Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Semester 6 di bangku perkuliahan merupakan semester yang sangat sibuk mulai dari tugas yang banyak hingga kepanitiaan. Oleh karena itu berharap akhir pekan dapat bersantai adalah sesuatu hal yang mustahil.
Pagi hari di Hari Sabtu muncul satu notifikasi di layar telepon genggamku.
“Ayunita, kamu gak ke sini?”
Aku yang masih membaringkan tubuhku di tempat tidur sontak terkejut dengan isi pesan tersebut.
“Ke mana?” aku bertanya seperti tanpa dosa.
“Bikin poster! sudah kuduga kamu pasti lupa.” jawabnya.
Tak kubalas lagi pesannya, aku langsung mandi dan berganti pakaian. Aku lupa. Banget. Kalau hari ini ada agenda kerja kelompok untuk membuat poster.
Setelah bersiap aku langsung memesan ojek online untuk pergi ke sebuah kafe yang cukup terkenal di Kota Semarang.
Sebelumnya kenalin namaku Ayunita Sekar Widya. Teman-teman di kampusku biasa memanggilku dengan Ayunita. Seorang mahasiswi rantau yang sampai sekarang masih kesulitan untuk membaca arah jalan. Saat orang lain minta tolong untuk membaca petunjuk arah aku selalu panik. Ya, mau bagaimana lagi karena selalu tersesat.
Mungkin kalian penasaran siapa yang mengirimiku pesan untuk datang kerja kelompok. Akan aku perkenalkan seseorang yang sedikit menyebalkan, namanya Erlangga Abinawa, panggil saja Angga. Dia teman satu jurusanku, kami kuliah di rumpun sains, di universitas negeri ternama, namun kami baru akrab akhir-akhir ini. Hal tersebut dikarenakan selama 4 semester kami hanya menatap layar dari kota tempat tinggal kami masing-masing.
Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh negara di dunia mengharuskan seluruh kegiatan dilakukan work from home, salah satunya adalah proses belajar-mengajar. Oleh karena itu, aku dan teman angkatanku butuh waktu untuk beradaptasi kembali terhadap kebijakan new normal ini.
Kembali ke ceritaku, setelah sampai di kafe aku langsung menghampiri Angga.
“Putri tidur bagaimana kabarnya?” pertanyaan yang aku tahu Angga ajukan karena memang niat untuk mengejekku.
“Kamu bisa lihat sendiri kalau kondisiku baik-baik saja,” aku menjawabnya dengan lugas.
“Kan aku cuma tanya, tuan putri jangan marah dong,”
“Bisa diam gak!” kesabaranku sudah mulai habis menghadapinya.
Aku malas sebenarnya kalau harus meributkan hal-hal yang tidak penting terutama dengan Angga, karena karakter kami yang keras kepala sehingga kami tidak ada yang mau mengalah.
Selain aku dan Angga, terdapat dua orang lagi yang bernama Yusuf Cakrabuana dan Raden Prameswari. Karena semua anggota kelompok sudah datang, kami langsung membagi tugas membuat poster.
Angga dan Yusuf bertugas untuk mencari materi dan menandai bagian yang penting, sedangkan aku dan Raden yang melakukan proses editing.
“Ini materinya sudah selesai kami kerjakan,” kata Yusuf dengan ekspresi wajah yang senang karena bagiannya sudah selesai.
“Oke Yusuf terima kasih.” jawab Raden.
Tidak sampai dua jam tugas kelompok kami selesai, kami pun berbincang mengenai hal apa saja yang dilakukan selama di rumah masing-masing.
“Apa yang kalian lakukan selama kuliah daring teman-teman?” aku bertanya kepada ketiga temanku.
“Aku menonton drama korea, membaca komik, repeat.” jawab Raden.
“Main valorant, genshin impact.” Yusuf juga menjawab pertanyaanku.
“Kamu mau tahu ya apa saja kegiatanku?” tanya seseorang yang menyebalkan, siapa lagi kalau bukan Angga.
“Kalau gak mau kasih tau juga bukan masalah, karena aku gak penasaran,” aku jawab dengan nada sedikit emosi.
“Bercanda Kak,” jawabnya dengan tertawa. “Kalau aku main catur sama adikku, nonton film, tidur, makan.” kata Angga dengan jawaban yang sesungguhnya.
“Kalau kamu melakukan apa?” tanya Raden padaku.
“Aku mencoba belajar merajut, melukis, dan berjualan online.” aku menjawab pertanyaan Raden.
“Wah asyik banget.” Raden melihatku dengan tatapan kagum.
“Gaya banget ini orang.” Angga ikut menyahut.
Aku malas menanggapinya, tidak tahu mengapa dia seperti menyimpan dendam padaku.
“Kita sudah selesai kan? Aku ada keperluan lain yang harus diurus,” tanya Yusuf kepada kami yang sepeertinya ia memiliki urusan mendesak.
“Iya,” kata Angga.
“Siapa yang mau cetak posternya?” tanyaku karena sebelumnya tidak ada bahasan mengenai tugas mencetak posternya.
“Kamu dong, karena yang terakhir sampai di kafe ini kan kamu,” kata Angga yang masih tidak terima kalau aku sedikit terlambat untuk datang ke kafe ini.
“Sini aku saja yang cetak,” Yusuf menawarkan diri.
“Serius? aku bertanya padanya.
“Iya serius,” Yusuf menjawabnya dengan santai dan tanpa merasa terbebani.
“Terima kasih Yusuf,” aku dan Raden berbicara secara bersamaan.
“Thank you bro,” kata Angga.
“Sama-sama.” kata Yusuf yang kemudian merapikan barang bawaannya.
Kami meninggalkan kafe dan melanjutkan aktivitas masing-masing. Aku kembali ke indekos dan menulis cerita. Menulis merupakan hal yang aku lakukan ketika aku memiliki waktu luang. Karena dengan menulis dapat mengeluarkan semua emosi tanpa perlu diketahui oleh orang banyak.
Setelah menulis aku membersihkan diri dan membeli lauk untuk makan malam.
Aku melihat layar telepon genggamku sekilas dan terdapat pesan dari seseorang yang kukenal yaitu Satya Dhani Adhiwangsa, Ia bukan teman satu jurusanku, kami kenal karena ikut kepanitiaan dalam bidang olahraga di tingkat universitas.
“Halo Ayunita, apa kabar?” tanya Satya.
“Baik, kamu sendiri bagaimana?” aku menjawab pertanyaannya dan bertanya balik mengenai kondisinya.
“Aku juga baik, besok pagi ada agenda enggak?”
“Enggak. Ada apa Satya?” aku sedikit penasaran sehingga bertanya kembali.
“Temenin aku joging mau?”
“Boleh,”
“Pukul 06:00 pagi aku jemput kamu ya,”
“Oke.”
Aku menerima ajakannya karena aku bosan di indekos dan butuh teman untuk bercerita. Selain itu, karena aku tidak memiliki kegiatan pada Hari Minggu.
Aku memilih untuk tidur lebih awal supaya tidak kesiangan. Bisa-bisa Satya mengamuk kalau tahu aku ketiduran.
Sekitar tujuh jam aku tidur, segera aku berganti pakaian dan bersiap, tak lupa juga aku memeriksa telepon genggamku barangkali Satya sudah mengirimiku pesan. Dan benar saja apa dugaanku.
“Sudah bangun belum?” pesan masuk yang terlihat dari notifikasi.
“Sudah,”
“Sudah siap?”
“Sudah,”
“Aku jemput sekarang ya,”
“Oke, hati-hati.”
Aku menunggunya di gerbang indekosku. Setelah sampai di gerbang Satya melepas helm dan menyapaku.
“Halooo,” dengan nada yang bersemangat dan panjang pada akhirannya.
“Halo juga,” aku membalas. “Bagaimana kabar kamu?” aku bertanya pada Satya
“Masih baik tentunya, kamu juga kan?”
“Iya,”
“Kita mau joging ke mana?” aku bertanya pada Satya.
“Di lapangan belakang apartemen dekat sini saja mau gak?” ia balik bertanya.
Aku belum memberikan jawaban.
Sekitar 3 menit aku juga masih belum memberi jawaban, Satya langsung berbicara kembali karena tahu aku kebingungan.
“Enggak terlalu ramai di sana, aku tahu kamu tidak suka keramaian,”
“Baiklah ayo!” aku juga tak kalah bersemangat.
Sekitar delapan menit waktu yang ditempuh dari tempat indekosku ke lapangan belakang apartemen akhirnya kami pun sampai.
“Udaranya menyegarkan,” aku berbicara terlebih dahulu setelah turun dari motor Satya dan menunggu ia memarkir motornya. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Mau joging berapa putaran?” kata Satya yang sedang melakukan pemanasan.
“Sepertinya 7 putaran dulu,” aku menjawab dengan yakin.
“Serius?” tanya Satya yang terlihat tidak percaya dengan ucapanku.
“Serius dong, jangan suka meremehkan orang ya,” aku mengomel padanya.
“Habisnya aku kira kamu cuma suka di indekos saja sih,”
“Enak saja,”
“Kalau begitu kita lomba saja ya, yang kalah nanti mentraktir sarapan,” ia mengajukan kesepakatan.
“Siapa takut.” segera aku menyetujuinnya.
Pada putaran kelima Satya berhenti di tengah jalan.
“Ada apa?” Aku bertanya karena khawatir.
“Aku hanya beristirahat sebentar,” Satya menjawab dengan suara pelan.
“Sudah menyerah saja, sepertinya kamu memang tidak biasa olahraga,” aku berbicara dengan meledeknya.
“Aku mau membiarkan kamu yang menang,”
“Banyak alasan,”
“Ayo mulai lagi.” ajak Satya.
Kami pun melanjutkan joging 2 putaran lagi. Tentu saja hasilnya sudah bisa ditebak siapa yang menang.
“Sudah kubilang jangan meremehkan orang lain,”
“Iya deh,” ia menyahutiku.
“Kamu mau sarapan apa?” tanya Satya karena ia kalah.
“Telur orak arik mayo,” aku menjawab makanan favoritku.
“Berangkattt!”
Satya merupakan pribadi yang baik sekaligus hangat, tak heran apabila ia dikagumi oleh banyak orang, namun terkadang maksud baiknya sering memberikan penafsiran yang salah.
Banyak perempuan yang jatuh hati tetapi Satya hanya menganggapnya teman. Pernah suatu ketika saat berjalan bersama Satya di sore hari ada seorang gadis yang memberikannya makanan yang dibuat sendiri khusus untukya dan terdapat ungkapan perasaan gadis itu di kertas kecil yang ditempelkan di atas tempat makan tersebut.
Kemudian pada saat pulang dari acara kepanitiaan di universitas kami melihat seorang Kakek yang kesulitan untuk menyebrang jalan tanpa ragu Satya pun langsung membantunya. Tidak hanya itu, ia juga sering memberi makan kucing jalanan. Dia dengan segala kebaikan hatinya yang membuat sekitarnya merasa nyaman.
Sampai di tempat makan aku dan Satya langsung memesan makanan dan minuman yang kami inginkan.
“Bu aku pesan nasi telur orak arik mayo sama es teh ya,” aku mengatakan pesananku kepada Ibu penjual.
“Iya Mbak, kalau masnya mau pesan apa?” di kota ini perempuan muda memang dipanggil dengan Mbak dan laki-laki dipanggil dengan Mas.
“Mau pesan ayam kecap, cah kangkung sama air mineral ya Bu,” Satya juga mengatakan pesanannya.
“Ditunggu ya Mas dan Mbak,”
“Nggih Bu.” kata Satya kepada penjualnya.
Kami pun memilih meja yang masih kosong, dan langsung duduk, Satya menatapku. Aku seperti paham akan apa yang ingin ia katakan.
“Kenapa sering banget minum es teh?” tanya Satya.
“Karena aku suka itu,”
“Saat ikut kepanitiaan waktu itu kamu setiap hari pasti beli es teh, jangan keseringan, gak baik kalau terlalu banyak gula” kata Satya dengan serius. “Jangan lupa air mineral juga diminum,” ia melanjutkan perkataannya.
“Iya, siap Kak.” aku mengiakan perkataan Satya.
Tak lama makanan kami pun siap, di antarkannya makanan kami dengan hati-hati, tak sampai 15 menit makanan kami habiskan tanpa sisa.
Setelah selesai makan Satya langsung mengantarku ke indekos.
“Terima kasih ya Ayunita yang jomblo,” kata Satya setelah aku turun dari motornya.
“Terima kasih juga Satya, hati-hati di jalan ya,”
“Siap, kapan-kapan main lagi ya Ta”
“Siap!”
Aku pun masuk kamar dan segera membersihkan diri, kemudian memilih untuk beristirahat menghabiskan akhir pekanku. Seperti itulah persahabatanku dengan Satya.
Hari Senin merupakan hari yang melelahkan untukku karena jadwal kuliahku yang dimulai dari jam 08:00 pagi, lalu masuk kelas kembali pukul 11:00 siang, dan dilanjutkan praktikum sampai pukul 04:00 sore. Membayangkannya saja sudah membuatku lelah.
Pagi ini, aku nyaris terlambat untuk masuk pada kelas pertama, namun semesta masih mendukungku. Apabila aku kesiangan maka aku tidak bisa masuk ke kelas karena pada kontrak perkuliahan di awal sudah disepakati kalau terlambat tidak dapat mengikuti pembelajaran. Selain itu, untuk prensensi dianggap tidak hadir.
Tak lama setelah aku duduk di kursi, Dosen pengampu mata kuliah datang, segera kukeluarkan alat tulis dan menyimak penjelasan beliau. Meskipun banyak dari kami baru sadarkan diri alias baru bangun, tapi kami tidak mengantuk sama sekali, karena setelah penjelasan materi Dosen akan menunjuk beberapa Mahasiswa untuk mengetahui apakah materi yang disampaikan dapat dipahami dengan baik.
Kelas pertama berakhir pada jam 09:40, aku dan teman-temanku memilih untuk sarapan di kantin sambil menunggu kelas selanjutnya.
“Kamu mau pesan apa Ayunita?” tanya temanku yang bernama Kaina Larasati, ia seseorang yang rajin dan penuh ambisi dalam hal positif.
“Belum tahu, kalau kamu pesan apa?” aku masih melihat-lihat makanan yang ingin kusantap.
“Sepertinya sate padang dengan es telang dan lemon,” kata Kaina yang sudah memikirkan menu sarapannya. “Aku pesan yang sama sepertimu dong Kaina,” kata Raden yang memang tidak mau ribet.
“Jangan bilang kalau kamu pesan ayam geprek lagi ya Ta,” kata Raden padaku.
“Aku mau pesan lontong sayur,” sontak Raden sedikit terkejut mendengar ucapanku.
“Tumben,” sahut Kaina
“Biar gak bosan.”
Setelah memesan makanan, aku dan teman-temanku biasanya memilih duduk pada kursi yang terletak di paling pojok, untuk menghindari keramaian dan lebih menikmati makanan.
Namun, ketenangan tersebut tak berlangsung lama, karena manusia menyebalkan yang sudah kita tahu bersama ikut nimbrung ke mejaku.
“Ikut gabung ya,” kata Angga
“Kalau disuruh pergi pun kamu tetap akan duduk di sini kan?” tanya Raden pada manusia menyebalkan itu.
“He he he. Habis yang lain penuh mau bagaimana lagi” jawab Angga.
“Kasihan banget, harusnya kamu lebih cepat ke kantinnya” kataku pada Angga.
“Santai dong Kak, jadi kamu gak terima nih, aku duduk di sini?”
“Ya, biasa saja sih sebenarnya,”
“Gak apa-apa deh, walaupun kamu ketus, aku bukan manusia yang mudah bawa perasaan,”
“Bagus deh,” kataku.
“Berantem mulu ya kalian, hati-hati nanti bisa jadi naksir,” kata Kaina yang ditujukan padaku dan Angga.
“Gak!” kataku dan Angga bersamaan.
Tak lama pesanan kami datang, kami menikmati dan berbagi makanan bersama.
“Ayunita, aku mau cobain lontong sayurnya dong,” kata Kaina yang penasaran dengan rasa lontong sayur punyaku.
“Ini ambil,”
“Kamu mau enggak sate padangnya?” tanya Kaina.
“Mau satu ya,”
“Oke.”
Kami pun menghabiskan sarapan kami, dan segera pergi ke ruang kelas berikutnya. Pembelajaran pada kelas kedua dilakukan dengan pemaparan materi dari Dosen, lalu dilanjutkan dengan diskusi, dan terakhir diadakan kuis. Selanjutnya istirahat, lalu praktikum dengan waktu 170 menit.
Selepas praktikum aku berjalan keluar menuju pintu, karena ingin segera berada di indekos untuk instirahat aku langsung membuka telepon genggamku.
Namun ketika ingin menekan tombol booking, telepon genggamku tiba-tiba mati, memang tadi baterainya sudah hampir habis.
“Mau pulang bareng gak?” aku sudah tahu suara siapa tanpa melihat kearahnya. Aku terkejut karena gak ada angin maupun hujan tiba-tiba Angga berbuat baik. Aneh.
“Hape kamu juga mati kan? Kasihan sekali.” ledeknya dengan mimik wajah yang dibuat iba.
Aku masih terdiam keheranan, apakah ia hanya bercanda atau memang sungguhan.
“Cepat putuskan! Sebelum aku berubah pikiran,” kata Angga yang selalu tidak sabar.
“Oke, nebeng ya,” kataku pada Angga.
“Bayar ya tapi,” kata Angga sambil bercanda.
“Siap bos!” sahutku.
Kemudian aku berjalan bersama Angga menuju parkiran motor, karena penasaran dia kesambet apa hari ini sampai berbuat baik, tanpa basa-basi aku langsung bertanya.
“Tumben kamu baik? Ada apa?” tanyaku.
“Aku memang selalu baik, kamu saja yang baru sadar,” jawab Angga dengan percaya diri.
“Biasanya kamu yang selalu menyebalkan,” aku menimpali kata-katanya.
“Gak kebalik?!”
“Enak saja!” aku memprotesnya.
“Ini motorku, tunggu sebentar,”
“Oke,”
“Dah siap, kamu jalan kaki sana!”
“Jahat banget! Nah ini baru sifat kamu, keluar juga kan,”
“Bercanda, ayo naik!”
“Dasarrr.”
Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi, semoga aku tidak diculik dan dibawa kabur. Setelah 5 menit diperjalanan, motor Angga tiba-tiba berhenti.
“Eh, kenapa berhenti?” tanyaku.
“Sebenarnya tadi bensin aku mau habis, cuma karena sudah hampir terlambat, aku paksakan saja ke kampus, terus aku lupa, dan malah ajak kamu pulang bareng.”
Wah, baru saja aku berharap untuk tidak terjadi hal buruk, tetapi malah terjebak lebih lama dengan manusia yang satu ini. Memang benar, jangan terlalu berharap apalagi sama manusia.
“Yaudah kamu tunggu di sini ya, aku mau cari warung yang jual bensin dulu,” kata Angga padaku yang sedikit panik.
“Jangan lama-lama,” kataku.
“Kenapa? Takut diculik?
“Enggak!”
“Penculiknya juga nyerah duluan Ta, soalnya kamu bawel,”
“Apa-apaan! Cepat kamu cari bensinnya dulu,” kataku yang tidak sabar.
“Kalau ada apa-apa kabarin, jangan sampai ketika aku kembali motorku malah hilang.”
Bisa-bisanya dia lebih mementingkan motornya daripada keselamatanku. Sekitar 25 menit aku menunggu, akhirnya Angga kembali dengan bensin yang dimasukkan ke dalam botol plastik.
“Sorry Ta, untung kamu belum jamuran karena kelamaan nunggu”
Aku memilih diam, karena energiku sudah habis, sedangkan Angga memasukkan bensin ke dalam tangki motornya.
“Ta. Ngomong dong, kamu kesel ya?
“Ayo cepat pulang, aku lelah,” kataku pada Angga.
“Oke Ta, sebentar lagi ya.”
Padahal yang lebih lelah sudah pasti Angga, karena harus berjalan mencari bensin lalu mengantarku pulang. Namun, aku juga lelah karena harus menunggunya. Setelah selesai mengisi bensin, kami melanjutkan perjalanan, yaitu indekosku.
“Ta, maaf ya sekali lagi, aku gak enak sama kamu,” kata Angga ketika aku sudah turun dari motornya.
“Iya Angga,” jawabku.
“Serius aku minta maaf,”
“Iyaa, kan aku sudah bilang iya,”
“Habisnya kamu masih kelihatan bad mood gitu Ta,”
“Enggak, sudah sana pulang, terima kasih ya sudah nganterin aku.”
“Iya, sama-sama Ta. Bye,”
“Bye.”
Aku langsung mandi dan tak lupa mengisi daya ponselku.
Tak lama Angga mengirimiku pesan.
“Ta, keluar Ta, ke gerbang”
“Ada apa?”
“Keluar dulu, cepat”
Aku berjalan keluar gerbang, dan melihat ada ojek online yang membawa makanan serta minuman.
“Atas nama Mbak Ayunita?”
“Iya, saya Mas” jawabku.
“Ini Mbak, ada pesanan buat Mbak,”
“Terima kasih ya Mas,”
“Sama-sama Mbak.”
Setelah masnya pergi aku masuk kembali ke kamar. Aku buka isi bingkisannya, yaitu terdapat donat yoghurt dan thai tea, makanan yang mengandung gula untuk memperbaiki mood. Aku mengirimi pesan kepada Angga untuk memastikannya.
“Ini dari kamu?”
“Iya Ta, semoga mood kamu jadi bagus lagi ya Ta,”
“Gak usah repot-repot Angga, aku juga ngga marah sama kamu,”
“Gak repot, santai, aku sengaja gak beliin kamu kopi, biar asam lambung kamu ngga naik. Selamat makan Ta.”
“Thank you, Angga”
“Anytime.”
Aku menikmati donat yoghurt dan thai tea yang Angga berikan sambil menonton serial Netflix. Ya, benar dengan melakukan kegiatan ini dapat mengubah suasana hatiku. Aku pun menyadari satu hal, ternyata Angga punya sisi baiknya juga, walaupun sisi menyebalkannya tak bisa dikesampingkan.
Saat aku lagi asyik menonton, tiba-tiba telepon genggamku berdering. Dengan nama yang tertera, yaitu Satya.
“Ayunita, kamu lagi apa?”
“Lagi nonton, kenapa?”
“Besok bantuin aku cari hadiah buat best friend aku mau ya?”
“Iya, tapi nanti jajanin aku ya, minimal minuman boba,”
“Dasar kamu, iya deh nanti aku traktirin,”
“Asyik!”
“Besok sekitar jam 7:30 malem aku jemput, jangan tidur!”
“Iya, Satya”
“Oke, sampai ketemu besok,”
“Oke, bye,”
“Bye.”
Setelah menutup telepon Satya, aku melanjutkan menonton hingga satu episode dari serial tersebut selesai. Kemudian tak lupa aku mengerjakan laporan jurnal mengenai praktikum yang telah dilakukan hari ini hingga jam 12:00 malam, dan pergi tidur.
Karena di Hari Selasa aku hanya memiliki satu jadwal kelas, yaitu pada sore hari, sehingga aku dapat bangun lebih siang tanpa menghidupkan alarm.
Kegiatanku setelah bangun tidur sedikit berbeda, tiba-tiba tanpa ada sebab yang jelas, aku berniat untuk merapikan kamar indekosku. Hal yang sangat jarang aku lakukan, bahkan terkadang niat saja tidak ada.
Aku mulai dari menyusun meja rias, menata stok bahan makanan, merapikan tempat tidur, menyapu dan mengepel lantai, waktu yang kuhabiskan sekitar 1,5 jam, mulai dari jam 8:15 sampai 9:45 pagi. Walaupun lelah, tetapi sekarang kamarku sudah jauh berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya, karena badanku sudah gerah dan tidak nyaman, aku memutuskan untuk mandi.
Setelah mandi dan berganti pakaian, kulanjutkan kegiatanku hari ini dengan menulis. Tulisan yang kubuat menceritakan tentang seorang tokoh yang selama 8 tahun terakhir aku mengenalnya, dia masih tetap baik dan kami tetap berteman. Ya, meskipun terkadang di dalam ceritanya ada bagian yang tidak selalu indah.
Tak terasa hari pun sudah sore, kegiatan menulis terkadang membuat aku lupa waktu, aku mematikan laptop dan segera bersiap untuk berangkat ke kampus.
Kupesan ojek online menggunakan telepon genggamku, sekitar 3 menit menunggu, driver pun sampai ke titik penjemputan, kukenakan helm dan naik ke motor masnya. Cuaca sore ini masih cerah dan berawan, sehingga panasnya tidak terlalu menyengat.
Ketika sudah sampai, aku ucapkan terima kasih kepada Mas driver dan langsung berjalan cepat menuju ruang kelas.
“Ta, duduk sini samping aku, masih kosong,” teriak Raden saat aku masih berada di pintu.
“Iya.” Sahutku.
Raden dan aku duduk di barisan tengah, tidak di depan maupun di belakang, saat berjalan ke tempat duduk, aku melihat Angga yang juga melihat ke arahku, ia melambaikan tangan dan aku pun membalasnya.
“Kemarin kamu aman pulang bareng dia Ta?” tanya Raden yang penasaran.
“Aman,” jawabku.
“Kan dia tengil banget, aku takutnya malah kamu dikerjain,” kata Raden yang menyampaikan sebuah fakta.
“Aku pulang dengan selamat, tenang saja,”
“Berarti dia baik ya Ta?
“Iyaa.” Sahutku.
Kemudian Dosen masuk ke ruang kuliah dan langsung memulai perkuliahan, aku dan teman-teman menyimak dengan saksama. Setelah selesai kuliah, aku buru-buru untuk pulang, karena sudah ada janji dengan Satya.
“Ta, nanti kamu bisa kan?” Satya mengirim pesan padaku.
“Iya aku bisa”
“Oke, satu jam lagi aku on the way ke tempat kamu ya,”
“Oke.”
Aku sembahyang dan bersiap untuk pergi dengan Satya.
“Ta keluar, aku sudah di gerbang,” pesan masuk yang kulihat pada telepon genggamku.
“Tunggu.”
Aku mematikan lampu, mengambil tas, dan berjalan menuju gerbang.
“Kamu habis kuliah Ta? tanya Satya saat menjemputku.
“Iya, tadi kelas sore,” jawabku.
“Kamu capek gak?
“Enggak,”
“Serius?” Satya memastikan.
“Iya, aku cuma ada jadwal satu kelas saja, gak capek, tenang,”
“Oke, sudah siap?”
“Sudah,”
“Let’s go!”
Kami pergi ke sebuah toko yang menjual barang-barang yang bersifat unisex.
“Mending jaket atau jam tangan Ta?” tanya Satya.
“Teman kamu perempuan atau laki-laki?
“Perempuan Ta,”
“Kalau menurutku, jam tangan,” jawabku.
“Oke, kita lihat-lihat dulu ya,”
“Satya, di sebelah sana ada dompet,”
“Mari kita lihat.”
Aku dan Satya berjalan menuju ke etalase di sebelahnya.
“Dompet juga bagus ya Ta?” tanya Satya yang meminta pendapatku.
“Iya,”
“Jam tangannya unik bentuknya, kalau dompet bisa lebih berguna, kalau jaket bisa tahan lama,” kata Satya menyebutkan kelebihan masing-masing barang.
“Tahan lama atau tidak, itu bergantung pada orang yang menggunakannya,” kataku memberikan pendapat.
“Iya sih, kamu benar,”
“Women are always right.
Satya tertawa saat aku mengatakan itu, ia seperti tidak terima tapi tetap diterima. Setelah berpikir panjang, sepertinya Satya telah menentukan pilihannya.
“Jadi pilih apa?” tanyaku.
“Jam tangan, Ta” jawab Satya.
Kemudian Satya membayar ke kasir ditambah dengan goodie bag, lalu kami keluar dari toko tersebut dan mencari makan.
“Ta, mau makan apa? Makanan Jepang, Korea atau Western?”
“Makanan korea deh, aku mau coba korean chicken wings rasa honey butter,”
“Siap Boss.”
Setelah selesai makan, kami pun kembali untuk pulang, tetapi di tengah perjalanan Satya berhenti untuk membelikanku minuman boba.
“Turun dulu sebentar Ta, aku kan sudah janji sama kamu,” kata Satya yang memberhentikan motornya pada salah satu franchise minuman boba.
“Padahal aku gak serius minta minumannya,” sahutku karena merasa tidak enak pada Satya.
“Gak mau aku traktir nih?”
“Mau deh kalau kamu maksa.”
Setelah membeli minuman boba, kami melanjutkan perjalanan kembali, Satya mengantarku sampai gerbang indekos.
“Terima kasih ya Ta, sudah menemaniku hari ini,” kata Satya.
“Iya, terima kasih juga sudah ditraktir minumannya”
“Bye, Ta”
“Bye.”
Setelah masuk ke kamar, aku membersihkan diri dan langsung tidur.
Hari Rabu setelah selesai kuliah pada siang hari, Angga mengajakku untuk keluar sore nanti, refreshing katanya, karena aktivitas yang padat dan dipenuhi oleh deadline laporan praktikum. Ia berencana menjemputku pada pukul 03:30 sore.
“Kamu mau ajak aku kemana?” kataku saat Angga sudah berdiri di depan gerbang indekosku.
“Nanti kamu tahu sendiri Ta,” jawabnya santai.
Setelah menebak-nebak tempat yang akan kami kunjungi tidak ada yang benar, aku menyerah, aku diam membiarkan Angga membawaku ke tempat yang telah ia pilih.
Kami pun sampai pada sebuah taman yang sangat asri dan teduh. Dalam hatiku menyimpan pertanyaan, mengapa seorang Angga menyukai tempat seperti ini? Apakah memang ia menyukai alam? Oh, mungkin karena pemandangannya yang indah.
Kami duduk di bangku taman yang panjang berwarna cokelat, aku merasakan hembusan angin dan langit yang indah. Aku terpesona dengan langitnya.
“Kamu suka langit?” tanya Angga padaku.
“Iya, suka,” jawabku sambil menatapnya.
“Kenapa?”
“Karena menurutku langit adalah sesuatu yang paling jujur,”
“Maksudnya?” ia menatapku dengan raut wajah yang kebingungan.
“Langit yang awalnya cerah bisa tiba-tiba hujan tanpa beri peringatan terlebih dahulu, ia berani untuk menunjukkan sisi lain yang ia punya. Sama seperti manusia, gak bisa selamanya senang terus, pasti ada bagian sedih yang pernah dirasakan,”
“Kata-kata kamu seperti seorang penulis saja deh,”
“Mungkin suatu saat nanti aku memang jadi penulis beneran,”
“Nanti kabari ya, pokoknya aku yang harus tahu duluan, gak boleh orang lain. Period.” kata Angga yang tidak menerima bantahan.
“Kamu banyak maunya ya.” kataku.
Angga tertawa, sesuatu yang jarang sekali kulihat di kelas, kemudian kami terdiam. Hening. Tidak tahu mengapa, bahkan dalam keheningan masing-masing kami tidak merasa canggung.
“Hari ini kegiatan kamu ngapain aja Ta? tanya Angga.
“Setelah pulang kuliah aku membuat draft cerita yang sedang kukerjakan,” jawabku atas pertanyaannya.
“Cerita tentang apa, Ta, aku boleh baca?” tanya Angga kembali, kali ini dengan penasaran yang tinggi.
“Tentang seorang tokoh yang meskipun dunia jahat sama dia, ia masih tetap menerimanya. Kamu boleh baca, tapi gak semua ya, sebentar aku pilihkan,” kataku sambil memilih file yang dapat Angga baca melalui telepon genggamku.
Setelah memilih satu plot cerita untuk kutunjukkan pada Angga, aku membolehkannya membaca melalui telepon genggam milikku, dengan syarat tidak boleh diberi tahu ke siapapun dan hanya dia yang boleh membacanya. Angga menyetujuinya, sekitar 10 menit ia serius membaca tulisanku kemudian memberikan komentarnya.
“Ayo lanjutin lagi nulisnya, cerita yang kamu bikin seru.” kata Angga yang mengalir begitu saja, obrolan kami memang random, terkadang belum selesai membahas satu topik, sudah berganti ke topik lainnya, bahkan pernah juga dua topik dibahas secara bersamaan.
“Kan kamu gak aku kasih lihat keseluruhan isi ceritanya, kenapa bisa kamu bilang seru?” tanyaku.
“Yang gak lengkapnya saja sudah seru, apalagi kalau tamat,” kata Angga.
“Tapi aku gak mau kalau tamat, nanti aku bingung mau ceritain tokoh selanjutnya yang seperti apa,” kataku.
“Seperti aku saja memangnya kenapa?” tanya Angga dengan percaya diri, yang mendaftarkan dirinya untuk menjadi seorang tokoh di ceritaku.
“Karena menurutku, kalau kamu dijadikan sebagai seorang tokoh di ceritaku, gak ada pembaca yang suka sama kamu, karena kamu menyebalkan,” aku menjawab sambil bercanda.
“Tokoh paling menyenangkan maksudmu?” Angga menyangkal dengan bertanya disertai senyum simpul.
“Apa-apaan!” jawaku tidak terima.
“Aku juga emang gak ada niat bikin pembaca cerita kamu senang,”
“Terus?” tanyaku pada Angga mengenai maksud kalimatnya barusan.
“Ya, karena yang aku ingin buat senang itu penulisnya,”
“Kenapa gitu? Kenapa aku?”
“Karena, aku pikir dulu sebentar ya.” ia menatapku.
Aku menunggu jawabannya.
“Apa sebenarnya kamu sudah tahu jawabannya?” ia bertanya padaku, seolah aku cenayang yang dapat menebak isi pikirannya.
“Apa?” kataku.
“Jawabannya. Ya, karena itu kamu, karena kamu istimewa.” ia menjawab dengan serius, tanpa sadar, aku salah tingkah.
“Kamu menyebalkan, itu salah satu alasan aku malas menulis cerita tentang kamu,” jawabku yang langsung mengalihkan pembicaraan.
“Memang dasarnya kamu tidak mau menulis, bukan sedang bingung.” sahut Angga.
“Ta, aku mau tanya, tapi kalau kamu gak mau jawab juga gak apa-apa,” kata Angga yang sepertinya tidak kehabisan topik pembicaraan.
“Apa pertanyaannya?”
“Kamu kangen rumah gak Ta?”
“Kangen, terkadang kalau merasa lelah atau mentalku sedang tidak baik-baik saja, aku ingin sekali pulang, namun tidak bisa,”
“Karena jadwal kuliahnya ya Ta?
“Iya, kalau kamu semdiri gimana? Suka kangen sama suasana di rumah? tanyaku pada Angga.
“Kangen, tapi aku belum mau untuk pulang,”
“Kamu harus sering ketemu orang tua kamu ya,”
“Iya, Ta,”
Karena hampir satu jam kami mengobrol, maka energi yang tersisa susah semakin menipis. Oleh karena itu, Angga bertanya untuk mengajakku makan.
“Ayo! Aku juga sudah lapar, mau makan apa?” tanyaku.
“Cobain ramen deket Kota Lama yuk!” seru Angga.
“Mauuu,”
“Oke.”
Sekitar 10 menit kami sampai di Kota Lama, jarak taman ke Kota Lama memang tak terlalu jauh sehingga hanya memakan waktu yang singkat selama di perjalanan.
“Kamu mau rasa apa? Tanya Angga.
“Curry,” jawabku
Angga langsung menekan menu yang dipilih pada layar, satu rasa curry dan yang satu rasa original, kemudian membayar, dan kami pun naik ke lantai tiga. Di lantai ini dilengkapi dengan ruang ber-AC dan terdapat lampu gantung yang cantik.
Tanpa menunggu lama, pesanan kami pun datang. 2 mangkuk ramen dengan tambahan nori, daging, jamur serta jagung dan telur pada bagian atasnya, yang menggugah selera.
“Oishii!” kataku yang telah mencicipi suapan pertama
“Review dari kebanyakan orang enak, jadi aku ajak kamu ke sini deh, untung kamu suka,” kata Angga, sambil tersenyum bahagia.
Kami menghabiskan ramen dan meminum ocha yang telah disediakan, setelah dirasa tidak begah, kami keluar dari restoran tersebut dan berjalan menikmati keindahan Kota Semarang. Kota yang dengan keramahan warganya, dapat membuat seseorang seperti merasa mendapatkan tempat pulang.
Selain bangunannya yang menyimpan sejarah, banyak terdapat camilan di sepanjang jalan, sehingga tidak perlu khawatir akan kelaparan. Seperti aku dan Angga yang baru berjalan sebentar sudah tergiur dengan mille crepes, yaitu dessert dengan crepe yang berlapis-lapis dan berasal dari Negara Perancis. Kami memesan rasa tiramisu dan sweet berry. Enak. Buat manusia yang suka makanan manis sepertiku, aku pastikan juga menyukainya. Selain itu, tempatnya memang nyaman dan aesthetic, ada buku apabila ingin membaca, ada permainan yang dapat dimainkan bersama, serta terdapat spot foto yang unik, tak seperti biasanya.
“Kamu suka ya Ta?”
“Iya, aku masih betah di sini,”
“Sebentar lagi saja ya Ta, nanti terlalu malam pulangnya, besok-besok kita ke sini lagi.”
Angga menyadari raut wajahku yang langsung berubah, ia pun merasa gak enak, namun esok hari kami juga harus kuliah di jam 07:00 pagi, supaya gak kesiangan dan bisa menyerap materi dengan baik katanya.
“Tapi beneran ke sini lagi kan?” tanyaku pada Angga.
“Iyaa,” jawabnya.
“Oke deh, yuk pulang!” kataku yang memutuskan untuk pulang.
“Oke.”
Angga mengantarku sampai gerbang indekos dan bilang terima kasih karena sudah mau menemainya melepas penat, aku juga senang sudah diajak ke tempat yang belum pernah kukunjungi sebelumnya.
Di Hari Kamis, jadwal kuliahku benar-benar padat, terkadang aku melewatkan makan siang karena tidak sempat. Hal yang sebaiknya tidak dilakukan karena akan berdampak pada kondisi kesehatan. Seperti pada Hari Kamis ini, aku tidak makan siang, karena malas mengantre dan kantin tentu saja penuh di saat jam makan siang, maka aku langsung ke ruang kuliah selanjutnya.
Setelah semua matkul pada hari ini selesai, yaitu jam 03:00 sore, aku langsung pulang dan membeli makanan di sekitar tempat aku ngekos. Kuhabiskan makanan tersebut dengan cepat, karena sudah sangat lapar sekali. Dan karena kenyang, aku pun ketiduran, dan baru bangun pada pukul 05:00 sore.
Setelah bangun tidur, aku melanjutkan aktivitas yaitu membuat laporan praktikum, yang tentu saja menguras energiku kembali. Kemudian aku melihat telepon genggamku, terdapat pesan dari Angga.
“Ta, sudah makan belum?” kata Angga melalui pesan singkat yang ia kirimkan.
“Sudah, tapi sepertinya aku ingin makan lagi,” balasku.
“Mau makan apa?” tanya Angga.
“Ayam geprek (?)” jawabku yang juga bingung mau makan apa.
“Bosan, aku baru makan itu kemarin”
“Kamu ada saran lain gak?” tanyaku.
“Mau soto?” tanya Angga.
“Memangnya ada yang jualan soto malam-malam begini?”
“Ada, itu namanya mencari peluang bisnis karena jualan soto siang hari sudah banyak.”
“Benar sih.”
“Jadi mau makan soto?”
“Boleh deh,”
“Nanti jam 09:00 malam aku jemput ya,”
“Oke.”
Aku melanjutkan menonton serial drama korea selagi menunggu Angga.
Setelah selesai menonton aku langsung bersiap-siap untuk pergi makan, pukul 9:00 malam aku menunggu Angga di depan gerbang indekosku, karena sudah tahu kalau dia paling tidak suka menunggu.
“Halo!” dengan suaranya yang bersemangat
“Haloo”
“Ayo, nanti keburu ramai,” Ajak Angga yang sambil menurunkan footstep motornya.
“Sabarrr.” Jawabku padanya.
Tak berselang lama, kami pun sampai, banyak pembeli yang sudah mengantre.
“Kamu duduk saja, nanti aku yang pesan sotonya,” Kata Angga.
“Oke.” jawabku dan langsung mencari tempat duduk.
Setelah memesan, Angga datang ke tempat yang telah aku pilih, tidak di tengah tentu saja, karena aku tidak suka menjadi center of attention.
“Asli, aku baru tahu, ada tempat yang jualan soto malam,” kataku pada Angga.
“Ya, gimana mau tahu, kerjaan kamu kan cuma di kamar,” ia meledekku sambil tertawa.
“Gak!” protesku.
“Iya, sama di kampus soalnya.”
Angga selalu menyebalkan, tetapi semakin mengenalnya aku sadar kalau ia tidak pendiam seperti yang biasanya terlihat saat di kelas.
“Kalau aku kasih tahu ini, kamu pasti lebih kaget?” kata Angga yang tentu membahas sebuah topik yang baru.
“Apa memangnya? tanyaku.
“Bahkan ada yang jualan bubur malam hari,”
“Wow! Seriuss?!” jawabku yang terkejut karena baru mengetahui hal ini.
“Ekspresinya biasa saja dong,” kata Angga yang tertawa melihatku.
“Ya, habisnya aku kalau makan bubur itu untuk sarapan, bukan untuk makan malam,”
“Itu kan kamu, bukan orang lain,” sahut Angga.
“Berarti kalau ada Ibu-Ibu yang ngidam bubur saat malam hari gak ada alasan untuk gak makan ya, karena bisa langsung dibeli,” kataku.
“Bisa iya, bisa juga tidak,” Angga memberikan pendapatnya.
“Harus iya!” kataku yang tidak bisa diprotes. Selalu. Untung dia sabar.
“Gak boleh maksa dong, Ta”
“Yaudah,”
“Jangan kesal ya, itu makanan kita lagi mau dibawain Ta,”
“Mana?”
“Sabar dong Ta, kamu kan emang gak sabar kalau soal makan”
“Permisi Mas dan Mbak, ini pesanannya ya, 2 soto ayam dan 2 es teh manis,” kata salah satu Mas yang bekerja di sini.
“Terima kasih Mas,” kata aku dan Angga kepada masnya.
“Sama-sama.”
Kami pun berdoa sebelum makan.
“Selamat makan Ta,” kata Angga.
“Selamat makan.” Kataku.
Aku mencicipi suapan pertama, rasa soto yang khas dengan banyak daging ayam serta hangat, membuat aku ingin makan lagi dan lagi.
“Bagaimana Ta? Kamu suka?” tanya Angga.
“Sukaa, ini enak!” jawabku.
“Kamu mau lagi?”
“Gak, ini saja belum habis”
“Siapa tau kamu kelaparan Ta,”
Setelah selesai makan, kami pun tidak langsung pulang, melainkan membahas drama korea yang sedang ditonton, mulai dari karakter tokohnya sampai menebak kelanjutan jalan ceritanya, seru, tak kusangka Angga menyukai drama korea.
Ketika sudah berhenti dalam pembicaraan mengenai drama korea, kami pun memutuskan untuk pulang, Angga tentu saja mengantarku sampai indekos, lalu ia pergi menuju ke indekosnya.
Hari berikutnya, Angga mengajakku lagi untuk main keluar, kami janjian jam 05:00 sore, namun pada saat jam tersebut, aku menghubunginya, tidak mendapat respon. Aku pikir ia ada urusan mendadak sehingga tidak menghubungiku, atau daya baterainya yang habisa karena lupa diisi, aku menunggunya kurang lebih satu jam.
Akhirnya ia membalas pesanku, tadinya kupikir Angga menghilang dari bumi, nyatanya tidak.
“Ta, maaf banget aku ketiduran,”
“Kamu parah banget, yang capek sama sibuk gak cuma kamu doang, Angga”
“Maaf Ta, aku gak maksud kayak gitu,”
“Jangan diulangi ya, nanti aku gak mau main lagi”
“Iya Ta.”
Buat sebagian orang, janji adalah sesuatu yang tidak bisa diingkari, karena untuk memercayai orang lain bukan suatu hal yang mudah. Kemudian pesannya hanya kubaca tanpa kubalas, kulanjutkan kegiatanku dengan main handphone. Saat sedang kugunakan, ada telepon masuk dari Satya.
“Ta, keluar yuk!” Ajak Satya.
“Kemana?”
“Ada tempat yang mau kamu kunjungin gak?”
“Gak ada,”
“Kalau gitu di kafe saja ya Ta? Sekalian ngerjain tugas mau Ta?”
“Boleh,”
“Paling jam 07:30 malam Ta, nanti kukabari lagi,”
“Oke,”
Aku menutup teleponnya, lalu makan camilan dan minum air mineral. Pukul 07:00 malam aku memeriksa kembali telepon genggamku apakah jadi pergi dengan Satya atau tidak.
“Ta, jadi ya, 25 menit lagi aku jemput,”
“Oke, aku siap-siap dulu,”
Aku berganti baju serta memasukan laptop dan dompet ke dalam tas. Kemudian menunggu Satya. Tak lama ia mengabari kalau sudah sampai di gerbang indekosku, kami pergi menuju kafe yang terkenal dengan suasana alam dengan konsep dekorasi yang dipenuhi dengan kayu.
Setelah sampai, kami langsung memesan beberapa jenis makanan dan minuman, kemudian mencari tempat yang nyaman untuk mengerjakan tugas.
Aku dan Satya mengeluarkan laptop dan siap untuk tempur dengan semua tugas-tugas duniawi, kami mengerjakan tugas, mengobrol, menikmati makanan serta minuman. Memiliki teman yang pengertian memang menyenangkan, terkadang kita dapat berbagi keluh kesah, sehingga tidak merasa sendirian dalam situasi yang terkadang menyulitkan.
Aku mengerjakan laporan jurnal praktikum dan materi presentasi, sedangkan Satya sibuk dengan pemetaan lokasi geografis.
“Ta, kamu jadi magang 6 bulan?” tanya Satya secara tiba-tiba.
“Jadi, minggu depan aku berangkat,” jawabku
“Hati-hati ya Ta,”
“Bukannya kamu juga magang?”
“Iya,”
“Di mana?
“Bali,”
“Asyik, bisa sekalian jalan-jalan ya, terus kapan perginya?”
“Masih bulan depan Ta”
“Jangan lupa kasih aku oleh-oleh kalau sudah selesai magangnya,”
“Gak janji ya Ta”
Selama aku mengenalnya, Satya memang tidak pernah mengingkari janjinya, ia tidak pernah menjanjikan sesuatu yang peluangnya masih belum dapat dipastikan.
Kurang lebih selama 4 jam aku dan Satya di kafe, kami pun sudah mulai bosan untuk mengerjakan tugas, akhirnya kami memilih untuk bermain kartu Uno, aturan mainnya adalah kita harus menyesuaikan angka atau warna sesuai dengan kartu sebelumnya, walaupun hanya berdua tapi kami tetap asyik memainkannya. Setelah itu, kami memutuskan untuk pulang dan beristirahat.
Pada akhir pekan kali ini, aku bisa lebih santai dan menikmati hidup, seperti keajaiban, aku memilih untuk membaca novel yang telah dikirimkan oleh ibuku. Membaca novel juga merupakan kegiatan yang membuat aku lupa waktu, karena dapat ikut merasakan suasana yang dituliskan oleh penulisnya, aku juga tidak merasa bosan kalau harus membaca novel seharian, karena menurutku lebih menyenangkan menghabiskan waktu dengan diri sendiri, daripada harus berinteraksi dengan orang yang tidak satu frekuensi. Kegiatanku selama dua hari hanya membaca novel, tak lupa juga untuk makan, buang air, dan bernapas.
Waktu berjalan begitu cepat pada saat akhir pekan, rasanya aku masih ingin bersantai dengan membaca novel, namun besok sudah harus kuliah kembali, dan bertemu musuhku, Angga.
Hari senin aku pergi kuliah, saat berjalan di lorong menuju kelas, aku bertemu dengan Angga. Ia meminta maaf karena pada Hari Jumat kemarin ketika mengajakku keluar malah ketiduran, sebenarnya aku tidak terlalu mempermasalahkannya, karena baru sekali sehingga aku memakluminya.
Kemudian ia memberikanku sebuah tumbler dengan gambar bunga matahari yang terdapat pada salah satu sisinya.
“Kenapa kamu kasih aku ini?” tanyaku pada Angga.
“Ya, karena aku suka Ta,”
“Tapi…” kataku sedikit terkejut.
“Walaupun mungkin kamu belum suka, tapi kuharap semoga secepatnya.” kata Angga yang memotong ucapanku.
Aku terdiam, bingung memikirkan apa yang akan aku katakan padanya, karena aku pun senang saat bersama dengan Angga, meskipun ia menyebalkan.
“Aku kasih itu, supaya kamu ingat untuk selalu minum, biar gak dehidrasi Ta, kurang baik apa coba Ta,” kata Angga yang memecah keheningan.
“Kalau orang baik, biasanya gak bilang kalau dirinya baik, karena dia gak butuh pengakuan dari orang lain.” kataku menimpali.
“Tapi kalau aku memang baik sih Ta,” kata Angga yang tidak mau kalah.
“Ayo masuk Ta, sebelum Dosennya datang. Semoga kamu suka ya Ta,” kata Angga sambil menunjuk ke arah tumbler yang ia berikan dan mengajakku untuk masuk kelas.
“Iya, terima kasih ya,” kataku.
“Sama-sama Ta.”
Aku dan Angga mengikuti perkuliahan seperti biasanya, tidak canggung antara satu sama lain. Begitu juga pada hari-hari selanjutnya, ia pun tahu kalau Hari Rabu aku magang keluar kota, dan tak lupa menyemangatiku.
Sehari sebelum aku keluar kota untuk magang, Satya memintaku untuk bertemu dengannya, katanya ada hal yang ingin ia bicarakan walaupun sebentar. Karena aku sedang sibuk packing, maka kami memutuskan untuk bertemu di depan indekosku.
Aku sudah menunggunya di depan gerbang, dan tak berselang lama iya datang. Satya menyapaku dan aku membalasnya.
“Ta, sebenarnya aku mau memberikan ini,” kata Satya yang mengeluarkan sebuah box dengan bentuk persegi panjang dan dilengkapi pita berwarna biru.
“Ini apa?”
“Kamu buka isinya pas sudah di kamar saja ya Ta,”
“Oke, Terima kasih ya Satya,”
“Sama-sama, oiya semangat magangnya ya Ta” kata Satya yang sambil mengepalkan tangannya supaya lebih semangat.
“Iya,” jawabku sambil tersenyum melihat tingkahnya.
“Kalau gitu aku mau langsung pergi ya Ta, ada urusan,”
“Hati-hati ya,”
“Iya.”
Setelah itu, aku langsung masuk ke kamar dan membuka isi kotaknya. Kulihat sebuah jam tangan dan sebuah surat di sampingnya. Jam tangan yang tak asing, karena kupilihkan waktu ke sebuah toko yang katanya untuk temannya. Suratnya diketik dan dicetak, niat sekali.
Ayunita, semangat ya besok magangnya! Aku mau kasih kamu barang ini supaya kamu ingat waktu, dan ingat aku, mungkin. Terima kasih ya Ta, karena sudah mau berteman denganku, jaga diri kamu baik-baik Ta. Sampai bertemu kembali, di satu garis yang sama, yang disebut dengan takdir ya Ta.
Saat membaca suratnya aku terharu, langsung kuhubungi Satya untuk mengucap terima kasih dan aku menyampaikan kalau aku juga senang berteman dengannya.
Kulanjutkan mengemasi barang-barang yang akan aku bawa, setelahnya aku istirahat karena besok harus berangkat pagi-pagi sekali untuk berkumpul terlebih dahulu.
Pagi hari, kulihat teman-temanku sudah berkumpul di bangku-bangku panjang yang sudah disediakan oleh panitia. Kami menunggu instruksi untuk masuk ke dalam bus, beberapa Kakak yang menjadi panitia memanggil nama kami satu per satu untuk memastikan kehadiran kami. Setelah proses presensi selesai, kami pun berangkat menuju lokasi.
Saat melaksanakan magang, aku sudah tidak berkomunikasi baik dengan Angga maupun Satya karena kesibukan kami yang berbeda, takut mengganggu, pikirku.
Karena ujung dari cerita ini adalah orang asing yang tanpa sengaja dipertemukan pada sebuah peristiwa, kemudian menjadi asing kembali. Because people come and go. Realita yang menyakitkan tapi manusia dipaksa untuk menerimanya, karena gak semua cerita harus punya titik akhir yang sesuai dengan keinginan kita, akhir bahagia, misalnya.