Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seminggu yang lalu, gue habis sembuh dari sakit tipes. Seumur-umur gue enggak pernah sakit tipes. Semenjak gue beranak dua, dan, dua-duanya sekarang udah pada sekolah, gue langsung kena double attack, gitu. Kaget dengan rutinitas yang enggak ada kelarnya semenjak menyandang predikat menjadi ibu rumah tangga. Dan, suami gue masih sempat-sempatnya minta tolong gue buat nurunin burung murai dia yang dia gantung di depan teras. Gue udah kayak manula, tertatih-tatih, napas udah kayak lari marathon, mesti ngangkat kandang yang beratnya itu mungkin hampir sama kayak beban hidup gue.
Sekitar tahun 1994 sampai 1995 gue mulai masuk SD. Gue anaknya emang agak beda dari teman-teman dan saudara-saudara gue. Gue punya kulit putih kayak keturunan Tionghoa. Tapi, badan gue kecil, cungkring, kayak layangan. Berat gue sekitar 19 kilo. Bayangin dulu, gue masih kecil, belum sadar dengan tatapan kasihan para guru-guru. Mungkin dikira gue enggak dikasih makan sama Mamak gue. Tapi, emang dirumah lagi kesusahan. Kami jarang makan enak. Lebih banyak makan bubur dicampur daun ubi.
Ada satu guru, namanya Ibu Maryatun. Beliau ini udah anggap gue kayak anak sendiri. Pokoknya love language beliau ke gue ini beda sama ke anak-anak yang lain. Gue pernah tuh sakit di sekolah. Gue muntah. Ya karena emang gue belum sarapan dari rumah. Gue yang udah lemes terus digendong ke kantor guru.
Suatu hari, saat gue pulang dari sekolah. Gue harus ngelewati sebuah perkampungan penduduk yang mayoritas sukunya orang Tator atau orang Toraja dan setiap rumah pasti pelihara anjing. Di depan rumah mereka biasanya menanam pohon coklat. Jalan semen setapak mesti gue lalui, meski kadang-kadang gue ketakutan karena digong-gongin anjing mereka. ‘Enggak pa-pa. Enggak pa-pa. Lewat aja,’kata bapak-bapak tua bekolor pendek nangkring depan rumahnya sambil merokok. Dalam hati gue, ‘Gue tandain lu ya pak. Kalau gue sampe dikejar anjing.’
Setelah melewati perkampungan orang Tator, gue mesti nyeberangin sebuah jembatan shirotol mustaqim. Dulu, jembatan ini cuman sebatang pohon. Bayangin aja, kalau pas hujan. Jembatannya bakalan licin karena banyak lumut. Belum lagi disambut oleh anjing-anjing yang siap mempermalukan gue. Dibawahnya ada sungai yang cukup deras. Kalau-kalau gue kepeleset terus kecemplung, gue bakal langsung larut kayak garem.
Sekarang jembatannya udah kayu. Cukup kokoh untuk dilalui sepeda motor. Setelah itu, gue harus melewati jalan setapak lagi, kanan kirinya ada tanaman kacang yang merambat. Lalu, ada jembatan kayu lagi. Yang kayu-kayunya udah pada reyot. Bisa dibilang bukan jembatan. Tapi, jebakan tak kasat mata karena banyak papannya yang kalau diinjek bakalan jeblos kebawah terus kembali lagi ke posisi semula. Jangan berharap gue kejeblos. Karena gue udah hapal papan mana yang rusak.
Setelah itu, jalan setapak lain mesti gue laluin. Kali ini pemandangannya sedikit horor. Karena enggak ada satupun rumah disini. Hanya ada pohon-pohon tinggi dan rindang. Konon katanya ada sebuah kuburan disini. Kalau udah dibagian ini, gua bakalan pasang kuda-kuda. Lalu lari secepat kilat.
Perjuangan untuk sampai dirumah belum selesai. Gue harus ngelewati lapangan bola dulu. Lapangan bolanya luas banget. Kalau udah hujan deras lapangan bola ini berubah menjadi kolam renang. Tapi, sayangnya gue juga engga bisa berenang. Yang ada gue malah kelelep. Jadi, kalau udah hujan deras, gue pulang lewat jalan alternatif lain yang lebih jauh dan lebih horor.
Sudah enggak sarapan, enggak ada sangu. Ubun-ubun gue mau meledak karena hari itu panas banget. Cacing di perut gue udah saling gelut aja minta makan. Gue berharap dirumah, Mamak masak makanan enak.
‘Mak, masak apa?’ tanyaku ke Mamak yang lagi nonton telenovela Rosalinda.
‘Ada, deh. Sana liat di wajan,’ jawab Mamak.
Gue langsung menyerbu dapur. Aroma masakan sedikit menggelitik hidung. Cepat-cepat gue ambil piring, ambil nasi lalu membuka tutup wajan yang masih nangkring diatas kompor sumbu. Asapnya masih mengepul dan tampak potongan-potongan ayam berbentuk persegi panjang. Rupa-rupanya, Mamak masak ayam kecap. Gue kembali ke dandang yang berisi nasi. Gue ambil beberapa centong nasi. Porsi makan gue tambah karena menu spesial hari ini. Tumben Mamak masak ayam, batinku.
Aku duduk disamping mamak. Menyuap sesendok penuh nasi dan ayam kecap. Betapa hatiku terenyuh dan terharu.
‘Mak, ini apa?’ tanyaku sambil memilah-milah potongan yang aku kira ayam.
‘Apa? Oh, itu terong.’
Almarhum Bapak sebenarnya bekerja di sebuah perusahaan kayu di dekat rumah. Jabatan Bapak lumayan bagus. Bahkan, kami tinggal di komplek perumahan khusus para staff. Tapi, mengharap gaji Bapak yang tidak seberapa, dan harus menghidupi istri dan ketujuh anaknya, mungkin tidak mudah bagi bapak.
Di lain waktu, demi menyambung hidup kami sekeluarga. Gue dan keempat kakak perempuan gue, biasa mencari sayur di gunung belakang rumah. Lahan itu milik seorang bapak yang berasal dari Buton. Orangnya baik. Kami biasa memetik daun singkong sampai sekeresek besar dan hanya disuruh membayar seribu perak! Kadang-kadang bapak itu memberikan kami secara cuma-cuma.
Pernah suatu ketika, gue disuruh oleh kakak-kakak perempuan gue sang penguasa dirumah, pergi membeli garam. Salah gue lahir paling terakhir, gue yang merasa paling teraniaya, enggak bisa menolak permintaan mereka. Di tempat gue, enggak ada yang namanya indoapril atau eramaret, yang ada warung kecil yang berada didua jalur. Tempat pertama harus melewati sebuah pabrik atau lewat jalur yang ada anjingnya, lagi-lagi anjing. Atau, warung yang lebih dekat tapi harus melewati jalan setapak dan di sisi kiri jalan itu, adalah deretan pohon-pohon berdaun rimbun. Gue pilih warung terdekat.
Gue berbelok ke kanan ada disebuah pos penjaga yang enggak pernah dijaga manusia. Dan di kirinya adalah jalan masuk ke hutan tempat kami mencari daung singkong. Hawa-hawanya udah horor. Gue jalan pakai mode kaki seribu. Rasa-rasanya udah jalan secepat kilat tapi kok, enggak sampai-sampai. Gue tambah kecepatan kaki gue. Gue tengok kiri, tengok kanan. Lalu gue tengok ke belakang, pas di arah masuk ke hutan. Gue liat sosok hitam dari atas sampai kepala. Seperti memakai jubah, wujudnya kayak Dementor tapi pegang tongkat.
‘ENGGAK MAU LAGI BELI DISITU!’ tangis gue pecah saat sudah dirumah. Kakak-kakak gue cuman ngetawain gue.
Banyak cerita di rumah gue khususnya saat gue masih kecil. Saat Lebaran, biasanya gue, kakak-kakak gue, anak-anak gue dan anak-anak kakak gue berkumpul dirumah Mamak. Sampai tengah malam, gue sama kakak-kakak biasanya suka mengenang kembali kenangan kecil kita.
Mamak kaget sewaktu gue cerita tentang setan Dementor.
‘Kok, baru cerita sekarang?!’
Lah, gue nangis sesenggukan malah Mamak nangis nonton Rosalinda.