Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Burung Merpati Tingting
0
Suka
636
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Mun berkicau menceracau persis seperti orang tak waras yang rutin bertandang di teras rumah orang tuanya. Hanya bedanya, si orang tak waras minta diusir, sementara Mun minta kawin.

Pada tiang kaso penyangga atap teras rumah, kedua lengan Mun melingkari tiang, wajahnya basah asin, dan berantakan. Dia berdiri menunggu ceracauannya ditimpali Mboke 'panggilan Mun buat sang ibu'.

"Mboke …."

Belum ada terdengar suara tandingan kicauannya.

Hanya suara kicauan burung bapaknya saja yang menyahuti sembari bertolak ke sana kemari di dalam sangkar. Burung kacer yang dinamai si Girang memang benar-benar girang hari ini di dalam sangkarnya. Ia mungkin merasa lebih beruntung lantaran kicauannya selalu ditunggu-tunggu sejak menang lomba. Karena girang burungnya menang lomba, spontan mulut bapak Mun menyebut nama 'si Girang' dan telunjuknya menunjuk burung itu, sedangkan kicauan Mun boro-boro ditunggu. Mungkin domba bandot tetangganya pun bakal jadi ingusan lantaran mendengar ceracau Mun lantas kurus kering tak lama kemudian.

Mun merajuk minta kawin belakangan hari ini semenjak berkenalan dengan Sarapudin, lelaki yang terlihat berkilauan di mata Mun, sekitar tiga bulan yang lalu. Cinta memang boleh bikin silau mata pelakonnya. Kasmaran si Mun jadinya.

Sarapudin dan Mun berkenalan ketika Mun disuruh ibunya tumbas jahe di warung. Mereka bersua, berpapasan di jalan sambil saling plirak-plirik.

Seperti pada kisah sinetron saja cara mereka berdua berkenalan. Bungkusan jahe di tangan Mun terlena lalu tumpah berserakan. Sarapudin pun takzim membungkuk, membantu memunguti jahe-jahe terserak. Setelah itu …, apa lagi, kalau bukan berjabatan tangan dan saling mendengar; menyebut nama?

"Sarapudin," ujarnya.

Mun tak mengedip memandangi wajah Sarapudin. Lalu ingatannya datang tergopoh-gopoh membisiki. Kemudian …. "Oalah …, kamu Sarapudin yang dulu hobi main burung merpati, kan ...," timpal Mun. Dia pun semringah lalu menerima jabat tangan kekar Sarapudin yang baru saja pulang kembali ke desa setelah mengayak nasib peruntungan di negeri orang.

"Iya," jawab Sarapudin tersipu malu seiring hatinya mulai kedat-kedut serta-merta aliran darah di tubuhnya mendesir.

Sarapudin dan Mun pun lama-kelamaan semakin sering bertemu dan akhirnya …, kasmaran melekat.

"Kurangi hobi kamu main burung, Mun …, kalau kamu mau didatangi lelaki," sahut sang ibu.

"Mbok, Bapak hobi main burung, bisa menikahi si Mbok."

"Lho …, lho. Ya beda, dong, Mun."

"Bedanya apa Mbok? Wong sama-sama hobi, kok. Mun juga anak dari bapak yang hobi main burung."

"Ya, tapi …, masak kamu hobi ngelus-ngelus burung. Lha …, kalau bapakmu, ya ketahuan, ada hasilnya. Lha kamu?" balas sang ibu yang duduk di bangku teras rumah pada waktu pagi sekitar jam sembilan.

Kalau menilik wajah Mun yang sedang berantakan di teras rumah, sebenarnya bolehlah dibilang, dia tidak berwajah kurang. Semuanya genap. Hidung satu, lubangnya dua, bangir pula. Sepasang bola mata berhias bulu mata lentik. Bibirnya tipis meski bibir bawahnya agak lebih tebal. Pipi ranum walau agak tembem. Yah, singkatnya, masih layak, layak kawin.

"Mbok …," Mun merajuk. "Sarapudin sudah mau menikahi Mun, Mbok."

Sang ibu terperangah.

Cepat ibunya menggeleng menyuguhkan mimik wajah resah, lebih tepatnya: jijik.

"Kenapa menggeleng, Mbok?"

"Cari 'burung' yang lain, Mun. Sarapudin masih keluarga dekat."

"Mbok ini …, (Mun gusar) tadi Mun disuruh setop hobi mainin burung. Eh, sekarang Mun malah disuruh cari burung lain," sanggah Mun. "Burung-burung merpati Mun masih sekeluarga dengan burung Sarapudin, Mbok?"

Sang ibu mendengus.

"Tanya bapakmu!" Bokong sang ibu dibawa pergi oleh kedua tungkai kakinya yang melangkah masuk rumah.

Kedua lutut Mun seketika lemas. Badannya lalu lunglai perlahan-lahan menggelongsor menjelepok.

_^_^_^_

 

Selang waktu 27 hari kemudian, Sarapudin dan Mun—meski Mun berat hati—menyempatkan diri untuk bertemu; untuk berpisah.

"Ada pertemuan …, ada perpisahan, Din," Mun berkata, duduk bersisian dengan Sarapudin, berwajah kuyu. Daging degan di dalam gelas bercampur gula jawa diaduk-aduknya bersama ungkapan hati yang masygul keluar melalui kerongkongannya. Cinta putih seputih daging degan dan manis semanis gula jawa, harus lenyap, masuk ke tenggorokan Mun. "Glek …, glek …, glek." Suara Mun terdengar mengunyah sesekali mendecak ketika menelan cinta yang harus dilenyapkan, masuk kembali ke sangkar hati via kerongkongannya.

"Mun, jadi …, setelah ini—"

Sepasang bibir Sarapudin tertangkup akibat ujung sendok tiba-tiba menempel di sana. Itu buah perbuatan tangan Mun.

Sementara Mas Dul, si bakul degan, wajahnya sekilas kaget, berselang waktu kemudian mesam-mesem melihat tingkah romantis si Mun-Sarapudin. Sambil sesekali mengerling kepada mereka berdua, lap di tangan kanannya bergerak-gerak mengusir lalat-lalat hijau pergi dari bibir kendi tembikar. Pantat-pantat lalat hijau lincah melengos menghindari dampratan lap yang marah. Demi menjaga kolam gula jawa dalam kendi tak menjadi tempat berenang lalat hijau, lap itu mendamprat-damprat “prat, prat, prat”.

Satu dari sekian banyak lalat-lalat hijau salah mendarat—pantatnya. Ia mendarat di pipi—tembem—ranum Mun yang bersemu berwarna merah muda berpori berkomedo.

Sarapudin pun sigap bergerak. Punggung tangannya berhati-hati mengelus halus pipi ranum Mun. Karena diperlakukan begitu, Mun pun bungah jadinya, padahal Sarapudin hanya bermaksud mengusir satu lalat hijau itu pergi. Tak elok dipandang. Pipi tembem ranum berkomedo bertahtakan "safir hijau". Benar-benar tak elok dipandang mata Sarapudin. Sungguh!

Demi melihat keromantisan sepasang sejoli (si Mun-Sarapudin), wajah Mas Dul ikut pula merona. Dua bola matanya berbinar-binar seakan-akan berkata, "Aih …. Sungguh romantis." Terbayang-bayang kembali wajah istrinya yang pernah diperlakukan olehnya, mirip seperti kejadian di hadapannya kini. Meskipun yang dielus oleh punggung tangannya adalah bukan "safir hijau", melainkan butir-butir air mata bahagia dan haru di pipi istrinya ketika sukses melahirkan anak ke-5.

"Burung-burung merpatiku dan burungmu, Din, kata si Mbok masih saudara dekat," Mun berkata menjelaskan berganti pancaran wajah melukiskan pilu.

Sarapudin nanar. Dia berusaha menangkap maksud omongan Mun perihal burung bersaudara dekat. Cukup lama wajahnya menekur lalu menggumam pelan—pelan sekali, "Burungku …." Dua jari tangannya mempermainkan kepala ritsleting celananya, menampakkan suasana hati gelisah resah.

"Iya …, Din, masih bersaudara dengan burung-burung merpatiku," sambung Mun juga ikut-ikutan menekur.

"Itu kata Mbok-mu …."

"Iyah, Din."

"Mun …," ujar Sarapudin, "andai saja aku bisa terbang membawamu pergi jauh dari desa ini."

"Din, meskipun kita sehobi bermain burung merpati lalu saling jatuh cinta, sepertinya itu tidak mungkin."

"Mengapa tidak mungkin?"

"Karena kata Mbok-ku itu, 'burungmu dan burungku bersaudara'.

"Dan lagi, merpati punya sayap, tetapi kamu dan aku, tak punya," Mun berkata.

Cinta masih terikat norma.

Mun dan Sarapudin kompak menghela napasnya. Kuyu wajah mereka bersama cinta yang me-layu.

Setelah usai peristiwa perpisahan romantis di pinggir tanah lapang, di bangku panjang bakul degan Mas Dul, Mun dan Sarapudin tak lagi bertemu sejak itu.

Mun mengempaskan badan sintalnya laksana guling besar di atas kasur berseprai ungu, sepulangnya dari tanah lapang tempat Mun dan Sarapudin biasa bertemu untuk bermain burung merpati. Di atas kasur, wajahnya terbenam lantaran menggugu nasihat orang tuanya, di bantal berwarna biru yang perlahan basah oleh air matanya. Alih-alih roman Siti Nurbaya atau Di Bawah Lindungan Ka'bah tidaklah sememilukan roman Mun dan Sarapudin.

Kemudian Mun menelentangkan badan. Kepalanya masih dialasi bantal basah berwarna biru. Wajahnya kembali berantakan. Rambutnya kusut masai sekusut hatinya. Di langit-langit kamarnya, Mun melukiskan lagi warna-warni kenangannya bersama Sarapudin semasa kecil yang sehobi dengannya bermain burung merpati.

Sebagai perawan tingting di desanya, umur Mun sudah mulai memasuki fase genting. Dia mulai dihinggapi kekhawatiran mendapatkan julukan tak renyah di mulut, tak merdu di telinga. Hanya tinggal dirinya di desa yang masih tingting, sementara gadis-gadis sebaya usia dengannya sudah pecah “tingting-nya”, beranak satu, beranak dua, bahkan sudah ada yang menjanda sekejapan idah bulan lalu dinikahi lagi.

Kendati begitu, Mun mengindahkan nasihat orang tuanya. Dia berhenti dari hobinya bermain burung. Toh, hobinya itu hanyalah strategi Mun untuk mendekati Sarapudin supaya mau menikahinya. Melalui burung merpati, dia membangkitkan kenangan semasa Sarapudin dan Mun kecil dulu. Strateginya berhasil walau gagal eksekusi ke pelaminan lantaran Mun dan Sarapudin saudara susuan. (©)

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Burung Merpati Tingting
Andriyana
Flash
Hanya Sampah
Bima Kagumi
Flash
Wesheweshewes
Rainzanov
Flash
Kebal
KOJI
Flash
dr. SOMPLAX
KOJI
Flash
Bronze
Visi, Misi, Diksi, Permisi ....
Sunarti
Flash
Bronze
Jika Patah Hati Bisa Ngomong...
Shabrina Farha Nisa
Cerpen
Bronze
FLAMBOYAN 21
Sartika Chaidir
Cerpen
Bronze
Bos 100 Dolar
hidayatullah
Komik
Kafe Kafe
Areshin
Komik
Sang Dewi
faith
Komik
Bang Jeki
Agung raka saputra
Cerpen
Istriku dan Anjingnya
Cicilia Oday
Flash
I-phone , Bukan Jodohku ( Selamat Jalan I-phone 12 )
Alwinn
Komik
Bronze
AFTER MARRIAGE
Agam Nasrulloh
Rekomendasi
Cerpen
Burung Merpati Tingting
Andriyana
Flash
Microwife
Andriyana
Novel
Bronze
Sekisah tentang Mualim dengan Fatimah
Andriyana
Cerpen
Si Kancil Dikeloni Kunti
Andriyana
Cerpen
Bronze
D 1 AM
Andriyana
Flash
Sosok Bapak
Andriyana
Flash
Bronze
Monyet Bersayap Kupu-kupu
Andriyana
Cerpen
Ini tentang Cinta; Mati
Andriyana
Novel
Bronze
Komidi Putar Witarsih
Andriyana
Cerpen
Bronze
Kata Hidup di Antara Kita pada Pentas Malam
Andriyana
Cerpen
Bronze
Berlari dari Kematian
Andriyana
Flash
"Jadi" Hamil, Enggak?
Andriyana
Flash
Sang Pemanggil
Andriyana
Flash
Si Gadis Berkucir Satu
Andriyana
Cerpen
Bronze
Dua Kisah dalam Satu Taring
Andriyana