Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Bye Lake Laogai
0
Suka
194
Dibaca

Perumpamaan fiksi untuk dirimu yang sepertinya keluar dari dongeng fiksi. Jujur saja saat pertama kali mendengar namamu rasanya aku ingin tertawa, bukan karena namamu terlalu pasaran atau tidak bagus. Hanya saja aku tidak percaya bahwa aku benar-benar bertemu seseorang yang mempunyai nama seperti itu. Aku tidak akan menyebutkan namamu di sini. Tapi, kau perlu tahu bahwa namamu sangat unik dan indah seperti dirimu.

Dirimu seperti orang aneh, kamu itu seperti cahaya matahari yang muncul setelah hujan—hangat, ceria, tapi tetap menyisakan dingin di udara. Kau selalu tahu harus bicara apa di setiap situasi, selalu bisa membuat orang tertawa bahkan saat suasananya sedang muram. Terkadang aku iri, karena dirimu tampak begitu mudah hidup di dunia yang sering terasa berat bagiku. Namun, matahari tidak selamanya bersinar, ada bulan yang selalu siap menggantikan dirinya. Bahkan bulan, tidak selalu bersinar terang, ada kalanya ia redup dan pantulan sinar matahari yang menjadi sumber cahayanya tidak selalu menyinarinya secara menyeluruh. Di satu malam ia terlihat purnama dan di malam lain ia terlihat sabit, tidak jarang pula awan-awan tidak mau kalah dengannya hingga ia hanya terlihat seperti cahaya yang pudar.

Tapi semakin lama aku mengenalmu, aku sadar kalau semua keceriaan itu cuma cara halusmu untuk bertahan. Ada sesuatu di balik senyum itu yang sulit dijelaskan, seakan ada dinding tipis dan tinggi yang kamu pasang agar tidak ada yang benar-benar masuk ke dalam dirimu. Dan anehnya, justru itu yang membuatku ingin lebih dekat lagi. Dinding itu bukannya mendorongku jauh tapi malah menarikku, rasanya dinding itu terbuat dari magnet yang sangat kuat sehingga aku yang hanya besi biasa ini semakin ingin untuk mendekatimu.

Jujur saja, di mataku, dirimu adalah sosok yang cerdas, kau tahu banyak hal yang tidak terpikirkan oleh banyak orang. Kebiasaanmu yang tiba-tiba membicarakan hal yang bagi orang lain tidak penting, membuatku tahu bahwa dirimu sedang menguji siapa yang betul-betul mendengarkan. Mungkin karena semua itulah aku tetap di sini, mendengarkan semua hal yang keluar dari mulutmu, bahkan saat aku tidak sepenuhnya memahami artinya. Setiap kata dari dirimu terasa jujur, meskipun yang kamu ceritakan sering kali menyakitkan.

Aku tahu bagaimana rasanya tidak didengar, aku tahu bagaimana rasanya diabaikan dan aku tahu bagaimana rasanya dianggap tidak penting. Itu semua sangat menyakitkan. Aku bahkan tidak bisa mendeskripsikan sesakit apa semua itu dengan kata-kata. Dan aku menemukan rasa sakit itu dari setiap nada yang kau ucapkan.

Tenyata dirimu penuh dengan retakan yang siap hancur kapan saja. Retakan itu benar-benar terasa di setiap kehadiranmu. Semua itu terlihat dari caramu menunduk saat topik tentang keluarga menjadi perbincangan utama, dari caramu tiba-tiba diam setiap kali seseorang bicara soal cinta. Dirimu terlihat sangat berusaha untuk terlihat kuat di depan dunia, tapi aku tahu kamu selalu takut untuk punya hubungan dengan siapa pun. Hatiku bahkan terasa sakit ketika dirimu selalu merasa tidak cukup dengan dirimu sendiri, selalu berpikir jika orang-orang akan pergi begitu tahu betapa kacaunya isi kepalamu. Kau sering berkata bahwa dirimu tidak pantas dicintai, tapi dirimu tak tahu bahwa justru karena semua luka itu, dirimu jadi manusia yang paling tulus yang pernah aku temui.

Danau Laogai hanyalah danau fiksi di bawah langit Ba Sing Se seperti namamu yang juga fiksi.Di balik itu semua, baik Laogai ataupun dirimu berasal dari dunia yang nyata. Laogai adalah tempat manusia dipaksa berubah, tempat jiwa-jiwa dikurung atas nama kebaikan, tempat cahaya dimatikan agar ketenangan palsu bisa dipertahankan. Begitu juga dengan dirimu. Kau hidup seolah semuanya baik-baik saja, menampilkan versi terbaik dari dirimu di hadapan dunia, padahal di dalam dirimu, ada riwayat penderitaan yang disembunyikan dengan rapi.

Dan dengan polosnya aku menyukaimu.

Aku menyukai dirimu. Baik fiksimu, nyatamu, rasa sakitmu, ceriamu dan apapun yang ada dalam dirimu. Mungkin rasa suka ini ada karena aku mengagumi dirimu. Meskipun rapuh tapi, kau masih sanggup bertahan. Entah dukun mana yang kau datangi, tapi harus aku akui, berada di sekitarmu membuat diriku nyaman. Aku nyaman bukan karena aku merasa dirimu adalah tempat aku pulang. Hanya saja aku nyaman karena aku bisa menjadi diriku sendiri.

Sebelumnya, aku selalu takut jika aku mulai memiliki rasa pada seseorang. Aku takut aku tidak akan pernah bisa memenuhi orang yang aku sukai, aku takut keberadaanku hanya akan membuat dirinya terganggu, dan aku takut aku hanya akan menjadi orang yang tidak tahu diri jika aku memiliki rasa pada dirinya. Aku tidak pernah bisa menjadi diri sendiri jika menyukai orang lain. Selalu ada kepalsuan yang menyelimuti diriku.

Tapi, semua berbeda saat aku merasa aku menyukaimu.

Aku bangga bisa dekat denganmu, aku bangga menjadi diriku yang jauh dari keanggunan.

Ketika aku bertanya padamu "Apakah sikapku mengganggumu?"

Jawaban sederhana darimu membuat diriku tersentuh "Tidak, jika itu membuatmu nyaman. Selagi dirimu bisa menjadi dirimu sendiri."

Jawabanmu itu menampar diriku. Mengapa aku bisa sebodoh itu saat aku menyukai orang lain. Mengapa aku rela mengubah diriku sendiri saat itu terjadi?

Dirimu, seperti Laogai, adalah pengingat bahwa fiksi kadang lebih jujur daripada kenyataan. Bahwa tempat yang tampak tenang bisa menyimpan kisah paling gaduh. Dan bahwa manusia sepertimu, yang menganggap dirinya rusak, sebenarnya hanya sedang belajar menjadi utuh dengan caranya sendiri. Dan dirimu yang tidak pernah memaksa orang lain untuk terjebak di Laogai dalam dirinya.

Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai nyaman dengan dirimu. Mungkin sejak hari pertama kita bicara tanpa arah, atau sejak aku sadar bahwa caramu memandang dunia terasa berbeda dari siapa pun yang pernah kutemui. Kamu seperti kapal yang mampu mengendalikan ombak dan badai laut yang begitu kencang, sebagai penumpang tidak pernah ada paksaan untuk memakai pelampung atau bahkan mencari sekoci atau lifeboat.

Tapi kenyamanan itu berubah bentuk. Bagiku kau adalah api penerang hidupku. Hanya saja Apimu mulai memancarkan sinar yang menusuk diriku saat aku berada begitu lama di sisimu. Aku selalu berusaha menjagamu agar apimu tidak redup tapi, semakin lama aku berusaha menjagamu, apimu malah justru semakin padam. Rasanya seperti usahaku sia-sia untuk mempertahankan apimu.

Dirimu membuatku lupa bahwa kenyamanan juga bisa menyiksa.

Karena semakin lama aku di dekatmu, semakin aku sadar bahwa kamu tidak pernah benar-benar ingin keluar dari Laogai dalam dirimu sendiri. Kamu masih menyembunyikan diri di balik tenang yang palsu,dirimu masih percaya bahwa rasa sakit adalah cara terbaik untuk tetap merasa hidup.

Aku berpikir aku bisa menuntunmu keluar dari sana, dari ruang gelap tempat semua rasa bersalah dan ketakutanmu tinggal. Dan saat aku merasa semua sia-sia aku mengerti, tidak semua orang ingin diselamatkan. Ada yang sudah terlalu lama hidup dalam kegelapan hingga cahaya terasa seperti ancaman. Tapi, satu hal yang harus kamu ketahui, cahaya bukan ancaman. Cahaya adalah harapan.

Kamu terbiasa menenggelamkan dirimu di Laogai, tempat di mana ingatan dan luka berpadu, tempat di mana kamu bisa bersembunyi dari dunia yang terlalu ramai. Kamu bilang kamu ingin bahagia, tapi langkahmu selalu berhenti di tepian. Seolah setiap kali hampir keluar, kamu memilih untuk kembali, menutup diri di kedalaman yang hanya kamu pahami. Dan semua itu membuat semua usaha baik dari diriku dan dirimu sia-sia.

Aku tahu kamu takut, aku tahu kamu tidak ingin terluka lagi oleh hal-hal sepele, aku tahu kamu tidak ingin diabaikan. Karena aku tahu maka aku mengulurkan tanganku untuk membantumu sembuh. Aku masih di sini, berdiri di tepi Laogai, memandangi pantulan wajahmu di permukaannya. Terkadang aku berharap bisa ikut tenggelam bersamamu hanya agar kamu tidak merasa sendirian di dalam sana.

Tapi aku tahu, kalau aku ikut masuk, aku tidak akan bisa kembali.

Aku akan kehilangan diriku. Lagi.

Aku sudah terlalu sering kehilangan diriku demi orang lain. Dan kali ini, aku tidak mau lagi.

Aku tidak mau tenggelam di dalam matamu yang tenang tapi penuh pusaran luka. Aku tidak mau menjadi penyelamat di laogai yang bahkan tidak ingin diselamatkan. Aku sudah berjuang terlalu keras untuk keluar dari kegelapan milikku sendiri dan aku tidak akan kembali ke sana hanya untuk menemanimu yang memilih bertahan di dalamnya. Terkesan egois, tapi begitu juga denganku, aku tidak ingin terluka. lagi.

Meski aku menunggu. Aku bertahan dan meski aku menenggelamkan sabarku di dasar yang dalam, berharap saat dirimu siap, kita bisa bernapas di permukaan yang sama.

Waktu hanya membuatku sadar:

yang menunggu orang yang tidak ingin pergi, akan ikut terkubur bersama penantiannya sendiri.

...

Hai, Laogai.

Maafkan aku, tapi kali ini aku memilih untuk pergi.

Aku sudah terlalu lama berdiri di tepi danau ini, menunggu permukaanmu menjadi jernih, berharap bisa melihat wajahmu, berharap bisa melihat cerahnya langit di dalam matamu.

Tapi dasarmu terlalu dalam.

Setiap kali aku mencoba menyelam untuk menggapaimu, aku kehilangan diriku sedikit demi sedikit dan jujur saja itu terasa sangat menyakitkan, lebih dari luka yang masih membekas dalam diriku. Aku sudah bersusah payah untuk bangkit dari gelap yang sama, dari terowongan yang sama dan dari air yang menenggelamkan napasku dulu. Aku sudah belajar berjalan di daratan meski gemetar, meski masih ada sisa air di paru-paruku. Meski terkadang cahaya daratan masih membuatku tertatih.

Kamu indah, Laogai, seindah ketenangan yang menipu.

Di balik keindahanmu ada pusaran yang tak henti menarik siapa pun yang terlalu berani mencintaimu. Dan aku tidak ingin menjadi korban berikutnya.

Jadi kali ini, biarkan aku melangkah pergi.

Bukan karena aku tidak peduli,

Tapi karena aku akhirnya belajar bahwa menyelamatkanmu tidak harus berarti ikut tenggelam bersamamu. Bahwa untuk menyelamatkanmu aku juga harus selamat, bahwa untuk menyembuhkan lukamu aku juga harus sembuh dari luka-luka yang ada.

Aku akan merindukanmu, seperti seseorang merindukan mimpi yang dulu membuatnya lupa kenyataan, mimpi yang membuatku tidak ingin terbangun kembali. Tapi sekarang aku ingin hidup, sepenuhnya, dengan kesadaranku sendiri. Aku ingin hidup dalam kenyataan yang pahit, aku ingin hidup berdampingan dengan semua luka yang pernah aku dapatkan. Aku ingin hidup dalam kepercayaan pada diriku sendiri.

Bukan di dalam Laogai.

Bukan di dalam bayanganmu dan bukan di dalam dasar danaumu.

Selamat tinggal, Laogai.

Terima kasih karena sudah mengajariku arti kehilangan, dan arti mencintai tanpa harus hilang. Terima kasih sudah memberiku pelajaran untuk mencintai diriku sendiri. Terima kasih sudah mau menjadi temanku. Terima kasih untuk dirimu yang begitu indah.

Aku berharap suatu saat nanti, kau bisa melepaskan dirimu dari dasar danau Laogai, kau bisa menjadi dirimu sendiri, sembuh dari semua luka dan menatap cahaya daratan dengan bangga dan rasa aman. Aku benar-benar berharap dirimu bisa lebih mencintai dirimu sendiri yang indah itu.

...

Aku menatap ke arah danau itu sekali lagi.

Permukaannya tenang, memantulkan langit yang perlahan berubah warna. Aneh, dulu aku selalu melihat Laogai sebagai tempat yang kelam, tapi sekarang aku tahu, kegelapan itu hanya pantulan dari mataku sendiri yang sudah merasa sangat lelah dengan sinar cahaya hidup. Aku yang tengah lelah berharap saat itu.

Aku tidak membencinya. Aku hanya tidak ingin kembali ke sana.

Karena ada hal-hal yang memang harus dibiarkan diam di dasar, dan ada hati yang pantas untuk terus melangkah di daratan. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar berdiri di atas permukaan bukan untuk mencarinya, tapi untuk melihat diriku sendiri yang utuh.

Air di tepi kakiku bergetar pelan, seolah Laogai ikut membisikkan perpisahan. Seolah dirimu menyuruhku untuk terus berjalan dan tetap menjadi diriku sendiri.

Aku tersenyum.

Untukmu. Untukku. Untuk semua yang pernah hampir tenggelam.

Lalu aku berjalan, Tidak menoleh lagi, karena kali ini, aku tahu, aku sudah benar-benar bebas.

Selamat Tinggal, Danau Laogaiku.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Bye Lake Laogai
Kaylasyifa Azzahrie
Novel
Gold
Aku Angin, Engkaulah Samudra
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Goddes of the War
Alexha Siti
Novel
The Story Behind The Rain
Rizky Yahya
Skrip Film
Bunga di Hatimu
Delly Purnama Sari
Flash
Bronze
BenciZone
Eva yunita
Cerpen
Bronze
Kau,Vespa, dan Hujan yang Tak Pernah Reda
syaifulloh
Cerpen
Between the Crown and the Heart
Lucky Cat
Flash
Lagu Kesukaanmu
Pikadita
Novel
Nikah Saat SMA
Al_
Flash
Bronze
Archimedes Law of Heartbreak
Silvarani
Cerpen
Bronze
CANDLE
Delta
Novel
Arsena
Gulla
Novel
SANDIWARA CINTA
Embart nugroho
Novel
Bronze
Just friends
Isqa
Rekomendasi
Cerpen
Bye Lake Laogai
Kaylasyifa Azzahrie
Flash
Bronze
Intuisi
Kaylasyifa Azzahrie
Cerpen
Please, Give Me Back My Self
Kaylasyifa Azzahrie
Flash
Bronze
Sepertiku
Kaylasyifa Azzahrie
Cerpen
No Offense But,
Kaylasyifa Azzahrie
Novel
The Five
Kaylasyifa Azzahrie
Cerpen
Dear His Future Girlfriend ....
Kaylasyifa Azzahrie
Cerpen
Pembunuh yang Kucintai
Kaylasyifa Azzahrie