Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
C for Cinta, T for Toxic
2
Suka
4,817
Dibaca

Hari-hari setelah Rensy melangkah keluar dari rumah sakit tidak akan pernah lagi sama. Rensy jelas menyadari hal itu. Takut, itu sudah pasti. Syukurnya, ada Bang Dio, suaminya yang selalu ada di sisi.

Hanya berdua saja di perantauan, tanpa ditemani sanak keluarga di saat melahirkan seorang bayi. Tentu itu bukan hal yang mudah. Rensy memang sudah dua kali melahirkan sebelumnya. Namun, ini adalah pengalaman pertama bagi Rensy harus menunggu di ruang operasi sampai nantinya mengurus bayinya sendiri.

“Pokoknya kamu terima beres aja, Sayang. Kamu fokus istirahat, makan bergizi, sama nyusuin dedek bayi. Kalau kamu ngerasa pusing, ada yang sakit, cepat panggil Abang,” ucap Bang Dio. 

Rensy tersenyum. Kata-kata yang diucapkan Bang Dio seperti embun sejuk yang membasuh seluruh tubuhnya yang telah lelah bertaruh nyawa. Dia termasuk wanita beruntung di dunia ini karena mempunyai suami idaman seperti Bang Dio. Diondra Asta. Bukan orang kaya tajir melintir. Memang Bang Dio hanya menjadi pembisnis yang mengelola petshop dengan menyewa ruko di pinggir jalan besar. Namun, Bang Dio rajin dan selalu perhatian pada istri dan anak-anaknya.

“Kenapa kok diam saja, Ren? Ada yang sakit? Kok ngelihatin Abang kayak gitu banget?” tanya Bang Dio refleks memegang kening Rensy.

“Nggak apa-apa kok, Bang. Aku nggak lagi sakit,” jawab Rensy masih tersenyum.

“Terus kenapa ngelihatinnya gitu banget?” 

Rensy menggeleng. Sebenarnya dia pingin bilang senang punya suami baik dan setia seperti Bang Dio, tapi dia takut Bang Dio besar kepala. He he he dasarnya cewek ya suka overthinking. 

“Bang Dio nggak ke mana-mana kan? Abang temani aku di sini?” tanya Rensy manja.

“Rencananya Abang mau ke depan sebentar,” jawab Bang Dio.

Bibir Rensy langsung manyun. “Lho? Ke mana, Bang? Katanya tadi suruh aku terima beres dan istirahat aja di rumah. Masa Abang mau dagang terus ninggalin aku?” Mata Rensy sudah berlinang. 

Bayi kecil masih merah yang tertidur di samping Rensy menggeliat pelan, lalu tidur lagi.

“Uluh ... uluh ... jangan nangis dong. Abang gak mau dagang kok. Masih libur. Abang cuma mau ke Mbak Urut yang di depan, mau mesankan jamu buat kamu. Bagus buat stamina kamu,” kata Bang Dio.

Rensy menarik tangan suaminya pelan dan bersandar manja. “Jangan pergi, Bang. Aku gak minum jamu juga gak apa-apa. Abang di sini aja. Nanti kalau dedek nangis terus aku belum kuat duduk lama gimana?”

“Sebentar aja kok. Tenang, Sayang. Abang udah titip sama Teteh Ida buat nengok-nengokin kamu. Kalau kamu ada perlu apa-apa, teriak aja, panggil Teh Ida,” kata Bang Dio.

“Ah, gak mau. Masa disuruh teriak-teriak manggil orang? Aku gak enak sama Teh Ida, Bang.” Rensy semakin ngambek.

“Sebentar aja, Sayang. Kamu itu bagus minum jamu biar kuat. Kan ada Bagas sama Lily di sini bisa bantuin kamu,” kata Bang Dio seraya melihat ke arah kedua anaknya yang sedang menonton televisi di dekat Rensy.

“Ya kan, Bagas, Lily, bantuin Mama jagain Dedek ya,” kata Bang Dio.

“Siap, Ayah!” sahut Bagas dan Lily kompak sambil mengangkat tangan mereka seperti prajurit setia yang mendapat tugas dari kaptennya.

Bang Dio lalu pergi setelah menjawil hidung Rensy lembut dan mengecup pelan pipi dedek bayi yang masih tidur lelap. 

Rensy menunggu sambil memainkan handphone, scroll Instagram, melihat berita-berita artis terbaru yang sedang hangat-hangatnya. Ketika pegal, Rensy coba bergeser pelan-pelan karena tubuhnya terasa masih sakit terutama di bekas jahitan paska lahiran dengan proses caesar. 

Untuk anak ketiga ini Rensy memang beda sendiri. Kalau Bagas dan Lily dulu dilahirkan dengan proses normal, Anindya, anak ketiga yang kiwoyo ini rupanya betah lama-lama di perut Rensy, sampai mencapai sepuluh bulan belum juga lahir. Saat pemeriksaan terakhir ke dokter kandungan, mereka jadi tahu air ketuban Rensy sudah sedikit dan ukuran bayi sudah lebih dari empat kilogram. Dokter menganjurkan agar segera dilakukan tindakan operasi. 

Pengalaman operasi caesar yang pertama kali sangat mencekam bagi Rensy. Bagaimana tidak jika sedari kecil dengan jarum suntik saja Rensy takut, apalagi membayangkan harus operasi. Bayangan-bayangan jelek sudah bermain-main di benak Rensy. Rensy semakin down karena beberapa jam sebelum operasi, Mama dan Papa di kampung halaman tidak bisa dihubungi karena sinyal jelek. Untung saja di detik terakhir kedua orang tuanya berhasil menghubungi Rensy. Segala doa baik mengantarkan keberangkatan Rensy menuju ruang operasi yang bagi Rensy seperti freezer dingin, langsung membekukan tubuhnya. Wajah teduh Mama dan Papa saat videocall meredakan hati Rensy. Walaupun berjauhan, kedua orang dan seluruh keluarga selalu mendoakan Rensy. 

Selain kedua orang tua dan keluarga Rensy, tentu ada satu orang yang sangat istimewa berperan besar di detik-detik penting dalam hidupnya. Tatapan mata lembut dan pegangan tangan hangat itu selalu menyertai Rensy. Bang Dio orang yang paling sedih dan cemas ketika melihat Rensy galau dan gemetaran sesaat sebelum masuk ruang operasi. 

“Abang sayang sama Rensy. I love you,” ucap Bang Dio untuk kesekian kalinya di telinga Rensy.

“Bang, kalau aku gak selamat, tolong jagain anak-anak kita ya,” pinta Rensy serak dengan mata sudah berlinang.

Genggaman tangan Bang Dio semakin erat dan air mata mengalir dari pelupuk matanya. Pria itu sudah tiga kali menemani sang istri melahirkan buah hati mereka, tapi untuk yang ketiga ini ia yang paling paham betapa rapuhnya Rensy. Jauh dari keluarga dan tinggal di lingkungan asing di Jakarta. Ditambah Rensy baru pertama kali mengalami operasi caesar.

“Bismillah, Sayang. Abang tunggu kamu ya,” ujar Bang Dio ketika genggaman tangan mereka perlahan terpisah.

Ya. Kebijakan rumah sakit tempat Rensy melahirkan tidak mengizinkan suami ikut menemani istrinya saat menjalani operasi. Hal itu semakin membuat Rensy panik. Namun, beruntung dokter dan perawat yang menangani Rensy semuanya ramah dan selalu berusaha membuat Rensy tetap relaks.

“Bu, santai aja ya. Pikirkan hal yang indah-indah. Insya Allah lancar. Gak apa-apa, Bu. Gak ada yang yang harus Ibu cemaskan,” ujar dokter anastesi yang menangani Rensy dengan sabar.

“Jangan takut ya, Bu. Sebentar aja kok, Bu. Suaminya sayang bener sama Ibu. Insya Allah habis ini Ibu tambah senang ya,” ujar dokter bedah yang tidak kalah baiknya.

Mungkin kata-kata dan sikap mereka terkesan sederhana, tapi bagi Rensy apa yang mereka katakan memberikan dampak positif baginya. Rensy jadi sedikit tenang sampai kesadarannya mulai hilang. Kata-kata buruk tetangga yang selama ini menghantui Rensy perlahan mulai memudar.

“Ih, kok belum juga melahirkan? Udah lewat sembilan bulan kan? Mungkin mbaknya malas gerak, malas kerja, makanya bayinya susah lahir.”

“Mbak Rensy kebanyakan duduk nyantai main handphone ya? Kalau saya dulu pas hamil rajin banget ngepel lantai, ngerjain tugas rumah. Gak ada tuh dimanja-manja. Saya lahirannya lancar dan anak saya sehat.”

“Sama kayak saya. Semua kerjaan berat seperti normal sewaktu gak hamil juga saya kerjain. Yang masak keteringan, anter jemput anak sekolah, yang ngecat tembok, masang granit rumah, renovasi rumah, nyangkul, semua saya jabanin.”

“Hati-hati, Mbak. Dicek terus, takutnya bayinya udah gak bergerak di dalam.”

Benar-benar toxic berkedok perhatian, simpati, kritis. Seperti ada kepuasan tersendiri bagi orang-orang tersebut seenteng itu mengeluarkan hal-hal buruk tanpa memikirkan damage-nya bagi orang lain. 

Air mata Rensy mengalir perlahan. 

Lalu semua menjadi gelap. 

Ketika terbangun, tatapan lembut Bang Dio dan senyuman manisnya menyambut Rensy kembali ke dunia ini. Usapan lembut tangan Bang Dio di kepala Rensy membuat wanita itu menangis terharu memeluk sang suami. 

Rengekan bayi mungil di dekat Rensy segera mengalihkan perhatiannya. Seketika Rensy tersenyum penuh kebahagiaan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bayi perempuan cantik, Masya Allah, yang telah ia lahirkan begitu sehat, gendut, dan bersuara nyaring. Suara tangisan “Ooooek ... ooooek ....” Dedek Anindya pula yang paling lantang terdengar di deretan bayi-bayi dalam box. Luar biasa. Wellcome, baby girl! 

***

Dua hari setelah melahirkan Rensy merasa tubuhnya sudah lumayan pulih, meskipun Bang Dio belum mengizinkan Rensy banyak gerak. Pokoknya di-service jadi ratu deh. Asyik!

“Dih! Ngapain sih, Sayang?” Bang Dio merebut pakaian bayi kotor dari tangan Rensy yang sedang menyisihkan pakaian-pakaian kotor dedek bayi ke keranjang sambil berjongkok.

“Mau nyuciin pakaian Dedek, Bang,” jawab Rensy enteng.

Mata Bang Dio langsung melotot. “Eh, jangan. Biar Abang saja. Kamu kan baru lahiran. Jangan kerjain apa-apa.”

“Masa aku gak kerjain apa-apa sama sekali, Bang? Dokter bilang kan harus gerak juga biar gak kaku, cepat sembuhnya,” protes Rensy.

“Dibilangin jangan bandel. Jahitan kamu itu belum kering. Udah. Kamu nonton aja kek, main game kek, drakoran kek, tiktokan, sambil tunggu sop ikan gabus yang Abang masak mateng.” Bang Dio gak sabar dan mentatih Rensy seperti anak kecil agar duduk manis di kamar saja.

“Ya udin, tapi aku boleh duduk aja gak sama Dedek di depan, Bang? Bosen di kamar terus.” Rensy mencebik manja lagi.

“Iya, gak apa-apa. Sini pegangan, Nyonya. Jangan sampai kapal oleng,” kata Bang Dio dengan lagaknya memegangi bahu Rensy untuk dibopong berjalan menuju ruang depan. 

Rensy terkekeh dengan tingkah suaminya, tapi jujur dia sangat menyukai diperlakukan seperti itu. Kapan lagi dimanja-manja ala tuan putri seperti sama suami sendiri? 

Sewaktu duduk di ruang depan, Rensy hanya meladeni bayi mungilnya yang terbangun dan seperti sudah mengerti saja diajak bicara.

“Dek, kamu kalau besar nanti mau jadi apa? Jadi orang sukses ya ....” ucap Rensy lembut.

“Mbooo ... mboo ....” Ocehan lucu terdengar dari mulut bayi mungil, Anindya. 

“Jadi pramugari ya, Dek?” sahut Bang Dio yang datang dengan semangkuk sop ikan gabus. 

“Jangan dong! Takut! Nanti kalau pesawatnya jatuh bagaimana? Gak ah!” Rensy refleks memeluk bayinya.

“Lho? Jangan didoain jatuh dong pesawatnya,” kata Bang Dio nyengir melihat Rensy.

Mata Rensy malah sudah berlinang. “Pokoknya jangan pramugari. Lily juga gak boleh jadi pramugari, Bagas juga gak boleh jadi pilot.”

Bang Dio memperhatikan istrinya sudah sesedih itu. Padahal tadinya happy dan mereka seseruan bercanda saja. Sedikit besarnya Bang Dio paham perasaan Rensy sebagai seorang ibu apalagi baru saja melahirkan. 

“Ya udah. Jadi orang yang bahagia dan sukses saja. Selalu diberkahi Allah. Ya kan, Dek?” Bang Dio tersenyum lembut pada bayi Anindya.

“Iya dong. Jangan yang serem-serem dan banyak resikonya,” kata Rensy lagi.

“Jangan ngomel terus. Makan dulu ini sopnya. Bagus buat luka jahitan kamu biar cepat kering,” kata Bang Dio mendekatkan sesendok sop ikan ke arah Rensy, dioleng-olengkan sebentar persis seperti sedang meladeni anak kecil makan.

“Bang Dio, aku udah mangap juga!” protes Rensy manja.

Bang Dio tertawa lalu mulai menyuapi Rensy dengan benar. Rensy makan sambil senyam senyum karena senangnya selalu dimanjakan suami apalagi masakan Bang Dio enak banget. 

“Mau bilang enak kan? Hayoo ....” goda Bang Dio tersenyum nakal pada Rensy.

“Lumayanlah,” jawab Rensy.

“Bilang aja enak. Gak usah pakai gengsi! Kelihatan tuh dari mukanya keenakan!” Bang Dio tertawa.

Bagas dan Lily datang dan sibuk minta disuapin sop juga sama ayahnya.

“Ih, gangguin Mama aja lagi makan. Ambil sendiri sana di dapur,” kata Bang Dio pada kedua anaknya.

“Maunya disuapin Ayah juga,” kata Lily manja.

“Ih, udah pada gede minta disuapin.” Bang Dio menggoda anak-anaknya, tapi disuapin juga kedua bocil itu. He he he sabar ya, Bang Dio. Begitulah kalau mau jadi suami dan ayah teladan.

***

Bang Dio melanjutkan tugas negara di halaman depan kontrakan. Dengan sigap Bang Dio menjemur pakaian-pakaian bayi satu per satu ke gantungan khusus pakaian bayi. Semua pakaian dari mesin cuci yang sudah melewati tahap pengeringan pun sudah selesai ia jemur lebih dahulu. 

Ada dua ibu-ibu tetangga berhenti di depan halaman kontrakan Bang Dio dan Rensy. Biasalah ibu-ibu yang suka bergosip dan nyinyir pasti gatal kalau gak komentar melihat sesuatu yang mereka rasa janggal atau tidak biasa.

“Wah, rajin banget, Mas. Kok Mas yang jemur? Tadi juga saya lihat Mas belanja ke warung buat masak. Istrinya mana?” celetuk ibu bewajah glowing, sebut saja dia Mawar, tapi bukan pelaku kriminal yang viral ya. He he he.

“Iya, Bu. Istri saya kan baru lahiran, masih pemulihan, Bu.” Bang Dio tetap tersenyum ramah. Agak ditahan sedikit karena takut dua wanita di dekatnya terpesona. Bisa gawat urusannya.

“Dulu saya waktu baru melahirkan bisa tuh apa-apa sendiri, Mas. Masak sendiri, nyuci sendiri, jemur sendiri,” kata Bu Mawar.

“Wah, makannya makan sendiri gak, Bu? Udah mirip lagu ya, Bu?” goda Bang Dio.

“Ah, Mas Dio bisa saja. Tapi serius lho, Mas. Perempuan-perempuan dulu apa-apa bisa sendiri. Baru lahiran sehari juga udah bisa ngerjain semua tugas rumah. Gak ada tuh dibantu suami,” kata Bu Mawar. Elah! Si Ibu mah.

“Ya itu kan perewi, eh, perempuan dulu, Bu. Kalau istri saya perempuan kekinian. Limited edition lagi. Baru melahirkan jadi masih fragile kebalikan antifragile kayak lagunya girl group Korea, Le Sserafim,” kata Bang Dio lalu iseng bersenandung lagu “Antifragile” dari girl group yang isinya cewek-cewek cantik dan seksi bikin panas dingin itu.

“A ... a ... antifragile, bini gua masih fragile ....” celetuk Bang Dio sambil peragain badannya melentur dengan slay. Aduh. Jangan diteruskan, Bang. He he he.

Bu Mawar dan sohibnya sebut saja dia Jennie gak pakai Blackpink, langsung merengut gak jelas.

“Benar lho, Mas. Kalau dimanja-manjain ntar semakin lama lho sembuhnya. ASI juga gak bakal lancar,” kata Bu Jennie.

“Insya Alllah ASI istri saya lancar jaya kok, Bu. Lagipula istri saya kan melahirkannya dengan cara caesar. Biasanya lebih lama pulihnya, Bu. Harus banyak istirahat. Itu kata dokter lho, Bu. Bukan kata saya,” kata Bang Dio.

“Yaah, okelah, Mas Ganteng. Selamat jadi suami yang baik ya. Semoga istri dan anaknya cepat sehat,” kata Bu Mawar.

“Siap, Bu. Makasih banyak atas perhatiannya ya, Ibu-Ibu,” kata Bang Dio.

Dua makhluk yang mempunyai skill mata-mata terbaik secara otodidak itu pun berlalu. Bang Dio masih tetap percaya diri. Kalau bagi Bang Dio sih biasa saja, tapi Bang Dio tahu kalau Rensy yang diajak bicara seperti itu pasti baper juga. Bang Dio paham banget bagaimana Rensy tidak suka dan tidak nyaman dengan omongan-omongan toxic seperti itu.

Untung saja tidak ada Rensy. Jadi Bang Dio tetap bisa melihat sang istri cantik dan seksinya happy. Mood-nya pun terjaga. Insya Allah situasi akan aman terkendali. Selama ada Bang Dio, sebisa mungkin dia ingin melindungi Rensy dari hal-hal toxic yang ada di luar sana. 

Cinta sejati akan melindungi dari segala keburukan. 

***

Rensy bingung tidak karuan saat Anindya terus menangis. Badannya juga panas sekali. Masih bayi merah begini demam tinggi, yang ada bingung sendiri. Mau dikasi obat sirup pereda panas juga tidak mungkin.

Dengan bercucuran air mata Rensy yang sudah gemetar menggendong bayinya dan cepat menarik tangan Bang Dio. Mereka harus secepatnya ke rumah sakit untuk keselamatan Anindya. 

“Cepat, Bang. Ayo cepat,” ujar Rensy sudah gelagapan. Sementara bayinya terus menangis.

“Tenang, Ren. Jangan panik. Kalau kita panik, yang ada makin kacau,” ujar Bang Dio berusaha menenangkan Rensy.

Baru saja mereka mau naik ke motor, Dika, teman Bang Dio datang dengan mobilnya. Pas berhenti di depan kontrakan mereka. 

“Anak lu sakit, Dio?” tanya Dika tampak cemas.

“Iya, Dik. Makanya tadi lu ajak gua gak bisa ikut,” jawab Dio.

Rensy sudah gelisah dan mengguit pinggang Bang Dio. “Ayo, Bang. Cepetan! Kasihan Dedek ini!”

“Gue ke rumah sakit dulu, Dik,” kata Bang Dio masih sempat basa-basi sama temannya.

“Eh, naik mobil gue saja, Dio. Kasihan anak lu udah sakit, kena angin lagi,” kata Dika.

“Ya sudah. Tolong anterin ke rumah sakit ya, Dik,” kata Dio langsung turun dari motor lalu membantu Rensy turun dengan hati-hati.

“Iya, Anak. Sabar ya. Kita ke rumah sakit,” bisik Rensy pada bayinya sambil berurai air mata. Ibu mana yang tidak panik di saat seperti ini?

Ketika Bang Dio dan Rensy bersiap naik ke mobil Dika, Bu Mawar dan Bu Jennie datang bersama beberapa ibu-ibu lain. Mereka terlihat khawatir bercampur penasaran.

“Lho? Kenapa anaknya, Mas?” tanya Bu Mawar.

“Panas, Bu. Ini mau dibawa ke rumah sakit,” jawab Bang Dio.

“Astaga. Kok bisa demam? Dikasi ASI basi kali sama mamanya ya? Atau gara-gara cucian pakaian si Dedek kemarin dicuci sore-sore? Makanya jangan keras kepala, Adek-Adek, kalau dibilangi. Kita-kita kan udah duluan punya anak. Lebih paham," cerocos Bu Mawar.

“Dikasi paracetamol anak saya saja, Mbak. Biar saya ambilin kalau mau. Gak usah ke rumah sakitlah. Kasihan sama anaknya, masih bayi merah begitu harus ke rumah sakit. Ntar tambah parah lho kalau diinfus,” celetuk Bu Jennie.

Ibu-Ibu yang lain ikut menyahuti. Semakin lama semakin tidak enak saja kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Penuh penghakiman.

“Jangan begitu, Bu. Anak saya sakit, bukan salah istri saya. Doakan saja yang baik-baik,” kata Bang Dio. Kali ini nada bicaranya agak meninggi dan raut wajahnya tampak kesal. 

Hati Rensy sudah panas seperti ingin meledak. Rasanya ingin sekali dia memaki ibu-ibu usil itu saat itu juga, tapi Rensy lebih mencemaskan kondisi bayinya. Sekuat tenaga Rensy berusaha tabah dan tidak menghiraukan perkataan tetangga-tetangga toxic itu.

Tanpa harus meladeni para tetangga, Rensy dan Bang Dio secepatnya pergi ke rumah sakit membawa anak mereka untuk diperiksakan.

***

Syukurlah Anindya sudah membaik. Walaupun sempat dirawat tiga hari di rumah sakit dan diinfus, kondisinya sudah membaik. Anindya bukan keracunan ASI ataupun sakit aneh-aneh seperti yang dikatakan para tetangga. Dari hasil diagnosa diketahui Anindya mengalami bilirubin ringan, bisa jadi karena ASI Rensy masih belum lancar. 

Penuh rasa bersalah, Rensy mendekap erat bayinya yang sudah mulai ceria. Atas saran dokter, Rensy diminta tetap menyusui Anindya karena ASI jauh lebih baik daripada yang lain. Jika ASI Rensy masih sedikit, itu wajar karena beberapa faktor. Rensy masih baru beberapa hari melahirkan dan mungkin mengalami stress. Dulu saat Bagas dan Lily masih kecil pun Rensy sempat mengalami hal serupa. ASI seret akibat stress dengan omongan keluarga yang judes. Ibu kandung Rensy sendiri tipenya bawel kalau masalah bayi dan tidak jarang berselisih paham dengan Rensy. Misalnya masalah bedong, ibu Rensy masih berpikiran kolot bahwa bayi harus dibedong dengan ketat. Padahal Rensy sudah paham kalau bayi dibedong untuk menghangatkan saja dan jika cuaca panas, tidak perlu membedong bayi terlalu ketat apalagi dengan kain tebal. 

"Jangan sedih lagi. Gak usah dipikirin omongan orang yang gak enak,” hibur Bang Dio saat melihat istrinya masih melamun sedih melihat bayi mereka.

“Aku gak nyaman juga dengan omongan orang yang ngatain ini itu, Bang. Yang bilang ibu gak becus lah, sembarangan jaga anak, sok kebarat-baratan lah. Aku jadi ingat sama mamaku dan mama kamu dulu kan suka gituin aku juga,” kata Rensy sedih.

“Udah. Jangan diingat yang udah lalu. Yang penting Anindya sekarang sehat. Kamu juga sehat. Yang menjalani kan kita, bukan mereka. Gak perlu pedulikan omongan orang-orang yang belum tentu paham,” kata Bang Dio.

“Iya, Bang. Kalau dipikir-pikir sih, ada untungnya waktu melahirkan ketiga kali ini aku jauh dari keluarga. Memang sepi dan gak ada yang bantuin. Tapi andai diurus Mama sama yang lain aku juga stress karena pola asuh yang beda jauh. Tahu sendiri Mama masih kolotan. Ya kayak mama kamu juga, Mas. Yang ada aku malah stress. Sekarang aja aku stress kalau dengar omongan tetangga,” kata Rensy.

“Itu makanya kamu gak perlu dengarin omongan mereka. Senyamannya saja, Ren. Masalah gak ada yang bantuin, kamu jangan khawatir, kan ada Abang yang bakal selalu bantuin kamu. Kakak-Kakak Anindya juga sayang sama adeknya. Jangan overthinking. Ini cuma sebentar. Sabar saja. Ntar kalau Anindya udah beberapa bulan usianya, kamu gak bakal terlalu repot lagi. Tetangga-tetangga toxic hempaskan aja,” kata Bang Dio seraya membelai kepala Rensy.

Rensy mengangguk setuju. Apa yang dikatakan suaminya memang benar. 

“Makasih ya, Mas. Kamu selalu sayang sama aku dan anak-anak,” ucap Rensy terharu. Rensy menyandarkan tubuhnya di tubuh Bang Dio. Sementara Anindya mulai ngantuk dan perlahan mata bayi mungil itu terpejam.

Rensy dan Bang Dio saling bertatapan. Moment seperti ini adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada sepasang suami istri yang saling mencintai.

SELESAI

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Skrip Film
Silent Whispers
Imam faqih
Cerpen
C for Cinta, T for Toxic
Delly Purnama Sari
Novel
Ayah, Aku Bukan Sosiopathy!
Ragil Kemuning
Skrip Film
Nol Koma Lima
Atikah Az Zahidah
Novel
Bronze
Amora Menolak Cinta
Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Novel
RUANG LUKA
Abie Abdul Muti
Novel
Mencintaimu Adalah Histori
Nuriska Beby
Flash
Pelangi di Ujung Senja
Ika Karisma
Novel
The Wedding (Radit dan Lyla)
Anjar Lembayung
Novel
MENGGAPAIMU
Fathiyah Nabila
Novel
Bintang
Sri Bintang Nasution
Novel
Sihir Tring Tring
Lisma Laurel
Novel
Bronze
Babu Boss
Siska Ambarwati
Novel
Bronze
Butter From Melt To Burn
Rizasa Vitri
Novel
Fallin' Love
Mokaaull
Rekomendasi
Cerpen
C for Cinta, T for Toxic
Delly Purnama Sari
Skrip Film
PUAKA RATU ARJUNA
Delly Purnama Sari
Novel
Aurat
Delly Purnama Sari
Skrip Film
Bunga di Hatimu
Delly Purnama Sari
Skrip Film
Dear Mr. Right!: Arin
Delly Purnama Sari