Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Callaaaa ...!"
Gadis berusia 21 tahun ini nyaris terjungkal saat mendengar suara lengking ibunya yang tiba-tiba sudah berkacak pinggang di ambang pintu kamar.
"Ya, Allah, Calla! Nggak ada kerjaan apa, selain nongkrongin laptop di atas kasur begitu?"
"Ibu ... kalau mau manggil itu pakai aba-aba, napa? Nih, air mata aku jadi nanggung, kan. Baru mau netes malah dijegal," sungutnya ditambah delikan tajam.
"Lagian, ngapain, sih, nontonin drakor sedih gara-gara putus cinta? Nggak usah dibikin galau! Cari gebetan baru, aja. Lupain tuh, si Alex!"
Calla berdecak. "Ibu kira pesan ojol, kejauhan langsung cancel! Nggak segampang itu move on, Bu."
Bu Klara menarik napas. Ia membungkuk, meraih kotak tisu yang tergeletak tak jauh dari kaki dengan isinya yang berserakan di lantai.
"Coba kamu benahin dulu kamarnya, biar nggak kayak kapal karam begini," ucapnya sambil meletakkan kotak itu di meja belajar dekat jendela. "Bersih-bersih itu nggak cuma bikin kamar kamu jadi rapi, tapi bisa buang sampah emosi yang bikin kamu nyesek saat ini."
Suara Bu Klara lebih tenang dan lembut, tapi ini justru membuat Calla berpaling padanya. Nyokap gue lagi mode serius, nih.
Sang bunda menoleh, lalu tersenyum tipis. "Coba, deh! Worth it, tahu."
Ia keluar kamar tanpa menambah kata apapun, tapi berhasil membuat Calla terpaku. Kata-kata ibunya terdengar masuk akal. Gadis itu langsung mematikan monitor, lalu meletakkannya di atas meja.
Calla menyapukan pandangan ke sekeliling, lalu merentangkan kedua tangan ke depan seperti sedang membidikkan kamera. Ia mencari sudut pandang baru untuk tata letak kamarnya.
"Dulu gue tidur hadap tembok, tiap kali Alex video call. Sekarang, kasur digeser, meja juga pindah, pengharum ruangan ganti. Hmm, aroma dan suasananya pasti bakal beda," gumamnya. "Kamar versi gue terbaru, tanpa bayangan Alex lagi."
Calla memejamkan mata, kedua sudut bibir terangkat membentuk lengkungan sempurna. Ia mulai berbenah. Saat beres-beres, tanpa sengaja sang gadis menemukan beberapa foto lama, termasuk foto pernikahan ibu dan ayahnya almarhum.
Karena itulah, tiba-tiba muncul ide di kepala, Calla pun mengirim pesan pada sahabatnya.
Calla: Yun, besok lo bisa ke rumah gue, nggak? Kita jalan, yuk!
Tak perlu menunggu lama, balasannya langsung ia terima.
Yuna: Oke. Besok gue jemput jam empat sore, lo harus udah siap, ya?
Calla sedikit mengernyit, tapi menahan diri untuk lanjut bertanya. Dia percaya pada sang sahabat.
Keesokan harinya, mobil Yuna tiba tepat waktu.
"Ke mana kita?" tanya Calla begitu duduk di samping Yuna.
"'Dear Mantan', yuk! Gue udah lama pengin ke sana."
Calla menaikkan alis. "Kafe ... viral karena nama menu-menunya yang absurd itu, ya?"
"Yoi! Dan hari ini akhirnya gue berhasil nyeret lo ke sana!" Yuna berseru senang. "Kita foto-foto di sana. Entar gue mau pamer, member jomlo fisabilillah nambah satu."
Calla hanya tersenyum tipis. Goresan luka itu masih terasa, tapi sekarang sedikit memudar.
Sesampainya di kafe, Calla dibuat takjub. Lokasi berada di sudut kota Jakarta Utara yang tenang. Tempatnya antara gaya kolonial dan kafe instagramable—campuran antara rumah oma-oma Belanda dan tempat curhat jomlo modern.
Nama kafenya tertulis besar-besar di satu dinding sebelah pintu masuk dengan tagline:
Dear Mantan—Sebuah tempat untuk mengenang, menertawakan, lalu melepaskan dengan manis.
Baru di luar saja, kafe ini sudah membuat Calla menahan senyum. Begitu masuk ke dalam suasananya terasa lebih hangat, bernuansa pastel, lampu-lampu redup kekuningan, dan kutipan-kutipan galau lucu yang tertulis di dinding.
Calla terkikik saat membaca salah satunya:
"Katanya cinta sejati. Lah, kok expired?"
"Lucu juga, ya, tempat ini," gumamnya.
Mereka pun memilih posisi di pojok dekat jendela dengan bangku rotan melengkung dan pot besar berisi monstera—tanaman bunga yang memiliki daun unik dan cantik atau biasa disebut bunga janda bolong. Di dinding sampingnya tergantung juga sebuah kutipan.
"Sedih itu bukan sepi, tapi ruang untuk kembali mengenal siapa dirimu sendiri."
"Eh, pas banget tuh, buat lo sekarang," tunjuk Yuna seraya meraih buku menu yang terletak di atas meja.
"Lo pesan apa, La? Kalau gue sih, pilih 'Espresso Closure ... short black dengan sedikit caramel. Katanya, karena rasa pahit bisa ditutup dengan yang manis', mantap," ucap Yuna sambil senyum-senyum.
"Gue mau ini, deh. 'Latte B aja ... buat kamu yang mulai cuek tapi tetap butuh peluk hangat', ea ... kocak banget."
"Nah, makanannya kita pilih yang ini, enak kayaknya. 'Tart Tanpa Kamu ... cheese tart meleleh, disajikan dengan topping yang bisa kamu pilih sendiri karena kamu berhak memilih', uhuy." Yuna ikut menimpali sambil tergelak.
Sambil menunggu pesanan, mereka mulai berbincang.
"Jadi, kenapa, nih, lo tiba-tiba ngajakin pergi?" tanya Yuna.
"Temenin gue, yuk! Ikut workshop merangkai bunga."
"Hah, setiba-tiba itu? Wae?" Yuna bertanya kenapa dengan bahasa Korea.
"Ya, emang tiba-tiba, kepikiran aja pas kemarin beres-beres kamar. Gue lihat foto nikahan nyokap. Buket bunganya cakep-cakep. Gue jadi ingat alasan Ibu, kasih gue nama Calla Lily."
Yuna mengernyit. "Wuih, jadi ikut kepo. Emang apa alasannya?"
"Ibu bilang, Calla Lily itu bunga kesukaannya sejak masih kuliah di Belanda. Bunga ini masih langka di Indonesia. Jadi pas pesta pernikahan, Ayah belain impor itu demi buket di pelaminan."
Kedua alis Yuna terangkat, matanya membelalak. "Wah, se-effort itu bokap lo?"
Calla mengangkat bahu dengan kepala sedikit miring dan kedua alis terangkat.
"Dan pas gue cari tahu makna bunganya, wow ... doa nyokap lewat nama itu bikin gue merinding," ucap Calla. "Nih, gue bacain, ya." Ia membuka ponselnya.
"Calla Lily adalah lambang cinta yang suci, keanggunan dalam luka, dan harapan dalam perpisahan. Ia indah bukan karena tidak pernah hancur, tapi karena tetap mekar meski mengandung kenangan."
"Wah, wah, nggak bisa ini. Terlalu keren. Nyokap lo udah nyiapin lo untuk situasi sulit sekalipun? Badas!" Yuna geleng-geleng kepala.
"Iya, meski kadang kata Ibu, si Ayah suka nyeletuk juga. 'Bunganya emang cantik dan anggun kayak Ibu, tapi setiap beli berasa dirampok. Mahal! Untung aja nggak sampai bangkrut.'" Calla kembali terbahak.
Setelah tenang, ia berucap lagi, "Gue mau cari sesuatu yang lebih berarti buat hidup gue. Dan pengin ngawalinnya dari yang paling dasar. Nama gue. Memahami lewat wujud aslinya. Merangkai mereka seperti menyusun ulang makna hidup, dan menjadi metafora bahwa patah hati bukan akhir, tapi fase menuju versi diri yang lebih kuat dan hebat."
Yuna tersenyum penuh arti sembari mengacungkan jempol. "Smart Girl!"
Calla nyengir. "Ya, walaupun gue nggak janji bakalan langsung jadi anggun kayak bunga Calla, tapi minimal mulai rajin mandi dan berhenti kepoin Alex."