Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Cerita dari Tepi Sejarah
2
Suka
7,186
Dibaca

Lubang galian ini adalah tempat kami bersembunyi, tapi besok pagi, bisa jadi adalah kuburan. Kami akan diurug dengan tanah. Kalau para penjajah itu berbaik hati, mungkin mereka akan membuat gundukan dan menancapkan sebatang kayu. Tapi kalau tidak, kami akan menyatu dengan bumi. Rata. Selain bulan, hanya tonggeret yang tau keberadaan kami.

***

Juli 1944

Informasi rahasia maha penting berhasil kami dapatkan. Kami akan diserang malam hari! Sayangnya tidak ada informasi dari arah mana musuh datang. Markas pusat memutuskan menyebar tim di empat wilayah. Tugas tim ini adalah bersembunyi, memantau, dan berlari sekencang mungkin ke markas pusat untuk memberi tahu pergerakan musuh. Tujuannya agar markas bisa memusatkan pasukan menghadapi musuh yang unggul jumlah dan peralatan perang.

Wilayah Selatan, 23.00

Sarman membuka gedhek (anyaman bambu) yang dilapisi tanah dan dedaunan, lalu melompat ke dalam galian tanah.

Gedebuk!

Sugeng terperanjat dari tidurnya dan bersiap berdiri.

“Ssttt! Aman” ucap Sarman sambil membersihkan bajunya dari tanah.

“Ini patroli terakhir kita. Siap-siap, sebentar lagi masuk tengah malam”

“Nih, cuci muka dulu” Sarman menyodorkan wadah bambu berisi air.

Tak mendapat respon, Sarman mendekatkan senthir (lampu minyak) ke depan wajah Sugeng.

“Heh! Tidur lagi?” bentak Sarman.

“Enggak lah!”

“Lha kenapa diem aja?”

“Aku habis mimpi” gumam Sugeng lemas khas orang bangun tidur.

“Mas, gimana kalau kita nanti tertangkap. Lalu kita disekap, diikat di kursi. Gak dikasih makan berhari-hari. Dipukul, ditendang, disayat, kuping kita diiris, lalu…”

“Shuttt shut suttt…” potong Sarman sambil jari telunjuknya ditempelkan ke bibirnya.

“Gara-gara kebanyakan tidur, jadi ngelantur kamu”

“Cepet cuci muka dulu” perintah Sarman sambil melirik wadah air yang ia sodorkan tadi.

Sugeng mengambil wadah air, lalu membasuh wajahnya.

“Kita gak akan tertangkap. Asal kamu gak banyak ngomong”

Sugeng terdiam sambil memasang wajah kecut.

“Kamu takut?” sergah Sarman.

“Ya siapa yang gak takut, Mas. Kita ini siapa sih? Tentara bukan. Senjata gak ada”

“Emang kalau dikasih senjata kamu bisa makainya?”

“Ya setidaknya buat nakut-nakutin musuh” jawab Sugeng.

Memang, saat kami dikumpulkan di lapangan markas pusat, kami hanya dibekali makanan dan minuman. Peralatan seperti senthir dan pisau bahkan kami bawa sendiri. Panglima Hasan yang sempat memberi pidato mengatakan, keadaan negara sedang krisis di segala bidang, termasuk peralatan perang. Itu sebabnya hanya ada dua teropong yang tersedia untuk misi ini. Yang jelas, tim kami tidak mendapatkannya.

Panglima Hasan – seperti biasa, berpidato dengan berapi-api. Kekejaman penjajah yang ia kisahkan membuat darahku mendidih. Sepertinya itu juga yang dirasakan anggota tim lain. Wajah mereka terpancar amarah, namun juga menyimpan optimisme dengan misi ini. Seperti itulah Panglima Hasan. Ialah jagonya membakar semangat dan memupuk optimisme.

“Kenapa sih kita hidup di masa ini?” ucap Sugeng memecah lamunan Sarman.

“Makdsunya?”

“Ya kenapa dari sekian panjang peradaban manusia. Kenapa kita lahir sekarang? Kenapa tidak lahir di zaman sebelum ada perang? Atau di masa depan, saat perang sudah selesai dan semua orang hidup damai” gerutu Sugeng sambil melempar rumput ke tanah tanda kesal.

“Hemh, kita kan gak tau di masa itu kita terlahir dalam kondisi apa? Siapa tau kehidupan kita lebih buruk”

“Emangnya ada yang lebih buruk dari perang?” tanya Sugeng sambil sedikit melirik ke arah Sarman.

Sarman hendak menjawab, namun ia urungkan. Bibirnya mendadak kaku. Sekelebat terlintas wajah ayahnya yang pulang dengan jidat bolong tertembus peluru.

“Kayaknya enak kali ya kalau kita yang jadi panglima. Gak perlu di garis depan. Kalau menang perang, dielu-elukan. Kalau mati, dibuatkan patung” racau Sugeng sambil memotong-motong rumput yang sedari tadi ia mainkan.

“Tanggung jawab mereka kan besar juga. Apalagi mereka itu otak serangan. Jadi ya gak boleh sampai mati”

“Jadi kalau kita boleh?” tanya Sugeng.

“Nanya terus. Udah, jalankan saja misi kita sebaik mungkin” jawab Sarman ketus karena semakin bingung dengan pertanyaan-pertanyaan menohok remaja tanggung ini.

“Oh ya, ngomong-ngomong gimana Mas Sarman bisa direkrut?”

“Aku sering menang lomba lari di desaku. Sepertinya orang dekat panglima melihatku”

“Kalau kamu?” tanya Sarman yang turut penasaran.

“Hemh, panglima Hasan tak sengaja melihatku”

“Lomba lari juga?”

Sugeng menggeleng.

“Terus?” Sarman semakin penasaran.

“Enggak ikut apa-apa. Waktu itu aku lagi bantu ibu jualan, aku lari membelah pasar karena kebelet berak”

“HAHAHA. Jadi saat kamu lari mau ke kamar mandi, panglima Hasan melihatmu?” tanya Sarman sambil tertawa.

“Iya. Entah kenapa, kalau mules lariku bisa kenceng loh”

“Gak keren banget” ejek Sarman, sambil masih geli dengan jawaban Sugeng.

“Siapa juga mau tanya-tanya soal itu. Kayak kita bakal dicatat sejarah aja”

Sarman kembali terbahak. Diikuti Sugeng yang juga ikut tertawa, membayangkan kalau benar alasan itu dicatat di buku sejarah.

“Shtttt… dah sudah. Nanti kedengaran dari atas” ujar Sarman.

Malam semakin larut. Suara tonggeret semakin nyaring. Sarman mengasah satu-satunya pisau yang mereka punya dengan batu. Sugeng bersandar di dinding tanah sambil memain-mainkan rumput yang ditaruh di ujung bibirnya.

“Mas, menurutmu musuh akan lewat mana? Barat, Timur, Utara, atau wilayah kita, selatan?” tanya Sugeng.

“Entahlah. Tapi kalau dilihat-lihat dari medannya, Barat itu wilayah perbukitan, banyak jurangnya juga. Berat.”

“Kalau Timur, ada Sungai Sanggang. Dengar-dengar, ada operasi penghancuran jembatan Sanggang. Kalau operasi itu berhasil, bisa dipastikan musuh tidak bisa lewat Timur.”

“Tinggal Utara dan wilayah kita, Selatan.”

“Setahuku wilayah Utara dan Selatan sama-sama banyak padang rumput dan hutan. Artinya dua wilayah ini yang paling mungkin dilewati” jelas Sarman sambil melihat-lihat pisau yang ia asah.

Sugeng terdiam, ia menatap tembok tanah. Mulutnya mulai melepas rumput yang sejak tadi ia mainkan.

“Mas, saat perekrutan untuk misi ini, kamu lihat pengumuman di pendopo kabupaten?” tanya Sugeng.

“Tidak. Aku diberi tahu utusan panglima di rumah. Kenapa?”

“Saat aku lihat pengumuman di pendopo pertama kali, aku berpasangan dengan seseorang bernama Setio Hadi”

“Dia anak camat di tempatku. Saat aku melihat pengumuman kedua kalinya. Namanya sudah pindah ke wilayah Barat” terang Sugeng menatap lekat Sarman.

“Maksudmu?”

Sugeng dan Sarman saling tatap.

“Memangnya bisa begitu?” tanya Sarman mulai mengerti apa yang coba disampaikan Sugeng.

“Entahlah. Tapi yang aku tahu seperti itu."

Sarman menghentikan aktivitas mengasah pisaunya, “Kalau memang ada seperti itu. Kenapa dia tidak menghapus namanya saja?”

“Aku tidak tau pastinya, Mas. Tapi inikan strategi markas pusat, setiap kita dipilih langsung Panglima Hasan. Bisa jadi kekuatan bapaknya tidak sampai ke markas pusat untuk mengeluarkan namanya.”

“Tapi sekali lagi. Aku tidak tahu yang sebenarnya.”

Sepertinya kata-kata terakhir Sugeng tidak mampu menyelamatkan suasana hati Sarman. Ekspresi wajah Sarman berubah drastis. Badannya yang semula tegak, langsung melorot. Tatapannya kosong.

Sugeng sedikit merasa menyesal menyampaikan informasi itu pada Sarman. Tapi Sugeng yakin, ia juga tidak kuat untuk menyimpan kenyataan itu.

Sugeng memegang pundak Sarman, “Sudah, gak usah dipikirkan, Mas. Kita berdoa aja. Semoga musuh lewat Utara”

“Orang di Utara juga berdoa seperti itu” ucap Sarman.

Sugeng dan Sarman saling tatap. Perlahan tubuh mereka bergetar, mereka terbahak bersama.

“Sudahlah, lupakan ceritaku tadi, Mas. Oh ya, aku punya ini” Sugeng membuka bungkusan daun jati.

“Wah gatot! Kesukaanku nih”

“Oh ya? Ibuku jualan gatot di pasar. Setelah misi ini, ayo mampir ke lapak ibuku. Aku traktir gatot sepuasmu!” ucap Sugeng berjanji.

“Benar ya?”

“Iya!”

Asik menyantap gatot, tak terasa cahaya bulan mulai mengintip dari lubang gedhek. Sarman membuka sedikit tepian gedhek. Bulan malam ini seperti mata yang melotot, seolah ingin menyaksikan dengan jelas apa yang akan terjadi.

“Sepertinya sudah masuk tengah malam” ujar Sarman mendadak serius.

Memasuki waktu perkiraan musuh akan bergerak, entah kenapa udara mendadak gerah. Keringat kami mengucur deras. Sarman berkali-kali menelan ludah. Sarman memegang kaki lalu mengelus-elusnya, seperti senjata yang siap digunakan.

“Geng, kamu tahu kan kenapa setiap tim dibuat dua orang?” tanya Sarman mengganggu konsentrasi Sugeng.

“Iya” jawab Sugeng singkat.

“Kalau aku yang tertangkap, berjanjilah terus berlari ya”

“Ternyata masih kuat ya nasionalismemu, Mas”

“Hahaha. Aku sudah tidak begitu peduli dengan negara ini, Geng. Tapi yang jelas, di negara ini ada ibu, adek-adekku, dan ada gatot yang enak” seloroh Sarman sambil tersenyum tipis.

Sugeng tertunduk lalu tertawa pelan.

“Dan kalau aku yang tertangkap. Berjanjilah kuburkan aku di lubang ini ya” timpal Sugeng mengangkat wajahnya sambil menatap Sarman serius.

“Gak apa-apa deh gak dicatat sejarah. Setidaknya ibu dan bapakku tau di mana harus menabur bunga” sambung Sugeng.

“Kalau aku gak tau keberadaanmu?”

“Hemh. Sudahlah, pokoknya yakini saja gundukan tanah ini kuburanku. Biar ibu bapakku gak sedih, Mas” jawab Sugeng sekenanya.

Kami berdua tertawa. Tapi kami sama-sama menyadari. Tawa kami tidak lepas, tidak bebas. Sepertinya kami saling mengasihani satu sama lain.

Kami berdua kembali dalam diam. Kami sama-sama menatap bolongan tempat cahaya bulan masuk. Waktu terasa lama, semakin ditunggu rasanya semakin lama. Udara yang semula panas, perlahan menjadi sejuk.

Mata sugeng tampak layu. Perlahan terpejam.

***

“Geng!”

Sugeng terperanjat. Sugeng siap berhambur keluar, lalu berlari secepat mangkin. Tapi Sarman mencengkram pundak Sugeng, lalu mendudukkanku kembali.

“Dari arah mana?” tanya Sugeng melotot.

Sarman menggeleng, “Mata hari sudah terbit” ucap Sarman lirih diikuti wajah sumringah.

Sugeng berdiri dan menghempas gedhek. Mereka berdua melompat keluar lubang galian yang pengap itu.

***

Mata kami langsung dihujam cahaya matahari. Menyilaukan. Tapi kulit kami langsung dibelai lembut angin sepoi-sepoi.

Dengkul Sugeng langsung lemas. Ia jatuh terbaring di tanah diikuti Sarman.

Untuk beberapa menit Sugeng dan Sarman berbaring. Sambil terpejam, mereka berlomba menghirup udara segar yang tak mereka dapatkan sejak kemarin.

“Setelah ini, apa yang mau kamu lakukan?” tanya Sarman.

“Aku mau makan, makan sepuasnya. Sampai mulut dan perutku menyerah”

“Kalau kamu, Mas?” tanya Sugeng.

“Aku ingin menantangmu lomba lari”

Sugeng langsung berdiri.

“Ayo!”

“Eh tapi aku belum makan” Sugeng memegang perutnya.

“Yah, jangan alasan. Aku juga belum makan. Berani gak?” tantang Sarman.

“Cepat berdiri! Kita tuntaskan”

Sarman berdiri lalu membersihkan bajunya.

“Ini tanggal 10 Juli. Yang kalah, traktir yang menang setiap tanggal 10 Juli ya!”

“Sepakat” ucap Sugeng, sambil menyodorkan tangan. Mereka pun bersalaman.

Sugeng dan Sarman dalam posisi bersiap.

“Satu… dua… tigaaa!” ucap Sarman dan Sugeng bersamaan.

Mereka pun berlari sekuat tenaga.

Dengan tersenyum, dengan tertawa, dengan menangis.

 ***

10 Juli 1945

Penyerangan musuh besar-besaran seperti yang dikabarkan tidak pernah terjadi.

Panglima Hasan tewas dalam sebuah insiden penembakan oleh seorang penyusup. Peluru menghujam kepala bagian kirinya hingga menembus sisi sebaliknya.

 

Sugeng dan Sarman menikmati sate kere.

Sarman yang membayar.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bukan Salah Ibu
Hardy Zhu
Skrip Film
Telepon Yang Tak Pernah Berdering
Daffa Amrullah
Cerpen
Cerita dari Tepi Sejarah
Ridho Nugroho
Novel
Resilience
Daydreamer
Novel
Bronze
Intact Yet Broken
Fann Ardian
Novel
Darah Muda
imajihari
Novel
Bronze
MENCARI TENANG
Aldi A.
Novel
Tabu di Tanah Tuba
Ariyanto
Novel
TETANGGA RAYA
Alfiatun Umi Latifah
Skrip Film
Burung dan Awan
Eko Hartono
Flash
Bronze
Pulang dari Perang
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Kala Sains Sebatas Pratikum Politik
Silvarani
Novel
HELP
Selena Aresya
Novel
Slices of Thought
Ekkrisline
Novel
Bertahan atau Pergi?
trinihutapeaa
Rekomendasi
Cerpen
Cerita dari Tepi Sejarah
Ridho Nugroho
Cerpen
Giliran Siapa Merawat Ibu?
Ridho Nugroho