Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Butuh Healing gara gara Healing
0
Suka
9
Dibaca

Ada satu wabah penyakit modern yang lebih menular daripada flu musiman, dan lebih mematikan bagi dompet daripada tanggal tua. Nama penyakit itu adalah: "FOMO Healing".

Gejalanya jelas: Kamu merasa lelah bekerja (padahal cuma scroll TikTok 4 jam di kantor), lalu kamu membuka Instagram, dan melihat seorang influencer sedang duduk di pinggir pantai Bali sambil memegang kelapa.

Caption-nya berbunyi: "You deserve a break, Bestie. Kerja terus tipes, healing dulu biar waras. #SelfReward #MentalHealthMatters #YOLO."

Kalimat itu menampar jiwaku yang sedang rapuh. Aku budak korporat berusia 30-an yang tulang punggungnya sudah berbunyi kretek-kretek kayak kerupuk kulit kalau bangun pagi. Otakku rasanya seperti CPU Pentium 4 yang dipaksa nge-render video 4K—panas, lemot, dan sering hang.

Melihat postingan itu, setan konsumtif dalam diriku berbisik: "Bener juga ya, Yo. Lu kerja bagai kuda, masa nggak ada reward? Lu butuh healing. Lu butuh validasi bahwa hidup lu nggak menyedihkan-menyedihkan amat."

Dan begitulah, kawan-kawan, awal mula dari bencana finansial dan emosional terbesar dalam hidupku dimulai.

Sebelum melakukan healing besar, aku mencoba metode "Self Reward" skala kecil. Katanya, self reward itu penting untuk meningkatkan hormon kebahagiaan.

Pulang kantor, dalam kondisi macet dan hujan gerimis, aku memutuskan untuk mampir ke sebuah Coffee Shop hits di Jakarta Selatan. Tempatnya terkenal "Instagramable" dengan konsep industrial-minimalis-setengah-jadi (baca: temboknya semen doang belum dicat).

Ekspektasi: Duduk tenang di pojokan, menyesap Artisan Coffee, sambil membaca buku filsafat stoikisme agar terlihat intelek, dan merasakan kedamaian batin.

Realita: Pertama, parkirnya susah setengah mati. Tukang parkirnya kayak ninja, pas datang nggak ada, pas mau pulang tiba-tiba muncul di belakang motor sambil niup peluit di kuping. Priiit! Kaget jantungku hampir copot. Dua ribu rupiah melayang untuk serangan jantung ringan.

Kedua, saat masuk, tempat itu penuh sesak oleh Gen Z yang sedang bikin konten TikTok joget-joget di depan pintu. Berisik sekali. Suara musik EDM bertabrakan dengan suara blender dan teriakan barista. "KAKAK CAHYOOO! CARAMEL MACCHIATO LESS SUGAR EXTRA SHOT OAT MILK-NYA UDAH JADIII!"

Aku memesan minuman yang namanya susah disebut itu. Harganya Rp 65.000. Enam puluh lima ribu rupiah untuk segelas air rasa kopi susu yang gulanya bikin diabetes instan.

Aku mencoba duduk dan membaca buku. Baru buka halaman pertama, di meja sebelah ada sekumpulan ABG yang sedang gibah dengan volume toa sound horeg. "Eh sumpah ya, si Jojo tuh red flag banget, masa dia cuma ngajak gue makan di warteg pas first date? Ilfeel gue."

Konsentrasiku buyar. Aku tidak jadi healing. Aku malah jadi emosi mendengar standar kencan anak zaman sekarang. Aku menghabiskan kopiku dalam tiga teguk (karena takut es batunya mencair dan merusak rasa 65 ribu itu), lalu pulang dengan perasaan lebih dongkol daripada sebelumnya. Dompet minus 67 ribu (plus parkir), mental minus 20%.

Karena healing tipis-tipis gagal, aku memutuskan untuk mengambil langkah drastis. "Gue butuh alam. Gue butuh kembali ke nature. Jauh dari hiruk pikuk kota," pikirku naif.

Tren terbaru adalah Glamping (Glamorous Camping). Kemah mewah. Konsepnya: Kamu tidur di tenda, tapi tendanya ada kasur spring bed, AC, kamar mandi dalam, dan view gunung yang estetik.

Aku menemukan satu lokasi Glamping di daerah pegunungan Jawa Barat. Namanya "Pine Soul Sanctuary (nama fiktif)". Foto-fotonya luar biasa. Tenda transparan berbentuk kubah (bubble tent) di tengah hutan pinus, di bawah langit bertabur bintang.

Harganya? Rp 1.500.000 per malam.

Tanganku gemetar saat memegang kartu kredit. Itu setengah gaji UMR. Tapi setan influencer di kepalaku berteriak lagi: "BESTIE, YOU DESERVE IT! KESEHATAN MENTAL ITU INVESTASI!"

Aku memejamkan mata, dan menekan tombol "BOOK NOW". Ctek. Seketika aku merasa miskin. Tapi aku mencoba meyakinkan diri bahwa ini akan sepadan. Aku akan pulang sebagai Cahyo yang baru, yang segar, yang tercerahkan.

 

Sabtu pagi. Aku berangkat dengan semangat '45 dan outfit yang sudah kusiapkan semalam: Kemeja flanel, celana kargo, sepatu boots (padahal cuma mau duduk doang), dan topi kupluk biar kayak petualang sejati.

Aku berangkat naik motor matic kesayanganku, "Si Belang". Bencana dimulai di jalan. Ternyata, seluruh penduduk Jabodetabek juga punya ide yang sama untuk healing ke arah Puncak/Bandung di akhir pekan.

Macetnya bukan main. Macet horor. Aku terjebak di antara truk tronton yang knalpotnya menyemburkan asap hitam tepat ke mukaku, dan mobil Pajero yang klaksonnya bikin budeg. Tiga jam berlalu, aku baru sampai Ciawi.

Pantatku panas. Tanganku kram menahan rem. Punggungku yang tadinya kretek-kretek ringan, sekarang rasanya seperti mau patah jadi dua. "Ini bagian dari perjuangan menuju kedamaian," hiburku dalam hati sambil menghirup polusi.

Enam jam kemudian. ENAM JAM. Aku sampai di lokasi "Pine Soul Sanctuary" dengan kondisi fisik setara kuli panggul yang baru lembur 24 jam. Mukaku kusam, penuh debu jalanan. Outfit petualangku sudah bau apek keringat.

Aku check-in. Resepsionisnya ramah, tapi tatapannya seperti kasihan melihat kondisiku. Aku diantar ke tenda bubble-ku.

Dan di sinilah ekspektasi bertemu dengan realita yang kejam.

Di foto Instagram: Tenda transparan yang bening, bersih, di tengah hutan pinus yang sepi. Realita: Tenda transparannya... buram. Plastiknya sudah agak kuning dan banyak baret-baret. Di bagian atasnya, ada jejak kotoran burung yang sudah mengering estetik. Lokasinya tidak sepi-sepi amat. Tenda tetangga jaraknya cuma 5 meter. Aku bisa mendengar jelas tetangga sebelah, sepasang suami istri yang sedang bertengkar soal siapa yang lupa bawa charger HP.

Dan hutannya... Ya, hutan pinus. Tapi tanahnya becek sisa hujan semalam. Sepatu boots-ku langsung penuh lumpur.

"Selamat menikmati healing-nya, Kak," kata stafnya lalu pergi naik mobil golf, meninggalkanku sendirian dengan ransel berat.

Aku masuk ke dalam tenda. Panas. Ternyata tenda transparan di siang hari bolong itu fungsinya sama dengan Oven Tenaga Surya atau Panci Kukusan. Matahari menembus masuk, tapi udaranya terperangkap di dalam. AC portable yang disediakan di pojokan berbunyi ngiiik... ngiiik... berjuang keras tapi sia-sia melawan hukum fisika.

Aku duduk di kasur spring bed yang ternyata agak lembap. Keringat bercucuran deras. Aku mau mandi, tapi air di water heater-nya keluarnya kecil banget kayak kencing bayi, dan suhunya cuma dua: Dingin es atau panas mendidih. Tidak ada yang hangat.

Aku memilih tidak mandi daripada kulit melepuh. Aku duduk di teras tenda yang becek, menatap pohon pinus. "Ini damai," kataku pada diri sendiri. "Gue harus damai. Gue udah bayar 1,5 juta. Awas aja kalau nggak damai."

Malam tiba. Aku berharap suasana akan membaik. Di foto: Duduk di depan api unggun, minum cokelat panas, menatap bintang.

Realita: Begitu matahari terbenam, suhu turun drastis. Dinginnya menusuk tulang. Dan yang lebih parah: SERANGGA.

Ternyata lampu tenda yang terang benderang di tengah hutan gelap itu adalah undangan pesta terbuka bagi seluruh populasi serangga di Jawa Barat. Nyamuk, laron, ngengat raksasa, dan serangga-serangga aneh yang belum pernah kulihat di buku biologi, semuanya berkumpul di permukaan tenda transparanku.

Dari dalam, aku seperti sedang menonton film horor close-up. Ribuan serangga merayap di dinding tenda. Bunyinya bzzzt... bzzzt... jedug... jedug... menabrak plastik.

Aku mau keluar bikin api unggun? Mustahil. Keluar berarti mati dikeroyok nyamuk hutan yang ukurannya segede tawon.

Akhirnya, aku terkurung di dalam tenda yang dingin, di bawah selimut tipis, ditemani ribuan serangga yang menatapku dari balik plastik. Aku mencoba menyalakan HP. Mau update Instastory biar kelihatan lagi healing.

NO SIGNAL. Tanda silang di bar sinyal.

Kepanikan melanda. Bagaimana aku bisa memvalidasi eksistensiku kalau aku tidak bisa pamer di medsos? Bagaimana orang tahu aku sedang menghabiskan 1,5 juta kalau tidak ada buktinya? "Ini namanya Digital Detox, Yo. Nikmatin aja," kataku mencoba menenangkan diri sendiri, padahal jariku gemetar ingin scroll TikTok.

Malam itu adalah malam terpanjang dalam hidupku. Aku tidak bisa tidur karena dingin, takut tendanya bocor dimasuki serangga mutan, dan mendengar suara tetangga sebelah yang sekarang sedang karaokean pakai speaker bluetooth. Lagu yang dinyanyikan: "Cinta Ini Membunuhku" dari D'Masiv. Sangat pas dengan situasiku.

Pagi datang. Aku bangun dengan kondisi lebih buruk daripada sebelum berangkat. Mata panda, badan kaku semua karena kedinginan, dan masuk angin parah.

Aku check-out dengan langkah gontai. "Gimana Kak stay-nya? Recharged?" tanya resepsionisnya ceria. "Luar biasa, Mbak. Saya merasa sangat dekat dengan alam. Terutama serangganya," jawabku sarkas.

Perjalanan pulang adalah siksaan jilid dua. Macet lagi. Di atas motor, di bawah terik matahari, sambil menahan pusing masuk angin, otakku mulai berhitung.

Bensin: 100 ribu. Makan di jalan (karena lapar mata): 150 ribu. Glamping: 1.500.000. Oleh-oleh yang nggak perlu (beli ubi Cilembu yang ternyata masih mentah): 50 ribu. Total kerusakan: Rp 1.800.000.

Satu juta delapan ratus ribu rupiah. Hangus dalam 24 jam. Untuk apa? Untuk tidur kedinginan di dalam plastik dikelilingi serangga dan tidak bisa update status.

Sampai di kosan Minggu sore, aku langsung ambruk di kasur busa tipisku. Kamarku yang sempit dan berantakan tiba-tiba terasa seperti surga. Setidaknya di sini tidak ada laron raksasa dan sinyal wifi lancar jaya.

Aku membuka M-Banking. Saldo: Rp 17.500.

Air mataku menetes. Bukan air mata kebahagiaan pasca-healing. Ini air mata kemiskinan absolut. Gajian masih dua minggu lagi.

Senin pagi di kantor. Aku duduk di kubikelku. Badanku masih sakit semua sisa perjalanan "healing" kemarin. Masuk anginku makin parah. Aku nempel koyo cabe lima lembar di punggung dan leher. Baunya semerbak satu ruangan.

Si Bimo, teman sebelahku, menyapa. "Wih, Cahyo! Abis healing nih ye? Liat story WA lu kemarin di Puncak. Seger dong sekarang? Siap lembur?"

Aku menatap Bimo dengan tatapan kosong, mata merah kurang tidur, dan bau minyak angin. "Bim..." suaraku parau. "Jangan pernah sebut kata 'healing' lagi di depan gue. Gue trauma."

"Lho kenapa? Kan enak kembali ke alam?"

"Alam itu kejam, Bim. Alam itu mahal. Alam itu penuh serangga yang nggak punya sopan santun. Gue bukannya recharged, gue malah lowbat parah. Dompet gue shutdown."

Aku membuka laptop. Email pekerjaan menumpuk. Deadline di depan mata. Utang kartu kredit menunggu dibayar. Stresku yang tadinya level 7, sekarang naik jadi level 10 karena ditambah stres finansial.

Siang itu, saat jam istirahat, aku tidak pergi ke coffee shop mahal atau mencari makan siang yang estetik. Aku pergi ke mushola kantor. Aku menggelar sajadah di pojokan, menyalakan kipas angin dinding, lalu tidur meringkuk posisi janin.

Itulah tidur paling nyenyak yang pernah kurasakan. Gratis. Adem. Tidak ada serangga. Dan saat itulah aku sadar. Healing terbaik adalah tidur siang gratis tanpa mikirin tagihan, bukan tidur di tenda plastik seharga cicilan motor.

Persetan dengan self reward. Mulai sekarang, reward-ku adalah mie instan pakai telor dan tidur 8 jam sehari.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Butuh Healing gara gara Healing
cahyo laras
Flash
PENYAKIT ANEH
D. Rasidi
Flash
Bronze
MACAN33 || Special Garansi New Member 100%
Macan33
Flash
Kejutan Ulang Tahun
Lovaerina
Flash
Wacana Tanpa Akhir
Lora Arkansas
Komik
Bronze
The Daily of ARLO
Anindosta Studios
Flash
Bronze
The End of Joni Oblong
DMRamdhan
Cerpen
Drama Butut (Bu Tutik) vs Buruk (Bu Rukmini)
Yovinus
Cerpen
Bronze
Peduli Upil
Hekto Kopter
Cerpen
Ada Nastar Di Kulkas
KusumaBagus Suseno
Flash
SEMUA KARENA UJIAN SEMESTER
Aston V. Simbolon
Cerpen
Lady Ciprut dan Gendhuk Tini
bomo wicaksono
Flash
Bronze
Cinta Mati
Raydinda Shofa
Komik
Gold
Abu Sule
Kwikku Creator
Flash
Bronze
Kamis Bahagia
Arif Holy
Rekomendasi
Cerpen
Butuh Healing gara gara Healing
cahyo laras
Cerpen
Kesenjangan yang terlalu senjang
cahyo laras
Cerpen
Temen Papah Zone
cahyo laras
Cerpen
Belajar Nyetir
cahyo laras
Cerpen
Senjata Biologis Buatan Gebetan
cahyo laras
Cerpen
Percaya Mitos Yang Kurang Lengkap
cahyo laras
Cerpen
Jiwa Lelaki Meronta, Otot Minta Pulang
cahyo laras
Cerpen
Datang Bawa Malu, Pulang Bawa Duit (lagi)
cahyo laras
Cerpen
Cintaku Bertepuk Sebelah Treadmill
cahyo laras
Cerpen
Sepatu Mangap di Marathon 10k
cahyo laras
Novel
Kontrak Terakhir
cahyo laras
Cerpen
Jangan Ge-Er, Dia gitu ke semua orang
cahyo laras
Cerpen
Split Bill, Split Hidup
cahyo laras
Cerpen
Mission Impossible : Protocol Cepirit
cahyo laras
Cerpen
Tragedi Salah Makam
cahyo laras