai ibu dan anak semakin dekat.

“Bagian yang pahitnya bukan itu, sih. Mama yang nggak nyangkanya ayah kamu ngaku-ngaku ke orang kalo dia ada nafkahin kamu dua ratus ribu sebulan.”

Karena kejadian pengakuan itu sudah lama terjadi sebelum revolusi tahun 1998, uang dua ratus ribu rupiah tentu saja bernilai cukup besar.

“Mama diam aja. Biarinlah. Terserah dia mau ngaku-ngaku. Kenyataannya, tetap nggak ada dia ngasih untuk kamu.”

“Beneran, Ma?”

Mama mengangguk sekali. “Beneran. Mama juga kaget pas dengernya. Nggak cukup apa dia nyakitin kita berdua selama kami masih menikah? Abis bercerai malah ditambah lagi.”

Padahal dulu Mama berjuang mati-matian demi menghidupi kami berdua. Mama harus pergi merantau jauh dari rumah Nenek. Demi bisa kembali ke rumah Nenek, dia harus menghemat semua pengeluaran hidupnya.

Bahkan, di saat kami berdua harus makan malam, Mama akan membeli sebungkus nasi goreng yang lokasinya tidak jauh dari tempat kerjanya. Rasa nasi goreng itu standar. Tapi, hanya nasi goreng itu jugalah yang sanggup ia belikan untukku. Kondisi kami waktu itu persis seperti sebuah adegan yang biasa kita jumpai dalam sinetron menyedihkan tentang ibu tunggal yang terpaksa membesarkan anaknya seorang diri.

“Ibu nggak makan?” tanya anaknya sesudah menerima sepiring nasi goreng dari Mbak Penjual.

“Kamu aja yang makan, Anakku. Ibu masih kenyang.”

Mendengar jawaban sang ibu, anaknya mulai menyendok sesuap nasi goreng. Pada akhirnya, anak itu menghabiskan seluruh nasi goreng sendirian. Tak bersisa satu butir nasi pun. Perut anak itu tak sanggup berbohong bahwa dirinya kelaparan.

“Kecuali kamu menyisakan nasi gorengnya karena kekenyangan, baru di situ Mama bisa makan,” lanjut Mama. “Sekarang, kondisi kita udah jauh lebih baik, kita harus bersyukur kepada Tuhan.”

“Iya, sekarang setiap malam kita mampu makan seporsi nasi goreng di piring masing-masing.”

“Kita harus banyak-banyak bersyukur.”

Mama menatap tepat di manik mataku seraya menyunggingkan senyum lebar. Kali ini, aku sudah tidak menemukan kemurungan lagi yang tadinya tampak jelas menghiasi keriput-keriput di wajahnya.

Tahun ini Mama akan berusia 54 tahun. Hanya berselang dua tahun lagi sebelum dia pensiun dari perusahaan kertas yang selama ini menaungi kehidupan kami. Karena Mama bekerja di perusahaan itu, kami bisa makan enak dan aku dapat menyelesaikan pendidikan sarjanaku.

Dengan uang pensiunnya itu, Mama berencana membeli ladang untuk mewujudkan hobinya. Sedari lama ia ingin memiliki kebunnya sendiri di mana ia bisa menanam macam-macam tanaman buah. Namun, cukup sulit menemukan tanah yang cocok di tempat kami tinggal.

Tempat kami tinggal didominasi perkebunan kelapa sawit. Itu artinya, tanah di sini kurang cocok untuk ditanami tanaman buah yang Mama inginkan seperti anggur dan stroberi.

Kecuali Mama berinisiatif pindah rumah ke provinsi yang tanahnya lebih subur. Biasanya, provinsi dengan tanah yang lebih subur itu dikelilingi pegunungan dan rawan gempa, tapi daerahnya bisa dipastikan lebih dingin dan cocok untuk menanam tumbuhan seperti anggur atau stroberi.

Kalau sampai nanti Mama pensiun ia belum juga menemukan tanah yang cocok, ia masih mempunyai rencana lain, yaitu membuka warung kecil-kecilan di depan rumah kami. Kebetulan rumah kami lokasinya berada dekat dengan SD. Jadi, potensi pasarnya sudah terlebih dulu kami dapatkan.

Kemungkinan, Mama hanya akan melanjutkan kegiatan berkebunnya di depan rumah kami. Aku melihat satu per satu halaman depan rumah kami mulai ditanami sayur kangkung, bayam, cabai, pohon belimbing, dan pohon apel putsa. Awalnya aku juga tidak tahu bahwa Mama menanam pohon apel putsa jika ia tidak memberitahuku namanya.

Apel putsa juga sering disebut dengan nama bidara. Buah yang dihasilkannya mirip apel hijau tapi dalam bentuk yang lebih kecil. Mengenai rasa, menurutku rasanya berbeda dengan apel pada umumnya.

Ada rasa kelat yang melekat tajam setiap kali aku menggigit buah apel putsa yang telah matang. Aku tidak begitu menyukainya. Mungkin orang-orang tertentu bakal menyukainya. Kembali lagi, selera tiap orang berbeda-beda.

“Mama nggak yakin bakal dapet uang pensiun full.”

“Kenapa, Ma?”

“Kamu tau sendiri soal kebijakan baru pemerintah kita.”

“Oh, itu.”

“Yang awalnya Mama bisa dapat pensiun 32 kali gaji, sekarang mungkin cuma dapat 26 atau 24 kali gaji.”

Mama tertawa pahit. Aku menundukkan kepala, ikut merasakan kekecewaan Mama yang begitu besar.

Apalah daya kami sebagai rakyat jelata. Ketika yang membuat kebijakan atau undang-undang itu adalah penguasa dan pengusaha. Undang-undang di negara kita kenyataannya memang bisa dipesan oleh ‘orang-orang berduit’.

Bukan hal aneh atau hal baru lagi mengenai itu di negara kita. Tidak hanya terjadi di negara kita, juga terjadi di semua negara di dunia. Hukum yang bisa dibeli, kesejahteraan rakyat yang dipermainkan, atau kebebasan bersuara yang direnggut. Itulah realitas hidup. Dan, sayangnya tidak ada yang dapat kita lakukan selain berdoa.

Paling tidak, kita harus berusaha menjadi orang baik di saat orang-orang banyak yang berubah menjadi kejam. Kejam yang tidak pandang bulu, demi uang, demi kekuasaan, demi memuaskan hasrat mereka terhadap dunia. Cukup mereka yang melakukannya, kita jangan. Aku ingin terus hidup dengan prinsip menjadi orang baik sepanjang hidupku.

Tak semua orang mampu untuk terus hidup dengan berbuat baik, serta berada di jalan yang lurus dan benar berdasarkan perintah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita hebat jika kita mampu melakukannya secara konsisten. Memiliki integritas tinggi di saat orang-orang tidak melihatnya.

Namun, pada dasarnya, ‘mata’ Tuhan tidak pernah tidur mengawasi tiap gerak-gerik para hamba-Nya. Masih maukah kita berbuat salah? Jawabannya mesti dikembalikan kepada diri masing-masing.

“Yang sabar ya, Ma,” ucapku menunjukkan rasa prihatin.

“Yah, mau bagaimana lagi,” balas Mama pasrah.

Kami mengakhiri pembicaraan petang itu dengan membuat dua cangkir teh hangat. Mama membawa cangkir tehnya ke kamar. Aku lanjut meminum tehku di meja makan dapur rumah kami.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Cerita yang Belum Disampaikan
Amanda Chrysilla
Novel
Memeluk Bapak
Daruz Armedian
Skrip Film
Surat Cinta yang Terbaca
Imajinasiku
Cerpen
Bagus Piranti
cendana
Novel
Candramawa
Glorius Maj
Skrip Film
Belajar Bersama ArRa
Dean Patria Budoyo
Skrip Film
Didi Birthday
Jesslyn Kei
Novel
JENDELA KEDUA
Vina Sri
Flash
Bronze
Pion Kecil
Silvarani
Novel
Bronze
Pintu Tauhid 1&2 (Bundling)
Imajinasiku
Cerpen
Rumah Kedua
Dede Yusuf Iskandar
Cerpen
Bronze
Tahun Berlalu
AndikaP
Cerpen
Pagi di Kafe
E. N. Mahera
Novel
SIGRAH
metanoia
Flash
Nenek
isnaini ekawati
Rekomendasi
Cerpen
Cerita yang Belum Disampaikan
Amanda Chrysilla
Flash
Pertemuan Kita
Amanda Chrysilla
Flash
Satu Hati yang Patah
Amanda Chrysilla
Novel
Forever Just Friends
Amanda Chrysilla
Cerpen
Semuanya Telah Pergi
Amanda Chrysilla
Novel
Cinta Halal Arina
Amanda Chrysilla
Cerpen
Tak Perlu Bilang Orang Tua
Amanda Chrysilla
Cerpen
Senyuman Terakhir Sang Kepala Keluarga
Amanda Chrysilla