Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Cahaya Dalam Lumpur
0
Suka
3,164
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Langit di atas rumah itu tak pernah benar-benar biru, selalu kelabu. Seperti disimpan oleh seseorang yang tak sempat membereskan luka. Di bawah langit itu, tinggal dua jiwa—satu terlalu muda untuk mengerti dunia, dan yang satu terlalu cepat dewasa untuk menyalahkan takdir.

Setiap pagi, ia mengecek sepatu adiknya memastikan ujung tali terikat kuat. Dulu, ada tangan lain yang melakukan itu untuknya. Tangan yang kerap merunduk tanpa banyak kata, lalu menarik ujung tali sepatu dan mengikatnya rapat, seolah simpulnya akan menahan dunia tetap utuh. Tapi tangan itu kini sudah ditelan bumi, bersama suara yang biasa menyuruhnya berdiri tegak dan menatap ke depan.

Punggung yang biasa menyisir rambutnya pun telah memudar dari pintu. Dulu, di kursi rotan yang kini tinggal rangka, seseorang menggerakkan sisir pelan, membuat rambutnya rapi sebelum berangkat sekolah. Kini ia menyisir rambut sendiri sambil mencuci piring, kadang sambil mengecek api di tungku.

Ia tak pernah mengucap rindu. Tapi tiap kali angin sore masuk lewat celah jendela dan menggoyang kalender yang lupa diganti, matanya sejenak menoleh ke kursi itu, lalu kembali diam.

“Kak, sepatuku longgar lagi,” kata adiknya pagi itu, berdiri di ambang pintu dengan satu tali sepatu yang sudah lepas.

Ia jongkok, menarik ujung tali dan mengikatnya dua kali. “Kalau longgar lagi, kamu ikat sendiri, ya? jangan sampai lepas.”

“Kalau jatuh?”

Ia menepuk lutut adiknya pelan. “Bangun. Seperti biasa.”

Pagi adalah jam keberangkatan. Ia menyiapkan bekal adiknya dengan langkah cepat dan suara serak yang sudah terlatih memberi perintah sekaligus pelukan. Di kotak makan, ia selipkan tulisan kecil: Hari ini boleh tertawa lebih banyak dari kemarin.

Adiknya membacanya sambil tersenyum, “Kakak nulis ini tiap hari, ya?”

Ia mengangguk, mengikat rambut sendiri sambil mengawasi air mendidih. “Biar kamu ingat, hidup itu bukan cuma PR dan nilai.”

“Hidup itu apa?”

Ia berhenti sejenak. “Tali sepatu yang harus kamu ikat sendiri, kalau tak ada lagi yang bantu.”

Ia melepas adiknya di depan gang. Setelah lambaian tangan itu menghilang, ia menarik napas panjang, seperti menyimpan sisa oksigen untuk satu hari penuh.

Hari-harinya dijahit dari pekerjaan kecil. Tak ada yang tetap, tak ada seragam, hanya tas kecil berisi dompet tipis dan buku catatan. Ia berjalan cepat,bukan karena tergesa, tapi karena tahu kalau berhenti, bayangan akan mulai bicara.

Pulang sore, ia bukan tamu. Ia pengurus rumah. Malam datang sebagai ruang persiapan. Ketika adiknya pulang membawa nilai ulangan, ia menerima kertas kusut itu dengan tangan basah.

“Maaf,” suara adiknya pelan. “Aku lupa rumusnya.” 

Ia menatap angka di kertas itu. Tak mengerutkan kening, hanya mengambil pensil. “Kita ulang malam ini, ya.”

“Apa kakak tidak capek?.”

“Kalau aku capek, berarti kamu harus lebih pintar. Supaya besok-besok aku bisa berhenti kerja dan kamu yang gantian ngajarin aku.”

Adiknya tertawa kecil.“Nanti kakak jadi muridku?” Ia menepuk kepala adiknya, “Deal.”

Setelah makan malam, mereka duduk di tikar. Ia menjelaskan pelan soal demi soal, kadang berhenti ketika suara motor lewat membuat dinding bergetar. 

“Mereka bilang aku nggak punya orangtua,” kata adiknya tiba-tiba.

Tangannya yang sedang menulis berhenti. “Kamu punya aku.”

“Tapi mereka bilang, kakak bukan ibu, bukan ayah.”

Ia menarik napas. Lalu menatap mata adiknya.“Aku bukan ibu. Aku bukan ayah. Tapi aku bisa jadi dua-duanya. Kalau kamu mau.”

Adiknya mengangguk. “Aku mau.”

Di malam itu, hujan turun pelan. Adiknya terbangun karena mimpi buruk. Ia mendekap tubuh kecil itu, membisikkan lagu tanpa irama.

“Mimpinya tentang apa?”

“Ada air masuk rumah… Kakak tenggelam.”

Ia mengusap pelipis adiknya. “Kalau air masuk,kita bangun bareng, angkat barang-barang, dan berenang ke tempat tinggi.”

“Kalau nggak sempat?” “Kita tetap berenang.”

Adiknya tertidur lagi. Tapi ia terjaga lebih lama dari biasanya. Memandangi langit-langit yang masih bocor di sudut, menghitung waktu yang tersisa sebelum besok kembali mengetuk.

Pagi itu, ia berdiri di depan cermin. Menatapmu ta sendiri. Lalu merapikan tali sepatu. Kali ini, ia mengikatnya dua kali.

“Kak,” panggil adiknya dari dapur.

Ia menyahut dari ruang tengah, “Iya?”

“Kalau nanti aku besar… Kakak mau jadi apa? 

Ia tersenyum. “Aku? Aku mau duduk. Di kursi rotan. Sambil nyisir rambutmu, atau anakmu. Siapa pun yang butuh.”

Adiknya menghampiri dan memeluknya sebentar. Tak lama, mereka keluar bersama, menyusuri jalanan yang basah oleh gerimis semalam.

Hari itu, jalanan masih basah oleh sisa hujan semalam. Gerimis turun lagi, tipis, seperti bisikan langit yang ragu menumpahkan luka. 

“Kak, aku duluan ya!” seru adiknya, sambil berlari kecil ke arah sekolah. 

Ia melambai, seperti biasa, dengan dada yang terasa lebih sesak dari biasanya. Angin pagi mengibaskan ujung rok sekolah adiknya. Ia sempat berpikir, betapa kecilnya tubuh itu menantang dunia yang kadang terlalu keras bahkan untuk orang dewasa. 

Ia kembali ke dapur. Mencuci piring dengan irama air yang menetes dari keran bocor, seolah dunia terus mengingatkannya bahwa tak ada yang benar-benar utuh. Dalam kepalanya, ia menghitung sisa beras, uang di dompet, dan pekerjaan yang mungkin bisa ia ambil hari ini. 

Tiba-tiba, suara langkah tergesa dari luar membuyarkan pikirannya.

“Dek!” suara seorang tetangga menembus pagar. “Cepat ke jalan besar! Adikmu…kecelakaan!”

Piring di tangannya terlepas. Suaranya pecah membentur lantai, serpihannya memercik air dan melukai ibu jarinya, tapi ia tak merasa sakit. Tubuhnya mematung sejenak, menolak percaya. Namun langkah kakinya segera bergerak. Bergegas. Menyusuri gang basah yang masih menyimpan jejak hujan semalam.

Ia tiba di tengah kerumunan. Sepasang sepatu kecil tergeletak di pinggir trotoar. Dan di antara tubuh-tubuh yang menyingkir, ia melihatnya adik yang setiap pagi ia siapkan bekalnya, kini tergeletak diam, darah merembes dari pelipis.

Dunia terasa remuk dalam sekali pandang.

Ruang gawat darurat terasa terlalu putih. Terlalu dingin. Bau obat dan desinfektan menusuk, seperti ingin menghapus bau tanah dari tubuh yang setiap hari berjuang di pinggiran kota. 

Adiknya terbaring, pucat, jarum menembus kulit dan darah masih mengering di seragam sekolahnya. Ia duduk di bangku plastik yang keras, mendengarkan dokter berbicara dengan suara datar.

“Kondisinya kritis. Kami butuh tindakan cepat. Biaya awal dua juta rupiah, dan bisa bertambah tergantung penanganan selanjutnya.” 

Matanya menatap kosong kuitansi di tangannya. Dua juta. Jumlah yang tak bisa ia kumpulkan bahkan dalam dua bulan kerja.

“Kalau kami bayar sebagian dulu?” suaranya pelan, seperti tercekat di tenggorokan. Perawat menggeleng. “Tanpa jaminan, kami tak bisa lanjutkan tindakan medis.”

Ia mengangguk perlahan, lalu berdiri.Langkahnya limbung. Dunia seperti berputar, tapi ia tak punya waktu untuk pingsan.

Ia keluar dari rumah sakit menjelang malam. Hujan turun lagi, membasahi rambut dan pakaiannya yang mulai bau obat. Di dalam kantongnya, hanya ada uang receh dan secarik kuitansi tak berguna.

Sepanjang jalan pulang, ia menyusuri trotoar yang becek, tanpa tujuan. Lampu-lampu jalan menyala sayu, seperti mata-mata Tuhan yang memerhatikannya dari jauh, terlalu jauh untuk peduli. 

Ia berhenti di bawah jembatan penyeberangan. Menatap langit yang terus menumpahkan air.

“Kau dengar, kan?” teriaknya. Suaranya retak.

“Katanya Kau Maha Pengasih. Tapi Kau diam. Katanya Kau adil. Tapi Kau beri ujian pada yang tak punya apa-apa. Lalu Kau biarkan dia sekarat, sementara aku cuma bisa melihat?”

Kedua tangannya mengepal. Air hujan menyatu dengan air mata, dan ia mendongak ke langit yang seperti tembok batu, tak menjawab, tak bergerak.

Ia berjalan lagi. Menyusuri gang sempit dekat pasar malam, di mana suara musik dangdut terdengar lirih dari warung tuak yang nyaris kosong. Di sana, lampu-lampu neon berkelip seperti tawaran semu padayang putus harapan. Ia melihat mereka—perempuan-perempuan berdiri dalam diam, mengenakan warna mencolok di tengah gelap.

Langkahnya melambat. Sebuah bisikan di kepalanya, suara yang selama ini ditolak, kini terdengar terlalu masuk akal.

Ia berhenti di depan salah satu toko tutup dengan rolling door setengah terbuka. Di sana, seorang perempuan tua menyapanya dengan mata waspada.

“Butuh uang cepat?” suara perempuan ituserak, seperti menyimpan banyak rahasia. Ia tak menjawab. Tapi tak juga berbalik.

“Untuk apa?” tanya perempuan itu lagi.

“Untuk menyelamatkan satu nyawa,” jawabnyaakhirnya.

Perempuan itu mengangguk. Lalu memberiisyarat. Dan malam pun mulai menegosiasikan harga dari sesuatu yang tak seharusnya diperjualbelikan.

Malam itu berlalu seperti mimpi buruk yang tak akan pernah selesai meski pagi tiba. Ia pulang dengan tubuh menggigil, aroma parfum murahan masih menempel di kulitnya, dan selembar amplop berisi uang di balik baju lusuhnya. 

Pagi-pagi sekali, ia kembali ke rumah sakit. Kaki dan tubuhnya berat, tapi langkahnya pasti. Ia serahkan amplop itu kepada bagian administrasi. Tangannya gemetar, tapi ia tak bicara. Perawat hanya menunduk, mungkin pura-pura tak tahu.

Lalu ia menuju ruang adiknya, dan duduk di sisi ranjang.

“Aku sudah bayar dik. Mereka akan lanjutkan pengobatanmu. Kamu harus sembuh.”

Ia menggenggam tangan kecil itu. Mata adiknya belum terbuka, tapi dadanya masih naik turun pelan.

“Kalau kamu nanti tanya, dari mana uangnya… mungkin aku akan diam. Mungkin aku akan bilang: itu dari Tuhan. Tapi perlu kamu tahu… kadang, Tuhan terlalu lama turun tangan.”

Ia menunduk, mencium kening adiknya.

“Kamu hanya perlu tahu satu hal. Aku nggak akan biarkan kamu terluka sendirian. 

Lalu ia keluar ruangan. Jalan kembali ke luar, membiarkan tubuhnya disiram hujan yang belum juga berhenti. Tapi kini, ia tak menunduk. Ia berjalan, seperti seseorang yang tahu. 

Malam ini pun, ia akan kembali ke tempat yang sama. Namun tak semua luka bisa ditebus dengan uang. Dan tak semua doa dipungut oleh langit.

Ia kembali menyusuri lorong pasar yang setengah hidup, masuk ke ruang sepi yang hanya mengenal cahaya lampu merah dan ranjang tua. Tubuhnya masih sakit, tapi ia tahu satu hal: tempat ini adalah jalan tercepat untuk mendapatkan apa yang tak bisa diberikan waktu. Uang.

Malam itu, pria kedua datang, wajahnya lebar, tatapannya kosong, dan tangannya seperti kawat. Saat ia membuka pintu, tidak ada basa-basi. Tidak ada tanya. Hanya perintah dan tarikan paksa. 

Tubuhnya didorong ke ranjang dengan kekuatan yang tak menyisakan ruang bagi penolakan. Ia ingin berteriak, tapi suara tercekat di tenggorokan. Pria itu memperlakukannya seperti tanah— diinjak, dibalik, dan dipukul, seolah tubuhnya ladang tak bertuan.

Tangan besar itu menampar pipinya, mengguncang rambutnya, mencengkeram lehernya. Punggungnya membentur tembok. Perutnya menahan sabetan sabuk yang entah dari mana datangnya. Ia menggigit bibir sampai berdarah, bukan untuk menahan sakit, tapi untuk mengingat: ia belum boleh mati.

Adiknya masih menunggu. Masih bernapas. Masih butuh dia.

Dan di tengah rasa ingin menyerah, ia menatap plafon kamar itu dan membisikkan satu hal dalam hati: Bertahan. Meski jadi abu.

Setelah semuanya selesai, ia berdiri dengan lutut gemetar. Ia dibayar. Uang itu dilempar begitu saja ke lantai. Ia memungutnya dengan tangan berdarah. Menyimpan uang itu di balik bra sobeknya. Lalu berjalan keluar seperti orang yang baru saja dikubur hidup-hidup.

Pagi belum datang saat ia kembali ke rumah sakit.

Tapi lorong itu sudah gaduh. Perawat berlarian. Dokter memanggil nama. Ranjang adiknya dikelilingi tirai. Ada suara mesin berbunyi cepat. Suster melarangnya masuk. Tapi ia menerobos.

Dan di dalam tirai itu, tubuh kecil itu kejang-kejang. Selang sudah diganti. Darah menetes dari mulut. Ia berdiri di sisi ranjang sambil menahan napas. Tapi waktu terlalu cepat.

Detak jantung itu menghilang. Bersamaan dengan satu bagian dalam dirinya yang ikut mati.

Ia berdiri di depan rumah sakit, mematung dalam dingin. Rambutnya masih acak. Darah di bibirnya belum sempat dibersihkan. Tangannya kosong, danuntuk pertama kalinya, ia benar-benar tak tahu harus ke mana.

Langit masih kelabu, seperti selalu. Tapi kini, langit itu tak lagi terasa jauh. Langit itu seperti musuh diam, seperti tembok tinggi yang tak memberi gema pada suara.

Ia menengadah, berdiri di tengah halaman, danberteriak:

“APA SALAHKU?”

Suara itu tak menggema.

Hanya angin yang lalu menampar wajahnya seperti tamparan terakhir dari semesta. Ia bicara lagi, suaranya parau, kering, putus:

“Aku sudah serahkan semuanya. Aku korbankan tubuhku. Aku lepas harga diriku. Aku bahkan bohong kepada adikku sendiri. Tapi Kau tetap ambil dia.”

Kepalanya tertunduk. Bahunya naik turun. Tapi matanya kering. Tangisnya habis. Yang tersisa hanya lelah. Lelah yang tak bisa dijelaskan.

Lalu ia menoleh ke langit satu kali lagi, dan berkata pelan: 

“Kalau ini belum ujungnya, katakan…berapa dalam lagi Kau ingin aku jatuh?” Tak ada jawaban. Langit tetap dingin. Waktu tetap berjalan.

Dan malam akan datang lagi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
DOWNPOUR
Euis Shakilaraya
Flash
Bronze
Putus
B12
Cerpen
Bronze
Sahabatku Merebut Suamiku
silvi budiyanti
Cerpen
Bronze
Perempuan Anonim
Juli Prasetya
Cerpen
Cahaya Dalam Lumpur
Kadek Gustini
Novel
Bronze
My Name is Mawar
Renny Juldid
Skrip Film
Roti Lapis: The Story of Mbak-Mbak SCBD
layarkata
Flash
RONI PULANG KAMPUNG
Sahrun Rojikin
Novel
Bronze
Memang Jodoh
Imajinasiku
Skrip Film
Growth: Story of the Inner Child
Azkiatunnisa Rahma Fajriyati
Skrip Film
My Enemy My Bodyguard
Linda Fadilah
Flash
Bronze
Cincin di laci sebelah
Okhie vellino erianto
Novel
Bronze
Let's Not Fall In Love
Alva
Novel
Rumah yang Hirap
Azzahra Nabilla
Skrip Film
A Writer and A Liar (Script Film)
Silvia
Rekomendasi
Cerpen
Cahaya Dalam Lumpur
Kadek Gustini