Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namaku Angga.
Dulu, orang memanggilku dengan sebutan “Si Anak Emas”
Bagaimana tidak. Sejak kelas 1 SD sampai 3 SMA aku selalu mendapatkan rangking 3 besar. Belum, aku anak yang cukup ambisius, dengan mengikuti berbagai perlombaan, baik itu lomba di bidang akademik maupun di luar akademik. Rasa keingintahuan ku sangat besar. Buktinya, saat menduduki bangku sekolah aku sangat aktif mengikuti berbagai ekstrakulikuler, mulai dari menjadi kapten futsal, pernah ikut kompetisi basket, juara 1 lomba OSN, hingga menjadi ketua OSIS saat sekolah menengah atas.
Ayah pernah berkata padaku;
“Angga, selama umur kamu masih muda. Jangan pernah berhenti untuk mencoba banyak hal. Karena pengalaman lah yang akan membentuk kamu menjadi anak yang bermental tangguh”
Pun demikian dengan Ibu, yang selalu berkata bahwa;
“Dimanapun tempatnya, kamu jangan pernah berhenti belajar, berusaha, dan berdoa ya nak. Supaya kamu bisa jadi anak yang bermanfaat bagi banyak orang”
Karena nasihat itu yang selalu ku dengarkan, akhirnya pesan mereka aku jadikan pedoman hidupku supaya aku bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi banyak orang.
Waktu pun bergulir.
Bapak meninggal tepat sehari setelah hari dimana aku merayakan wisuda kelulusan dari sekolah menengah. Pun demikian dengan Ibu yang “mungkin” ikut shock, sehingga kesehatannya turun menurun. Hingga pada akhirnya, dua bulan kemudian, Ibu juga berpulang.
Saat itu, kondisi ku sedang energik sekali. Mimpi ku untuk tembus ke PTN impianku sudah ada di depan mata. Pun demikian dengan tawaran-tawaran menjadi pengisi motivasi untuk anak-anak sekolah. Ibaratnya, dengan semua hasil sertifikat yang aku dapatkan, tidak mungkin aku tidak di terima di kampus manapun.
Akan tetapi, hidup yang di impian selalu ditukarkan dengan pengorbanan.
Belum sembuh aku meratapi kematian bapak, Ibu yang menjadi sandaranku saat aku sedang sedih dan lemah pun sudah tiada. Saat itu, duniaku remuk habis. Aku merasa, piala-piala yang terpajang di rumah sudah tidak ada artinya lagi. Pun dengan semua mimpi yang aku dambakan, sudah tak ada lagi semangat untuk mewujudkannya. Terlebih, aku anak pertama yang memiliki 4 orang adik.
Artinya, sebagai kakak pertama – juga kepala keluarga – aku harus menafkahi dan bertanggung jawab terhadap adik-adik ku.
Meski sangat berat hati, aku menitipkan dua adik terkecil ku kepada pamanku. Aku bersama dua adik laki-laki ku pergi merantau untuk melanjutkan hidup. Rega, adik pertamaku yang saat ini baru lulus SMP, dan Tian, adik ketigaku yang baru saja lulus SD, terpaksa untuk melanjutkan sekolahnya bersamaku di Yogyakarta. Hal itu aku lakukan karena dengan pencapaian yang ku raih, ada yang menghubungiku untuk melanjutkan pendidikan dengan beasiswa yang aku dapatkan.
Aku tak bisa mengiyakan langsung. Sebab, aku harus memikirkan kondisi adik-adik ku yang lain. Alhasil, setelah berdiskusi panjang. Pihak beasiswa pun memberikan slot 3 beasiswa untuk aku dan adik-adikku.
Nisa, adik keduaku yang sedang menginjakan pedidikan di kelas 2 SMA, tidak bisa pindah dan tetap melanjutkan studinya di sekolah negeri dekat rumah kami. Pun demikian dengan Lisa, yang sedang menduduki studinya di kelas 4 SD, harus tetap melanjutkannya sampai selesai. Alhasil, mereka berdua di titipkan bersama paman kami.
***
Satu tahun berselang.
Aku masih suka bertegur sapa melalui telepon pribadiku untuk menghubungi paman kami, Paman Sam. Sebulan sekali atau dua kali, aku menanyakan kondisi Nisa dan Lisa, serta bagaimana kondisi studi mereka. Pun demikian dengan Rega dan Tian.
Oh iya, hal yang belum aku ceritakan adalah beasiswa yang kami dapatkan bertiga, ternyata terbagi-bagi. Maksudku, dikarenakan Rega dan Tian masih duduk di bangku sekolah, mereka dituntut untuk hidup di asrama. Beda halnya denganku. Aku yang akhirnya bisa mewujudkan impian sebagai “Anak UGM” harus tinggal sendirian. Sehingga aku akhirnya menyewa sebuah kos-kosan sepetak yang tak jauh dari kampus hijau tersebut.
Beasiswa yang kami dapatkan sangat berbeda satu dengan yang lain. Jika Rega mendapatkan gratis full pendidikan sampai ia lulus, serta mendapatkan uang saku. Pun demikian dengan Tian, yang kemudian mendapatkan beasiswa pendidikan full, uang saku dan juga tunjangan seperti BPJS. Beda dengan diriku yang hanya mendapatkan uang beasiswa full kuliah sampai beres saja. Alhasil, untuk kebutuhan hidupku, aku membeli sebuah motor bekas yang ku beli dari tabunganku dan ku pakai untuk menarik ojek online. Ditambah, aku juga bekerja paruh waktu menjadi barista di kafe kecil samping kampus.
Waktu berlalu dengan cepat. Rega ternyata anak yang cukup berbakat juga. Ia kemudian bisa mendapatkan banyak penghargaan baik itu sebagai predikat terbaik, juara perlombaan, bahkan menjadi delegasi untuk perlombaan sains tingkat ASEAN. Pun demikian dengan Tian. Meskipun secara akademik juga biasa-biasa saja, ia sangat aktif dalam perlombaan olahraga. Buktinya, ia beberapa kali menjadi topskor atau MVP dalam perlombaan futsal U-17 tingkat provinsi.
Selain itu, aku mendapat kabar yang sangat baik dari paman Sam. Ia berkata bahwa Nisa akan melanjutkan studinya di salah satu kampus terbaik di Turki. Kabar ini sangat mengejutkan bagi diriku. Ada perasaan bangga dan haru saat mendengar betapa hebatnya adik-adik ku meskipun hidup tanpa orang tua, akan tetapi memiliki semangat yang tinggi dalam menggapai cita-citanya. Akan tetapi, disisi lain, aku sangat sedih sekali. Pasalnya, ada sebuah rasa iri hati melihat bagaimana adik-adik ku bisa hebat dalam bidang mereka. Sedang aku, terpaksa harus merelakan mimpiku untuk bisa bertahan hidup di perantauan.
Waktu ku malah habis untuk mencari uang daripada belajar. Aku memulai perkuliahan dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang. Kadang malah bisa sampai sore. Di sela-sela itu, aku menarik ojek online untuk membeli sesuap dua suap nasi supaya aku bisa makan. Mulai magrib sampai jam 12 malam, aku bekerja sebagai barista. Aku tak punya waktu banyak untuk bisa kembali belajar banyak hal. Saat weekend, aku pergi ke asrama adik ku untuk menjenguknya dan memberinya bekal dari hasil kerja yang aku dapatkan. Selain itu, aku jarang sekali bepergian atau melakukan aktivitas, selain aku mengistirahatkan diriku di dalam kosan.
Tahun kedua kuliah, aku akhirnya menemukan teman yang memiliki nasib yang serupa. Namanya, Reza. Dia adalah anak jurusan teknik otomotif yang kebetulan berasal dari tanah perantauan yang sama. Al hasil, aku pun ikut mengontrak bersamanya, supaya uang untuk kosan ku terasa ringan.
Tenyata, pembeli minyak wangi akan tercium wangi saat bercengkerama dengan penjual minyak wangi. Pun demikian dengan pembeli ikan asin, akan tercium bau asin saat bercengkerama dengan penjual ikan asin.
Reza ini punya karakter solidaritas yang sangat tinggi. Dia benar-benar peduli dengan apa yang aku alami. Bahkan, selama aku ikut dengan nya, segala kesusahan yang aku alami, pasti akan bantu oleh dirinya. Tapi, manusia adalah manusia. Meskipun demikian, Reza juga merupakan pentolan jurusan, juga ketua geng motor di kampus kami. Gaya nya berantakan, omongannya dipenuhi dengan nada tinggi dan juga kasar. Pun dengan perawakannya yang tinggi dan tegap, juga rambut klimis nya yang dapat menawan perempuan-perempuan hot dan seksi di kampus kami.
Aku cukup senang dengannya. Meskipun ia tergolong anak yang nakal. Akan tetapi, ia sangat rajin membaca buku, belajar, dan mengkaji suatu ilmu. Disanalah kemudian aku kembali terpantik untuk belajar kembali bersamanya dan teman-temannya.
Aku benar-benar menghilangkan persepsi buruk kepadanya. Aku tidak melihat sosok Reza sebagai anak yang bandel, melainkan sosok yang peduli, giat, rajin, dan merangkul satu dengan yang lainnya. Nilai itu lah yang kemudian membuat aku mau berteman dengannya.
Karena memang pergaulan Reza yang sangat bebas sekali, akhirnya aku pun ikut masuk ke dalam geng mereka dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Aku menjadi seorang perokok dan pemabuk. Gelagatku menjadi sosok yang temperamen. Keberanian ku meluap saat aku di rendahkan dan itulah yang menyebabkan aku juga menjadi anak yang pemberontak.
Jika sebelumnya pagi sampai siang aku belajar, siang sampai sore aku narik ojol, dan malam aku bekerja. Kehidupanku berubah 180 derajat saat memasuki tahun ketiga perkuliahaan.
Aku terpilih menjadi ketua himpunan jurusan. Kegiatanku sangat aktif untuk memberikan materi-materi, menghadiri forum antar himpunan, berjibaku dalam mengurusi organisasi, dan juga menemui pemegang kebijakan untuk melakukan negoisasi. Selain itu, sebagai mahasiswa, aku ikut serta dalam aksi demonstrasi yang kerap terjadi. Sebagai ketua, aku sangat lantang menyuarakan idealisme dan kritikan terhadap pemerintah.
Capaian-capain tersebut, ternyata bukanlah akhir dari cerita ini. Nyatanya, justru disanalah konflik baru dimulai.
Karena aku sangat aktif dalam dunia pergerakan mahasiswa, juga dalam kegiatan organisasi. Hal ini menjadikan kuliahku mendapatkan nilai yang kurang. Bahkan IPK ku turun sangat drastis. Disebabkan aku jadi jarang masuk kelas, dengan alasan mengurusi organisasi.
Karena itulah, kemudian aku dipanggil oleh pihak pengelola beasiswa, dan mengumumkan bahwa beasiswa ku di cabut.
Jujur, aku sangat shock mendengarkan hal demikian. Aku sadar betul bahwa nilai ku pasti bakal rusak jika aku mengurusi organisasi, dan hal tersbut sudah menjadi risiko saat aku ditunjuk menjadi ketua himpunan. Akan tetapi, aku tak menyangka bahwa beasiswa ku sampai harus di cabut.
Malam itu, tak ada yang bisa ku lakukan selain hanya merenung. Langit Yogya sudah gelap, mendung dan suara petir sedikit bergema di segala penjuru. Angin juga sudah mulai menerjang, pertanda malam ini memang akan di guyur hujan. Aku duduk di warkop yang biasa ku datangi bersama Reza dan teman-temanku. Memesan segelas Kopi hitam, juga setengah batang rokok filter, menambah suasana sunyi bagi diriku yang habis saja mendapatkan berita buruk.
Tak lama kemudian, ada orang yang menepuk ku dari belakang.
“Gue denger kabar lo, bro. Sori ya gue tau nya telat banget” ucap Reza.
Aku hanya tersenyum hambar. “Nggak usah minta maaf, Ja. Ini tanggung jawab gue, kok. Lagian harusnya gue sadar dari awal”
“Lu gak salah fren,” ujar Reza sambil duduk di sampingku. “Lu terlalu mencintai apa yang sedang lo lakukan. Tapi, namanya hidup. Gak selalu mulus, bukan?”
Kata-katanya sangat menohok. Aku tahu ucapan Reza sangat benar. Aku merasa larut dalam euforia pergerakan, terlalu merasa penting, sampai lupa tujuan awal kenapa aku kuliah disini: demi orang-orang yang ku cintai.
Meskipun aku sama sekali tidak ada niatan untuk menjadi anak yang nakal. Aku menjalani hariku sepenuh cinta dan tujuan. Aku tak ingin apa yang aku lakukan itu sia-sia. Oleh karena itu, kesedihan ini tak boleh larut terlalu lama dan aku harus bangkit sesegera mungkin, ucapku dalam hati.
Hari-hari setelah pencabutan beasiswa ku menjadi masa-masa tergelap kedua dalam hidupku, setelah di tinggal oleh Ayah dan Ibu. Aku benar-benar tidak tau apa yang harus aku lakukan. Sempat terpikirkan untuk berhenti bekerja dan menarik ojol, dan aku pulang ke rumah Paman Sam untuk menceritakan semuanya. Tapi, ku pikir itu bukan cara yang tepat bagi mereka untuk memikirkan apa yang telah aku perbuat. Semakin melihat foto Ayah dan Ibu, semakin ada perasaan untuk bisa kembali bangkit. Pesan-pesan itu masih terlintas di dalam benak ku. Bahkan, aku masih sangat mengamalkan isi pesan dari mereka.
Memasuki tahun ketiga, aku mulai menemui dosen pembimbingku. Nama beliau Bu Kartika, atau biasa di sebut dengan Bu Tika. Bu Tika ini merupakan sosok yang tegas dan teliti sekali dalam soal perkuliahan. Ia benar-benar menerapan sistem meritokrasi dalam kuliahnya. Artinya, ia tak segan-segan memberikan nilai C untuk mahasiswa yang memang tak niat untuk berkuliah. Tapi, dibalik ketegasannya itu, beliau sangat peduli sekali terhadap anak didiknya.
“Ada masalah apa lagi, Angga?” ucapnya tanpa basa-basi. Aku hanya bisa tersenyum tipis.
“Beasiswa saya di putus, Bu. Akibat dari nilai saya yang tak memenuhi standar dari mereka” balasku.
“Oala. Lagian kamunya juga jarang masuk kan. Risiko kamu sendiri. Tanggung jawab kamu sendiri juga dong” jawabnya menusuk.
“Ya, tapi saya kan masih punya banyak pengalaman dan prestasi, Bu. Udah gitu meskipun saya jarang kuliah juga kan, saya sangat aktif sekali di himpunan” balasku meyakinkan.
Bu Tika hanya tersenyum saat mendengarku bercerita. Ia menimpali “ Gak ada manusia di dunia ini yang hebat, Angga. Semua ada kelebihan dan kekurangan. Ketika kita tau kelebihan diri kita, kita harus bisa memanfaatkannya dengan baik. Tapi, kalo kita tau kekurangan kita, apa yang harus kita lakukan?”
“Mengevaluasi dan memperbaiki ya bu” timpalku dengan cermat.
“Yes. Benar sekali” jawab Bu Tika. “Kamu ini anak yang berbakat sebenarnya, Angga. Kamu hebat juga. Gak ada loh anak-anak lain yang setangguh kamu. Tapi, kamu juga harus punya prinsipnya sendiri. Supaya kamu gak terombang-ambing sama yang lain juga” ucapnya lirih.
Ia melanjutkan. “Meskipun Ibu tau apa yang kamu lakukan juga ada alasan yang jelas. Tapi, jangan sampai kamu menyia-nyiakan kemampuan diri kamu ya, Angga. Boleh berteman dengan siapapun. Harus malah. Tapi, kamu jangan lupa untuk belajar. Karena dengan ilmu pengetahuan, derajat kamu akan di tinggikan oleh Tuhan”
Aku menyimak sekali apa yang dikatakan oleh Bu Tika. Hampir satu jam aku curhat dan berkonsultansi terkait masalah perkuliahaanku. Bahkan, aku juga menceritakan tentang adik-adik dan keluargaku. Sampai pada akhirnya, beliau mengatakan:
“Yasudah. Untuk membantu menopang kehidupan kamu. Kamu mulai mingggu depan jadi asisten Ibu ya, Angga. Kamu rapihkan schedule Ibu. Dokumen-dokumen, sambil kamu bantu untuk perkuliahan juga” ucapnya menutup sebelum beranjak pergi.
“Baik bu. Terimakasih terimakasih” balas ku dengan hati yang sangat gembirang sekali.
Bu Tika ternyata diam-diam menghubungi pihak pengelola Beasiswa yang aku dapatkan. Katanya, pengelola tersebut merupakan teman dekat Bu Tika saat berkuliah dahulu. Melalui rekomendasi dan bantuan Bu Tika, aku tak hanya menjadi asisten beliau, melainkan juga ditugaskan untuk mengikuti program mentorship selama 3 Bulan yang setelahnya, aku akan di delegasikan untuk menjadi seorang mentor di beberapa sekolahan.
Di organisasi, masa periodeku juga sudah usai. Pasca musyawarah besar, aku kembali di percaya untuk mengisi pos sebagai ketua bidang di BEM Kampus. Tapi, aku berusaha meyakinkan dan menegaskan bahwa pilihanku saat ini adalah fokus dalam bidang akademik. Prioritas utamaku tidak lagi bermain dan menghabiskan waktu dengan nongkrong bersama teman-teman. Aku memulai ulang kembali kehidupanku dengan membaca, menulis, mengkaji, dan melakukan segala hal apapun yang berhubungan dengan akademik.
***
Tak ada pelangi sebelum hujan datang. Pasca kesedihan melandaku, kebahagiaan menghampiri diriku. Paman Sam menghubungiku dan berkata bahwa Nisa menjadi mahasiswa terbaik di kampusnya. Alhasil ia di delegasikan untuk bertemu dengan menteri luar negeri Indonesia di Turki dan diamanatkan untuk menjadi ketua PPI Turki. Pun demikian dengan Lisa. Semakin hari, anak itu semakin pandai menggambar dan melukis. Beberapa waktu kebelakang, dirinya sempat mengikuti perlombaan melukis dan keluar sebagai juara pertama. Pun demikian dengan Paman Sam, yang sebelumnya bercerita bahwa bisnisnya sempat ditipu oleh rekan terdekatnya, kali ini diganti berlipat ganda oleh Tuhan. Paman Sam malah bisa membuka cabang baru untuk bisnis warteg miliknya. Bahkan, ada investor yang menawarkan tempat luas untuk cabang baru tersebut.
Pun demikian degan Rega dan Tian. Rega bercerita bahwa ia mendapat predikat sebagai pemegang beasiswa terbaik dan siswa teladan di sekolahnya. Alhasil, ia mendapatkan tawaran beasiswa untuk berkuliah di luar negeri. Bedanya dengan Nisa, Rega mendapatkan satu slot beasiswa di Nanyang Technological University (NTU Singapore) untuk program studi Bisnis dan Manajemen. Pun demikian dengan Tian. Ia melanjutkan sekolah menengahnya di SMAN 8 Yogyakarta. Sekolah terbaik di Yogyakarta pada saat itu.
Aku pun ikut serta merayakan kebahagiaan ini. Beberapa minggu yang lalu, aku di hubungi oleh HRD MCKinsey & Company untuk dapat bekerja sebagai konsultan. Aku bernegoisasi supaya dapat memulai bekerja untuk tiga bulan kedepan. Pasalnya, aku harus menunggu sidang terakhirku untuk bulan depan. Juga, mengurusi project sebagai mentor di bulan ini. Beruntungnya aku, HRD itu menyetujuinya dan mengatakan bahwa aku bisa bekerja tiga bulan setelahnya.
Di tahun penghujung perkuliahaanku. Aku benar-benar hanya fokus di depan layar laptop, juga membuka lembaran buku yang ada di rak ku. Oh iya, aku sudah tidak lagi mengontrak bersama Reza. Aku memilih kosan yang sedikit jauh dari kampus, supaya tidak ada lagi orang yang bisa mengganggu fokus ku. Meskipun demikian, aku masih bertemu denga Reza dan teman-teman lainnya, hanya saja intensitas kami sangat berkurang satu dengan yang lainnya.
***
Hari yang dinantikan pun datang.
Sehabis sidang akhir, aku segera merivisi skripsiku dan langsung mendaftar untuk wisuda. Bersyukur, masih ada slot untuk aku bisa berwisuda di bulan depan.
Tepat pada tanggal 2 bulan Mei, aku akhirnya di wisuda dan menyandang gelar sebagai S. Psi
Di tengah kerumunan banyak orang, aku berdiri dengan haru dan meneteskan air mata saat namaku di bacakan di podium. Meskipun aku tidak mendapatkan predikat sebagai lulusan terbaik, tapi ada hal yang lebih menggemberikan daripada itu.
Paman Sam dan istrinya datang memelukku saat pagelaran wisuda telah usai. Rega, Tian, Lisa, bahkan Nisa pun ikut berdiri di belakangnya. Nyatanya, dikesibukan mereka, ternyata mereka benar-benar meluangkan waktunya untuk menghadiri acara wisudaku.
Air mataku tumpah dalam pelukan dan kerumunan.
Aku tak menyangka, lima tahun pasca Ayah dan Ibu meninggal. Ternyata, aku bersama adik-adiku bisa tumbuh menjadi anak-anak yang membahagiakan.
Meskipun aku pernah mengalami titik kegelapan dalam hidupku.
Sebagai anak psikologi, aku tidak mau membenci hal tersebut, bahkan tidak mau membenci teman-temanku yang sering dianggap nakal. Bagiku, sama seperti pesan Ayah dan Ibu dahulu. Bahwa sampai kapan pun, aku harus bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang.
Jika dahulu aku sering disebut sebagai anak emas.
Sekarang aku memahami, bahwa setiap manusia itu adalah emas. Tergantung bagaimana ia dapat mengartikannya. Sama dengan pesan yang dituliskan oleh Rega, Tian, Lisa, dan Nisa bawakan saat aku wisuda:
“Teruntuk Kakak Angga Tersayang,
Si Anak Emas yang tak pernah berhenti berjuang.
Kami disini untuk mendukungmu.
Tertanda,
Adik-adik mu yang paling baik hati”