Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kenapa harus dia, sih?! Kayak nggak ada orang lain, aja!”
Itu kalimat pertama yang dilontarkan oleh Darile dengan nada muaknya. Pandanganku yang semula tertuju kepadamu, teralihkan oleh wajah kesalnya. Karena hati tidak bisa memilih kemana cinta akan berlabuh. Jika aku menjawab begitu, dia akan memutar bola matanya dan memasang tampang pura-pura muntah. Jadi aku memilih untuk balik bertanya.
“Memang kenapa kalau dia?”
Anak itu kini memasang tampang terkejut yang berlebihan hingga membuatnya tersedak es teh.
“Bro …”
Ia menepuk pundakku.
“Liat baik-baik! Apa bagusnya cewek itu?!”
Darile menunjukmu dengan telunjuknya, membuatku menepis tangannya. Berani sekali dia melakukan itu kepadamu di hadapanku.
“Yang kulihat saat ini hanya kecantikan yang sempurna.”
Aku memandang parasmu lamat-lamat. Mata tajam yang memicing itu, raut wajah yang serius itu … bagiku semua tampak indah.
Darile dengan tidak sopan mengusap wajahku dengan tangannya yang basah dan dingin.
“Emang sih, dia cantik plus plus tapi akhlaknya minus!” tukasnya.
“Dia tukang bully, bro! Yang ada lu jadi sasaran bulan-bulanan dia klo sampe dia tahu perasaan lu.”
Aku menelan ludah. Ya, itu bisa saja terjadi jika perasaan ini sampai diketahui olehmu. Namun, aku tidak perlu khawatir karena aku akan menyimpannya untuk diriku sendiri. Aku tidak akan mengungkapkannya sampai kapanpun. Lagipula sungguh mustahil rasanya jika aku dan kamu menjadi kita. Memanggil namamu saja aku tidak sanggup, apalagi menyatakan perasaanku. Kamu bagaikan matahari yang bersinar sangat terang. Semua orang hanya bisa mengagumimu diam-diam dan jika ada yang berani mendekat, mereka akan terbakar.
Kamu selalu memandang orang dengan sebelah matamu. Namun entah mengapa, aku terikat pada mata itu. Kamu selalu berkata ketus kepada siapa saja yang berbicara kepadamu. Namun entah mengapa, suaramu lah yang terlintas di pikiranku pada penghujung waktu tidurku. Aku belum pernah melihat senyumanmu, tapi aku selalu ingin memperhatikan wajah sinismu. Terkadang, kebaikan yang kamu lakukan secara sembunyi-sembunyi itu membuatku merasa lega. Hey, kamu tidak seburuk yang dipikirkan orang lain. Kamu hanya belum terbiasa pada kebaikan itu sendiri. Mungkin, kamu juga belum tahu caranya tersenyum. Kuharap, suatu saat nanti kamu akan memperlihatkan keindahan itu kepadaku.
Darile pernah bilang jika seseorang itu tidak mudah untuk berubah. Jadi menunggu seseorang berubah itu adalah perjudian yang paling nekat. Jika berhasil, aku akan sangat beruntung, jika tidak, maka aku akan sangat terpuruk. Perkataannya tidaklah salah, akan tetapi aku tidak bisa setuju. Mungkin saja mereka yang belum berubah, tidak tahu harus memulainya dari mana, atau mungkin saja memang tidak ada orang yang bisa menuntunnya, atau bisa jadi ia merasa memang tidak perlu ada yang diubah dari dirinya.
Ketika pikiranku bergelut dengan kemungkinan-kemungkinan itu, aku tidak sengaja menabrak tubuhmu di koridor menuju kelas kita. Kamu menginjak kacamataku hingga patah. Namun bukanya meminta maaf, kamu malah berdecak kesal.
“Lihat jalan, dong!”
Aku dengan cepat memungut kacamataku dan ingin memasuki kelas, akan tetapi kamu menarik lengan seragamku hingga membuatku menoleh. Untuk pertama kalinya, kamu benar-benar menatapku. Bukan, bukan tatapan sebelah mata yang biasa kamu berikan kepadaku, tetapi tatapan yang benar-benar seperti menatap seseorang yang setara. Sejenak aku terpaku, tenggelam ke dalam netramu yang legam.
“Minus berapa?” tanyamu.
“Ti-tiga ….” Aku tergagap.
Kamu meninggalkanku sebelum aku benar-benar sadar. Hari itu, aku tidak bisa berhenti memikirkan tatapanmu. Ternyata kamu bisa menatap orang lain sesempurna itu dengan mata bulatmu. Sehari setelah insiden tabrakan itu, kau mengganti kacamataku dengan kacamata keluaran terbaru.
Kamu tersenyum begitu manis seraya berkata, “Sudah kuduga kau lebih cocok memakai kacamata dengan model seperti ini.” Terdengar nada bangga dari suaramu bicara yang membuatku tidak bisa menahan salah tingkah.
Kamu begitu menawan hingga aku tak tahu harus bersikap bagaimana di hadapanmu. Tak kusangka insiden yang tidak disengaja itu membuka lebar jalanku untuk mengenalmu lebih dalam, dekat, lekat. Meski begitu, mulutku tetap bungkam jika sudah berurusan dengan perasaan. Aku takut jika aku bersikap egois dan menyatakan hal itu dapat merusak hubungan yang telah kamu dan aku bangun. Jarak kamu dan aku hanya sejengkal tanganku, tapi aku masih harus meraba-raba jiwamu yang begitu kudambakan.
“Kau seperti rembulan. Begitu menenangkan hingga terkadang mencekam. Kau seperti rembulan yang menjadi bayang-bayang di permukaan danau, terasa mudah digapai namun jika tidak hati-hati, bisa saja membuatku tenggelam. Kau seperti rembulan, impianmu, pikiranmu, seakan jauh dari duniaku. Kau seperti rembulan, tatapanmu … selamanya tidak bisa kuartikan. Kau seperti rembulan ... Arkan,” gumammu yang masih bisa kudengar dengan jelas.
Malam itu kamu menatap mataku lekat hingga membuatku tercekat. Mata bulat itu seakan menuntut sesuatu. Aku memaksakan senyuman terbaikku.
“Diksi yang indah,” ujarku memujinya.
Di hamparan bintang jatuh yang hanya ada kamu dan aku, serta canda tawa anak-anak panti dari kejauhan, binar di matamu meredup.
Pandanganmu beralih pada bulan purnama di atas sana. Kuyakin kamu bahkan tidak memperhatikan hamparan bintang jatuh itu.
“Tentu saja, kau yang mengajariku,” ujarmu.
Itu karena kamu sangat penasaran dengan apa yang biasa kulakukan. Selarik kertas dan setinta pena tidak pernah luput dari keberadaanku, dan karena itu ... kamu mencoba hal baru. Bagaimana rasanya bermain bersama kata-kata? Akhir-akhir ini kamu lebih sering menyairkan langsung diksimu daripada menuliskannya.
Semakin waktu berlalu, semakin aku melihat dirimu yang baru. Kamu lebih sering tersenyum dari biasanya, tatapan sinis itu tidak terlihat lagi, tergantikan dengan binar iris matamu yang bercahaya setiap kamu dan aku bertatap mata. Suaramu tak sepongah dahulu, melainkan berubah menjadi nada-nada yang merdu. Ketika kamu memanggil namaku, perasaanku tumpah ruah. Kurasa tangki penampungan ini tidak akan bertahan lama. Aku ingin menulis tentangmu lebih banyak, sebanyak degup jantungku yang berdebar ketika berada di dekatmu.
Kuremas rerumputan hingga tanahnya masuk ke sela-sela kukuku. Aku ingin mengatakannya, hingga gondok di kerongkonganku keluar dengan leluasa, tapi aku terlalu takut mendengar jawaban darimu. Aku ingin mengungkapkannya, hingga bongkahan perasaanku luruh begitu saja, tapi aku tak siap melihat reaksimu. Aku ingin mengutarakannya, hingga kepulan napasku yang memburu dapat menghembus lega, tapi aku tidak ingin kamu menjauhiku karena pernyataan itu.
Aku terlalu takut, aku pengecut. Berkali-kali aku memilih bungkam, meski kini tulisanku tentangmu sudah tidak bisa kuhitung jumlahnya. Namun, itu saja sudah cukup bagiku. Mungkin hanya dengan menulis ribuan kata, aku bisa menyatakan apa yang kurasakan di saat aku tergugu berbicara denganmu. Mungkin hanya melalui tulisanku yang tak pernah terbaca olehmu, aku bisa terbebas dari rasa gugupku setiap menatap matamu. Mungkin mengabadikanmu lewat tulisanku adalah cara teraman aku mencintaimu.