Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Perkenalkan, nama saya Rahman. Saya penjual nasi goreng yang biasa mangkal di depan Toko Emas Trengginas, Cirebon, tepatnya di Jalan Perumnas, di dekat Rumah Sakit Bahagia. Tentu saya sama tidak mengertinya dengan Anda; bagaimana mungkin ada pengelola rumah sakit yang menamai rumah sakitnya Bahagia? Siapa yang bahagia masuk rumah sakit?
Saya membuka lapak pukul enam sore, setelah toko emas tutup. Pada pukul lima, saya sudah menyusun bahan-bahan: sebakul nasi kemarin, telur, tomat, timun, acar, mi telur, Indomie, bihun, kwetiaw, sambal, dan bumbu-bumbu lain dalam stoples-stoples plastik.
Sebelum matahari benar-benar terbenam, saya mendorong gerobak ke tempat berdagang. Jaraknya tidak jauh, sebab rumah saya di Perumnas juga. Tapi sepertinya tidak perlu diceritakan, mungkin pada lain kesempatan.
Di lorong sebelah toko emas, saya menitip bangku dan meja yang sepanjang hari dilapisi terpal.
Saat saya datang, di sekitar sudah banyak pedagang kakilima yang mulai menyiapkan dagangannya. Ada penjual kebab, pisang goreng saba, tahu Tegal, burger kampung, roti, teh Tong Tji, martabak Jawa, dan restoran Padang yang buka sejak siang dan masih buka saat pedagang lain seperti saya membersihkan dondangan. Ada juga toko kelontong yang menjual berbagai macam jajanan kampung, Jember Jaya namanya. Di belakang saya, ada penjual nasi gudeg yang menyediakan tikar dan lesehan. Ibu Rahma, pemiliknya, tidak keberatan jika pelanggan saya menumpang makan di lapaknya. Kami sama-sama cari rezeki. Meski sesekali beradu mulut, kami berusaha menjaga hubungan baik.
Selain nasi goreng, saya juga menjual otokowok (mi dan nasi dicampur), bihun, mi, mi campur (mi dan bihun dicampur), dan kuetiaw. Selain nasi goreng dan otokowok, semua menu ada varian kuahnya. Alhamdulillah, dagangan saya selalu laris. Saya biasanya berdagang hanya 4–5 jam sebelum persediaan habis.
Sudah lima belas tahun saya berjualan nasi goreng di depan toko emas Trengginas. Sejak tahun 2005 kalau tidak salah. Karena para pelanggan menyebut nasi goreng saya “Nasgor Trengginas”, sejak menjamurnya ojek online, dengan seizin pemilik toko mas, saya mengubah spanduk menjadi “Nasi Goreng Trengginas”; bukan “Nasi Goreng Pak Rohman” lagi. Bahkan, di kawasan itu, saya lebih dikenal sebagai Pak Treng. Hanya sedikit yang memanggil saya “Pak Rohman”.
Ketika pertama kali saya membuka warung nasi goreng, Jalan Perumnas belum ramai. Masih kawasan pinggiran yang sepi. Tidak ada Pizza Hut, kafe, dan ayam kentaki KW yang menjamur di mana-mana. Indomaret dan Alfamart masih sedikit. Tapi sekarang, bahkan Grage Mall pun merasa perlu buka cabang di sini. Grage City, namanya. Sayang letaknya tersembunyi di bawah flyover.
Dulu saya tinggal di Jalan Pertratean. Rumah saya letaknya di kompleks belakang gang, di sebelah masjid. Tapi nahas, ada pihak yang mengeklaim semua tanah di kompleks rumah saya sebagai miliknya, lalu mengusir secara halus semua penduduknya, termasuk saya. Katanya ingin membangun pabrik kerupuk. Karena desakan berbagai pihak, akhirnya pengeklaim menerima syarat ganti rugi. Saya diberikan sebidang gubuk di Pelandakan. Saya menjual gubuk itu seharga empat puluh juta, lalu uangnya saya pakai untuk mengontrak di Perumnas, semata agar dekat dengan tempat dagangan saya.
Sampai hari ini, pabrik kerupuk itu tidak kunjung berdiri.
Hampir setiap sore, pelanggan selalu muncul sebelum saya sempat memasang terpal. Selidik punya selidik, pengalaman makan di tempat terbuka ternyata digemari pengunjung, kecuali jika hari hujan, tentunya. Para pelanggan berebut datang sebelum tenda terpasang, lalu makan seraya menikmati magrib di Perumnas yang ramai.
Sudah beberapa bulan belakangan, Covid-19 mewabah di seluruh dunia, dan akhirnya menjadi pandemi. Saya yang sekolahnya hanya sebatas SD ini—tak tamat pula—awalnya tidak tahu apa itu “pandemi”. Ternyata artinya “wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas”. Karena Covid-19 pulalah, pemasukan saya menurun drastis. Jika biasanya sebelum buka warung sudah ramai, kini pukul delapan pun belum tentu ada pembeli yang datang. Beberapa warung di sekitar saya pun mulai jarang buka, bahkan ada yang tutup sama sekali.
Tapi ada satu pelanggan yang hampir setiap hari datang berkunjung. Dia datang pada jam yang sama, pukul sembilan malam, dan memesan menu yang sama, sebungkus nasi goreng dengan sambal dipisah, sebungkus otokowok dengan sambal dicampur, dan tambahan kerupuk dua ribu rupiah. Dia selalu meminta plastik untuk mengambil acar bawang di dalam stoples. Dia biasa duduk di kursi terjauh.
Selama menunggu nasi gorengnya matang, dia mengambil sebuah buku dalam tasnya, lalu membacanya dalam penerangan lampu tenda yang tidak begitu terang. Pernah, pada suatu malam, dia meninggalkan salah satu bukunya di meja. Besoknya, ketika dia datang lagi, saya mengembalikannya, tapi dia menolaknya dengan berkata, “Saya memang sengaja meninggalkan buku yang sudah saya baca kepada orang lain. Silakan kalau Bapak berkenan, buku itu buat Bapak saja.”
Saya bingung, tapi akhirnya menerima juga, lalu mengucapkan terima kasih.
Buku pertama yang saya baca berjudul Angela, karangan Frank McCourt, yang merupakan autobiografi penulisnya saat menjalani hari-hari miskin di Limerick, Irlandia, yang baru merdeka. Lalu terbukalah mata saya. Selama ini, saya pikir buku hanyalah produk yang ditulis untuk orang-orang berpendidikan. Sastra yang katanya berpihak pada kemanusiaan, toh seringnya ditulis dengan bahasa tinggi, sehingga sukar dipahami orang-orang seperti saya. Buku ini menyadarkan saya, orang-orang miskin pun boleh bercita-cita jadi penulis.
Hanya empat kali dia meninggalkan bukunya di warung saya, tapi ketika tahu saya suka membaca, dia mulai sering menghibahkan berbagai judul. Begitu banyak buku yang sudah saya terima. Begitu banyak malam yang saya habiskan dengan membacanya. Beberapa kali, ketika dia membeli nasi goreng, saya menolak uang yang diberikannya.
“Buku-buku yang Mas kasih, sudah lebih dari cukup,” kata saya.
Saya mendorong tangannya yang menggenggam selembar lima puluh ribuan. Tapi dia selalu memaksa. Akhirnya, yang bisa saya lakukan hanya menambah porsi nasi yang dia pesan. Tentu saja, tanpa sepengetahuannya.
Semakin banyak buku yang saya baca, semakin besar pula hasrat menulis dalam diri saya. Saya jadi ingin abadi seperti nama pengarang yang tertera di halaman depan buku. Tapi, karena tak tahu harus bagaimana, saya memendam niat itu dalam-dalam. Saya juga bingung mau menulis apa. Fiksi? Saya tak punya bayangan. Nonfiksi? Pengetahuan saya belum cukup. Memoar—apa yang mau ditulis? Saya bukan si sukses yang jalan hidupnya menarik. Hanya pedagang nasi goreng yang setiap hari berjibaku dengan hidup. Akhirnya, saya menulis buku harian.
Malam itu, sebelum membuka warung, saya membeli pulpen dan buku tulis di toko Jember Jaya. Lalu, di sela-sela jam kosong, yang berlimpah semenjak Covid mewabah, saya menulis pengalaman saya selama sehari. Besoknya, saya melakukannya hal yang sama, hanya berbeda waktunya. Lusa pun, masih dengan tulisan cakar ayam akibat sudah bertahun-tahun tak menulis, saya mengabadikan peristiwa sehari dalam baris-baris kata.
Setelah seminggu, saya bosan. Bagaimana tidak? Kemarin tidak ada bedanya dengan hari ini; hari ini tak ada bedanya dengan besok; besok tak ada bedanya dengan lusa. Satu-satunya yang beda hanya menu makan siang. Kemarin tempe, hari ini nasi lengko, besok jika beruntung, barangkali bisa makan nasi padang isi telur dadar.
Karena tak mau menuliskan peristiwa yang sama berkali-kali, mulailah saya memperhatikan segala dengan lebih cermat dan hati-hati. Saya berusaha mencari yang berbeda di antara yang serupa dan biasa-biasa saja. Dan tersadarlah saya. Sudah beberapa hari berselang, pelanggan saya yang pecinta buku itu hanya membeli seporsi nasi goreng dengan sambal dipisah. Dia tak lagi membeli otokowok dengan sambal dicampur. Dan tak lagi meminta tambahan kerupuk dua ribu rupiah. Karena terlalu antusias dengan penemuan itu, saya pun melupakan tata krama: saya bertanya kenapa, kok hanya membeli seporsi nasi goreng saja?
“Biasanya, saya juga membeli seporsi untuk adik perempuan saya, tapi tiga minggu lalu dia meninggal.”
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Maaf sudah bertanya.”
“Terima kasih. Tidak apa, Pak.”
“Kalau boleh tahu, adik Mas meninggal karena apa? Covidkah?”
“Oh, bukan. Lusi kecelakaan, di depan kantor pos Pilang. Sore sehabis bekerja, dia pulang dengan motornya. Mungkin karena petang, jalan itu remang-remang, sebuah mobil yang melaju kencang menghantamnya. Lusi terpental jauh dari motornya, dengan kepala mendarat lebih dulu. Dia dilarikan ke rumah sakit terdekat, di pelabuhan. Tapi, meski sempat dirawat di UGD dan dijahit luka-lukanya, nyawanya tidak tertolong. Meski begitu, dia sempat sadar di malam ketiga, dan meminta saya membelikannya nasi goreng Pak Treng.”
Saya melihat air mata menetes samar di mata kanan pelanggan itu.
“Karena tidak mungkin meninggalkannya sendiri—dan terlalu takut memberinya nasi goreng saat dia dalam kondisi terluka parah—saya menyuapinya nasi lembek yang diberikan rumah sakit, lalu membohonginya dengan berkata, ini nasi goreng Pak Treng, lalu saya menyuapinya. Sesendok demi sesendok. Dia merengut dan membalas, ‘Nasi gorengnya beda. Bukan punya Pak Treng. Enggak enak. Tapi enggak apa, deh. Sudah lama Kakak enggak nyuapin aku.’ Padahal itu sama sekali bukan nasi goreng, hanya nasi lembek dengan sayur tawar yang tidak enak; jauh, lah, dengan nasi goreng Bapak. Tapi saya hanya menjawab lirih, ‘benar kok, ini nasi goreng Pak Treng. Mungkin bapaknya lupa kasih bumbu.’ Akhirnya dia menyerah dan menyantap nasi gorengnya pelan-pelan. Setelah tiga suapan, dia terlelap dan tak pernah bangun lagi.”
Karena tidak tahu harus berkata apa, saya hanya diam, mengoseng nasi di wajan dan menambahkan bumbu.
“Sayalah yang biasa membeli otokowok dengan sambal dicampur. Lusi biasanya memesan nasi goreng dengan sambal dipisah. Dia juga yang selalu kekurangan kerupuk dan meminta saya mengambil acar bawang banyak-banyak. Semenjak orangtua kami meninggal, kami hanya memiliki satu sama lain, tapi kini dia pun pergi—ah, maaf, saya jadi terlalu banyak bicara. Maaf.”
“Tidak apa, Mas. Saya yang harusnya berterima kasih, sudah diizinkan mendengar.”
Dia tersenyum.
“Minta tambah kerupuk dua ribu, ya, Pak.”
Lalu ketika saya menyerahkan sekeresek nasi goreng kepadanya, dia menyodorkan selembar dua puluh ribuan. Tapi saya menolaknya. Kali ini, dia tidak protes. Terima kasih, katanya.
Malam menumpahkan gerimis ketika saya melihat pelanggan itu menjauh dengan punggung sedikit membungkuk.