Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Undangan dari Masa Lalu
Matahari bulan Juni terasa terik, menembus kaca mobil tua yang berderak melintasi jalan tanah berlubang. Debu mengepul di belakang, melukis siluet kendaraan itu seperti hantu di siang bolong. Di dalam, Ardi, si pengemudi, sesekali menyeka keringat di dahinya. Kemeja flanelnya sudah terasa lengket. Di kursi penumpang, Lila asyik memelototi peta digital di ponselnya, jarinya sesekali memperbesar detail, mengonfirmasi jalur. Di belakang, Fajar—selalu dengan kameranya—merekam setiap pemandangan yang terlewat, sementara Reva sibuk dengan buku catatannya, sesekali berbisik pada dirinya sendiri, merangkum poin-poin riset.
Mereka berempat adalah mahasiswa arkeologi tingkat akhir dari universitas terkemuka di ibu kota. Bukan sekadar mahasiswa biasa, mereka adalah tim inti proyek riset “Jejak Kolonial Jepang di Pedalaman Jawa Barat”. Seharusnya ini adalah kesempatan emas, puncak dari studi mereka. Mereka membawa izin riset resmi yang dicap tebal, plus surat rekomendasi dari Profesor Hadi, dosen pembimbing yang sangat mereka hormati. Tujuan mereka: Desa Wanaresmi, sebuah titik kecil di peta yang hampir tidak terlihat, tempat tersembunyi sebuah bunker peninggalan Jepang.
"Menurut GPS, kita sudah hampir sampai, Ardi," kata Lila, nadanya sedikit lega. Perjalanan dari kota besar memakan waktu berjam-jam, melewati jalan berliku yang semakin sempit dan sepi. Pepohonan besar menjulang tinggi di sisi jalan, menciptakan terowongan hijau yang dingin, kontras dengan suhu di luar.
"Akhirnya," gumam Fajar, menurunkan kamera dari matanya. "Aku mulai berpikir kita tersesat di dimensi lain."
Reva hanya tersenyung tipis. "Justru di tempat-tempat tersembunyi seperti ini, kita bisa menemukan jejak sejarah yang paling otentik. Mungkin ada hal-hal yang belum pernah tercatat di buku manapun." Matanya berbinar penuh antusiasme, seperti biasa. Baginya, setiap artefak, setiap situs tua, adalah teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan.
Mereka tiba di Wanaresmi sekitar pukul dua siang. Desa itu kecil, hanya terdiri dari beberapa rumah panggung kayu yang berjejer rapi di sepanjang jalan utama. Suasana begitu sunyi, hanya terdengar suara ayam berkokok dan angin berdesir di antara dedaunan. Beberapa pasang mata tua menatap mereka dari beranda rumah, penuh rasa ingin tahu dan sedikit kecurigaan.
Mobil Ardi berhenti di depan sebuah balai desa sederhana. Begitu mereka turun, seorang pria paruh baya dengan sarung yang melilit pinggang dan kopiah usang di kepala, berjalan mendekat. Wajahnya keriput, mencerminkan kerasnya hidup di desa, namun sorot matanya tajam dan ramah.
"Selamat siang, Nak," sapanya dengan suara serak. "Kalian yang dari kota itu, kan? Yang mau lihat bunker?"
Ardi maju selangkah, mengulurkan tangan. "Betul, Pak. Saya Ardi, ini teman-teman saya, Lila, Fajar...