Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ibu...
Setiap malam aku berdiri di dekat jendela kamar ku
Menatap sang rembulan yang bersinar begitu terang
Lewat cahaya rembulan ku sampaikan aku merindukan mu
Aku teringat ketika aku duduk di pangkuan mu
Dengan sepasang boneka pelepah pisang
Kita bermain layaknya anak kecil yang tak mengenal beban
Aku berjalan di samping mu, kau tuntun aku dengan genggaman erat tangan mu
Aku berlari, kau mengejar dan berkata, “hati-hati”
Aku terjatuh, kau mengulurkan tangan dan berkata, “bangun nak”
Aku lelah, kau gendong seolah-olah kau perempuan paling tangguh
Aku nakal di jewer, kau meminta ku untuk tidak mengulangi nya lagi
Aku menangis, kau tenangkan aku dengan kata-kata mu yang lemah lembut
Aku… aku tak lain anakmu Ibu, yang selalu merindukan mu.”
Rofi sedang berlatih membaca puisi untuk lomba minggu depan. Namun, tiba-tiba ia berhenti dan berlari menuju dapur sambil mendengus-dengus dan berkata, “bau hangus, bau gosong, bau gosong.”
Seperti seorang teknisi dia mengecek kompor gas, penanak nasi, air fryer, hingga semua kabel yang ada di dapur. Setelah itu, dia sadar ada aku yang berdiri di dekat microwave sambil cekikikan sendiri.
“Ana, kamu lagi ngapain? Kamu lagi masak apa? Terus ini bau gosong bau apa? Ana, kenapa kamu cekikikan?”
Melihat mukanya Fifi yang kebingungan campur panik membuatku tak bisa menahan tawa.
Karena aku tidak menjawab pertanyaannya kemudian dia mendekat.
“Ya ampun! Ana, itu handphone bukan nasi goreng kenapa di panasin? Ana, jadi bau gosong itu handphone mu? An, jawab dong jangan ketawa mulu!”
“Calm down Juliet, calm down! Tenang ini rumah masih utuh nggak usah panik kayak gitu.”
Aku mengambil handphone ku kemudian pergi keluar. Fifi yang masih panik mengikutiku.
“Ana Ana! Kamu mau kemana si? Ana, kamu apakan handphone mu? Tadi di panasin sekarang di jemur.” Fifi masih kebingungan.
“Duduk sini Fi.” Aku mengajak Fifi duduk di depan rumah tepatnya di garasi mobil nya Bu Jarwo.
“An, ada apa denganmu? Realy An, this is not like you!”
“Tadi di waterboom ketika aku sedang membantu Liam memakai alat pelampung, Luke langsung nyebur ke kolam renang khusus orang dewasa tanpa alat pelampung. Panik lah aku takut dia tenggelam, tanpa pikir panjang aku langsung ikut nyebur nolongin dia. Aku lupa handphone ku ada di kantong celanaku, ya begini jadinya mati.”
“Jadi kamu pikir dengan memasukkan handphone yang mati ke dalam microwave bisa di nyalakan, hidup lagi?”
“Hahaha, tidak Fi. Entahlah, apa yang ada di benakku.”
“Handphone mu sudah gosong begini dijemur, masih berharap bisa dihidupkan lagi kah?”
“Udah nggak, ini tak jemur karena mencari panas alami biar kamu tidak panik lagi. Lagi pula ini baterinya kembung, layar kaca handphone agak retak, dan sedikit hitam. Sudah tidak bisa dinyalakan lagi, kecuali aku bawa ke counter Hp mungkin masih bisa di perbaiki.”
“Ana, I know you are the number one student at school slash science geek who has always thought out of the box. Tapi tolong kalau mau bereksperimen itu di rumah sendiri jangan di rumah orang, bahaya nanti ini rumah terbakar. Sekarang kamu bukan Miss smarty pants lagi, kamu lebih cocok jadi Miss silly pants.”
“Hahaha funny, kamu masih bisa bercanda Fi?”
“Ih Ana aku serius. Ana, kamu kalau mau punya pacar, mau nikah, dan punya anak harus punya duit! Jangan kau punya anak kita yang jaga.”
Aku tidak menyangka Fifi menirukan perkataannya ayahku. Perkataan yang setiap hari aku dengar dari ayahku yang aku sebut ceramah. Tidak seperti orang tua lainnya, kedua orang tuaku mendidik anak-anak nya dengan cara yang keras. Mereka mengedepankan kemandirian dan keuletan. Mereka berharap kelak kita bisa hidup mandiri dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, aku ingin membuktikan kepada mereka bahwa aku bisa mencari uang dengan menghabiskan waktu liburanku untuk bekerja selama satu minggu di rumah nya Bu Jarwo. Sekaligus membuktikan bahwa aku bertanggung jawab dengan segala sesuatu yang aku lakukan. Dan hari ini adalah hari terakhir aku untuk menjaga si kembar.
“Oi! Jangan bengong nanti kamu kesambet. An, jujur saja ketika mereka sedang menonton TV, main game, dan bermain hal lainnya you are the best partner. Akan tetapi ketika mereka sedang berantem kamu belum bisa menjadi penengah, mental kamu belum cukup. Apalagi umur mereka baru empat tahun belum banyak nalarnya kayak kamu gokil. Kamu tidak cocok bekerja sebagai babysitter tapi cocok bekerja sebagai tukang pasang lampu.”
“Iya aku tahu aku tidak mampu menjaga mereka dengan baik, tapi setidak nya aku sudah berusaha. Kalau kamu gimana enjoy nggak kerja disini?”
“Enjoy dong! I am doing what I love cooking.”
“Very good. Terus bagaimana ini Fi, itu handphone baru dibelikan ayahku kemarin sebagai kado ulang tahun.”
“Tenang An, this is not the end of the world. Aku punya ide cemerlang. Hari ini hari terakhir kita bekerja sama Bu Jarwo, berarti nanti sore kita gajian. My plan A is kamu ada duit Rp 300.000, nanti kamu pulang pecahin celengan ayam mu buat tambah modal beli handphone pasti cukup. Gimana setuju nggak?”
“Bad idea aku tidak setuju. Aku tidak disemprot lagi, tapi didamprat sama ayah aku.”
“Lo, itu kan duit nya kamu to?”
“Iya, itu duit ku, kalau duitnya untuk beramal ayahku happy. Tapi kalau untuk beli handphone pasti nggak happy, secara aku baru dibelikan handphone.”
“Ok ok plan B then, kamu pinjam handphone ku.”
“No privacy?”
“Bukan handphone ini tapi yang di rumah.”
“Are you talking about Nokia 1945 yang ada antena nya?”
“Ana, please jangan lihat tahunnya tapi lihat fungsi dan kegunaannya. Itu handphone jadul tapi masih bisa buat SMS dan telponan. Daripada kamu tidak punya handphone sama sekali. Kamu boleh pinjam handphone ku sampai kamu bisa beli yang baru, mau nggak?”
“Iya Fifi sahabatku yang paling baik, terima kasih. Nanti sekalian kalau kamu juara 1 lomba membaca puisi terus ada cash di pinjamkan juga ya!”
“Sorry! Sis, we may be friends, but money has never been a friend. Eh, tunggu dulu jangan sakit hati ya, jangan kau panasin handphone ku juga.”
“Don't you worry, no I won't. Sebel deh niat mau cari duit malah keluar duit. Ternyata susah sekali mencari duit, udah gitu aku jadi tupai lagi.”
“Hmm, Tupai?”
“Iya tupai! Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat pasti akan jatuh ke tanah juga. Tuhanku, tuluuuung!”
“Sabar-sabar, Tuhan pasti akan menolongmu.” Kata Fifi sambil mengelus pundakku.
Inilah akhir cerita aku sudah bersusah payah bekerja selama satu minggu, melatih kesabaran tapi tidak mendapatkan apa-apa.Tidak ada duit ataupun handphone, yang aku dapat adalah pengalaman bekerja sebagai penjaga anak. Untung ada Rofi, sahabatku yang berkenan meminjamkan handphone. Selain itu, aku pun harus mengumpulkan uang jajanku untuk membeli handphone baru.