Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langkahku terhenti di tengah jalan setapak, kaki terasa seperti ditarik akar-akar tak kasat mata yang menjalar di bawah tanah. Paru-paruku mengembang tak beraturan, menghirup udara yang tiba-tiba terasa tebal, asing, seperti membawa aroma sesuatu yang kuno dan tersembunyi. Jantungku berdegup kencang, bukan karena lelah, tapi karena perasaan yang sulit kugambarkan—seperti ada mata tak terlihat yang mengintai dari balik pepohonan.
“Ini tidak masuk akal.”
Kudorong ranting berduri yang menghalangi jalan, dan di sana, di atas lapisan lumut yang lembap, tergeletak burung hitam kecil. Matanya setengah terbuka, paruhnya menganga tipis, seolah menangkap kejutan terakhir sebelum napasnya terhenti. Yang ketujuh hari ini. Aku menunduk, memerhatikan tubuh kecil itu. Tidak ada luka, tidak ada darah, tidak ada tanda-tanda perjuangan. Hanya kematian yang datang begitu saja, seperti dipanggil.
“Kenapa cuma burung?” gumamku, suaraku pecah di tengah kesunyian hutan yang mencekam. Aku menoleh ke atas, ke pucuk-pucuk pohon yang bergoyang pelan, meski angin terasa terlalu lemah untuk menggerakkannya. Tidak ada kepakan sayap, tidak ada kicauan. Hanya desau samar, seperti erangan panjang yang keluar dari perut bumi. Di kejauhan, seekor tupai melompat dari dahan ke dahan, riang, seolah dunia ini masih miliknya.
“Sialan, ini tidak logis!”
Aku menendang batu kecil yang menggelinding ke semak-semak. Virus? Tapi kenapa hanya burung? Kelelawar masih beterbangan di senja kemarin, serangga masih berdengung di dekat telingaku tadi pagi. Racun? Tidak mungkin. Tanaman di sekitar sini masih hijau, tidak ada tanda-tanda kerusakan. Aku bahkan memeriksa beberapa bangkai burung dengan tangan gemetar—tidak ada luka, tidak ada pendarahan. Hanya kematian yang terlalu rapi, terlalu... disengaja.
Aku membeku. Pikiran itu menggigitku seperti duri. Disengaja.
“Kalian sengaja melakukan ini?”
Suaraku bergema aneh, seperti diserap oleh dinding-dinding tak kasat mata. Kulitku merinding, bukan karena dingin, tapi karena perasaan bahwa aku tidak sedang berbicara pada kekosongan. Ada sesuatu di sini, sesuatu yang mendengar. Angin tiba-tiba berhenti. Sekejap, hutan menjadi diam tak wajar. Jangkrik yang tadi berderit kini membisu. Daun-daun yang bergoyang kini terpaku, seolah menahan napas.
Aku berputar pelan, jantungku berdetak seperti genderang perang. “Tunjukkan diri kalian!”
Dan kemudian—
“Kami memilih.”
Suara itu bukan dari luar. Itu bergema di dalam tengkorakku, dalam dan berat, seperti akar yang menembus batu. Aku tersentak, hampir jatuh ke belakang. Lututku gemetar, tanganku mencengkeram batang pohon terdekat, tapi kayunya terasa... hangat, seperti memiliki denyut sendiri.
“Mereka terlalu banyak melihat. Terlalu banyak membawa kabar.”
Aku menelan ludah, mulutku kering. “Jadi... kalian membunuh mereka?”
“Kami hanya mengembalikan apa yang selalu menjadi milik kami.”
Mataku tertuju pada burung kecil di tanah. Selama ini kupikir mereka mati karena kecelakaan, penyakit, atau sesuatu yang bisa kujelaskan dengan logika. Tapi sekarang, di bawah naungan pohon-pohon yang tiba-tiba terasa seperti menjulang lebih tinggi, aku tahu kebenarannya. “Hutan ini hidup.”
Dan ia memutuskan untuk mengambil nyawa mereka.
Aku menatap tajam ke rimbun daun di atas, mencoba mencari sesuatu—mata, bayangan, apa saja. “Lalu... apa kalian juga akan membunuhku?”
Tidak ada jawaban. Hanya desis daun yang tiba-tiba kembali bergerak, seolah tertawa pelan. Tapi di antara desisan itu, aku mendengar sesuatu—kepakan lemah, hampir tak terdengar. Aku menoleh, dan di dahan rendah, seekor burung hitam kecil bertengger. Tidak seperti yang lain, burung ini masih hidup. Matanya menatapku, tajam, seperti membawa pesan. Paruhnya bergerak, tapi bukan kicauan yang keluar—hanya suara serak, seperti bisikan manusia.
“Lari.”
Aku tersentak. Burung itu terbang, menghilang ke dalam kegelapan hutan. Jantungku berdegup kencang, dan tanpa berpikir, aku berlari. Kakiku menghentak tanah, ranting-ranting mencakar lenganku, tapi aku tidak peduli. Hutan terasa hidup di sekitarku—dahan-dahan seperti meraih, akar-akar seperti mencoba menjerat kakiku. Angin bertiup kencang, membawa desisan yang kini terdengar seperti tawa, ejekan, atau mungkin peringatan.
“Kalian tidak akan mendapatkan aku!” teriakku, meski suaraku tenggelam dalam deru angin. Aku tidak tahu ke mana aku berlari, hanya tahu bahwa aku harus keluar, harus meninggalkan tempat ini sebelum hutan memutuskan nasibku seperti burung-burung itu.
Cahaya matahari mulai terlihat di kejauhan, celah di antara pepohonan. Hatiku melonjak—pintu keluar! Aku mempercepat langkah, mengabaikan rasa sakit di kakiku, mengabaikan darah yang mulai mengalir dari luka-luka kecil di lenganku. Tapi saat aku mendekati tepi hutan, sesuatu membuatku berhenti. Bukan suara, bukan gerakan, tapi perasaan—perasaan bahwa aku tidak sedang melarikan diri, tapi sedang diizinkan pergi.
Aku menoleh ke belakang. Hutan itu diam, terlalu diam. Pohon-pohon berdiri tegak, seperti penjaga yang menatapku dengan sabun. Dan di tanah, tepat di belakangku, tergeletak burung hitam kecil. Matanya setengah terbuka, paruhnya menganga. Tapi ini bukan burung yang sama. Di sayapnya, ada tanda aneh—coretan merah, seperti simbol yang ditulis dengan darah.
Aku mundur perlahan, napasku tersengal. “Apa yang kalian inginkan dariku?”
Hutan tidak menjawab. Tapi angin kembali bertiup, membawa suara yang samar, seperti bisikan dari ribuan daun. “Kami akan memanggilmu kembali.”
Aku berbalik dan berlari lagi, kali ini tidak berhenti sampai kakiku menyentuh rumput di luar hutan. Cahaya matahari membakar kulitku, tapi aku tidak merasa lega. Aku menoleh ke belakang, ke kegelapan hutan yang kini terlihat seperti mulut raksasa yang menunggu. Aku selamat—atau begitulah yang kuharapkan.
Hari-hari berikutnya, aku mencoba melupakan. Aku pindah ke kota, menjauh dari hutan, dari alam, dari apa pun yang bisa mengingatkanku pada suara itu. Tapi setiap malam, aku bermimpi tentang burung-burung itu. Matanya menatapku, paruhnya bergerak, mengulang kata yang sama: “Lari.”
Dan suatu malam, saat aku terbangun dengan keringat dingin, aku mendengarnya—kepakan lemah di luar jendela. Aku tidak berani menoleh, tapi dari sudut mataku, aku melihat bayangan kecil di kaca. Seekor burung hitam, bertengger di ambang jendela, menatapku dengan mata yang terlalu cerdas untuk seekor hewan. Di sayapnya, ada tanda merah, sama seperti yang kulihat di hutan.
Aku menutup mata, berharap itu hanya mimpi. Tapi suara itu kembali, bukan dari luar, bukan dari burung, tapi dari dalam kepalaku, dalam dan berat seperti akar yang menembus bumi.
“Kami belum selesai denganmu.”
Aku tidak tahu apakah aku benar-benar melarikan diri dari hutan itu, atau apakah hutan itu telah menanamkan sesuatu di dalam diriku, menunggu waktu yang tepat untuk memanggilku kembali. Yang kutahu, setiap kali aku mendengar kepakan sayap, setiap kali aku melihat burung kecil di pinggir jalan, jantungku berhenti sejenak. Karena aku tahu, hutan itu masih mengawasi. Dan suatu hari, ia akan memutuskan apakah aku pantas hidup... atau menjadi seperti burung-burung itu.
-Tamat