Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Celana Dalam yang Hilang
17
Suka
1,961
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Jumiran mengedikkan bahunya saat sang istri bertanya di mana celana dalam miliknya. Perkara jemur-menjemur, memang menjadi tugasnya sebagai lelaki pengangguran. Namun, kalau soal hilangnya celana dalam Dahlia–sang istri, tentu dia tak tahu.

"Kamu ini gimana sih? Jemur baju aja nggak becus!" umpat Dahlia.

"Kamu tadi nyuci nggak itu celana dalam? Jangan-jangan belum kamu cuci. Bisa nggak, sih, nggak main nuduh orang kayak gitu?" balas Jumiran tak terima.

Yang benar saja! Apa maksud Dahlia menuduhnya? Untuk apa Jumiran mencuri celana dalam istrinya sendiri? Toh, dia sudah tahu luar dan dalam tubuh istrinya. Lagian, kalau boleh memilih, lebih baik mencuri celana dalam seorang janda muda yang rumahnya terletak di ujung jalan.

Dari segi wajah, lekuk tubuh, dan keramahan–Mira, sang janda kembang lebih unggul puluhan kali lipat dari Dahlia.

"Aku udah nyuci ya, Mas! Kamu jangan menuduh aku nggak nyuci! Kamu kira aku ini pikunan kayak kamu?"

Jumiran menarik dan menghembuskan napasnya dalam-dalam. Istri yang merasa punya uang lebih banyak memang sering menodai martabat suami. Tak terkecuali Dahlia yang sudah hidup bersamanya selama lebih dari 10 tahun.

"Terus, kalau gitu, siapa yang nyuri? Aku sama sekali nggak nyuri celana dalam kamu! Lagian–"

"Lagian apa?!" tanya Dahlia tak sabar. "Lagian apa, Mas?"

"Nggak jadi. Aku capek ngomong sama kamu!" Jumiran kesal dan bergegas pergi dari rumahnya. 

Jumiran memacu sepeda motornya dan bergegas pergi ke ujung jalan. Barangkali, Mira—sang janda muda–berada di depan rumahnya dan ia bisa bertegur sapa dengannya, syukur-syukur kalau bisa berbincang-bincang untuk melesat penat.

Bising suara mesin Yamaha Alfa milik Jumiran terdengar dari radius beberapa meter. Jumiran sengaja memperlambat laju motornya saat hendak melewati rumah bercat ungu yang pagarnya berwarna senada.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sang janda muda, Mira, kebetulan sedang menjemur pakaian di terasnya.

"Mbak Mira .…" Jumiran menyapa semringah. Dia menepikan motornya tepat di depan pagar rumah Mira.

"Mas Miran …. Tumben sore-sore gini keluar? Mau jemput anak sekolah?"

"Nggak. Nyari angin aja. Abis pulang kerja?"

"Abis beres-beres, Mas. Kebetulan nanti shift malam."

"Oooohhh …." Jumiran mengangguk-angguk. Lalu melihat jemuran milik Mira. "Mbak Mira, hati-hati jemur pakaian dalam di teras rumah. Punya istri saya baru aja hilang."

Wajah cemas Mira pun mulai terlihat. "Jadi, benar ya itu, Mas Miran?"

"Benar apanya, Mbak?"

"Soal pencuri celana dalam perempuan yang ngelakuin itu karena pengen kaya raya?"

"Pengen kaya raya?" Pria sawo matang berambut cepak sekuriti itu berpikir sejenak, agak terkejut. "Tapi saya kok baru dengar ada rumor seperti itu?" tanyanya lagi, dengan mata yang langsung tertuju pada tubuh aduhai Mira.

"Iya, Mas ... dah, ah, saya mau mandi dulu." 

Mira berbalik badan, berlenggak-lenggok masuk rumah. Jelas saja membuat Jumiran tertegun melihat lekuk tubuhnya dari belakang, sebelum akhirnya ia memacu lagi sepeda motornya untuk kembali pulang.

Sepanjang jalan, Jumiran bertanya-tanya. Bukan tentang bagaimana cara Mira mandi, tentu saja. Akan tetapi mengenai kasus hilangnya pakaian dalam istrinya. 

Ia sedikit paham tentang okultisme Nusantara. Bagaimana seseorang menjadi kaya raya dengan ritual gaib. Ah, tapi tidak juga melalui sarana pakaian dalam wanita. Ini aneh. Kalaupun benar begitu, maka kecenderungan hanya ada pada kasus semacam cinta atau perselingkuhan, atau minimal membuang sial bilamana dilakukan di tempat angker. Tapi, apa hubungan antara kaya raya dengan pakaian dalam wanita? Masih mendinglah kalau tentang isinya yang dijual. Jumiran sungguh tak habis pikir mengenai kasus ini.

"Nanti malam aku mau ke rumah Mak Ripuh." Jumiran berkata pada Dahlia yang sedang memanaskan sayur. "Ini pasti ada hubungannya dengan rumor pesugihan di wilayah sini.”

"Bodo amat! Mau ilmu hitam kek, mau pesugihan kek! Yang penting celana dalamku ketemu!" ujar sang istri, masih kesal karena pakaian dalam hilang yang harganya tak seberapa itu.

Malam harinya, Jumiran benar-benar datang ke kediaman Mak Ripuh. Beliau memang terkenal sebagai 'orang pintar' di wilayah sekitar, yang seringkali didatangi orang untuk menyelesaikan persoalan secara instan.

"Hmmm, menurut penerawangan Emak pakaian dalam istri kamu itu ada di puncak gunung Sanggabuana," ujar wanita usia sepuh itu sambil menghisap rokok kretek.

"Hah, di puncak gu—"

"Eh, salah." Mak Ripuh memotong. "Itu mah pakaian dalam saya."

Jumiran tersenyum garing. Pria yang namanya hanya ada pada orang-orang akhir 70-an itu tak bisa membayangkan bagaimana bentuk pakaian dalam Mak Ripuh.

"Maksud Emak, pakaian dalam istri kamu itu dicuri sama Genderuwo."

"Genderuwo? Untuk apa genderuwo mencuri pakaian dalam istri saya, Mak?" Jumiran bingung.

"Mak juga enggak tahu. Kalau kamu mau tahu, tanya aja sendiri langsung."

"Gimana cara saya untuk nanya, Mak?"

Mak Ripuh yang berkulit kisut itu menatap nanar. "Tengah malam nanti, kamu ke kebon tebu, nanti di ujung kebon ada pohon beringin besar. Kamu tahu kan?"

"Iya, tahu, Mak."

"Jangan dipotong dulu!"

"Lah, tadi kan Emak nanya."

"Oh, iya, hehehe ... nanti kamu bakar kemenyan, nanti portal gaib di sana akan terbuka beberapa saat setelah kamu bakar kemenyan. Kamu masuk dan langsung tanya sendiri sama Genderuwo di sana. Kamu berani?" tanya Mak Ripuh setengah menantang.

"Hmmm, berani Mak."

Portal memang terbuka setelah Jumiran melaksanakan semua syarat Mak Ripuh. Melingkar seperti kabut dengan inti yang gelap pekat. Jumiran melangkah, tapi kemudian mundur lagi, melangkah lagi tapi untuk mundur kembali. Entah berapa kali Jumiran melakukan itu. Kalau saja terdengar lagu potong bebek angsa mungkin akan tampak lucu, apalagi maju-mundur cantik. Tapi tidak—tidak ada yang lucu di bawah pohon beringin ujung kebun tebu itu.

Temaram malam nan sunyi membuat Jumiran ragu untuk memasuki portal. Namun, manakala teringat perihal sang istri yang menuntut celana dalamnya kembali, keberaniannya langsung muncul.

Awalnya memang gelap saat kaki kanannya menapaki lingkaran kabut gelap itu. Namun, ketika dua kakinya telah berpijak masuk, gelap itu memudar dan berganti bentang alam yang menakjubkan. Jumiran ternganga dibuatnya, bahkan perlu bantuan dua tangannya untuk menutup mulutnya kembali.

Tampak cakrawala berundak-undak dengan pegunungan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tapi Jumiran tidak bisa berlama-lama menikmati pemandangan dunia yang sepertinya tidak lagi berada di desanya. Mendadak ia rasakan bumi yang dipijaknya bergetar. 

"Siapa yang berani memasuki wilayahku?"

Jumiran mendengar suara besar dari belakangnya, dan ketika berpaling, ia melihat sosok Buto Ijo menjulang dengan tangan kanan memegang gada.

"Sa-saya ... Jumiran, Tu-Tuan—” Jumiran tergagap. 

"Mau apa ke mari?" Sosok itu memotong, lalu duduk bersila di hadapan Jumiran. Tubuhnya tampak besar dan tidak proporsional; kepalanya tampak lebih besar dari badannya bahkan gada yang dipegangnya bisa menjadi tusuk gigi.

"Sa-saya cari celana dalam ... istri saya," jawab Jumiran.

"Celana dalam istri?" Buto Ijo terdengar heran. Ia lepas gadanya dari sela gigi serinya dan memukulkannya di telapak tangan kiri.

"Pasti kelakuan si Genderuwo Tobat!" imbuhnya geram. "Kirain dah beneran tobat!"

"Ge-genderuwo Tobat?"

"Ya, kamu bisa tanya dia."

"Di-di mana sa-saya bisa ketemu Gen-Genderuwo Tobat, Tuan Buto Ijo?"

Tangan kiri Buto Ijo mengusap dagu sejenak sebelum berkata, "Kamu lihat ada batu hijau di sebelah kanan kamu? Ambil!"

Jumiran melirik ke kanan dan melihat sebutir batu berwarna hijau mirip giok di tanah. Ia hampiri dan merunduk untuk mengambilnya. Akan tetapi, sebelum jemarinya menyentuh batu itu, gada si buto ijo telah berayun dan menghantam pantat Jumiran hingga ia terbang melintasi bentang alam yang sangat asing baginya.

"Aaaaaaaaaaahhh!" Jumiran menjerit lama hingga ia mendarat di permukaan empuk segumpal awan. Ajaibnya dia mendarat sambil berdiri dan tidak merasakan sakit apapun, bahkan pantatnya juga tidak.

"Wah, wah, siapa nih?"

Jumiran terperanjat saat melihat sosok mengerikan muncul di hadapannya.

"Ge-genderuwo Tobat?" tanya Jumiran ragu.

"Iya?"

Jumiran bergeming mengamati sosok di hadapannya itu. Keraguan menyelimutinya. Antara yakin dan tidak yakin. 

“Heh! Bengong aja! Mau apa kamu ke mari?” hardik si genderuwo yang langsung membuat Jumiran melonjak kaget.

“A-anu … sa-saya mau tanya ….” Jumiran gugup.

“Tanya apa?” Si genderuwo menatap Jumiran dengan saksama, lalu dengan sedikit memelankan suaranya, dia berkata, “Ah, sebelum itu … pinjem dulu seratus, boleh?”

“Hah?” Jumiran kembali kaget. Kebingungan dia merogoh saku celananya, tapi yang dia temukan hanyalah karcis-karcis parkir tak berguna dan beberapa lembar uang dua ribuan. Keringat dingin mulai mengucur. Dia sama sekali tidak tahu, bahkan tidak pernah mendengar hal semacam genderuwo pinjam uang. Tapi, kalau dia tidak dipinjami uang, apakah pertanyaannya tidak dijawab?

Lama Jumiran bengong. Tiba-tiba saja si genderuwo itu tertawa keras hingga tubuhnya berguling lalu segera kembali ke posisi semula.

“Ah, kamu masa nggak tau istilah viral itu?” 

Jumiran menggeleng.

Genderuwo Tobat mengibaskan tangannya seperti menyerah untuk mengajak Jumiran bercanda. “Ya, sudah, kamu mau tanya apa?”

Jumiran berbicara dengan cepat, “Saya mau cari celana dalam istri saya! Saya harus menemukannya! Harga diri saya sebagai suami dipertaruhkan!”

Genderuwo mengangguk-anggukkan kepala. “Ke mari lah!”

Jumiran mengikuti si genderuwo yang ternyata menunjukkan koleksi celana dalam curiannya. Ternyata ucapan Buto Ijo benar. Genderuwo ini pelakunya. Mata Jumiran memelototi berbagai warna dan model celana dalam itu, tapi tidak terlihat milik istrinya. Dia pun menunduk lesu.

“Ada?”

Jumiran menggeleng.

“Tentu saja nggak ada, karena aku nggak mencurinya. Aku sudah tobat, tahu! Karena itu, namaku Genderuwo Tobat. Ini pasti ulah si Mantan Laknat!”

Jumiran bengong lagi. Siapa pula Mantan Laknat itu? Tapi, dia langsung menurut saja saat Genderuwo menyuruhnya mendekat.

“Daripada repot nyari celana dalam kumal itu, bagaimana kalau kamu menukar istrimu saja? Si Mira, janda itu, bisa jadi istrimu.”

Mata Jumiran berbinar.

“Syaratnya, istrimu harus mencuri celana dalam Mira.”

Jumiran melongo. “Setelah istriku mencurinya, lalu diapakan?" tanyanya polos. Meskipun begitu, gagasan itu ciamik punya! Gagasan yang pasti hanya dimiliki oleh para Buto dan Genderuwo dalam dunia mereka yang uwu.

Bahwasanya, masalah curi mencuri dalaman ini ternyata tidak hanya untuk menambah kekayaan saja. Bahkan bisa merambah ke ganti pasangan atau malah sekalian nambah. Sudah murah meriah, tinggal nyomot pula! Apa tidak ciamik itu namanya?

"Kalau soal mau diapakan, itu urusan nanti. Yang seharusnya kamu pikirkan sekarang ini adalah gimana caranya merayu istrimu supaya mau mencuri celana dalam si Mira bohay," jawab Genderuwo Tobat seraya memilin bulu lebatnya yang awut-awutan. Sedang bahunya yang selebar sandaran kapal pesiar bergerak naik turun seperti menahan tawa.

Jumiran pun seketika merasa curiga oleh gerak-gerik si raksasa keling satu ini. Apa iya sudah benar-benar tobat? Pasti dalam otaknya yang gaib itu tersimpan misi mistis. Sebagai manusia berjenis kelamin sama yang memiliki nafsu setan yang sama pula terhadap Mira, Jumiran bisa menangkap gelagat itu.

"Hayo! Gimana hayo!" kata Genderuwo Tobat sengaja menggoda. Sekaligus mengetes apakah Jumiran memiliki nyali untuk menikung sang istri.

Jumiran sejenak berpikir. Mengatasi Dahlia, sama saja dengan mengatasi sepuluh wanita ngidam dan sepuluh wanita haid pada saat bersamaan. Banyak maunya dan banyak nuntutnya. Merepet pula.

"Apakah ucapanmu bisa dipercaya?" Jumiran kembali bertanya. Entah mengapa taraf kecerdasan otaknya jadi naik tarif begitu mendengar ada cara untuk mendapatkan Mira. Tapi, tentu saja dia harus hati-hati. Jangan sampai si genderuwo yang sepertinya belum sepenuhnya tobat ini menipunya!

Genderuwo Tobat malah tertawa terbahak-bahak. "Aku jujur kok, Bro! Buktinya aku tidak malu menunjukkan koleksi celana dalam curianku. Aku sebenarnya bukan makhluk introvert. Cuma tak kasat mata aja," katanya seraya mengedikkan bahu.

Jumiran kembali terdiam. Sejenak berpikir untuk mempertimbangkan keputusannya. Karena semua pasti ada risikonya. Soal Dahlia, nanti dia bisa bilang kalau saat Mira menjemur pakaiannya tadi sore, dia melihat ada celana dalam bergambar Spiderman. Sedangkan yang lain bermotif bunga-bunga.

“Woy! Gimana, Bro?” tegur Genderuwo Tobat mendesak.

“Baiklah, Gend. Aku akan coba membujuk istriku agar mau mencuri celana dalam Mira. Tapi, kalau sampai Mira tidak menjadi milikku, maka kamu yang harus tanggung jawab!” tantang Jumiran kemudian.

“Eh, tanggung jawab gimana ini, Bro!” tanya Genderuwo Tobat keheranan.

“Kamu harus mencuri celana dalam milik si Buto Ijo untukku!” sahut Jumiran.

Genderuwo Tobat membelalak sangat lebar. Jelas ia khawatir. Bagaimana kalau tidak berhasil? Apalagi taruhannya bersangkutan dengan celana luar-dalam ijonya si Buto. Mana itu satu-satunya yang ia miliki. Apalah arti si Buto tanpa CD ijonya coba?

Jumiran yang menangkap kegalauan Genderuwo Tobat hanya bisa tersenyum-senyum penuh kemenangan. Jika celana dalam bergambar Spiderman milik istrinya bisa menambah kekayaan, sedang celana dalam milik Mira yang bermotif bunga-bunga bisa berbalik menaklukkannya, apalagi CD milik si Buto Ijo. Wah, double ciamik ini namanya! Dan, gagasan ini hanya Jumiran yang punya.

Pagi hari, Jumiran tiba kembali di rumahnya. Dengan disambut sang istri yang sudah menantinya dengan tatapan garang.

“Dari mana saja kamu, Mas?!” Tanpa basa-basi, Dahlia meraih sandal jepit dan memukulkannya ke Jumiran.

Jumiran pun berusaha menghindar.

“Pasti kamu selingkuh, ya?” Dahlia semakin ganas.

"Tunggu! Jangan ngamuk dulu!" seru Jumiran sambil melompat-lompat mencoba menghindari gebugan sendal jepit istrinya menggunakan jurus monyet berkelit. 

"Dasar suami gak tau diri! Hidup masih numpang aja mau cari gara-gara!" geram Dahlia kesal karena Jumiran berhasil meloloskan diri dari serangannya dan berlari menuju ke kamar.

"STOP!" Jumiran menghentikan langkah Dahlia yang berusaha mendekatinya lagi dengan mengacungkan wadah skincare milik istrinya itu, bersiap untuk membantingnya.

"Maaaasss! Apa yang kamu lakukan! Hush! Hush! Minggir! Jangan dekati obat cantikku!!" jerit panik Dahlia mengibaskan tangannya agar Jumiran menjauhi kaca rias. Tetapi suaminya itu justru berusaha meraih botol parfum miliknya.

"Kembalikan!" bentaknya berusaha merebut wadah skincare dari tangan suaminya.

"Eit, nggak bisa!" Jumiran mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Kembalikan! Itu barang mahal! Krim itu yang berhasil membuat kecantikanku kian paripurna! Aku sudah susah payah membelinya!" ketus Dahlia memonyongkan bibirnya yang tebal sempurna.

“Makanya, dengarkan aku dulu!” Jumiran merasa di atas angin.

Dahlia mulai mereda. 

"Sini duduk dulu biar aku jelaskan! Jangan teriak-teriak gitu, malu sama tetangga." Jumiran duduk di sisi tempat tidur. Dahlia ikut duduk di sampingnya.

“Selama ini hidup kita begini-begini saja. Pernah nggak sih kamu berpikir untuk menjadi orang kaya?” Jumiran mengatur napasnya.

“Ya memang sudah bertahun-tahun kita hidup begini. Kenapa baru mikir sekarang?” Dahlia masih ketus.

"Nah, karena itu, sudah saatnya kita menjadi kaya.”

"Bagaimana caranya?" Dahlia skeptis. "Dari dulu kamu itu kerjanya nggak becus.”

Jumiran terdiam. Hatinya tidak terima dikatakan tidak becus. Namun, dia teringat dengan misi rahasianya

“Mas, malah bengong.” Dahlia mencolek Jumiran.

“Begini.” Jumiran kembali mengatur napasnya. “Untuk menjadi kaya raya kita, harus bekerja sama. Kamu harus berjanji menjaga rahasia kita,” pintanya.

“Iya, ngomong aja, nggak usah muter-muter!”

“Syarat untuk menjadi kaya—kamu harus mencuri celana dalam milik Mira!”

“APA?” Mata Dahlia membulat. Dengan cepat ia kembali meraih sandal jepitnya.

Jumiran segera memasang kuda-kuda.

“Sudah kuduga, kamu tertarik dengan si Mira! Kurang ajar!” Dahlia kembali memukul Jumiran dengan sandal jepit.

"Nggak, Sayang. Itu adalah syaratnya," kata Jumiran sambil menyangkal hantaman sandal jepit. 

"Sayang … sayang, sejak kapan kamu memanggilku ‘sayang’? Begini nih kelakuan suami yang ketahuan selingkuh–banyak gula,” katanya sambil memukuli Jumiran.

"Dengar, kalau rencana kita berhasil, kita jadi kaya raya, kamu mau oplas biar mirip Luna Maya juga bisa! Mau lebih cantik dari Luna Maya pun oke saja!" Jumiran tetap gigih membujuk.

"Aku gak pengen kayak Luna Maya! Aku mau kayak Ayu Ting Ting aja!"

"Terserah! Yang penting kamu dengar dulu penjelasanku! Belum selesai ngomong udah keburu ngereog aja!"

"Ya sudah! Buruan ngomong!" Akhirnya Dahlia menyerah dan menurunkan sandal jepitnya. Lama-lama ia penasaran juga dengan suaminya yang terlihat seperti orang stres itu.

"Kamu tahu? Gara-gara nyariin celana dalam kamu itu, aku sampai harus mendatangi para lelembut penghuni pohon beringin besar di ujung kebon tebu. Para lelembut itu bilang kalau celana dalam kamu itu dicuri orang yang ingin menyingkirkan kamu biar bisa merebut aku!"

Dahlia memelotot memandang suaminya yang terlihat kucel karena belum mandi sejak kemarin.

"Kamu?"

"Iya! Kamu pasti gak percaya! Ini perkara hitungan Jawa. Wetonku sama wetonmu sebenarnya gak terlalu cocok, makanya dari dulu kehidupan kita miskin terus!" oceh Jumiran meyakinkan.

Dahlia memicing, mencoba memikirkan ucapan suaminya. Menghitung-hitung dalam hati weton mereka. Memang ketemunya gak terlalu bagus menurut hitungannya. Dulu kakeknya juga pernah bilang tentang masalah tersebut saat Jumiran datang melamarnya.

"Nah, orang yang mencuri celana dalammu itu kebetulan punya weton yang cocok sama wetonku. Kalau dia berhasil menyingkirkan kamu dan menjadikan aku pasangan hidupnya, katanya akan sangat sukses," ujar Jumiran meneruskan bualannya.

"Pasti pencuri itu si Mira kan?" cibir Dahlia.

"Memang ...." 

"Dasar buaya! Coba-coba nipu aku kamu, Mas? Gimana dia bisa tahu weton kamu?"

"Mana aku tahu! Buktinya, aku lihat ada celana dalam gambar Spiderman sama Winnie the Pooh di jemuran Mira kemarin sore, padahal yang lainnya model bunga berenda. Ukurannya juga beda. Yang gambar Spiderman dan Winnie the Pooh terlihat lebih besaaaarrrr! Minggu lalu kamu juga kehilangan celana dalam yang gambar Winnie the Pooh kan?" kelit Jumiran cepat saat ia mengingat minggu lalu sudah menghanyutkan celana dalam istrinya itu ke comberan, dan dia malas ngubek-ubek comberan hanya untuk mencari celana dalam istrinya yang sudah melar itu.

Dahlia terdiam tapi ia masih tak terlalu percaya omongan suaminya.

"Sudahlah, percaya nggak percaya memang seperti itu penjelasan yang aku dapat. Aku nggak mau kehilangan kamu, Sayang! Kamu itu mau dijadikan tumbal! Kata genderuwo itu, kalau kamu bisa ganti mengambil celana dalam Mira, kamu bisa selamat sekaligus bisa mengambil keberuntungan dia. Kita bisa kaya raya dan dia yang akan jadi tumbal!"

"Alah! Paling itu hanya akal bulusmu saja mas, biar bisa memiliki dalamannya si Mira saja," dengus Dahlia gusar. Ia sepertinya memang sulit percaya pada suaminya itu.

"Enggak, Sayang. Mas serius. Ini karena Mas sangat sayang kamu dan takut kehilangan kamu. Mas enggak mau kalau sampai kamu jadi korban keinginan anehnya si Mira itu. Makanya, Mas berani ngomong begini sama kamu," tegas Jumiran meski dengan suara yang terdengar bergetar di telinga Dahlia.

Toh, geraman halus terdengar dari mulut Mira. Tampaknya ia tersentil.

"Nggak segampang itu, hei Mira! Semut saja kalau diinjak mati, eh menggigit. Apalagi seorang Dahlia yang kecantikannya paripurna dengan bantuan skincare mahal dan ternama." Geram Dahlia semakin terdengar. Dengan amarah yang membara, bahkan wajahnya yang putih kinclong jika ada semut yang terjatuh pasti akan tergelincir dari sana.

Jumiran tersenyum samar melihat kemarahan istrinya itu. Hatinya bersorak kegirangan karena Dahlia mempercayai ucapannya.

Tiba-tiba Dahlia bangkit dan berjalan keluar.

"Hei, mau kemana?" Jumiran bingung.

"Mau ke rumah Teh Manis. Mau minta ajarin jurus nyolong jemuran tanpa ketahuan," jawab Dahlia yang menghilang di balik pintu sehingga hanya suaranya saja yang mampu terdengar oleh Jumiran.

Jumiran hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal, tak menyangka Dahlia ternyata benar-benar serius.

Dahlia memacu langkahnya dengan cepat untuk segera tiba di ujung desa. Diikuti Jumiran yang diam-diam membuntutinya. Bukan tanpa alasan Dahlia menuju rumah Teh Manis. Teh Manis terkenal begitu lihai dengan kecepatan tangannya dalam memilih barang belanjaan di pasar. Apalagi kalau sudah memburu barang sale diskonan di departement store. Siapa tahu, kan, ia juga bisa membagi ilmu kecepatan tangannya untuk mengambil jemuran orang?

"Teh Manis? Teh … Teteh … ini Dahlia," panggil Dahlia di luar pagar setinggi harapan orangtua itu. "Teh?" panggilnya lagi. 

Teh Manis yang sedang leha-leha di atas kursi santai kayu itu pun terperanjat. Buru-buru dirinya beranjak, hingga tak sengaja jatuh tersungkur. 

"Aduh!" jeritnya. "Aduh, bokong semokku bisa penyok ini," keluhnya, meringis. 

"Teh Manis? Permisi? Teh?" Dahlia di luar terus memanggil.

Teh Manis masih meredakan rasa nyerinya. "Ya ampun, siapa sih? Langsung masuk saja 'kan bisa," gerutunya. "Oh, dikunci ya? Halah kenapa nggak manjat aja? Gunain akalnya. Ah, sudahlah, siapa tau dia membawa kabar baik," lanjutnya. 

Teh Manis pun keluar dengan memegang bokongnya yang masih nyut-nyutan. Pagar ia buka, dan tampaklah Dahlia yang terheran-heran melihat Teh Manis meringis. 

"Teh Manis apa kabar?" sapa Dahlia. 

"Baik, hanya saja bokong saya penyok," jawabnya. 

"Hah?"

"Oh, tidak, tidak. Omong-omong ada perlu apa Teh Dahlia?" tanya Teh Manis. 

"Saya butuh ilmu, Teh Manis," ucapnya menggebu-gebu, terhasut ucapan suaminya. 

Teh Manis mengerutkan keningnya. "Ilmu apa, Teh Dahlia?" tanya Teh Manis. 

"Ilmu nyolong jemuran, Teh Manis!" seru Dahlia. "Ada janda sok cantik mau rusak rumah tangga saya, Teh Manis. Dia mau rebut suami saya," jelas Dahlia, kesal.

“Nyolong jemuran?” Teh Manis terbelalak. “Ngana pikir saya maling jemuran?” Teh Manis agak tersinggung.

“Bukan … bukan.” Dahlia meralat. “Maksud saya, Teteh kan tangannya cepet banget tuh kalo belanja di pasar. Nah, bisa nggak saya minta ilmunya, biar bisa saya pakai buat nyolong jemuran.”

“Oh, itu.” Teh Manis mengajak Dahlia masuk. “Gampang itu.” 

Teh Manis mempersilakan Dahlia untuk duduk di ruang tamu.

"Kayaknya saya tahu. Pasti si Mira 'kan? Janda busuk yang suka nebar jaring sama laki orang itu. Wah, itu harus dibasmi!" seru Teh Manis. "Yuk, saya ajarkan caranya," ajak Teh Manis. 

Dahlia tampak sudah tak sabar ingin segera mencuri celana dalam Mira, si janda problematik saingannya.

"Caranya begini, Teh Dahlia," ucap Teh Manis. "Teh Dahlia, harus menyamar jadi kunti," lanjutnya, membuat Dahlia menganga. 

"Kunti?" Dahlia bengong. "Kuntilanak maksudnya,Teh?" tanya Dahlia memastikan. 

"Iyalah, masa kuntilemak? Teh Dahlia, ada-ada saja," goda Teh Manis. 

"Gimana caranya? Saya ini kan manusia," cecar Dahlia. 

"Gampang, mati saja dulu nanti pasti jadi kuntilanak." Teh Manis berkata asal.

Mendengar ucapan Teh Manis, Dahlia rasanya ingin melempar meja yang terbuat dari kayu jati yang berat itu kalau saja ia seorang ironman, eh ironwoman

Teh manis melenggokkan badannya di depan Dahlia sambil berkata, "Chandyaaaa ... berchandyaaa."

Teh Manis akhirnya memberitahukan cara agar Dahlia bisa menjadi kuntilanak dalam sesaat. 

"Coba kamu ke kamar mandiku, lalu mengupil di sana. Nanti akan ada kunti yang nyamperin kamu," ujar Teh Manis. 

Dahlia mengikuti saran Teh Manis. Ia pergi ke belakang, membuka pintu kamar mandi, berjongkok, lalu mengeluarkan hasil pertambangan di hidungnya. Tak lama, sosok kuntilanak berbaju polkadot pun mendatanginya. 

"Ada perlu apa kau ke sini?" tanya Kuntilanak itu. 

Berbeda dengan Jumiran yang penakut. Dahlia lebih berani menghadapi makhluk halus yang tak kasar ini. "Saya mau minta ilmu untuk menjadi kuntilanak supaya bisa mencuri celana dalam milik janda bohay yang sedang mengincar suami saya."

"Baiklah ikut saya!" Kuntilanak itu berjalan menembus tembok. 

Dahlia pun berdiri dan mengikutinya. Namun, dalam sekejap Dahlia memegangi jidatnya dan mengaduh.

"Aduh."

"Heh, ikut!" tegas Kuntilanak. 

"Tapi saya nggak bisa nembus tembok."

"Oh iya, lupa. Kamu kan orang." Kuntilanak pun membuatkan sebuah lubang biru untuk jalan Dahlia. 

Dahlia pun masuk.

"Ini tempat apa? Kok gelap dan bau sekali." Dahlia menutup lubang hidungnya. 

"Ini septic tank."

"Apa? Septic tank?" Dahlia terbelalak.

“Sudah, jangan banyak protes. Sekarang buka pakaianmu,” perintah Kuntilanak.

Dahlia terbengong sesaat. Ini proses menjadi kuntilanak atau casting iklan sabun mandi? Toh, meski heran, Dahlia tetap membuka semua kain yang melekat pada tubuhnya.

"Ah, nggak pantas, ni, orang jadi kuntilanak, masak kuntilanak badannya penuh dengan panu," komentar Jeng Kunti sambil terus mengamati tubuh Dahlia, lalu meraba seluruh tubuh Dahlia, "Tubuh tanpa lekuk seperti pohon pisang," ujarnya.

Sungguh, Dahlia kesal dengan kata-kata Jeng Kunti dan ingin mendampratnya. Namun, ia mengurungkannya karena perhatiannya teralihkan ke tekstur tangan si kunti yang kasar. Benarkah ini kunti? Atau jangan-jangan malah kunti mesum jadi-jadian?

Tangan gaib itu berhenti pada dada Dahlia, kemudian memutar-mutar sambil Jeng Kunti merapal sebuah mantera. 

"Jika nanti kamu menyamar, pakailah celana dalamku ini. Tak akan ada orang atau pun jin yang bakal bisa tahu kalau kamu sebenarnya manusia," ujar Jeng Kunti sambil menyerahkan sebuah bungkusan berwarna hitam.

"Ketika itu, apakah saya bisa menembus tembok juga?" Tanya Dahlia penasaran.

"Tentu saja, karena ritual ini dan juga celana dalam yang bakal kamu pakai itu akan menyempurnakan penyamaranmu, tapi ingat, ada pantangannya saat kamu dalam penyamaran."

"Pantangan? Apa itu?"

"Kamu tidak boleh punya keinginan mesum saat dalam mode penyamaran."

"Ahsiaap!" Tanpa pikir panjang Dahlia menyetujui pantangan tersebut, sebab dia pikir mustahil juga pikiran mesum muncul saat tengah mencuri CD alias celana dalam. Jijik mungkin kata yang lebih tepat.

"Satu hal lagi ...." Jeng Kunti ternyata belum selesai. “Sebagai pelengkap ritual, kamu nungging di pojok sana," perintahnya

"Buset, gini amat mau jadi kunti doang! GAK JADI! Mending mencuri celana dalam secara halal ala-ala Tom Cruise di Mission Impossible! Lebih keren dan bermartabat! BYE!"

Dahlia yang sewot begitu saja meninggalkan septic tank kediaman Jeng Kunti sambil terus ngedumel sehingga Jeng Kunti terbengong-bengong dengan perasaan sakit. Tidak pernah ada yang sekurang ajar itu kepadanya selama nyaris 300 tahun menjadi Kunti Senior bersertifikat.

"Udah dikatain panuan, dikatain mirip pohon pisang, banyak persyaratan pula. Sorry, ye!" cerocos Dahlia sepanjang jalan, tapi detik selanjutnya dia mengusap dagu. "Hmmm, tapi bagaimanakah gerangan caraku mencuri celana dalam janda bohay itu?"

Setelah berpikir lama, kira-kira sekitar semenit lebih seperempat detik, Dahlia pun tersadar telah membuang satu-satunya harapan dia bisa mengambil celana dalam Mira. Mustahil dia bisa melakukan aksi gelantungan pakai tali seperti Tom Cruise di Mission Impposible. Dia tidak punya tali.

Sekarang dia tidak akan menjadi kaya-raya. Jumiran akan melirik Mira lebih sering. Entah skincare seperti apalagi yang harus ia gunakan untuk mempertahankan Jumiran. Putus asa, Dahlia pun menghampiri batang pohon terdekat dan mulai menangis pilu. Hiks... Hiks... 

Cring... Cring... Cring

"Kenapa kamu menangis wahai wanita yang gak cantik-cantik amat?" sapa sebuah suara magis keibuan. "Apa yang membuatmu bersedih pilu di tengah kebon seperti ini?"

Dahlia menoleh ke arah suara dan lantas terbelalak. "Ibu Peri?"

“Ibu Peri pala lu peang. Gue Mak Ripuh, Dahlia!” Wanita tua berusia lebih dari setengah abad itu menoyor kepala Dahlia.

“Yaelah, Mak. Kenapa pakai setelan baju kupu-kupu segala sih? Terus itu pakai celana legging siapa?” Dahlia menatap Mak Ripuh nyaris tak berkedip. Selain memakai kostum kupu-kupu dan celana legging, wanita paruh baya itu juga membawa tongkat berbentuk bintang yang bisa menyala dengan menekan tombolnya.

Mak Ripuh terkekeh. Dia berjalan mengitari Dahlia sambil menatap tubuh wanita gendut itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Sumira memang sudah gelap mata, demi bisa tetap terlihat muda, dia tetap saja menjadikan wanita yang lebih mirip drum minyak ini sebagai tumbalnya,” gumam Mak Ripuh.

“Tu ... tumbal? Tumbal bagaimana maksud, Emak? Terus siapa yang mau awet muda?” cecar Dahlia. Dia mengabaikan perasaannya yang disamakan dengan drum minyak dibanding rasa penasaran yang memenuhi hatinya.

Mak Ripuh tiba-tiba terduduk. Dia menyandarkan tubuhnya di bawah pohon dengan kepala yang menengadah menatap matahari yang bersinar sangat terang.

“Mak! ... Mak Ripuh? Mak Ripuh enggak akan berubah jadi serigala kan?” tanya Dahlia sambil mengguncang-guncang bahu wanita tua itu. 

Mak Ripuh menoleh sambil menyeringai ke arah Dahlia yang sudah ikut duduk di sampingnya. Kedua matanya memelotot.

“Mak ini sudah tidak punya gigi, kalau jadi serigala, bagaimana caranya aku menggigit kamu? Lagian itu matahari, bukan bulan purnama. Bangun, woooy!” Mak Ripuh kembali menoyor Dahlia.

“Oh iya, ya!” Dahlia nyengir. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang sudah tujuh hari tujuh malam tidak pernah keramas (tapi wajahnya selalu kinclong berkat skincare mahal).

“Tapi kamu jangan senang dulu!” bentak Mak Ripuh tiba-tiba. “Jika sampai tengah malam nanti kau belum bisa mengambil celana dalam yang dicuri oleh Sumira, maka besok kau tak akan bisa melihat matahari terbit lagi.”

“Hah? Yang bener, Mak?”

“Ya iyalah, masa Emak boong. Sini aku bisikin sesuatu sama kamu.” Mak Ripuh mendekatkan bibirnya ke telinga Dahlia. “Sebenarnya ... Sumira itu seangkatan sama Emak. Dia menjadi terlihat muda karena melakukan ritual memakai masker celana dalam yang dia curi dari wanita-wanita di kampung ini.”

“Tapi … gimana saya mengambil pakaian dalam yang dicuri Mira, itu, Mak?” Dahlia kian putus asa.

Rumah bernuansa ungu itu tampak gelap. Toh, sebuah benda tetap terlihat mencolok. Digantungkan pada tali di beranda depan yang membentang di antara dua pilar.

Ternyata memang ada alasannya kenapa Mak Ripuh menyuruh Dahlia untuk mengambil celana dalam sebelum lewat tengah malam ini. Karena, Mira mendapat giliran shift malam! Makanya rumahnya gelap.

Tangan Dahlia segera menjulur ke benda yang menggantung tersebut. Mencoba memastikan apakah itu memang benda yang dicarinya. Namun, tiba-tiba lampu menyala terang.

"Sudah kuduga. Kau rupanya!"

Dahlia yang terkejut sontak menoleh ke arah suara.

"Se … se … SASETAN!" Dahlia menjerit sejadi-jadinya ketika melihat sosok berwajah putih dengan mata memelotot berdiri garang di depan pintu.

"Sembarangan! Situ yang maling." Dengan garang, si wajah putih dengan mata memelotot itu mengambil sapu di sampingnya dan menghampiri Dahlia, bermaksud memukulnya.

Namun, Dahlia dengan sigap menangkap sapu tersebut. Ternyata Dahlia sadar, bahwa si wajah putih itu bukan setan, melainkan Mira!

"Jangan jadi maling teriak maling! Kamu, kan, yang mencuri celana dalamku?" Dahlia mendorong balik Mira.

“Siapa yang doyan sama celana dalam kamu? Celana dalamku Calvin Klein, seapes-apesnya Triumph. Harganya paling enggak 500.000-an. Jangan samakan dengan celana dalam kamu yang 50.000 dapat tiga!” Mira memelotot dengan sewot. Kemudian kembali memukulkan sapu ke arah Dahlia.

“Benar tebakanku. Maling celana dalam munculnya malam hari. Makanya aku pura-pura pergi kerja shift malam. Jebakanku berhasil. Celana dalamku mau kamu jual di pasar gelap, kan?”

Dahlia dengan sigap kembali menangkap sapu tersebut. Kemudian dengan tenaga penuh, ia mendorong Mira hingga nyaris terjengkang.

“Aku tahu rahasia kamu! Kamu seumuran Mak Ripuh, kan?” Dahlia menunjuk wajah Mira.

Mira terkejut. Matanya kian terbelalak, yang dengan masker putihnya ia semakin mirip Nenek Lampir.

“Kamu melakukan ritual memakai masker celana dalam wanita untuk awet muda!” Dahlia kembali menuding wajah Mira.

Mira mencopot maskernya. “Ini?” Ia bertanya. Namun, sedetik kemudian ia malah terbahak. “Dahlia … Dahlia! Pantas saja kamu miskin terus! Hare gene masih percaya yang begituan? Wajahku awet muda karena aku … OPERASI PLASTIK!”

Dahlia terbelalak.

“Makanya! Kalo nonton drakor, tuh, jangan cuma buat nge-haluin oppa-oppa. Pakai juga dong resepnya supaya awet muda: operasi plastik. Badanku seksi juga karena aku sering senam ala Blackpink. Plus diet karbo. Sudah bertahun-tahun aku tidak makan nasi.” Mira mencibir. “Makanya jangan makan gorengan mulu. Lari deh tu si Jumiran–”

“Eh, jangan coba-coba mendekati suamiku!” Dahlia kembali tersulut amarahnya.

“Siapa yang mau sama suamimu? Mending aku kerja keras untuk menghidupi diri sendiri daripada ngurusin laki-laki pengangguran–”

BRAK!

Sebuah suara menghentikan pertengkaran kedua wanita itu. Keduanya langsung menoleh ke arah suara, yang ternyata berasal dari luar jendela kamar Mira. Tampak sekelebat bayangan seakan baru melompat dari dalam kamar. Gerakannya cepat bagai siluman.

“Heh! Siapa itu! Maling!” Mira dan Dahlia melupakan pertengkaran mereka dan berlari mengejar sosok tersebut. Sekilat cahaya membuat keduanya tersentak ketika sosok itu menoleh.

“KAMU?” Mira terkejut.

“Dasar laki-laki JAMURAN maling JEMURAN!” maki Dahlia.

Mira kaget saat melihat orang yang barusan keluar dari kamarnya. Bukan karena orang itu mau mencuri celana dalam, tapi karena orang itu keluar kamar di saat yang tidak tepat.

Sementara itu kedua lubang telinga, hidung dan mulut Dahlia menyemburkan asap kemarahan yang luar biasa. Ternyata selama ini, Jumiran bukan hanya maling jemuran, tapi juga beserta isinya.

"Laki-laki brengsek, tak tahu diri, tak tahu terima kasih, kamu mencuri celana dalamku supaya bisa kelonan dengan si janda ini, hah!" bentak Dahlia berapi-api.

"Kamu salah paham Dahlia. Bukan aku pelakunya. Aku cuma disuruh sama Genderuwo tobat," elak Jumiran.

Mira alias Sumira bohay, cuma bisa menepuk kening. Kalau begini bisa terbongkar rahasia perusahaan, katanya membatin, risau.

"Aku tak percaya sama kamu, Mas!" Dahlia mengibaskan tangan menolak alasan Jumiran.

"Kalau tak percaya tanya saja sama Genderuwo Tobat!" Jumiran melengos sembari mencibirkan bibir.

"Baik. Ayo kita ke tempat Genderuwo tobat sekarang." Tanpa menunggu persetujuan dari suaminya, Dahlia langsung menarik tangan Jumiran untuk pergi menemui Genderuwo Tobat.

Sementara Jumiran malah menarik tangan Mira. Ketiganya pergi bersama beriringan, saling menuntun tangan. Tentu saja pemandangan langka ini membuat heboh seluruh penduduk kampung tempat laki-laki pengangguran itu tinggal—yang malam itu terbangun akibat suara ribut-ribut.

Beberapa tampak kasak-kusuk, mengira kalau Dahlia memergoki Jumiran yang tengah indehoy dengan Mira. Akan tetapi rasanya tak mungkin, karena wajah Jumiran terlihat bahagia.

"Woy, Miran. Mau ke mana lu? Tumben lu bertiga pada kompak?" tanya Pak RT mencegat mereka di jalan.

"Mau ke KUA, Pak," celetuk Jumiran asal saja.

"KUA gundulmu." Dahlia makin beringas mendengar ucapan Jumiran.

"Mau ke kantor polisi, Pak. Mas Miran mau mencuri isi celana dalam saya." Mira yang menjawab.

Pak RT memelotot, terpana bukan karena mendengar suara merdu mendayunya Mira, melainkan pernyataannya.

"Lah, berarti yang mencuri isi dalam istri saya sampeyan ya, Miran?" tembakan Pak RT membuat wajah Jumiran pucat. 

Sebelum Dahlia ngamuk dan menyemburkan uap naganya, Jumiran memilih lari tapi tetap menuntun tangan Mira.

"Mas, kembali kamu, Mas! Jangan pergi, bangsat!"

Kejar-kejaran pun terjadi. Teriakan Dahlia menggema di seluruh kampung, sampai membangunkan Buto Ijo, Genderuwo Tobat dan Mantan Laknat. Ketiganya bergegas menerobos portal waktu untuk melihat apa yang terjadi. Dari bawah pohon beringin, ketiganya memperhatikan ulah Jumiran, Dahlia dan Mira.

Buto Ijo dan Genderuwo Tobat geleng-geleng kepala melihat adegan kejar-kejaran Dahlia, Jumiran dan Mira. Lalu kedua raksasa yang sudah hijrah itu melihat ke arah Mantan Laknat dengan mata memelotot segede bola basket.

Mantan Laknat cengengesan saja. Dengan ekspresi wajah yang tanpa dosa dan polos, dia berkata, "Aku cuma menjalankan tugas."

Ketika sampai di bawah pohon beringin, Jumiran dan Mira kelelahan berlari, napas mereka tersengal-sengal.

"Buto ijo, Genderuwo Tobat, tolong aku!" teriak Jumiran.

"Tolong apa?" hardik Buto Ijo kasar.

"Bukakan portal, agar aku bisa masuk dan terhindar dari istriku," jawab Jumiran seenaknya.

Buto Ijo merasa tersinggung diperintah oleh manusia.

"Wani piro?" Buto Ijo membuka tawaran pada Jumiran.

Wah, jangan-jangan ini sama kayak si Genderuwo Tobat, mau pinjam seratus dulu, Jumiran membatin. Matanya melirik Genderuwo Tobat.

Jumiran tampak ragu dan bingung soalnya dia tidak punya uang sama sekali. Dia memandang Mira.

"Apa?" tanya Mira yang sudah tahu arti tatapan Jumiran.

"Boleh pinjam seratus dulu? Kalau usaha kita berhasil aku ganti satu milyar." Tatapan mesra dan memohon Jumiran ditanggapi Mira dengan senyum ketus, tapi tak urung dia merogoh dadanya, dan mengeluarkan dua lembar uang berwarna biru dari dalam bra-nya.

Genderuwo Tobat langsung merebut uang itu dan menciumnya. Uang disimpan di dalam bra Mira, wangi sekali wangi minyak nyongyong, minyak yang sangat disukai kaum genderuwo.

"Silakan masuk," Genderuwo langsung membukan portal, tetapi teriakan Dahlia mengurungkan niatnya.

"Hei, Genderuwo Tobat, mana celana dalamku?!" pekik nyaring suara Dahlia.

"Aku sudah tobat, aku tidak mencuri lagi. Dia pelakunya!" tunjuknya pada Mantan Laknat yang dari tadi cuma diam.

"Sudah kubilang, aku cuma menjalankan tugas!" tegasnya, dia memutar badan hendak pergi dan tidak mau peduli dengan keributan ini. 

"Jangan pergi dulu, tunjukan padaku, siapa bosmu." Dahlia memaksa Mantan Laknat untuk menunjukan siapa yang menyuruhnya. "Kamu juga harus ikut, Mas. Karena gara-gara kamu, celana dalamku hilang." Dia menarik tangan suaminya.

Dengan cepat Jumiran juga menuntun tangan Mira. Siapa yang tega kehilangan Mira, tak terkecuali Jumiran.

Ternyata, Mantan Laknat mengajaknya ke tempat Teh Manis!

"Jadi, Teh Manis yang menugaskan kamu, Mantan Laknat?!" seru Dahlia, Jumiran dan Mira.

"Aku dan Mantan Laknat hanya menjalankan perintah seseorang, celana dalam itu kami serahkan kepada seseorang," jawab Teh Manis.

"Siapa?" tanya ketiga manusia tersebut.

"Mak Ripuh."

"Apa? Mak Ripuh?" ketiganya saling tatap.

"Kita ke rumah Mak Ripuh sekarang," ajak Dahlia, pada Jumiran, Mira, Mantan Laknat dan Teh Manis.

Benar saja. Di rumah Mak Ripuh yang bak istana itu, ada satu buah kamar yang berisi ribuan celana dalam perempuan, bahkan Mak Ripuh membuat bed cover dari celana dalam itu, agar dia bisa berfantasi dan merasakan nikmatnya dunia.

Dia sudah merencanakan untuk menumbalkan Jumiran dan Mira kepada penguasa di Gunung Sanggabuana, sebagai hadiah dari kekayaan yang dia peroleh.

Mak Ripuh menugaskan Teh Manis untuk menyamar menjadi Kuntilanak. Karena Teh Manis tidak mempunyai ilmunya, jadi dia belajar ilmu itu pada Mantan Laknat dan menugaskan Mantan Laknat untuk memata-matai jemuran penduduk. Tentu saja, Kuntilanak yang ditemui Dahlia sebenarnya adalah Mantan Laknat!

"Untuk apa Mak Ripuh menyimpan semua celana dalam ini?" tanya Mira penasaran.

"Untuk koleksi biar dapat rekor MURI dan aku bisa operasi plastik menjadi secantik Juliana Jogbi," katanya terkekeh bahagia.

"Terus mana celana dalamku yang gambar Spiderman?" tanya Dahlia mencari-cari celananya di tumpukan ribuan celana dalam.

"Mana Emak tahu! Emak tak pernah mencuri celana dalammu. Celana dalammu sudah melar, tak bisa dikoleksi. Emak cuma mencuri celana dalam janda untuk hadiah kepada Jin Jasin di Gunung Sanggabuana." Penjelasan Mak Ripuh membuat Dahlia termenung.

Di mana celana dalamku? Dahlia membatin.

Tiba-tiba, datang seseorang yang langsung masuk menerobos rumah Mak Ripuh yang dijaga ribuan semut merah itu. Wajahnya tampak merah, menahan amarah. Ternyata itu Kopi Item, pemilik warung kopi di kampung itu.

"Jumiran! Apa maksud kamu menyumpalkan celana dalam butut ini di comberan? Got rumahku jadi mampet dan bau, pelangganku pada kabur gara-gara celana dalam butut ini," amuk Kopi Item.

Dahlia menggerung. Matanya tak kalah merah dari mata Kopi Item. Tubuh Dahlia jadi sebesar Buto Ijo dan kepalan tangannya bisa langsung melumat tubuh Jumiran.

Tanpa berpikir panjang lagi, Jumiran segera ambil langkah seribu dan berteriak minta tolong seperti orang kesurupan. Hingga tiba-tiba ia tersentak karena pipinya mendadak terasa perih, seperti ada yang menamparnya.

Ploook!

Jumiran terbangun.

"Bangun! Molor mulu! Tuh jemuran belum dijemur!" Dahlia langsung pergi meninggalkan Jumiran yang masih bengong. []

Cerpen ini adalah hasil game sambung cerita, ditulis oleh 15 penulis yang tergabung dalam Komunitas Warkop Kwikkita:

  1. Febri
  2. Rudie Chakil
  3. Donny M. Ramdhan
  4. Lirin Kartini
  5. Wiji Lestari
  6. Nur C.
  7. Evi Sophie
  8. Santi Adela Azzahi
  9. Yutanis
  10. Putri Hidayah
  11. Pairunn Adi
  12. Impy Island
  13. Kopi Item
  14. Nadya Wijanarko
  15. Nimas Rassa
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Keren, Kak, menarik 🤩
Menarik
@impyisland : cerpen paliang absurd. 🤭 tapi aku justru mikir kalo inilah yang paling kuat konsepnya dibanding 2 yang sebelumnya. meski ngelantur ke mana-mana, cerpen ini berangkat dari satu premis: DISFUNGSI rumah tangga dalam perspektif masyarakat PATRIARKIS. yang kalo aku ngeliatnya lama-lama ini jadi satir. Jumiran dianggap disfungsi sebagai suami karena menganggur, Dahlia dianggap disfungsi karena tidak bisa mempertahankan suami dari lirak-lirik ke janda kembang. jadilah keduanya saling tidak respek satu sama lain dengan perantara benda berupa celana dalam. aku pikir cerpen ini malah pencapaian tersendiri untuk komunitas, lho. bisa menghadirkan black comedy satir yang menyentil dan mengkritik fenomena di masyarakat secara tidak langsung.
Sejauh ini, ini yang paling jauh. Saking jauhnya sampai gak keliatan lagi bahkan dengan mata batin. Harus pake indra ke-10 baru paham ama ini cerita 🤣🤣🤣
@nimasrassa : karena saya yang posting, jadi yang bertugas ngedit ya saya, mba @foggy81 🤭 tapi semua saya diskusikan dengan tim, apalagi di sini bukan hanya edit, tapi juga mengubah dan menambahkan elemen biar nggak terlalu catlog.
@foggy81 hahahaha ... Ngebul kepala, Dek.
Iya, Kang Don, sudah menyampaikan titipannya dg teguran ketus dari Neng Febri, "kalau nggak menyertakan arti jangan di share," 😅😅😅
Itulah kenapa Teteh jarang pakai bahasa Sunda, karena sadar ini bangsa berbhineka 🤭
Editan kali ini tugas Mbak Nad, tapi tetap kita diskusikan bersama mana baiknya, biar tetap mengalir dan enal dibaca.
Teh @nimasrassa Mba @nadyawijanarko tadi saya titip komen ke Kang @donnymr yang versi serius dan yang setengah matang 🤭 pokoknya ini editornya mesti yahud ini. Ada lucu, sinis, absurd, tapi yang normal-normal saja mah udah banyak lah, ya. Hahaha, Bu Editor mesti migrain ini, menata isu yang loncat-loncat
@foggy81 hatur nuhun rayinda, akhirnya bisa mampir juga ke sini. Seperti yang Mbak Nad bilang, ini cerita paling absurd yang pernah ditulis, mohon maaf bila masih ada plot yang hole.
Mari bersulang ☕☕
@foggy81 : ini ngeditnya ngos-ngosan 🥵 cerita paling absurd yang pernah ditulis. 🤣🤣🤣😭😭😭
Komunitas ini selalu bikin kejutan yang melebihi ide kebanyakan orang, salut saya! Bacanya tadi udah deg-degan (ini kqyaknya butuh sticker parental advisory kalo di film atau musik). Tapi, fantasinya... apik pisan! Angkat 15 cangkir kopi untuk kakak-kakak keren ☕️
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Celana Dalam yang Hilang
Nadya Wijanarko
Komik
Duta Keadilan Nasib
Nafi'ardhani Firmansyah
Flash
I-phone , Bukan Jodohku ( Selamat Jalan I-phone 12 )
Alwinn
Flash
SHAMPOO
Wiji Lestari
Flash
Bronze
An-Je-Lo (Antar Jemput Lontong Sate)
Sunarti
Flash
PETELOT (Jawa)
Wiji Lestari
Komik
You're My Legato
Gusti Ayu Putri Prana Satyagrahi
Flash
Bronze
Kamis Menggugat
Arif Holy
Cerpen
Takhayul
Normal Temperature
Komik
KAOS HITAM
moris avisena
Komik
Bronze
SMKPreet
lam21 EnT
Komik
Random Moment
giin_
Cerpen
Tetangga Freak!
Moon
Cerpen
TETANGGA BIKIN KESAL
Shea
Flash
Kucing tetangga
Mahmud
Rekomendasi
Cerpen
Celana Dalam yang Hilang
Nadya Wijanarko
Novel
Bronze
Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa
Nadya Wijanarko
Novel
Bronze
Kelas Terakhir
Nadya Wijanarko
Novel
Bronze
Sepenggal Kisah dari SMP
Nadya Wijanarko
Novel
Bronze
After School
Nadya Wijanarko
Novel
Audy 1993: Diary Anak SMP
Nadya Wijanarko
Skrip Film
Perjalanan Dinas (Bagian 1: Bandung-Cirebon)
Nadya Wijanarko
Cerpen
Bronze
Mutasi
Nadya Wijanarko
Skrip Film
Sepenggal Kisah dari SMP (Screenplay)
Nadya Wijanarko
Flash
Bronze
UNDANGAN
Nadya Wijanarko
Skrip Film
OSPEK
Nadya Wijanarko