Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Karya ini mengandung tema psikologis, kekerasan, trauma, dan emosi ekstrem. Ditulis untuk pembaca dewasa (20+) yang siap memasuki sudut tergelap dari emosi manusia. Tidak untuk glorifikasi. Semua tokoh fiksi. Harap membaca dengan kesadaran dan empati.
* * *
Carol Bukan Aku.
Cerpen oleh Raquela Valevine.
* * *
"Carol! Woy! Lu ngapain sih. Ayo bungkus mayatnya!"
"Hah?"
Aku terbangun atau mungkin. Masuk kedalam sesuatu.
Tempatnya gelap, lantainya retak. Temboknya udah dilumuri jamur. Bau amis campur daging busuk nabrak hidungku. Aneh. Tapi aku ga ngerasa mual.
Di depanku, seorang pria bawa karung besar. Mukanya nggak asing. "Nah, gue rasa ini cukup. Ayo cepetan," kata pria itu lagi.
Aku ngelirik sekitar. Sesuatu yang dulunya manusia. Tergeletak gitu aja di lantai dengan bentuk yang... nggak seharusnya begitu. Tanganku gemetar. Bukan karena takut. Lebih karena memorinya yang kerasa terlalu familiar.
Aku jongkok, ngeraih bagian yang masih utuh, lalu masukin ke karung. Gerakanku cepet, kayak ini bukan yang pertama kalinya. Dari belakang, suara pria itu nyusup lagi ke kepala.
"Kita bakal ngelewatin pos polisi sekarang. Organ penting jangan sampai ketahuan. Tenang aja, Car. Gue backup lo," katanya sambil nyalain motor.
Aku ngangguk. Lalu aku naik. Kupeluk dia. Charles. Aku ingat namanya Charles. Dia yang selalu tenang, jago nyetir, dan urusan bunuh-membunuh, dia udah bukan amatir.
Sekarang kami kabur dari polisi, ngebawa sesuatu yang... kalau polisi tahu isinya, kami tamat.
DOR DOR
Peluru nyasar di belakang kami. Sirine makin deket. "Hey! Berhenti!"
"Charles!" Teriakku setengah panik.
"Nunduk Car! ". Suaranya kelempar angin, tapi tetap kedengeran.
Charles ngegas lewat gang sempit. Ngebut, zigzag, brutal tapi terukur. Darah ngucur dari lengannya, peluru nembus bahu kirinya. Cepat, tapi bakal jadi masalah kalau kelamaan.
"Charles... Lo…"
"Bangsat! Pegangan, Car. Bentar lagi nyampe."
Tanganku refleks neken lukanya. Darahnya anget. Deras. Tapi Charles masih senyum.
* * *
Kami di mobil.
Begitu kotak P3K dibuka, bau alkohol gosok langsung nusuk. Nyengat. Kayak ruangan ikutan perih.
Charles duduk di kursi depan, setengah nyender. Nafasnya masih berat, darah dari bahu kirinya belum berhenti netes. Tangannya gemeteran nahan sakit, tapi dia tetap tenang. Kayak luka itu cuma gangguan kecil di tengah rutinitas malam kami yang aneh.
Dia putar tombol. Klik.
Radio nyala statik, lalu bicara. "Ada kejadian lagi... Seseorang ditemukan dalam kondisi tidak wajar"
Template kematian versi terbaru minggu ini. Aku nyaris ngantuk. Tapi Charles nyimak kayak itu lagu pengantar tidur buat dia.
Aku duduk di jok belakang, mataku masih ngunci ke bahunya yang berdarah. Tanpa mikir panjang, aku maju ke depan, kemejanya kulepas paksa. "Gue harus bersihin ini."
"Kayak dulu, ya?" katanya pelan. "Lu yang selalu beresin."
Aku buka gulungan perban. Dia meringis pas alkohol nyentuh lukanya, tapi nggak ngeluh.
"Lo inget kejadian di stasiun tua?" Nadanya enteng, pandangannya masih ke luar jendela.
Aku diem sebentar, nafas masih berat. "Yang lo kena tiga peluru tapi masih sempet beli kopi?"
Charles nyengir kecil. "Itu karena kopinya enak."
Aku ngelirik dia. "Lo gila."
Dia ketawa pelan, tapi abis itu… sunyi. Napasnya pelan. Matanya ngarah ke atap mobil, kayak ada sesuatu yang pengen dia bilang tapi belum nemu caranya.
Lalu pelan, hampir nggak terdengar. "Lo tetep temenin gue. Kenapa?"
Tanganku berhenti ngebalut. Aku natap dia. Mulutku kebuka, tapi kosong. Kayak... ada jawaban, tapi nyangkut di tenggorokan.
Tangan charles naik. Gerakannya ragu, pelan. Nyentuh pipiku. Hangat. Pandangan kami bertemu sebentar. Ujung jarinya gemetar.
Dia nunduk, sedikit lebih lama dari seharusnya... ke arah bibirku.
Gerakannya kecil, tapi jelas.
Bukan refleks. Lebih kayak… kebiasaan lama yang masih hafal jalurnya.
Lalu dia buang muka, cepat. Matanya pindah ke luar jendela. Di kejauhan, sirene polisi masih samar. Dunia luar masih nyari kami. Tapi di dalam mobil ini, waktu kerasa kayak ngambang.
Sesuatu aneh naik pelan di dada. Aku nggak bilang apa-apa. Cuma lanjut ngebalut lukanya. Rapi, tenang. Seolah tubuhku masih ingat cara ngerawat dia, meski otakku belum tahu harus apa.
* * *
Charles nyalain mobil. Lampu jalanan malam lewat satu-satu. Rasanya kayak mimpi yang nggak kelar-kelar, atau mungkin dunia yang terus muter dan ngulang. Tanpa tahu kapan akan berhenti.
Kami berhenti di jalanan sepi. Jenis sepi yang nggak ada suara. Nggak ada gerak. Nggak ada saksi.
Wine. Napas berat. Obrolan setengah sadar.
Ada rasa pahit di langit-langit mulutku. Mungkin wine-nya dioplos lagi. Atau mungkin memang dunia ini udah tumpah rasanya.
Cermin. Spion. Aku ngaca.
Muka sendiri. Ekspresi ku tenang. Bibirku lebih merah biasanya. Entah karena wine, darah... atau hal lain yang nggak bisa kusebut.
"Aneh. Kenapa gue nggak takut?"
Charles nyender di samping. Tangannya megang gelas plastik. Wine sisa, diputer pelan. "Lo bahkan udah nggak ngitung sejak yang ke-delapan, Carol."
Aku ketawa. Tapi nggak ada suara.
* * *
Rumah tua. Flashback lagi. Tapi sekarang lebih terang. Lebih detail. Lebih... Nyata.
Ibu teriak. Olivia nangis. Piring pecah. Aku—Carol—masuk dapur. Tapi bukan buat ambil minum. Ada sesuatu di genggaman tanganku... dingin, dari logam.
Lantai dua. Olivia berdiri di balkon. Matanya merah. Napasnya berat. "Kamu pikir kamu bisa gantiin aku?"
Aku jawab pelan, "Aku nggak perlu jadi kamu."
Setelah itu... Aku maju selangkah.
Bunyi hentakan. Satu tusukan cepat. Jeda panjang. Dunia berhenti sebentar.
Aku turun pelan ke bawah. Olivia nggak bicara lagi. Tubuhnya diam, miring di sisi kanan. Ubin retak di bawahnya. Di sudut, ada sesuatu yang menetes ke karpet.
Aku... senyum. Bukan karena bahagia. Tapi karena akhirnya, semuanya... diam.
* * *
Gelap. Cahaya lampu remang-remang. Ruangan kelas. Wajah-wajah aneh, buram, menatapku.
Seorang wanita datang. Kali ini jelas. Dia kakakku. Kak Olivia. Disusul satu bayangan pria di belakangnya.
Charles—?
Dia berdiri. Tangannya bawa... sesuatu yang berat, berisik, mengerikan. Aku mundur pelan.
"Dasar pembohong," kata Olivia.
Aku gemetar. "Bukan aku. Bukan. Aku nggak dorong kamu."
"Jadi kamu masih nyangkal, ha? Kamu pikir kamu bisa jadi aku? Bahkan bayanganku aja nggak sudi jadi kamu!"
Dia menjentikkan jari. Charles melangkah pelan, seolah setiap tapaknya ngebawa bobot masa lalu yang belum selesai. Tapi kali ini, dia bukan musuh. Bukan juga teman. Lebih mirip… Mentor kelam. Algojo? Atau semacam psikolog bayangan dari lorong hidup yang nggak pernah disinari cahaya.
"Ngaku aja." Suaranya tajam, dingin. "Lo yang ngebuat dia jatuh."
Dadaku naik-turun. "Bukan gue!" Bentakanku terdengar lebih panik daripada yakin.
"Ngaku, Carol." Charles berdiri beberapa langkah dariku. Mata kami ketemu, dan rasanya seperti ditelanjangi. "Itu satu-satunya cara lepas dari semua ini, Carol."
Dia makin dekat. Napasnya bau asap rokok dan sisa malam panjang yang nggak pernah benar-benar usai.
"Gue bukan pembunuh." Suaraku melemah. "Kakak gue... jatuh sendiri."
Charles nggak jawab langsung. Cuma ngangkat tangan, ngelus rambutku pelan. Kayak mau nenangin, tapi justru kali ini dia bikin merinding. Lalu dia nyalain rokok, gerakannya tenang. Tanpa emosi.
"Oke," katanya, sambil buang asap ke arah langit-langit. "Tapi lo bohong."
Dentuman logam dinyalakan. Deru mesin mulai berisik. Suara berat menggeser sesuatu, lalu charles menjatuhkannya dengan keras ke arahku.
"TIDAK!"
Jeritku pecah, Aku kira... Aku udah berakhir disana. Tapi...
Flash!
Cahaya putih
TET… TET… TET…
"Dokter! Pasiennya sadar!"
Gelap. Lalu perlahan terang. Mataku kebuka pelan. Lampu putih menyambut. Terlalu terang, silau banget.
Aku… di rumah sakit.
Kamar steril. TV menyala tanpa suara. Tanganku diikat ke ranjang. Tapi kali ini lebih longgar dari biasanya.
Suster lewat. Bisik ke temennya: "Kasihan ya dia. Iya... malang sekali."
Aku noleh ke sudut ruangan. Ada cermin. Wajahku...
Tapi yang kulihat bukan aku. Itu Olivia. Dia tersenyum ke arahku. Atau... aku yang tersenyum?
* * *
Dokter masuk. Hari ini dia pakai kacamata bulat. Kemarin dia botak. Besok mungkin ganti wajah lagi.
Dia duduk, geser kursi pelan. Tangannya menyatu di pangkuan. Suaranya tenang, lembut kayak orang yang udah biasa ngadepin hal-hal kayak gini.
"Carol, kamu tahu kenapa kamu di sini?"
Aku menatap lantai.
"Karena mereka pikir aku yang bikin kakakku mati."
Dia mengangguk pelan. "Kakakmu... Olivia?"
"Iya."
Dokter mendesah kecil, nyaris tak terdengar. "Tapi Olivia sudah meninggal delapan tahun lalu. Kecelakaan, Carol. Kamu ingat?"
Aku mendadak kaku. Mataku ngelirik dokter. Tenggorokanku seret, coba telan ludah. Gagal.
TV di pojok ruangan tiba-tiba mendadak nyala sendiri. Volume naik:
BREAKING NEWS:
"Seorang remaja, Carol Vale, divonis tidak bersalah karena kondisi kejiwaan. Nama fiktif dari catatan terapinya, Charles, disebut terlibat dalam manipulasi peristiwa pembunuhan di masa lalu."
Aku bengong. Pikiranku muter. "Kalau bukan aku, siapa? Kalau bukan Charles, siapa aku?"
Dokter berdiri. Dia kasih senyum ramah, lalu bilang: "Tidurlah. Obatnya akan mulai bekerja sebentar lagi."
Dia keluar. Ruangan mendadak sunyi. Cuma kesisa suara "bzzzt" dari TV yang sekarang rusak. Tanganku masih terikat. Tapi… kayaknya bisa kulepasin kalau aku mau.
* * *
Lalu... tiba-tiba
Ketuk. Ketuk.
Kepalaku refleks noleh. Ke arah jendela.
Dan di sana — Charles.
Dia berdiri menatapku dari luar jendela, atau mungkin dalam jendela. Bajunya compang-camping. Matanya gelap kayak lubang waktu yang tahu semua hal yang pengen kulupain. Senyum tipis menggantung di wajahnya.
"Mereka bohong, Carol. Kita emang bareng. Kita yang bikin semua itu terjadi."
Aku membatu.
"Gue... nggak kenal lo."
"Yakin?"
"Lo cuma... bagian dari trauma gue."
"Oh ya? Atau justru..."
BRAK.
Jendela kaca pecah. Charles masuk. Tangan kirinya luka, tapi dia tetap tenang. Senyumnya berubah miring, tipis, seperti luka lama yang gabisa diobati.
"...gue adalah trauma lo yang paling jujur?"
Aku masih terbaring, Charles mendekat, aku refleks mundur tapi nggak kabur. Tanganku masih terikat. Gemetar, tapi... entah kenapa, dada rasanya hangat.
Berbahaya. Tapi familiar.
Dia ada disampingku. Aku tatap matanya. Lama.
"Lo nyata… gasih? Atau lo beneran bukan bagian dari realita gue?"
Charles diam. Napasnya pelan, nyaris nggak terdengar.
"Realita itu apa sih, Carol? Yang bisa disentuh? Didengar? Diingat?"
Dia colek pipiku. Aku kaget. Bukan karena sentuhannya dingin. Tapi karena aku ngerasa beneran disentuh.
"Kenyataan itu apa yang nggak bisa lo hilangin, bahkan pas lo pengen banget lupa." Charles senyum lagi, tipis. Lalu pelan dia ngebuka ikatan tanganku.
Di belakangnya, ada bayangan lain. Siluet wanita berdiri diam di jendela pecah. Rambutnya panjang ikal. Olivia? Atau mungkin versi dirinya yang lain?
Tali ikatan ku lepas. Charles ngulurin tangan. "Mereka bilang lo rusak. Tapi mungkin... lo cuma satu-satunya yang sadar kalau dunia ini salah."
Aku liat tangannya. Mataku terpaku ke bagian bahu kirinya, dekat kerah baju yang sobek. Bekas luka itu terlihat. Tembakan terakhir. Lurus, melintang tepat di titik yang aku ingat.
Aku nyengir. Gila.
"Kalau ini delusi, setidaknya... lo adalah delusi yang buat gue ngerasa bener."
Charles ketawa kecil."Delusi atau bukan, siapa peduli."
Aku genggam tangannya. Kami lari lewat jendela. Lewat retakan yang nggak bisa ditambal lagi.
Dan untuk pertama kalinya... aku tahu siapa aku. Bukan Carol. Bukan Olivia. Tapi pecahan diantara semuanya.
END.