Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Catatan suami PELOR (nempel molor)
0
Suka
228
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku sadar betul, sebagai laki-laki sudah seharusnya aku menjadi bahu dan telinga untuk istriku. Tempat bersandar dan mendengarkan segala keluh kesahnya. Selalu berjalan disampingnya, bukan di depannya karena angkuh atau di belakang karena lemah. Melindunginya dan memberikan nafas lega akan segala kegundahannya. Memberi kemudahan untuknya meraih mimpi dan kebahagiaan. Ya, seharusnya aku seperti itu. Tapi—

"Woy, bangun….!"

"Kerja gak, Udah jam berapa ini?"

Suara itu membuatku merubah posisi tidurku, padahal baru saja ku mengikrarkan diri sebagai seorang lelaki. Ingin ku kesal dan menutup mulut berisik itu, namun kelopak mata ini rasanya saling berpegang erat tak ingin dipisahkan. Aku memilih mengabaikannya. Tak lama aku menemukan diriku sudah segar, rapi dan siap berangkat untuk bekerja dengan senyuman lebar. Eh tapi—

"Bangun!!." Pekik suara seorang wanita terdengar jelas. Ternyata hanya mimpi. 

Aku menggeliat, wanita sadis itu sepertinya berteriak di telingaku. Entah mengapa tangan ini refleks menutup telinga karena terasa pekak dengan suara melengking mirip vokalis Rocker gagal. Alih-alih membangunkan, aku malah kembali terbuai dan melanjutkan mimpi. Semudah itu.

"Kamu mau bangun jam berapa?!, Alarm sudah bunyi berkali-kali dan anak-anak terkejut." 

'Anak-anak?. Oh ya aku punya anak.' Batin ku enteng dan mataku tetap memejam.

"Bangun!!, ini sudah jam 7."

Deg!

Alamak!

Ucapan Namima membuat kesadaranku mulai terkumpul. Cepat-cepat aku duduk dan memaksa kelopak mata yang masih sepat ini terbuka. Pertama kali kulihat saat membuka mata adalah wajah istriku yang sedang merengut kusut, seperti baju yang habis dikunyah sapi. Ia menggendong anak bungsu kami, Aoki bayi 2,5 bulan itu rewel dan berontak seperti hendak loncat dari gendongan Namima. Mungkin anakku itu ogah melihat wajah ibunya.

"Cepat bangun, awas saja jika nanti kau sampai kehilangan pekerjaan!!"  Bentak Namima dengan wajah yang kesal. 

Aku bangkit dengan terhuyung menuju kamar mandi, diiringi kicauan Namima yang tak henti. Bagaimana istriku tidak marah, memang ini bukan pertama kalinya aku kesiangan. Ditambah Namima bukan orang yang sabaran dan mulutnya itu selalu enteng dalam mengucap. Aku sebenarnya sudah mencoba untuk tidak terlalu nikmat dalam tidurku, tapi mau bagaimana lagi mungkin itu sudah menjadi bakatku. Aku bisa tidur dimanapun, kapan pun dan dalam hitungan detik. Hebatnya diriku.

Tapi istriku Namima yang cantik dan aduhai itu sama sekali tidak bangga dengan hobiku. Dia malah ngomel hingga sepertinya bibirnya itu hampir lepas. Ah, bagaimana lagi?. Aku tidur karena merasa bosan atau bingung hendak melakukan apa. Meski aku tahu banyak pekerjaan rumah yang masih belum dikerjakan Namima. Lagi pula ia tak pernah meminta bantuan. Daripada tidak berbuat apa-apa lebih baik aku tidur atau bangun siang. Beres.

Aku berangkat dengan tergesa-gesa, meski sebelumnya aku melihat Namima sedang kerepotan dengan Farel dan Aoki. Aku bingung hendak berbuat apa, karena sedang diburu waktu. Farel pagi itu juga bergegas berangkat ke sekolah,  karena aku menyalip masuk kamar mandi lebih dulu ia merengek pada ibunya. Suasana semakin meriah ditambah tangisan Aoki yang masih belum selesai berdendang. Indah sekali pagi ini.

****

Inilah kisah rumah tanggaku yang mungkin tak semulus kulit istriku dan bokong Aoki. Mungkin orang berkata bahwa aku adalah lelaki beruntung karena telah dipilih oleh Namima Qirani, cewek terfavorit pada masanya. Nikmat sekali ketika mendapatkan istri cantik, bersih, mulus dan idaman para lelaki. Tapi realita tak semanis ekspektasi. Rumah tangga yang katanya ideal ini ternyata begitu sulit kami jalani. Perbedaan sifat, adat, kebiasaan, pendidikan, fisik— ah, banyak. Hal ini tak jarang membuat kami bertengkar, berselisih paham, saling menyalahkan dan yang menyakitkan lagi adalah ketika Namima menyebutkan kata ; menyesal.

Aku si lelaki biasa saja,tukang tidur, tidak biasa bekerja keras karena emak yang dulu biasa memanjakan aku, menikah dengan wanita cantik, berpendidikan, mandiri dan tentu saja subur. Karena baru sebulan kami menikah, aku sudah mampu mencetak gol. Itulah kebanggaanku, lelaki yang sehat dan menghasilkan anak-anak yang tampan rupawan. Entah siapa yang beruntung atau siapa yang terjebak dalam kesialan. Tapi menurutku inilah simbiosis— parasitisme. Bukanlah!. Jangan suka berburuk sangka. Komensalisme.

Namima sering kali tak terima jika aku menikmati masa senggangku untuk sekedar merebahkan badan sambil mendengkur. Rasanya ia tak ikhlas melihat aku bersantai. Baru beberapa detik memejam sudah berteriak. "Tidur mulu!." Kadang ia juga melontarkan kata yang menyakitkan. "Pelor". Artinya dimana saja nempel langsung molor.

Aku harus bagaimana lagi kadang rasa bingung hendak berbuat apa, lebih baik aku gunakan untuk tidur sebagai upaya menghemat tenaga. Farel anak pertamaku saja mengerti. Ia tak mau mengganggu ketika aku sedang menikmati kegelapan meski hari itu masih siang. Anak pertama ku itu cerdas, ia memilih untuk merepotkan ibunya daripada ayahnya yang hobi bermalas-malasan ini. Terbaik.

Namima yang ku kenal dulu adalah wanita yang baik tutur katanya dan santun perangainya. Entah mengapa setelah menikah denganku berubah menjadi macan. Aku curiga jika ia sering mengkonsumsi biskuit macan seperti di iklan-iklan. Gigitan pertama sudah membuatnya meraung dan berenergi.

Atau mungkin karena pekerjaannya yang berat. Sebagai kuli pabrik yang telah memahatnya menjadi wanita tangguh dan kasar. Tapi tidak juga, bukankah dia sudah bekerja sebelum kami menikah. Ah, sudahlah waktu memang selalu dapat merubah seseorang. Namima mungkin terjebak oleh waktunya, kasihan sekali dia. Untung aku mampu bertahan pada pendirianku yang bodo amatan dan santai dalam setiap kondisi. Mau seberapa marahnya Namima,  aku masih sanggup tersenyum dan berkata, "Sayang i lop yu." Romantis sekali bukan?. Meski tak jarang Namima mendengus dan mengerucutkan bibir. Tapi mau bagaimana pun bentuk rupanya Namima tetap cantik.

Kali ini adrenaline ku tertantang ketika Namima memohon padaku untuk serius dalam pekerjaan. Karena ia ingin mengundurkan diri dari tempat kerjanya dan fokus mengurus kedua anak kami. Terlebih Farel sebentar lagi akan menduduki bangku sekolah dasar dan Aoki masih membutuhkan Asi. Namima kini masih dalam jangka cuti melahirkan, namun bulan depan ia sudah diharuskan masuk dan bekerja kembali. Hal ini membuat Namima merasa berat meninggalkan kedua putra tampan kami. 

Terlebih rasa bersalahnya pada Farel, ia selalu merasa menjadi ibu yang buruk karena telah melewatkan usia emas Farel. Karena saat kelahiran Farel, Namima terkena baby blues dan tidak bisa memproduksi asi dengan baik. Akhirnya anak sulung kami tumbuh dan dibesarkan oleh susu formula. Ya susu yang sering mencekik dompet kami. Tiap bulan kami harus merogoh kocek satu juta lebih hanya untuk kaleng-kaleng susu itu dan itu pun belum termasuk popok serta sabun perawatannya. 

Selain itu kami juga harus membayar pengasuh tiap bulannya, karena orangtua kami tak ada yang bisa membantu menjaga anak kami selagi bekerja. Rumit sekali memang jalan rumah tangga romero dan juliwet ini. Inilah mengapa Namima memintaku untuk bekerja dengan baik, ia ingin bersama kedua anaknya dirumah. Ia tak ingin aku kehilangan pekerjaan, obsesi sekali Namima. Padahal aku sedang berusaha. Semampuku. 

Sebenarnya aku juga ingin Namima tetap dirumah, selain untuk dapat melayaniku dan anak-anakku. Aku juga merasa risih jika harus menerima jika Namima sering digoda oleh rekan kerja lawan jenisnya. Aku senang wajah dan tubuh Namima tidak berubah meski sudah beranak dua, tapi aku juga khawatir dan cemburu ketika banyak lelaki masih menggodanya. Tak jarang aku membuka group kerjaannya, jika sekali saja Namima membalas maka akan banyak lelaki yang menimpalinya. Yang paling membuatku sakit hati hingga aku mengirim pesan secara pribadi adalah ketika seorang lelaki bernama Aji bertanya pada Namima,

 "kapan—"

"Kapan jadi janda?."

Asap panas langsung naik ke ubun-ubun, hingga aku mengajak duel lelaki itu.Tapi tak jadi, ketika aku tahu Aji itu adalah supervisor Namima. Sudahlah, lagian dia bilang hanya bercanda. Saat itu Namima memang masih tak terima. Tapi aku mencoba menjelaskan, agar dirinya bersabar karena saat itu aku masih bekerja serabutan dan jarang masuk pula. Kami masih membutuhkan pekerjaan Namima. 

Kali ini permintaan Namima terasa berat, pekerjaan ku tak sebaik dirinya. Gajiku dan gaji Namima sangat jauh berbeda. Gajiku istilahnya hanya cukup untuk membayar gaji pengasuh Farel dan Aoki. Sedang Namima membeli semua keperluan anak-anak kami, kebutuhan rumah tangga, bahan pokok, tabungan pendidikan anak bahkan Namima juga sering mengirim bingkisan ke rumah orangtuaku. Rasanya sayang sekali jika harus berhenti bekerja. Pertanyaan apakah gaji ku akan cukup untuk memenuhi kebutuhan kami berempat setelah Namima sudah tidak bekerja lagi, terus menggelayuti pikiranku. "Apakah aku mampu?."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Catatan suami PELOR (nempel molor)
Alhuyaz
Komik
Bang Jeki
Agung raka saputra
Komik
Bronze
The Daily of ARLO
Anindosta Studios
Flash
Bronze
Hantu galau
penulis kacangan
Flash
RIBUAN KM
Xianli Sun
Cerpen
Bentang Bintang
Lovaerina
Komik
Silly Home
Cradosaur
Flash
Bronze
U P I L
John Baba
Cerpen
Bronze
Kadang bikin aku kesal
deru senja
Komik
Pabo Comic
moris avisena
Cerpen
Tetangga Kos Receh
Ilfinda Zaka Ochtafarela
Flash
Buka Puasa Yang Membagongkan
Sandra Arq
Cerpen
Bronze
Liburan Villa Mewah
Mulyana
Komik
Maple Haven
Authentic Remixes
Cerpen
Perjalanan Kaki
Kopa Iota
Rekomendasi
Cerpen
Catatan suami PELOR (nempel molor)
Alhuyaz
Cerpen
Salah Tingkah
Alhuyaz
Cerpen
Sulitkah bersyukur itu?
Alhuyaz
Cerpen
Korban Semu
Alhuyaz
Cerpen
Mendadak indigo
Alhuyaz