Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Cara Melipat Luka
0
Suka
336
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di antara banyaknya pekerjaan harianku yang membosankan, ada satu pekerjaan yang paling-paling membosankan dari itu semua, yaitu melipat luka.

Jika pagi-pagi sekali aku berangkat ke toko secara terburu-buru, tanpa memperhatikan kiri-kanan, aku masih tetap bisa jadi makhluk yang santai. Aku tahu pekerjaan itu akan selesai di sore hari ketika rak-rak baju ditutup, meja kasir dirapikan, lalu bos menutup pintu toko, dan aku pulang. Tetapi, pekerjaan melipat luka itu benar-benar tak ada habisnya, tak ada ujungnya. Tahu kenapa? Karena luka itu tak pernah diam dalam lipatan yang telah kuselesaikan susah payah di hari sebelumnya. Setiap kali aku pulang kerja dan berbaring dalam kesendirian, luka itu kembali melebar, menganga, menampakkan wujudnya yang tak enak dilihat. Inilah yang membuatku jengkel setengah mati.

Sebenarnya, tingkat kejengkelan itu malah tak seberapa jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Masa itu, aku hampir sesak setiap kali bernapas karena luka itu menghinggapiku ke mana pun aku pergi. Ia begitu erat menempel bagai lintah meski sudah susah payah aku melepasnya, menggosokkannya ke dinding rumah, memukulinya, dan melemparkannya ke sembarang arah.

Saking tak tahan lagi, kadang sengaja aku mendekati orang-orang random, yang kujumpai di sembarang tempat. Kutanya kepada mereka bagaimana cara membuang luka, atau setidaknya cara melipatnya. Lalu, di antara mereka ada yang menjawab:

“Dikuburkan saja. Ada banyak liang yang bisa kaubuat di muka bumi ini.”

“Bakar saja.”

“Tinggalkan di satu tempat. Pindah ke tempat baru.”

Dan satu lagi menjawab: “Tak tahu. Aku tak pernah punya luka.”

Sungguh, aku iri bukan main kepada jawaban terakhir itu. Apa mungkin dia seorang ras murni yang dibesarkan oleh peri-peri bersayap di sebuah tempat bernama Taman Surga hingga tak ada satu pun luka yang menempel di tubuhnya?

Kemudian akhirnya, tebak saja, aku tetap kembali ke rutinitasku. Setelah mendapatkan aneka masukan dan kepusingan memikirkan cara terbaik untuk melipat luka, aku tetap tak menemukan jalan keluarnya selain aku harus tetap melipat luka itu.

Saban hari, siang dan malam setelah aku bekerja, dan saat aku sendirian di kamar, aku tatapi luka yang besarnya tiga kali besar tubuhku. Ia bulat, merah, dan besar. Luka itu mirip sebuah bola matahari besar dengan api di seluruh permukaannya.

Kadang sengaja kuulurkan jari menyentuh permukaannya yang merah itu, yang memberikan satu sensasi lain. Aku hanya membencinya karena ia tak mau terlipat dengan baik meski aku telah menekannya kuat-kuat dan menimpakannya dengan berbagai benda berat. Namun sebenarnya, aku memiliki kesenangan tersendiri terhadap luka itu. Ianya menyalurkan sejenis euforia yang membuatku bahagia dan putus asa dalam sekali waktu. Aneh, bukan. Simpelnya begini: Pernahkah kau merasa teramat sedih hingga kau tertawa sendiri, lalu berujung terbahak-bahak tanpa bisa dicegah? Nah, kira-kira seperti itulah yang kurasakan. Oleh karenanya, bisa kubilang, luka itu adalah pelengkap kesepianku, sesuatu yang menghadirkan sebuah kesempurnaan dalam kesengsaraanku, juga kesengsaraan dalam kesempurnaanku.

Dahulu, aku bangga memiliki luka ini karena kata orang-orang, luka akan membuat manusia kuat. Itu artinya makin banyak luka yang kumiliki, makin kuatlah aku. Kekasih pertamaku menghadiahkan luka ini setelah aku menghadiahinya apa yang kusebut kesucian. Agaknya, dia terlalu menyayangiku hingga dia ingin aku tak melupakannya saat dia pergi bersama perempuan lain. Agaknya lagi, dia ingin aku tetap mengingat dirinya dengan cara merawat luka yang dihadiahkannya itu. Lucu, kan?

Aku yang tak pernah belajar cara merawat luka, merasa bingung harus apa. Andai, luka itu sekecil luka di lututku saat jatuh dari sepeda, tentu aku akan membubuhinya dengan betadin. Tapi luka ini besarnya tiga kali ukuran tubuhku. Gawatnya lagi, sesekali dia mendesis tiap kutatap lama tanpa berkedip. Api yang memenuhi permukaannya makin membesar saat aku mulai menangis. Karena itulah aku keluar dari rumah ibuku dan berhenti menangis. Kali terakhir aku menangis, api itu membesar tak karuan memenuhi kamarku serta kamar ibu. Ibu marah. Dia mengusirku dan mengatai aku sebagai perempuan sundal tak tahu di untung.

Aku keluar dari rumah Ibu tiga tahun yang lalu, mencari pekerjaan asal, pindah ke kosan murah dan memulai ritual pelipatan luka itu. Aku yang awalnya tak bisa melewatkan hari tanpa membawa luka itu di punggungku, mulai bisa meninggalkannya satu dua jam di kamarku. Meski, kenyataannya tak ada satu malam pun kulewatkan tanpa melipatnya, hingga aku lelah dan terlelap. Aku hanya harus terus melipatnya atau sebuah kejadian buruk lain akan menimpaku: api di permukaannya akan menjadi biru terang. Perlahan ia akan menghitamkan dinding kamar, menghanguskan tempat tidur, kemudian melelehkan tubuhku senti demi senti.

*

Suatu siang hari, seorang gadis berkacamata datang ke tokoku. Bosku membawanya sebagai seseorang yang akan membantuku di toko. Katanya, dia gadis tigapuluh yang ditinggal mati oleh calon suaminya. Aku bingung. Entahkah harus merasa prihatin atas kedukaannya itu, atau sebaliknya, merasa beruntung karena aku tidak bernasib serupa.

Dia perempuan yang cekatan. Satu yang kukagumi dari tangan kurusnya itu adalah betapa kedua tangannya bisa cepat dan tepat ketika melipat semua pakaian di keranjang obral toko. Dia membentuk, menyusun, menggantungkan, dan membungkus dengan rapi setiap pakaian yang dibeli orang-orang. Aku jadi terkesima karena kepiawaiannya itu.

Saking penasarannya aku, di hari saat tak ada pembeli di toko kami, aku nekat menanyakan soal apakah dia juga punya kemampuan hebat dalam melipat luka. Dia terbengong menatapku. Wajah tirus dengan jerawat-jerawat kecil menghias kening itu memandangku serius.

“Aku memang cukup sering melipat lukaku sendiri. Tapi aku tak pernah melipat luka orang.”

Aku agak kecewa mendengar jawaban jujurnya itu.

“Memangnya luka seperti apa yang harus kulipat?” tanya dia lagi.

Aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah perempuan itu perlu tahu soal lukaku.

“Bulat, seperti matahari dan besarnya tiga kali dari besar tubuhku.”

Dia kaget. Meski sempat terdiam beberapa saat, akhirnya dia memiliki jawaban yang serius. Dia menawarkanku sebuah kesepakatan tentang cara melipat luka. Kesepakatan itu sederhana, aku ijinkan dia melihat luka itu dan dia akan mengajariku cara melipatnya, atau aku tak ijinkan dia melakukan itu dan dia tetap akan jadi temanku (ini jika aku tak ingin membawa hubungan kami ke jenjang permusuhan).

Aku menyadari bahwa kedua kesepakatan itu sama-sama tak merugikanku. Selain karena aku sudah lelah dengan situasi kesepian, aku juga mulai lelah terhadap rentetan ucapan penyemangat. Jadi, kubiarkan saja perempuan itu berkata-kata sendirian sambil kudengarkan apakah ucapannya itu sudah pernah singgah di telingaku atau belum.

Hingga suatu siang pada hari Minggu, berbulan-bulan setelah kesepakatan yang dibuatnya, dia mengajakku untuk membiarkannya melihat lukaku. Kubiarkan perempuan itu menjadi pengunjung kamar kosku di jam satu siang. Dinding kamar jadi saksi betapa susahnya aku menggantung kain untuk membungkus luka itu demi kutunjukkan kepadanya. Kain merah muda bermotif bunga-bunga cerah itu aku balutkan di seluruh permukaan luka, menyiapkan diriku untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk. Misalnya, bisa saja dia kaget dan tak siap mental karena bentuk luka yang tak karuan itu. Atau bahkan dia kabur setelahnya kemudian bertingkah tak mengenaliku, atau sebaliknya pura-pura jadi baik dan memujiku setinggi langit sebelum menghabisiku terang-terangan. Aku tak peduli lagi akan kemungkinan apa pun yang terjadi setelahnya. Aku hanya ingin tahu satu kepastian tentang bagaimana respons manusia itu manakala dia melihat luka itu.

Hampir setengah jam lamanya dia hanya terduduk di lantai kamarku dengan tubuh lunglai dan keringat mengalir di setiap porinya. Baju yang dikenakannya basah kuyup. Dia lalu berucap, “Aku kira kau berbohong agar aku menjauhimu!”

“Sekarang sudah tau, kan?” balasku.

Dia terdiam, sepertinya sedang memikirkan kata-kata manakah yang harus dia ucap untuk mewakili perasaannya.

“Apa kau kesulitan selama ini?” tanyanya.

Aku tak menjawab pertanyaan itu. Segera aku bangkit dan berjalan ke arah pintu kamar. “Sekarang kau sudah terlanjur tau. Jika kau tak nyaman, pergilah dan tinggalkan aku di sini.”

Dia menggeleng. Matanya memerah.

“Aku akan tetap di sini,” katanya.

“Apa yang kauharap lagi?”

“Kau. Menjagamu seutuhnya.”

“Dengan luka sebesar itu?” tanyaku tak percaya sambil menunjuk ke sisi dinding, tempat luka itu berdiam.

“Ya.”

Aku mendesah panjang. Kusilangkan kedua tangan di depan dada. “Orang macam apa kau ini sebenarnya!”

“Ijinkan aku!”

Aku tak bicara lagi.

“Jadi, apa kau bisa percaya padaku?” tanyanya.

“Entahlah.” Aku ingin menjawab “Ya”, tetapi rasanya aku terlalu takut akan keinginanku sendiri. Semuanya berubah dalam waktu singkat. Sejak awal, akulah yang telah meminta bantuan kepadanya. Bukankah harusnya aku senang ketika dia bersedia untuk itu. Namun, mengapa kini seolah aku yang membuat penolakan atas kesediaannya.

“Jangan minta aku untuk menjauhimu!” katanya lagi.

Aku kaget setengah mati. Perempuan itu pasti sedang membual.

“Aku cuma ... tak yakin masih ada persahabatan yang tulus ... di dunia ini.” Ucapan patah-patah itu meluncur dari bibirku.

“Yakin kepada siapa?”

“Aku tak yakin ada seseorang yang bersedia hadir untukku.”

“Tapi aku yakin.”

“Bagaimana soal luka itu?”

“Aku akan melipatnya untukmu, setiap hari, setiap waktu. Atau, jika tak bisa terlipat, kita bisa tetap memajangnya di sini, aku akan warnai dengan cat lembut, warna kesukaanmu, dan kutambahkan lampu kelap-kelip agar kau bisa memandanginya sambil tersenyum. Aku akan berusaha menjadikan luka itu seindah mungkin agar kau tak takut lagi.”

“Bukankah harusnya tak ada orang yang menyukai luka seperti itu?”

“Hanya karena kau belum menemukannya bukan berarti orang itu tak ada,” ucapnya lagi.

Aku mematung. Kupandangi luka yang perlahan mulai memudar. Warnanya tak lagi semerah saat kemarin. Ia berubah menjadi jingga dan mengecil.

“Apa kau percaya sekarang?”

Aku menangis. Entahkah bahagia karena luka itu berhasil dilipat atau justru sedih karena aku kehilangan luka besar yang menemaniku selama ini.

“Tak ada yang mampu mengubah nilaimu meski lukamu sebesar dunia. Di mataku, kau adalah perempuan hebat, perempuan penuh semangat juang yang membuatku kagum saat pertama melihatmu,” katanya.

Entah darimana dia belajar merangkai kata-kata seperti itu, tapi kuakui dia berhasil. Tak ingin mengelak lagi, kali ini aku tersenyum lepas. Kupandangi matanya itu lekat-lekat. Kupandangi matanya itu lekat-lekat. []

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Kepompong
penulis kacangan
Cerpen
Cara Melipat Luka
Auli Rashid
Novel
Bronze
Hujan Senja
Joya Janis
Novel
Elena Kartini
rudy
Cerpen
Bronze
Terbungkus dalam Sunyi: Mencintai Dalam Diam
Vincentius Atrayu Januar Dewanto
Flash
Bronze
Suami Seorang Novelis
Silvarani
Novel
Bronze
Hello You
Ello Aris
Novel
Bronze
Cinta Sepotong Pensil
Dzakayfat Aizawa
Novel
Gold
My Ice Boy
Bentang Pustaka
Novel
Klik "yes"
Sarniati witana
Flash
Yang paling Indah
Halimah RU
Novel
Gold
The Mocha Eyes
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Geigi
Bentang Pustaka
Novel
Tentang Meldy
sya_hill
Novel
Cinta Jala Sutra
ARCELYOS
Rekomendasi
Cerpen
Cara Melipat Luka
Auli Rashid
Cerpen
Kisah Ular
Auli Rashid
Cerpen
Riwayat Penghuni Pohon Nangka
Auli Rashid