Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kamu harus bisa masak, Nis. Perempuan kok nggak bisa masak! Nanti suamimu nggak betah di rumah, gimana mau harmonis nanti?!”
Aku hanya mengangguk-angguk takzim saat Bude melontarkan khotbah rutinnya setiap kali berkunjung ke rumah. Bude mencomot pisang goreng buatanku dari atas meja, mengunyahnya pelan-pelan. Aku hampir hapal pola pembicaraan Bude, setelah kritik, dia akan memamerkan calon mantunya.
“Kamu harus contoh itu, Mbak Cika. Dia sudah cantik, jago masak, rajin bersih-bersih, kalau bicara juga lemah lembut. Cocok buat jadi istri.” Dia mengacungkan jempolnya, mempromosikan perempuan yang tak lama lagi menjadi menantunya itu.
Aku hanya bisa tersenyum canggung dan terdiam. Bude memang sangat membanggakan Mbak Cika, perempuan yang akan dinikahi oleh anak sulung Bude, Mas Dedi. Melalui cuitan bude, aku tahu jika keduanya bertemu lewat kencan online.
“Bude aslinya khawatir juga, kok bisa Dedi tiba-tiba bilang mau nikah sama perempuan yang dia kenal lewat hape begitu. Nggak paham juga cara kerjanya bagaimana, pokoknya ternyata si Cika ini ternyata kok ya bagus orangnya.”
Sehabis memuji calon mantunya, Bude akan mengkritikku lagi.
“Makanya, Nis kamu itu rajin-rajinlah. Masak, bersih-bersih rumah, terus kalau bicara itu ya yang feminim gitu. Jangan kayak orang laki, kalau ngomong kayak mau debat saja.”
Kali ini Bude membahas cara bicaraku, setidaknya dia berhasil meningkatkan kritiknya, tak lagi hanya membahas masak-masak atau bersih-bersih. Tapi diomeli begini di rumah sendiri membuatku jengah.
“Ya kan tiap orang berbeda, bude. Mbak Cika memang orangnya kalem, kalau aku kan memang nggak kalem.”
Bude menghela napas dan mendengus, dia pasti akan mengomeliku lagi.
“Makanya kamu juga jadi perempuan yang kalem. Sudah umur dua lima begini kok belum punya gandengan, itu ya karena kamu ketegesen, kurang kalem! Kurang perempuan!”
Aku merutuk dalam hati. Kalau nggak kalem kurang perempuan, apa mungkin kalau Mas Dedi jadi kalem, itu artinya dia kurang laki-laki?
Rumah Bude yang berada tepat di samping rumahku membuat perjumpaan kami cukup sering. Memang tak selalu aku yang menemuinya saat ada di rumah, namun perjumpaan kami tak terhindarkan. Tak masalah dengan perjumpaan itu, namun aku tak bisa terbiasa dengan omelan dan sikapnya yang selalu berusaha membandingkan diriku dengan Mbak Cika, perempuan yang dianggapnya sempurna sebagai istri anaknya.
Sebelum ada Mbak Cika, Bude cukup sering mengkritikku, bahkan menanyai pacar yang memang tak kupunya sama sekali. Aku terlalu sibuk memikirkan naskah novel yang harus kurampungkan daripada mencari tambatan hati yang juga tak kunjung kutemui. Bude selalu mengaitkan ke-single-anku dengan ketidakkaleman dan ketidakbecusanku dalam mengurusi pekerjaan rumah.
Aku berusaha cuek saja, lagipula aku tak perlu melaporkan berapa butir debu yang tekah kusapu atau berapa busa sabun cuci yang telah kutemui setiap hari kepada Bude. Bude juga bukan ibu atau bapak yang perlu kuprioritaskan kepentingannya, terlebih mengingat pribadi Bude yang memang cukup rewel akan segala sesuatu.
Aku sudah pernah bertemu dengan Mbak Cika saat perempuan itu berkunjung ke rumah Bude. Mungkin untuk merencanakan lamaran atau pertunangan mereka, aku tak tahu pasti. Meski bude amat sering menyebarkan apa yang sedang terjadi di rumahnya kepada aku dan ibu — bahkan juga pada tetangga-tetangga sekompleks, aku lebih sering menganggapnya angin lalu.
Mendengarkannya untuk kemudian segera melupakannya. Lagipula omongan yang dibicarakan bude tak begitu penting, tidak memengaruhi kualitas tulisanku apalagi bisa membantu tulisanku menembus tembok kokoh para penerbit.
Mbak Cika memang perempuan yang cantik, baik secara fisik dan (mungkin) kepribadiannya. Dia tinggi semampai, kulitnya putih bersih dan wajahnya cantik. Bajunya santun, geraknya gemulai dan cara bicaranya amat lembut. Tak heran jika Mas Dedi ataupun Bude kepincut dengan perempuan itu.
Namun, meski cara bicaranya lembut, suaranya tidak merdu. Suara Mbak Cika sedikit serak, mungkin seperti kebanyakan orang, aku akan menyebutnya dengan ‘serak-serak basah’. Suara Mbak Cika dalam, tapi sepertinya itu juga menjadi pesonanya sendiri. Lagipula dengan wajah secantik itu, suaranya tak lagi menjadi begitu penting.
Belum lagi dengan sikap santunnya yang membuat bude semakin bersemangat memamerkan tunangan anaknya itu. Mbak Cika sopan, namun cukup sigap beberes dan mengurusi dapur. Masakannya juga lezat.
Suatu kali Bude pernah membawakan brownis pisang buatan Mbak Cika ke rumah demi memamerkannya padaku dan ibu.
“Ini lho, kue buatan Cika. Enak sekali. Kamu pasti nggak bisa bikin kue seenak ini kan, Nis?”
Mbak Cika adalah topik pembicaraan favorit Bude untuk dipamerkan kepada semua orang. Meski Mas Dedi sedikit risih juga karena semangat ibunya itu, Bude nampaknya mengacuhkannya. Bude selalu membicarakan Mbak Cika sejak perempuan itu dikenalkan Mas Dedi sebulan lalu. Sudah sebulan pula Mbak Cika menjadi topik paling trending saat ada Bude. Yang paling menyebalkan bagiku tentu saja, kebiasaan membandingkannya itu.
“Duh, Bude dulu sempat takut Dedi ini diambil sama perempuan yang kurang becus, yang nggak bisa ngurusi anak suaminya. Tapi kalau Cika, Bude yakin. Dia perempuan terbaik, paling pas jadi mantu Bude. Perempuan sejati!”
“Memang ada perempuan yang nggak sejati, Bude?” tanyaku, iseng.
“Loh, ya itu, perempuan-perempuan yang nggak bisa ngurus anak sama suami ya itu bukan perempuan sejati. Yang nggak bisa masak, nggak bisa dandan, nggak bisa bersih-bersih. Perempuan yang maunya kayak laki-laki, kerja terus, nggak bisa ngapa-ngapain.”
“Nah terus kalau kayak aku ini, masa ya bukan perempuan sejati?”
“Yah kalau kamu sih masih setengah-setengah. Pasangan belum ada, masak nggak bisa, bersih-bersih rumah jarang, dandan juga begitu-begitu saja. Kamu harus perbaiki diri, Nis. Nanti kamu belajar sama Mbak Cika, biar kamu kayak dia. Malu Bude masa ponakan sendiri kok kayak begini.”
Aku hanya bisa tersenyum dongkol. Harusnya aku ingat bicara dengan Bude membuat perasaanku amat buruk, mau melawan tentu tak berani, dia orang yang lebih tua. Umurku hanya setengah umurnya, bahkan hampir seperempatnya. Ketika aku bicara dengan ibu, ibu hanya tertawa pelan, memberitahuku untuk bersabar. Kakak perempuan ibu memang begitu, banyak bicara dan sedikit menyebalkan tapi sebenarnya baik. Mungkin agak terlalu berpikiran sempit. Kebalikan dari Bude, ibuku adalah orang yang lebih banyak diam.
***
Seminggu sudah aku tak lagi mendengar cuitan Bude, memamerkan kehebatan calon mantunya. Bude bahkan jarang ke rumah atau berkeliaran, bergosip ria dengan ibu-ibu kompleks. Seperti orang berduka, Bude lebih sering di Rumah. Persoalan Bude dan calon mantu favoritnya ini ternyata membuat hidungku gatal juga saking penasarannya.
“Mas Dedi batal lamaran Nis,” jawab ibu dengan santai saat kutanyai.
Beliau sedang asyik mencabuti daun bayam untuk diolah. Aku menghentikan aktivitas mengupas bawangku, terkejut.
“Mbak Cika itu waktu tunangan nggak melibatkan orang tuanya. Ibu nggak tahu cerita lengkapnya bagaimana, pokoknya ada kendala.”
Ibu seperti enggan bercerita, namun aku memaksa. Selain karena aku penasaran, tentu saja mungkin cerita batal nikahnya sepupuku ini bisa menjadi ide cerita yang bagus. Tragis, sudah dipamerkan demikian rupa oleh Bude, ternyata si calon mantu justru pergi. Namun ternyata, yang kudengar dari ibu justru lebih mengejutkan dari apa yang kukira.
Bude mengetuk pintu rumah selepas adzan Isya. Aku membukakan pintudan menemukan wanita itu menatapku lain dari biasanya. Aku mempersilahkannya masuk sambil menerima baskom milik ibu yang memang dipinjam Bude kemarin. Bude nampak enggan dengan tawaranku namun akhirnya masuk juga. Ia menanyakan ibu.
“Ada di belakang, sebentar Bude.”
Aku baru saja akan berjalan ke dapur saat terlintas sebuah pikiran. Bude melihatku dengan tanda tanya, karena tak kunjung juga beranjak.
“Jadi Bude, Mbak Cika ini apa masih perempuan sejati buat Bude? Mbak Cika lebih perempuan dibanding Genis, kan?”
Aku bisa melihat raut muka Bude memerah. Ia terlihat amat marah, kesal juga malu. Ia lalu berdiri dan pergi begitu saja, tak jadi mencari ibu.
Aku merasa sedikit bersalah dengan kata-kataku barusan namun aku tak bisa mencegah kata-kata itu keluar dari mulutku. Bude pasti sangat malu, Mbak Cika, calon mantu yang dielu-elukannya itu ternyata beridentitas ganda.
Perkataan ibu kembali terngiang di kepalaku.
“Mbak Cika itu ternyata setengah laki, setengah perempuan. Makanya orang tua Mbak Cika nggak mau ikut campur waktu tunangan. Mas Dedi syok, apalagi Budemu itu.”