Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
canvas of sin
1
Suka
417
Dibaca

Setiap goresan menyembunyikan jeritan

Setiap kanvas mengenang kematian

 

Ada satu warna yang tak bisa kutemukan di paletku—warna yang sering muncul dalam mimpiku. Seperti luka yang tak pernah sembuh, aku mencarinya di setiap lukisan yang kubuat, tapi tak pernah benar-benar kutemukan. Sampai aku datang ke kota ini.

Kota Ambon, dengan suasana sejuk dan tenang, terasa sedikit asing namun memikat. Di sini aku menemukan begitu banyak warna baru yang menghiasi kanvasku, tetapi kota ini tidak hanya memberiku beragam warna indah. Ia juga menyimpan sesuatu yang lebih gelap, lebih pekat daripada tinta hitam di ujung kuasku. Sesuatu yang perlahan merembes ke setiap goresan lukisanku, tanpa suara dan penuh makna tersembunyi. 

Suasana kota yang tenang tidak pernah benar-benar menjanjikan rasa aman. Sejak aku pindah ke sini, adabegitu banyak berita pembunuhan dan penemuan mayat, semuanya perempuan muda. Setiap bulan, tepat minggu kedua tanggal dua belas, berita pembunuhan dan penemuan mayat itu selalu muncul. 

Pagi ini warga dihebohkan lagi oleh berita penemuan mayat. Ditemukan tubuh seorang gadis tak bernyawa yang dibuang di tong sampah, layaknya sampah yang tak diinginkan. Tubuh korban ditemukan dalam posisi membungkuk berlumuran darah dan di antara lengannya yang pucat terselip sebatang anggrek putih yang masih segar. Anggrek itu bukan lagi sekedar bunga bagi warga kota, melainkan sebagai tanda bahaya. Bagi warga kota, selama bunga anggrek itu terus bermekaran di sisi tubuh orang-orang yang tak bernyawa itu, kota ini belum benar-benar aman dari tangan biadab yang menyukai keindahan itu.

“Nara!” 

Suara itu memecah keheningan yang menggantung di sekitarku. Aku menoleh perlahan, melihat Rey berlari kecil menghampiriku, dia terengah-engah.

“Kamu sudah dengar berita pagi ini?” tanyanya cepat, berjalan di sisiku begitu berhasil menyamai langkah. 

Aku mengangguk pelan, masih menatap lurus ke depan. “Ya. Lagi-lagi seperti itu bukan?”

Rey mengerutkan dahi. “Apa maksudmu seperti itu? Nara, ini pembunuhan, seseorang dibuang di tong sampah, dan—”

“Dan di sampingnya ditemukan bunga anggrek putih,” potongku lirih, nyaris tanpa ekspresi. “Ini sudah biasa terjadi bukan? Apa kamu tidak sadar ini terjadi setiap tanggal dua belas?” 

Rey terdiam beberapa langkah, menoleh padaku dengan pandangan terkejut. “Tunggu...setiap tanggal dua belas?” suaranya pelan, seolah baru menyadari sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. “Kamu yakin?”

Aku mengangguk perlahan. “Jika kamu perhatikan berita-berita sebelumnya, waktunya selalu sama. Kamu ingat, bulan lalu tanggal dua belas juga, selalu perempuan muda dan selalu dengan anggrek putih segar yang begitu bersih seolah tidak pernah disentuh oleh darah.” Aku terdiam sejenak. “Dua bulan sebelumnya juga sama, hanya lokasi dan korban yang berbeda.” 

Rey terdiam, mencoba mengingat sesuatu. “Astaga,luar biasa... aku pikir itu hanya kebetulan. Tapi kalau dugaan kamu benar, berarti ini bukan sekedar pembunuhan acak.” 

Aku menggeleng. “Tidak pernah acak,” ucapku datar. “Anggrek putih itu terlalu rapi untuk sebuah kebetulan.” 

Rey menoleh padaku lagi, matanya sedikit menyipit. “Kenapa kamu tahu semua ini, Nara?” tanyanya hati-hati.

Aku hanya tersenyum kecil. “Aku memperhatikan apa yang tak orang lain lihat.”

Rey mengangguk ragu, tidak bertanya lagi setelah itu. Dan kami berjalan dalam keheningan, menyusuri jalanan menuju kampus. Suara langkah kaki kami memecah keheningan sepanjang jalan. Setibanya di kampus, suasana kelas lebih riuh dari biasanya. Beberapa mahasiswa berkerumun, membicarakan kejadian mengerikan pagi tadi. 

“Korban kali ini katanya mahasiswa dari fakultas kita,” bisik Rey pelan, mencondongkan tubuhnya sedikit ke arahku. 

Aku terdiam, jantungku berdesir dingin. Mahasiswa? Dari fakultas kami? Lingkaran itu semakin menyempit, semakin dekat. Aku melirik kerumunan mahasiswa yang masih heboh membahas berita pagi ini. Wajah-wajah mereka menggambarkan kengerian, rasa ingin tahu, dan ketakutan yang terlihat jelas. 

“Siapa?” tanyaku pada Rey, suaraku lebih pelan dari sebelumnya.

Rey menggeleng, “Belum jelas. Tapi katanya dia adik tingkat kita.”

Aku mengangguk pelan menanggapi jawaban Rey. Rasanya ada sesuatu yang menjerit di dadaku, tapi aku tak tahu apa. Aku tidak bertanya lebih lanjut. Kami sama-sama diam. 

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Suara hujan yang menetes di luar jendela menjadi pemecah keheningan malamku. Aku duduk di pojok kamar kosku, di hadapanku berdiri sebuah kanvas kosong, menantiku untuk mengisi kekosongannya. Tangan kiriku menggenggam palet warna yang dipenuhi warna-warna pekat. Tanpa sketsa, tanpa rencana, jemari halusku mulai meraih kuas dan mencelupkannya ke dalam warna-warna pekat tersebut. Tanganku bergerak cepat mencoretkan warna pada kanvas. Tanganku bergerak begitu lincah, seolah ada yang memacunya. 

Aku tak tahu apa yang sebenarnya kulukis, hanya bentuk-bentuk kacau yang muncul dari ingatanku dan saling bertubrukan. Sebuah karya abstrak dengan warna merah tua yang mendominasi. Semakin lama, lukisan itu tak lagi terasa seperti milikku. Ia terlihat hidup,perlahan mengambil bentuknya yang penuh kemarahan, ketakutan dan sesuatu yang lebih gelap. Aku berhenti mencoret kanvas ketika kuasku patah. Nafasku terengah-engah, tubuhku dingin oleh keringat, mataku tak henti-hentinya menyimak bentuk lukisan itu. Ada sesuatu yang ganjil. Di tengah riuh garis dan warna yang tidak beraturan, samar-samar tampak siluet wajah yang tersembunyi di balik semburat merah dan hitam. 

Wajah itu.

Mataku membelalak menatap ke arah jendela. Di balik kaca buram yang mengembun oleh air hujan, aku melihat bayanganku. Tapi anehnya bayangan itu tidak menirukan gerakanku. Ia hanya berdiri diam dengan senyum yang tenang ––terlalu tenang untuk disebut tidak berbahaya.

Aku mundur dengan nafas tercekat, jatuh terduduk di lantai. Mataku tertutup, berharap semua ini hanya ilusi kelelahan. Hanya mimpi. Tapi rasa dingin itu nyata. Dan senyum itu terus menempel di ingatanku, sampai aku membuka mata. 

Dan di sanalah dia—bayangan diriku yang kulihat di jendela tadi, kini berdiri tepat di hadapanku. Tubuhnya identik denganku, tapi matanya kosong dan kelam, memancarkan sesuatu yang mengerikan. Senyumnya melebar, lebih lebar dari wajah manusia seharusnya bisa tersenyum.

Sebelum aku sempat bergerak, tangannya melesat, mencengkeram leherku erat-erat. Jari-jarinya dingin seperti es, mencengkeram kuat hingga aku tak bisa bernapas. Aku meronta, memukul lengan, mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Pandanganku mulai kabur. Dunia terasa memudar.

Lalu semuanya gelap.

Aku terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Nafasku berburu, seolah paru-paruku masih berusaha mengejar oksigen yang sempat direnggut. Jantungku berdentum keras di dada.

Aku menyapu ruangan. Sunyi.

Lampu masih menyala. Tirai jendela tertutup rapat. Tidak ada siapa-siapa di kamar. Aku menelan ludah perlahan, mencoba menenangkan diri. Mimpi. Itu tadi cuma mimpi. Tapi mimpi itu terasa terlalu nyata. Terlalu hidup. Tanganku bergetar saat aku menoleh ke pojok kamar. Lukisan itu masih berdiri di sana. Dan kali ini, aku bisa melihat jelas wajah dalam lukisan itu. Wajah itu tak lagi samar, itu wajah seorang gadis asing yang tersenyum terlihat persisi seperti senyuman yang ada di mimpiku. 

***

Hening pagi itu terasa lebih pekat dari biasanya. Bau tanah basah dari sisa hujan semalam menyeruak dan bercampur dengan aroma anyir yang samar namun menusuk di penciuman. Aku duduk di bangku taman kampus, mencoba menyusun kembali kepingan mimpi buruk yang masih terasa nyata. Bayangan wajah di lukisan itu, senyum mengerikan dari bayangan di jendela dan tangan dingin yang mencekik leherku.

“Nara, kamu di sini ternyata!”

Suara Rey menyentakku, dia muncul dari balik pohon mangga. Sorot matanya menampilkan kelelahan dan kegelisahan sama seperti yang kurasakan. 

“Ada apa, Rey?” tanyaku setelah dia duduk di sampingku. 

“Kamu baik-baik saja? kamu terlihat pucat,” tanyanya pelan sambil menyodorkan kopi dingin yang dia beli. 

Aku menggeleng, “Entahlah. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal.”

Rey mengangguk, menyesap kopinya. “Berita pagi ini... ternyata korban adalah adik tingkat kita, dari jurusan sastra. Namanya Laras.”

Jantungku berdesir. Laras. Aku tidak mengenalnya secara pribadi, tapi wajahnya familier dari beberapa kegiatan kampus. Mahasiswi yang dikenal ceria, periang, dan penuh semangat. Mengapa harus dia?

“Anggrek putih itu... apakah sama seperti yang lain?” tanyaku, dengan suara nyaris berbisik.

Rey menatapku, matanya menyipit. “Persis. Bahkan lebih putih dari sebelumnya. Seolah baru dipetik dari kebun.” Dia berhenti sejenak, mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Nara, setelah kupikirkan lagi, semua yang kamu katakan kemarin... tentang tanggal dua belas itu. Ini bukan kebetulan, kan?”

Aku menatap kosong ke depan. “Tidak ada yang kebetulan dalam kesempurnaan seperti itu, Rey.”

“Kesempurnaan?” Rey mengerutkan kening.

“Pelaku tahu apa yang diinginkannya,” jawabku datar. “Setiap detailnya, lokasi pembuangan mayat, dan yang terpenting... anggrek putih itu. Bukankah sangat aneh, di tengah kekejaman, ada sentuhan keindahan yang begitu dingin?”

Rey terdiam, seolah memproses kata-kataku. “Kau benar. Rasanya... seperti ada tanda tangan yang tak terlihat.”

Kami tenggelam dalam keheningan lagi, hanya suara angin yang menggerakkan dedaunan yang memecah kesunyian. Aku merasakan tatapan Rey padaku, namun ia hanya diam.

***

Seminggu berlalu dalam kabut kebingungan dan ketakutan. Mimpi burukku semakin intens dan aku merasa semakin terasingkan dari kenyataan. Aku sering kali merasa lemas, seperti ada sesuatu yang menguras tenagaku. Terlebih ketika aku menciptakan lukisan-lukisan baru. Beberapa hari kemudian, kabar orang hilang kembali muncul. Kali ini dua orang sekaligus, namun tak ada jejak. Tak ada mayat. Hanya berita orang hilang dan satu hal yang pasti, bahwa kota ini masih belum bebas dari teror. 

Sampai akhirnya suatu malam, naluriku kembalimenuntunku pada kanvas. Tapi kali ini berbeda.Kesadaranku mencelos saat aku berdiri di depansebuah lukisan baru, lukisan yang belum pernah kurencanakan, yang belum pernah kubayangkan. Di dalamnya ada dua sosok gadis asing. Salah satunya sedang menjerit di dalam air, tubuhnya seperti larutan cat yang terurai.

Aku tak mengerti. Kapan aku melukis ini? Di tengah lingkaran kebingunganku, terdengar ketukan di pintu kamarku. Kupikir itu Rey. Tapi saat kubuka, tak ada siapa-siapa. Hanya setangkai anggrek putih tergeletak di ambang pintu. Aku menatap bunga itu lama. Napasku memburu. Kututup pintu perlahan, dan saat aku membalikkan badan, aku melihat bayanganku di cermin. Tapi kali ini, aku tahu itu bukan sekedar bayangan. Bukan pantulan diriku yang biasa, melainkan sosok yang terlihat begitu rapuh, dengan mata memerah dan tangan yang berlumur cat merah atau darah? Aku tak yakin. 

Ketukan kedua terdengar, lebih keras dari sebelumnya. Dengan sedikit terperanjat, aku memberanikan diri membuka pintu, berharap kali ini benar-benar Rey yang datang dengan tatapan ramahnya yang akan menenangkan badai dalam dadaku. Namun, setelah membuka pintu alih-alih tatapan ramah Rey yang ku temukan, yang kudapati justru pemandangan yang membekukan darah. Rey berdiri di ambang pintu, napasnya terengah-engah, matanya kosong. Di tangan kanannya, sebuah pisau berlumuran darah menetes perlahan, menciptakan genangan merah pekat di lantai. Dan di tangan kirinya, ia menggenggam erat setangkai anggrek putih yang sama persis dengan yang kulihat tergeletak di ambang pintu tadi. Aku membeku, kata-kata tertahan di tenggorokanku. Dunia seakan berhenti berputar. Aku menatap pisau itu, lalu ke wajah Rey, mencoba mencari kilasan wajah Rey yang kukenal, tapi nihil. Hanya kekosongan dan kengerian yang terpancar dari sorot matanya. 

Rey melangkah maju, pisau di tangannya terangkat perlahan. Aroma amis darah menyeruak, memenuhi indraku. Aku ingin berteriak, ingin lari, tapi kakiku seolah terpaku di tempat. Hanya satu pertanyaan yang menggema di kepalaku “kenapa, Rey?” namun Rey tak menjawab. Matanya yang kosong perlahan beralih pada lukisan di belakangku, lalu beralih padaku. Ada senyum tipis yang nyaris tak terlihat, melengkung di bibirnya. Senyum yang membuatku merinding. 

“Clang.”

Pisau di tangannya terjatuh, menimbulkan bunyi denting nyaring di lantai. Dengan tatapan kosongnya yang masih menatapku, ia berjalan perlahan ke arahku. Rey mengulurkan tangan hendak meraihku, namun belum sempat dia menyentuhku, tubuhnya ambruk di lantai. Aku terpaku, menyaksikan sosoknya yang kini tergeletak tak berdaya. Perlahan kekosongan di matanya menghilang, digantikan oleh keputusasaan dan kebingungan, hingga akhirnya tertutup rapat.

Aku tak tahu berapa lama aku berdiri di sana, menyaksikan Rey yang masih tergeletak di lantai. Waktu terasa lamban, detik-detik berayun seperti tetesan darah yang mengering di lantai. Perlahan aku berlutut, mengamati wajah Rey yang kini kembali pada ekspresi damai dalam tidurnya, seolah beban berat baru saja terangkat dari pundaknya. 

 

Aku bangkit melangkah mundur, bayangan Rey yang tak berdaya masih terpaku di mataku. Aroma darah memenuhi hidungku, melekat di setiap pori-pori. Kakiku melangkah keluar dari kamar, menuju lorong gelap yang diterangi oleh lampu berkedip-kedip di ujung sana. Setiap kedipan seolah melahirkan bayangan baru, bayangan diriku yang berbeda.

Di sana, di antara kegelapan dan cahaya yang putus-putus, aku berdiri. Menggenggam sesuatu yang dingin di tanganku. Pisau. Entah sejak kapan benda itu ada di sana. Tapi rasanya begitu pas dalam genggamanku. Gagangnya yang terasa dingin di telapak tanganku, namun bilahnya masih hangat dan lengket oleh darah segar. Kehangatan membungkus hatiku yang dingin, menimbulkan detak kepuasan yang membahagiakan. Dan saat kaca jendela kamar sebelah menampilkan sosokku—senyum itu kembali muncul. Senyum lebar, terlalu lebar untuk manusia biasa. Aku menyeringai.

Malam itu, di lorong sunyi kota Ambon yang basah oleh hujan, hanya suara langkah dan gemericik darah yang menjadi saksi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
canvas of sin
Alfiya
Cerpen
Pengantin Bara
Vanillanil
Novel
Nadin Membunuh Nostalgia
Ardi Rai Gunawan
Novel
Mark The Dates
Noor Cholis Hakim
Cerpen
Bronze
Jangan Bercermin Terlalu Lama
Efi supiyah
Novel
Kami (bukan) Tinta Berdasi
Martha Z. ElKutuby
Flash
Bronze
PISAU
mushodah
Flash
Rumah
Selvi Diana Paramitha
Skrip Film
Black Rainbow
Cassandra Reina
Novel
Broken Angel
Liliyanti
Novel
HOME SCHOOL
Anonim people
Novel
Gold
Tanda Mata Kematian
Falcon Publishing
Novel
Gadis Tulip
Nawan
Flash
Bronze
Koper Merah
Afri Meldam
Cerpen
Bronze
Amnesia
Xavier Benedick
Rekomendasi
Cerpen
canvas of sin
Alfiya