Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Carol, Bukan Aku
5
Suka
642
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

> ⚠️ Karya ini mengandung tema psikologis, kekerasan, trauma, dan emosi ekstrem.

> Ditulis untuk pembaca dewasa (20+) yang siap memasuki sudut tergelap dari emosi manusia.

> Tidak untuk glorifikasi. Semua tokoh fiksi. Harap membaca dengan kesadaran dan empati.

---

Carol, Bukan aku

Cerpen by Raquela

---

"Carol! Woy! Lu ngapain sih. Ayo bungkus mayatnya!"

Hah?

Aku terbangun. Atau mungkin... masuk ke dalam sesuatu.

Bau karat dan daging busuk menabrak hidungku. Lantai retak. Tembok pabrik tua yang udah dilumuri jamur. Di depanku, seorang pria bawa karung besar. Mukanya nggak asing.

"Nah, gue rasa ini cukup. Ayo cepetan," katanya lagi.

Di depanku, sesuatu yang dulu manusia.

Tubuhnya tergeletak dengan bentuk yang... nggak seharusnya begitu.

Tanganku gemetar.

Bukan karena takut.

Tapi karena memorinya terasa terlalu familiar.

Aku jongkok. Meraih bagian yang masih utuh, dan memasukkannya ke karung.

Seolah ini bukan kali pertama.

Dari belakang, suara pria itu nyusup lagi ke kepala.

"Kita bakal ngelewatin pos polisi sekarang. Organ penting jangan sampai ketahuan. Tenang aja, Car. Gue backup lo," katanya sambil nyalain motor.

Aku naik. Kupeluk dia. Charles. Namanya Charles.

Dia yang selalu tenang. Jago nyetir. Dan dalam hal membunuh, dia bukan amatir. Sekarang kami kabur dari polisi, ngebawa sesuatu yang—kalau polisi tahu isinya, kami tamat.

BRAT. BRAT.

Peluru nyasar di belakang kami. Sirine makin deket.

"Hey! Berhenti!"

DOR! DOR!

"Charles!"

"Nunduk!"

Ngeng.

Charles ngedrive lewat gang kecil. Ngebut, zigzag, brutal tapi terukur.

Darah. Dari lengannya. Peluru nembus bahu kirinya—cepat, tapi fatal kalau kelamaan.

"Charles... Lo—"

"Bangsat! Pegangan, Car. Bentar lagi nyampe."

Tanganku refleks tekan lukanya.

Darahnya anget. Deras. Tapi Charles masih senyum—senyum tenang kayak dia udah biasa berdarah buat hal-hal yang kayak gini.

---

Kami di mobil. Bau alkohol gosok langsung nyengat begitu kotak P3K darurat dibuka.

Radio nyala sendiri:

"Ada kejadian lagi... seseorang ditemukan dalam kondisi nggak wajar..."

Aku di jok belakang. Charles rebah di kursi depan. Kemejanya kulepas paksa.

"Gue harus bersihin ini."

"Kayak dulu, ya?" katanya pelan. "Lu yang selalu beresin."

Aku buka gulungan perban. Tanganku masih tremor, tapi bergerak tepat.

Bukan karena takut—tapi karena tubuhku udah hapal.

Dia meringis waktu alkohol nyentuh lukanya. Tapi nggak ngeluh.

"Lo inget kejadian di stasiun tua?"

"Yang lo kena tiga peluru tapi masih sempet beli kopi dulu?"

Charles nyengir. "Itu karena kopinya enak."

"Lo gila."

"Lo tetep temenin gue."

Aku diem. Tapi tanganku terus ngebalut—rapi, cepat, seolah udah bagian dari rutinitas kami.

---

Wine. Obrolan setengah sadar. Cermin.

Aku ngaca. Mukaku tenang. Bibirku pecah.

Aneh. Kenapa gue nggak takut?

Charles duduk nyender. Tangannya megang gelas plastik—wine sisa, diputer santai.

"Lo bahkan udah nggak ngitung sejak yang ke-delapan, Carol."

Aku ketawa. Tapi nggak ada suara.

---

Rumah tua.

Flashback lagi. Tapi sekarang lebih terang. Lebih detail. Lebih... jujur.

Ibu teriak. Olivia nangis. Piring pecah.

Aku—Carol—masuk dapur. Tapi bukan buat ambil susu.

Ada sesuatu di genggaman tanganku—dingin, dari logam.

Lantai dua.

Olivia berdiri di balkon.

Matanya merah. Napasnya berat.

"Kamu pikir kamu bisa menggantikan aku?"

Aku jawab pelan, "Aku nggak perlu jadi kamu."

Setelah itu—

Bunyi hentakan. Satu langkah. Satu jeda panjang.

Dunia berhenti sebentar.

Aku turun pelan ke bawah.

Olivia nggak bicara lagi.

Tubuhnya diam, miring di sisi kanan. Ubin retak di bawahnya.

Di sudut, ada sesuatu menetes ke karpet.

Aku... senyum. Bukan karena bahagia.

Tapi karena akhirnya, semuanya... diam.

---

Gelap. Cahaya lampu. Ruangan kelas. Wajah-wajah aneh menatapku.

Seorang wanita datang. Kali ini jelas. Dia kakakku. Kak Olivia.

Di belakangnya, Charles berdiri. Tangannya bawa... sesuatu. Berat. Berisik.

"Dasar pembohong," kata Olivia.

Aku gemetar.

"Bukan aku. Bukan. Aku nggak dorong kamu."

"Jadi kamu masih menyangkal, ha? Kamu pikir kamu bisa jadi aku? Bahkan bayanganku pun nggak sudi jadi kamu."

Dia menjentikkan jari.

Charles melangkah.

Tapi kali ini dia bukan musuh.

Lebih kayak—mentor. Atau semacam psikolog kelam dari sisi yang nggak pernah disinari cahaya.

"Ngaku aja. Lo yang ngebuat dia jatuh."

"Bukan gue!"

"Ngaku, Carol. Itu satu-satunya cara lepas dari semua ini."

"Gue bukan pembunuh. Kakak gue... jatuh sendiri."

Dia cuma ngelus rambutku.

Terus nyalain rokok, tanpa emosi.

"Oke. Tapi lo bohong."

Suara keras.

Dentuman logam. Deru mesin.

Suatu hal berat dan berisik diangkat. Lalu—turun.

"TIDAK!" jeritku.

Flash!

---

TET… TET… TET…

"Dokter! Pasiennya sadar!"

Gelap.

Mataku terbuka pelan. Lampu putih—terlalu terang.

Aku… di rumah sakit.

Kamar steril.

TV nyala tanpa suara.

Tanganku diikat ke ranjang. Tapi lebih longgar dari biasanya.

Suster lewat. Bisik ke temannya:

"Kasihan ya dia. Malang sekali."

Aku noleh ke sudut ruangan.

Ada cermin.

Wajahku...

Tapi bukan aku. Itu—Olivia.

---

Dokter masuk. Hari ini dia pakai kacamata bulat.

Kemarin dia botak.

Besok mungkin ganti wajah lagi.

Dia duduk. Suaranya tenang, tapi terlalu rapi. Kayak dilatih.

"Carol, kamu tahu kenapa kamu di sini?"

"Karena mereka pikir aku yang bikin kakakku mati."

"Kakakmu… Olivia?"

"Iya."

"Tapi Olivia udah meninggal dari 8 tahun lalu. Kecelakaan, Carol."

Aku telan ludah.

Gagal.

---

TV mendadak nyala sendiri. Volume naik:

BREAKING NEWS:

"Seorang remaja, Carol Vale, divonis tidak bersalah karena kondisi kejiwaan.

Nama fiktif dari catatan terapinya, Charles, disebut terlibat dalam manipulasi peristiwa masa lalu."

Aku bengong.

"Kalau bukan aku, siapa?"

"Kalau bukan Charles, siapa aku?"

Dokter berdiri.

Dia kasih senyum enteng, lalu bilang:

"Tidurlah. Obatnya akan mulai bekerja."

Dia keluar.

---

Sunyi.

Cuma suara "bzzzt" dari TV.

Tanganku masih terikat. Tapi… kayaknya bisa kulepasin kalau aku mau.

Lalu—

Ketuk. Ketuk.

Kepalaku refleks menoleh.

Ke arah jendela.

Dan di sana—

Charles.

Bajunya compang-camping.

Matanya gelap—kayak lubang waktu yang tahu semua hal yang pengen kulupain.

Senyum tipis menggantung di wajahnya.

"Mereka bohong, Carol. Kita emang bareng. Kita yang bikin semua itu terjadi."

Aku membatu.

"Gue... nggak kenal lo."

"Yakin?"

"Lo cuma... bagian dari trauma gue."

"Oh ya? Atau justru..."

BRAK.

Suara kaca pecah.

Charles masuk.

Tangan kirinya luka, tapi dia tetap tenang.

Senyumnya berubah—miring, tipis, kayak luka lama yang belum sempat diobati.

"...gue adalah trauma lo yang paling jujur?"

Aku melangkah mundur, tapi nggak kabur.

Tanganku gemetar, tapi... entah kenapa, dada rasanya hangat.

Berbahaya. Tapi familiar.

Aku tatap matanya. Lama.

"Lo nyata… gasih?

Atau lo bukan bagian dari realita gue?"

Charles diam.

Napasnya pelan, nyaris nggak terdengar.

Lalu dia jalan pelan ke arahku, dan—

"Realita itu apa sih, Carol?

Yang bisa disentuh? Didengar? Diingat?"

Dia colek pipiku.

Aku kaget.

Bukan karena sentuhannya dingin. Tapi karena aku ngerasa beneran disentuh.

"Kenyataan itu apa yang nggak bisa lo hilangin, bahkan pas lo pengen banget lupa."

Charles senyum lagi. Tipis.

Di belakangnya, ada bayangan lain.

Siluet berdiri diam di jendela pecah.

Rambut panjang. Ikal.

Olivia?

Atau versi dirinya yang lain?

Charles ulurkan tangan.

"Mereka bilang lo rusak.

Tapi mungkin... lo cuma satu-satunya yang sadar dunia ini salah."

Aku liat tangannya.

Dan di sana... di bawah lengan bajunya yang robek—bekas luka itu. Tembakan.

Lurus. Melintang. Tepat di titik yang aku ingat.

Aku nyengir. Gila.

"Kalau ini delusi, setidaknya... lo delusi yang ngerasa gue bener."

Charles ketawa kecil.

"Delusi atau bukan, siapa peduli."

Aku genggam tangannya.

Kami berlari.

Lewat jendela.

Lewat retakan yang nggak bisa ditambal lagi.

Dan untuk pertama kalinya...

aku tahu siapa aku.

Bukan Carol. Bukan Olivia. Tapi pecahannya.

---

END.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (3)
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Carol, Bukan Aku
Raquela Valevine
Novel
Bronze
03:03
Randy Arya
Flash
Si Novelis Berjenggot
Dita Xian
Komik
The Murderer
revin palung
Flash
Kali Pertama
Roy Rolland
Komik
SPIRIT EATER
Sofianti Anggraini
Komik
Red String
Ananda Tsabita
Novel
Mie Di Bulan Mei
Bakasai
Novel
NAURA
Cindy Tanjaya
Novel
Badai Indah
Titin Widyawati
Novel
Bronze
One Scary Night
Herman Sim
Novel
Online Dating
Joanna Bee
Novel
Gold
Origin
Mizan Publishing
Novel
Rumi El Habsy
Oktonawa
Novel
KOLEKTOR : Kau kah yang paling cantik?
Nur Rohmah Hidayati
Rekomendasi
Cerpen
Carol, Bukan Aku
Raquela Valevine
Novel
Petak Umpet Terakhir
Raquela Valevine