Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Bunga yang Tak Sempat Mekar
3
Suka
909
Dibaca

Pontianak, 2015

 

Surat itu seharusnya ikut terkubur bersama perang, tapi sore itu cucuku menemukannya dari balik anyaman bambu tua.

Lusuh, beraksara Jepang, dan berbau lembap seperti kayu tua.

 

“Watashi wa ikite iru toki ni, jibun no inochi o seotte. Kimi no tame ni shinda.”

[Aku hidup dengan menanggung nyawaku sendiri. Tapi mati demi hidupmu.]

 

Zalya terdiam. Matanya membasah, tangannya menggenggam kertas itu erat. Tidak semua orang seusianya mampu memahami luka yang diwariskan generasi sebelumnya, tapi sore itu aku melihatnya—perasaan yang tak bisa diwariskan lewat kata, hanya lewat air mata.

 

“Zalya…” suaraku tertahan, tapi ia tidak menoleh. Bibirnya bergetar.

 

“Aku cuma… kenapa semua ini kayak baru sekarang terbuka, Ojii-san? Kenapa nggak dari dulu?”

 

Aku diam. Panggilan itu—Ojii-san, yang berarti kakek—mengingatkanku pada satu nama lain yang dulu dipanggil dengan gelar yang sama. Seseorang yang tak pernah sempat merasakan cucu memeluknya sambil memanggil “Ojii-chan”, seperti permintaannya dulu.

 

Okaa-san berjalan pelan ke arah kami, memegang sebuah bingkai foto usang. Napasnya lambat, suaranya nyaris bisikan.

“Surat-surat itu… dia sembunyikan. Dan dia memberitahu tempatnya, malam sebelum ia pergi.”

 

Matanya menatap jauh, seolah kembali ke hari dua generasi lalu—hari ketika sejarah dipisahkan oleh laut, perang, dan cinta yang tak bisa pulang.

 

Tangis Zalya jatuh membasahi tulisan tangan yang mulai pudar. Dan tangis itu… bukan tangis biasa. Itu jeritan jiwa.

 

Aku menatap surat itu sekilas. Aku tahu surat itu. Bahkan sebelum Zalya lahir. Ini bukan pertama kali aku melihatnya. Dan bukan pertama kalinya surat itu membuat seseorang menangis.

 

Puluhan tahun lalu, surat yang sama pernah mengguncang dunia seorang wanita. Okaa-san. Ibuku.

 

Dan aku…

 

Aku adalah anak laki-laki yang melihat ibunya hancur, tanpa tahu siapa yang harus ia salahkan—takdir, dirinya sendiri, atau lelaki dari surat-surat itu.

 

Aku masih ingat jelas. Dulu... setiap malam, Okaa-san duduk membelakangiku, di ruang tamu yang remang. Bahunya naik turun. Di tangannya ada selembar kertas yang tak pernah ia tunjukkan padaku, tapi aku tahu ia membacanya setiap malam.

 

Yang tak aku mengerti waktu itu adalah… kenapa surat itu tidak pernah selesai dibaca? Ia selalu berhenti di tengah. Lalu terdiam lama. Seakan ada satu kalimat yang terlalu berat untuk diselesaikan.

 

Suatu malam, aku memberanikan diri. “Okaa-san?” panggilku pelan.

 

Ia terkesiap, buru-buru menyembunyikan kertas di balik punggungnya. “Haru-chan... kau terbangun?”

 

“Okaa-san sedang apa?” tanyaku. Aku masih kecil, dan rasa penasaran jauh lebih besar dari ketakutan.

 

Okaa-san hanya tersenyum tipis, tapi matanya basah. “Bukan apa-apa. Kau sebaiknya tidur lagi.”

 

Aku menolak pergi. “Tapi... Okaa-san menangis. Okaa-san sedang membaca surat? Dari siapa?”

 

Perlahan, Okaa-san menghela napas. Dia memelukku erat. "Renji..." bisiknya pelan, seperti nama itu sebuah rahasia yang terlalu berat untuk diucapkan. "Surat ini... dari Renji."

 

Aku terdiam.

 

Malam itu, untuk pertama kalinya aku mendengar nama itu disebut lagi setelah sekian lama. Nama yang dilarang diucapkan di rumah ini—hanya terdengar dalam doa atau isakan lirih.

 

Renji. Renji Takeyama.

 

Waktu kecil, saat teman-temanku menggambar keluarga lengkap dengan figur ayah yang gagah dan tersenyum, aku hanya menggambar pohon. Pohon beringin, berdiri sendiri, tua, dan misterius. Seperti Okaa-san.

 

Aku tahu Okaa-san mencintai seseorang yang tak akan kembali. Tapi tidak pernah ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita yang dibagikan padaku saat itu. Hanya mata Okaa-san yang kadang menatap langit terlalu lama saat senja datang.

 

Tapi aku sadar Okaa-san bukan dewi. Bahkan di usia tiga belas tahun, aku sudah mengerti… beliau menyimpan luka yang tak pernah bisa sembuh.

 

Bertahun-tahun kemudian, barulah aku tahu tentang pria itu—tentang rahasia yang dikubur dalam sunyi. Rahasia tentang Otou-san. Ayahku.

 

Aku masih ingat pagi itu.

 

Usiaku mungkin belum genap tiga tahun. Tapi kenangan itu anehnya membekas, bahkan setelah puluhan musim hujan lewat di hidupku. Mungkin karena tubuh Okaa-san gemetar saat menggenggam tanganku. Atau karena sosok samar seorang lelaki yang memelukku, mencium keningku dengan sangat lama. Terlalu lama untuk orang yang kemudian tak pernah lagi hadir dalam hidupku.

 

Namanya Renji. Itu kudengar dari bisikan Okaa-san—bukan untuk memperkenalkan, tapi memanggil seseorang yang akan pergi sangat jauh.

 

Dia mencium perut Okaa-san yang saat itu sedang mengandung Minami, adikku. Lalu memeluk kami seolah kami dunia terakhirnya.

 

Aku tidak terlalu ingat kata-kata mereka. Hanya hujan. Aroma laut yang menusuk hidungku. Dan pelukannya, yang membuatku merasa hangat… lalu kosong.

 

Kemudian, lelaki itu naik kapal.

 

Okaa-san tidak menangis. Tapi matanya merah, dan tangan yang menggenggamku menggigil hebat. Ia berdiri lama sekali di ujung dermaga, bahkan setelah kapal itu tak lagi terlihat.

 

Aku memeluknya dari samping. “Okaa-san, ayo pulang, aku kedinginan,” rengekku.

 

Ia menunduk. Aku melihat air mata pertamanya jatuh, bercampur dengan air langit. “Okaa-san... kenapa?” tanyaku bingung.

 

Tanpa menjawab, ia berlutut, memelukku begitu erat. Tangisnya pecah seperti sebuah granat yang meledak. “Maafkan Okaa-san, Haru-chan ...”

 

Aku berkedip beberapa kali. Masih tak mengerti. “Karena apa?”

 

“Maafkan... kami...” isaknya makin kuat.

 

Aku tidak mengerti siapa yang dimaksud dengan ‘kami’, tapi aku membiarkan dia memelukku lama.

"Renji..." bisiknya, menumpahkan kesedihan yang tak bisa lagi ia simpan. "Dia tak akan kembali..."

Aku tidak mengerti, tapi kupeluk dia balik. Kuusap punggungnya pelan. Yang aku tahu... itu adalah cara meredakan tangisan.

 

"Aku di sini, Okaa-san,” kataku, meniru kalimat yang biasa ia ucapkan setiap kali aku menangis.

 

Malam itu ia tak bicara apa pun. Dan sejak hari itu… nama Renji tak pernah disebut lagi di depanku.

 

Tapi seiring waktu, perlahan aku tahu kisah sebenarnya.

 

Aku tidak ingat semua, hanya dari potongan-potongan yang diceritakan Okaa-san… dari suara yang bergetar saat ia mengenang… aku bisa membayangkannya.

 

Hujan. Aroma laut yang asin. Langkah kaki terakhir Otou-san saat ia berpaling dan tak pernah kembali…

 

Yang belum kuketahui saat itu… adalah alasan sebenarnya kenapa ia pergi.

Dan ketika akhirnya aku tahu, puluhan tahun kemudian… rahasia itu nyaris menghancurkan semua yang pernah kupercayai tentang cinta, perang, dan keluarga.

Sejak hari itu, aku mengerti... tak semua ayah yang pergi, akan kembali.

 

🥀🥀🥀

 

Kalimantan Barat, 1946

 

Aku ingat betul bagaimana gerimis itu menari-nari di atas genangan air, memantulkan cahaya fajar yang remang. Aroma tanah basah bercampur asinnya laut menyeruak ke udara, dinginnya menembus sampai ke tulang. Di ujung dermaga kayu yang licin dan basah, Otou-san—Renji—berdiri tegak membelakangi kapal yang sudah siap berlayar. Di belakangnya berdiri Souta, kakaknya, diam membatu, seperti bayangan yang enggan berpisah.

Namun, mata Otou-san tak pernah lepas dari satu titik. Dari Okaa-san. Saat itu, aku berdiri di sampingnya, menggenggam tangan hangatnya yang bergetar. Kami hanya berjarak beberapa meter dari Otou-san, tapi jarak itu terasa seperti sebuah jurang lebar yang tak mungkin diseberangi.

Tubuh Otou-san tampak menegang ketika Souta membisikkan sesuatu, suaranya datar namun tegas. "Kalau kau tetap di sini, mereka akan memburumu. Menangkapmu. Mengeksekusimu. Tapi kalau kau pulang... Senara bisa hidup tenang."

Aku tidak mengerti semua yang mereka katakan saat itu, tapi aku tahu—bahwa sesuatu akan berakhir.

Aku menatap wajah Okaa-san. Ia tidak menangis keras, tidak meraung. Tapi matanya merah. Sorot itu... terlalu dalam untuk dipahami oleh anak seusiaku. Luka yang nyaris tumpah, meski bibirnya tetap terkatup rapat.

Tiba-tiba, Otou-san berlari ke arah kami.

"Renji...!" teriak Souta. Aku masih mengingat bagaimana suara itu terdengar seperti peringatan—tajam dan panik.

Dalam sekejap, Otou-san sudah memeluk Okaa-san. Erat. Tubuh mereka bertaut dalam pelukan yang menyakitkan untuk kulihat. Okaa-san melepas tanganku, lalu membalas pelukan itu. Diam, tanpa kata.

Mereka berciuman lama—bukan hal yang kupahami waktu itu, tapi aku tahu itu bukan perpisahan biasa.

Lalu, Otou-san menunduk. Matanya tidak menatap Okaa-san lagi.

Okaa-san mengangkat tangannya, menyentuh pipi Otou-san.

“Renji…” suara Okaa-san pecah, lirih, hampir kalah oleh desiran angin dan rintik gerimis. “Apa kau… tidak ingin melihatku?Lihatlah… sekali saja… untuk yang terakhir kali.”

Otou-san terlihat menggeleng pelan. “Jika aku melihatmu… aku… tidak akan sanggup pergi, Nara-chan. Aku takut… wajahmu akan terus muncul… dan membuatku mimpi buruk setiap malam. Aku takut tak sanggup bertahan di sana.”

Aku mendengar suara Otou-san retak. Sebuah pengakuan yang lebih menyakitkan dari seribu tusukan pedang.

Okaa-san mengangguk pelan. Ada senyum di wajahnya, senyum getir yang membuat dadaku terasa aneh.

"Baiklah. Kalau begitu… ingatlah aku seperti malam-malam kita yang dulu… di hutan. Di gubuk. Saat aku belum tahu apa pun tentang dunia… selain dirimu.”

Otou-san membuka mata. Wajahnya penuh luka. Bukan luka perang. Tapi luka karena perpisahan. “Jangan… katakan itu…”

“Aku harus,” potongnya lirih, jemarinya menyentuh pipi Otou-san. “Terima kasih… atas semua kenangan itu… Tuan Takeyama. Karena kau... telah menjagaku dengan segenap jiwa ragamu.”

Nada bicara Okaa-san berubah. Mencoba tegar, tapi suaranya terdengar patah. Ia menekan kata ‘Tuan Takeyama’ seolah ingin menegaskan jarak yang kembali terbentang di antara mereka.

“Aku berharap… kau dapat hidup bahagia… di sana,” lanjutnya, suaranya kian rapuh. “Meskipun… bukan denganku.”

Kalimat itu terlihat jelas menghantam Otou-san seperti bongkahan batu besar. Matanya yang semula tertunduk kini langsung terangkat, menatap wajah Okaa-san yang matanya merah, air mata mengalir deras. Kata-kata Okaa-san barusan, yang begitu tulus merelakan, seolah berkata bahwa ia sudah merestui seandainya Otou-san bertemu wanita lain dan memulai hidup baru.

“Kau pikir aku akan semudah itu menggantikan posisimu di hatiku... dengan orang lain, Nara-chan?” Suaranya serak, penuh kepedihan yang mendalam.

Okaa-san menjawab dengan lirih, “Kau harus melanjutkan hidup, Renji. Aku sudah merasa cukup dengan semua kenangan yang kita miliki. Kau juga sudah memberiku hadiah terindah…” Ia menurunkan tangan dan memegang perutnya yang masih rata. “…yaitu Haruki... dan adiknya.”

Otou-san tampak membeku.

“Aku akan bahagia di sini, karena aku bisa melihatmu lewat wajah anak-anak kita,” lanjut Okaa-san, matanya menatap Otou-san dengan seluruh cinta yang ia miliki.

Okaa-san menunduk sebentar, lalu menatap Otou-san penuh keyakinan. “Tapi kau di sana… tidak punya siapa-siapa. Maka kau juga harus menemukan kebahagiaanmu.”

“Nara-chan...”

"Berjanjilah padaku, Renji. Tolong..."

Tak ada jawaban. Ia hanya menariknya kembali ke pelukan yang lebih erat, seperti ingin menahan waktu. Lalu Otou-san berlutut, mencium perutnya perlahan.

"Beri dia nama Minami... kalau anak kedua kita adalah perempuan. Kalau laki-laki... kau bebas memberinya nama apa pun yang kau suka, Nara-chan."

Minami...

Otou-san membisikkan nama Minami untuk putrinya, bukan tanpa alasan. Di kemudian hari, ketika lebih dewasa aku tahu kenapa dia memilih nama itu.

Minami... berarti “selatan”—sebuah penanda arah, dan janji yang sunyi. Saat ia kembali ke utara, ke negerinya yang dingin dan jauh, nama itu mungkin menjadi pengingat abadi bahwa sebagian dari dirinya—cinta, darah, dan kenangan—tetap tinggal di selatan. Di tempat istri dan anak-anaknya hidup.

Nama itu adalah caranya mencintai dari kejauhan, dan mengikat ingatannya pada tanah yang tak pernah benar-benar ia tinggalkan.

Kemudian, ia menatapku. Matanya lembut tapi penuh kesedihan. Ia berjongkok, menyamai tinggiku, lalu memegang pundakku.

"Dengar, Haru-chan," katanya, dengan suara bergetar. "Otou-san akan pergi. Mungkin akan sangat lama. Tapi Otou-san ingin kau tahu, kalau Otou-san... sangat menyayangimu."

Aku mengangguk, tak sepenuhnya paham. Tapi aku tahu itu penting.

"Otou-san minta, sebagai anak lelaki pertama, tolong Otou-san untuk menjaga Okaa-san... dan juga adikmu. Berjanjilah pada Otou-san, Haru-chan."

"Baik, Tou-san," jawabku kecil. Aku sungguh tak tahu janji sebesar apa yang baru saja aku ucapkan.

Otou-san memelukku, mengecup keningku lama sekali. Lalu berdiri dan memeluk Okaa-san untuk terakhir kalinya.

Kemudian, ia berbalik. Langkahnya mantap, tak menoleh, menaiki kapal di ujung dermaga. Melewati Souta yang berdiri diam menunggunya.

Souta menatap kami. Menganggukkan kepalanya sekali pada Okaa-san, sebelum akhirnya menyusul Otou-san naik ke kapal.

Saat kapal bergerak menjauh, aku melihat Okaa-san berdiri mematung. Hujan makin deras. Wajahnya basah oleh air langit dan air matanya sendiri. Ia tidak mengejar. Hanya diam. Tapi diamnya saat itu... terasa memekakkan telingaku saat ini.

Mereka berpisah dengan air mata, tidak ada kabar selanjutnya.

Okaa-san membesarkan anak cucu mereka dengan menyematkan nama Takeyama, dan gelar Ojii-chan buat Otou-san. Kami tidak pernah tahu apakah Otou-san masih hidup atau meninggal di Jepang. Okaa-san hanya menyimpan nama "Takeyama" dalam hati dan sebagai nama keluarga kami.

Sejak hari itu… kami tidak pernah menyebut nama Renji lagi.

Kami tak pernah melihatnya lagi, atau mendengar kabarnya. Kami hanya tahu, Otou-san telah pergi.

Tak akan pernah kembali.

Okaa-san pernah berkata, ia lega.

Karena setidaknya, Otou-san tidak dieksekusi di tanah ini.

Tapi kami tahu...

Renji Takeyama mungkin masih bernyawa.

Namun hidupnya bukan lagi milik kami.

 

 

🥀🥀🥀

 

“Apa Ojii-chan Renji benar meninggal di Jepang, Obaa-chan?” bisik Zalya.

Okaa-san tersenyum. Tak menjawab langsung. Ia berjalan pelan ke belakang rumah, ke sebuah batu kecil yang terbenam separuh di tanah. Tanpa pagar. Tanpa upacara. Hanya tulisan tangan pudar yang diukir dengan pisau lama.

“Renji Takeyama– Mati demi cinta yang tak pernah bisa dimiliki, tapi tak pernah hilang.”

“Aku yang buat makam itu,” kata Okaa-san. “Biar orang-orang tahu, cintaku sudah kukubur. Tapi bukan dia.”

Zalya memeluknya. “Kalau waktu itu... dia masih hidup?”

Okaa-san menatap cicitnya dalam-dalam. “Lihat generasi kalian. Lihat nama keluarga kita. Lihat hatiku.”

Dan Zalya tahu... Kami tahu...

Jawabannya bukan pada makam.

Tapi pada semua yang tak pernah selesai…

Dan justru karena itulah, hidup berlanjut.

Kami lahir dari darah yang tidak sederhana—ayah seorang Jepang, ibu seorang Melayu-Dayak, dan di antara mereka ada luka yang diwariskan sejarah. Termasuk luka bernama Mandor.

Di desa kecil dekat perbatasan Kalimantan Barat, nama itu tak pernah disebut sembarangan. Terlalu banyak tubuh dikubur tanpa nama, terlalu banyak keluarga yang menelan pil pahit kehilangan tanpa sempat mengucapkan perpisahan. Termasuk mereka yang dicintai Okaa-san.

Setiap senja, ia meletakkan setangkai bunga di batu kecil itu. Tak pernah menangis, tapi wajahnya selalu tampak kosong dan lelah, seolah separuh jiwanya ikut terkubur.

Tahun-tahun berlalu. Okaa-san tidak menikah lagi. Ia membesarkan aku dan adik perempuanku, Minami, dengan penuh cinta dan kesederhanaan. Ia adalah ibu yang tangguh, kuat, dan penuh tawa. Tapi di dalam matanya... selalu ada kesedihan yang tak bisa sembuh.

Aku tumbuh besar, dan menjadi kepala keluarga. Menggantikan posisi Otou-san untuk menjaganya dan Minami. Aku tahu, aku adalah pria satu-satunya di rumah ini. Tapi aku tak bisa menggantikan posisi Otou-san di hati Okaa-san.

Suatu sore, aku memberanikan diri bertanya,

“Okaa-san, kenapa tak mencari pengganti Otou-san? Okaa-san masih cantik, Okaa-san berhak bahagia,” kataku, suatu hari.

Okaa-san hanya tersenyum. “Ada janji yang harus kutepati, Haru-chan. Janji yang terlalu suci... yang tak bisa kuingkari.”

Okaa-san tak pernah menceritakan semuanya. Tapi dari potongan cerita yang terkumpul, aku tahu, Otou-san pergi bukan karena tak cinta, tapi karena dipaksa... oleh Okaa-san sendiri.

Setelah identitasnya terungkap sebagai salah satu komandan yang terlibat eksekusi di Sanggau dan tragedi Mandor, ia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer Sekutu. Setahun setelah Indonesia merdeka.

“Aku tak sanggup lihat jasadmu dikubur di sini, lalu hidup berdampingan dengan makammu,” bisik Okaa-san padanya saat itu.

Dengan bantuan Souta, ia memaksa Otou-san pulang ke Jepang. Souta menyelamatkannya, dengan syarat... tak pernah kembali ke Indonesia, tak menghubungi Okaa-san, tidak menoleh.

Keputusan itu bukan tanpa air mata. Bukan tanpa luka. Mereka sama-sama tahu, itu berarti perpisahan selamanya. Tapi cinta terbesar… kadang bukan tentang menggenggam erat. Melainkan berani melepas, agar yang dicintai tetap hidup.

Bagi Otou-san, penghilangan jejak bukan karena takut mati, tapi untuk melindungi. Ia takut jika kematiannya membuat kami ikut terseret. Ia memilih lenyap dari sejarah, menjadi nama yang tak lagi disebut, agar kami tak hidup dalam bayang-bayang identitasnya yang mungkin akan terus diburu.

Otou-san memilih pengasingan sebagai wujud cinta terakhir—menjadi luka yang disembunyikan, bukan tragedi yang membekas di tubuh kekasihnya.

Dan pada malam terakhir, perpisahan itu akhirnya tiba.

Otou-san memeluk Okaa-san erat.

“Kalau kau tetap di sini... kau akan mati. Kalau kau pulang, aku memang hancur. Tapi setidaknya aku tahu kau akan hidup lebih lama,” bisik Okaa-san, gemetar.

Okaa-san melanjutkan dengan mata berair.

“Aku sudah tahu dari awal... cinta ini tak akan punya rumah. Tapi aku tetap tak pernah menyesal telah melewati semua ini bersamamu.”

Ia mengangkat tangannya, menyentuh wajah Otou-san, menatapnya seolah ingin mengukir setiap garis di sana.

“Kalau kau mencintaiku... pulanglah, Renji. Pergilah seolah kita tak pernah ada. Meski itu berarti… tak bisa lagi bersamaku. Asal aku tahu kau baik-baik saja... mungkin aku bisa terus hidup—walau dengan jantung yang tak pernah berdetak normal lagi.”

Mereka saling menatap dalam hening.

Otou-san mencoba menghafal mata itu. Aroma rambut basah itu. Ujung suara pelan yang selalu memanggilnya,

“Nara-chan…”

Okaa-san tak menangis, tapi matanya retak.

“Jangan kirim surat. Jangan tinggalkan jejak. Jangan beri aku harapan yang takkan pernah datang dan akan kutunggu seumur hidup. Biarkan aku mengenangmu... bukan menunggumu. Karena itu satu-satunya cara aku bisa bertahan.”

Otou-san tak berkata apa-apa. Ia hanya mendekap Okaa-san dalam diam, lalu melepasnya seperti melepas hidupnya sendiri.

Dan Otou-san pun pergi keesokan pagi, membawa jiwanya yang tak utuh... kembali ke negeri yang telah kehilangan makna baginya.

Okaa-san membesarkan keluarga sendirian. Tegar di luar, hancur di dalam. Tidak ada foto Otou-san yang dipajang di rumah. Tidak ada surat. Tidak ada tanda bahwa ia pernah ada—kecuali di hatinya.

***

Puluhan tahun kemudian, Zalya duduk di samping Okaa-san. Mendengar langsung semua kisah masa lalu mereka. Tanpa ada yang disembunyikan lagi.

“Obaa-chan... kenapa nggak pernah menikah lagi?”

Okaa-san tersenyum samar, seperti mengenang hujan yang tak pernah reda.

“Karena aku sudah pernah mencintai seseorang… lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Dan setelah dia pergi… tak ada yang bisa menggantikan cara dia memanggilku… Nara-chan.

Aku tertunduk. Begitu pula Zalya. Meresapi setiap untaian kalimat Okaa-san yang begitu menyesakkan.

“Kalau aku wafat nanti… kuburkan aku bersama barang-barangnya. Surat, seragam, bunga yang mengering… semuanya. Karena di situlah… separuh jiwaku tinggal.”

Saat hari itu tiba, aku memenuhi permintaannya.

Ia dimakamkan di samping sebuah batu kecil bertuliskan:

Renji Takeyama— 1921-???

Tak ada jasad Otou-san. Hanya kotak kecil berisi kenangan yang tak pernah sempat pulang. Surat-surat terakhir Otou-san, seragam militernya, dan bunga kering dari hutan Kalimantan—yang dulu pernah ia petikkan untuk Okaa-san.

Zalya berdiri di samping pusara itu. Matanya sembab.

“Apa kita tak pernah mencari jejak Ojii-chan Renji?” bisiknya.

Aku tak menjawab. Okaa-san sudah melakukannya jauh sebelum aku sempat mencoba mencari tahu. Namun, dalam arsip militer Jepang, tidak ada catatan bahwa pernah ada perwira muda berpangkat Rikugun-Shōi yang bernama Takeyama Renji di barak militer Ninti, Mandor.

Mungkin Souta Takeyama telah menghapus dan menghilangkan semua bukti tentang keberadaan mereka di tanah ini. Nama mereka berdua bahkan telah digantikan oleh nama lain yang tak kami kenal sama sekali.

Okaa-san hanya pernah berkata padaku. Malam saat mereka akan berpisah. Ia merelakan kepergiannya dengan sebuah harapan.

Harapan akan bertemu kembali di kehidupan yang lain.

"Renji... jika hidup mempertemukan kita lagi, bahkan dalam reinkarnasi, aku akan mengenalmu hanya dari caramu memanggilku… Nara-chan."

Dan aku percaya, itu lebih dari cukup.

🥀🥀🥀

Pontianak, 2025

Sore berwarna kelabu. Aku menutup lembaran surat yang Otou-san tulis. Hanya satu surat ini yang kusimpan. Sedangkan suratnya yang lain, aku kebumikan bersamaan dengan jasad Okaa-san.

Aku akan menyimpannya. Karena hanya di surat ini Otou-san menuliskan pesan untukku. Pesan yang selalu kubaca berulang-ulang hingga tiap huruf dan spasinya kuhafal.

Aku menyimpannya bukan karena isinya menguatkanku. Tapi karena ini satu-satunya warisan dari Otou-san yang bisa aku raba dan aku genggam.

Satu-satunya kenangan yang kumiliki tentangnya.

Dan aku takut... jika aku berhenti membaca, maka aku akan benar-benar melupakannya.

“Nara-chan...

Aku tak ingin Haruki tumbuh dan membaca buku sejarah yang menyebut namaku sebagai monster.

Aku ingin dia mengenalku dari cerita ibunya. Tentang seorang ayah yang menanam bunga.

Bukan seorang pembunuh berseragam.

 

Nara-chan,

Jika aku benar-benar tak bisa kembali kali ini... tolong tanamlah bunga itu.

Yang dulu kau bilang ingin kau lihat mekar.

Tanamlah untukku. Untuk kita.

Dan ajarkan anak kita nanti... bahwa cinta bukan tentang memiliki.

Tapi tentang bertahan.

Walau hanya dalam kenangan.”

Dulu, waktu kecil, aku sering duduk di depan meja tua Okaa-san, menatap lukisan bunga yang tak pernah mekar di halaman rumah kami.

Aku tak tahu mengapa ia tak pernah menanamnya, padahal tanah Kalimantan subur, dan cuacanya mendukung.

Baru hari ini aku mengerti.

Ia bukan tak bisa—ia hanya tidak sanggup melihatnya mekar, tanpa kehadiran orang yang pernah berjanji akan menanamnya bersama.

Kini, Zalya telah menuliskan kisah itu. Kisah yang dulu hanya hidup dalam bisik dan ingatan, sekarang tertuang utuh… dengan hati.

Meski Okaa-san telah tiada—dan mungkin di tempat lain, Otou-san pun telah menyusul—lewat tulisannya, cinta mereka akan tetap hidup.

Melintasi waktu, menjangkau hati mereka yang tak pernah mengenal nama-nama itu… tapi bisa merasakannya.

Kubuka lembar halaman terakhir novel karya Zalya. Lalu berpindah duduk di depan makam Okaa-san, membaca baris demi baris tulisan cucuku dengan saksama.

“Kami tidak tahu apakah Ojii-chan Renji meninggal di kapal, di pengasingan, atau di antara salju Jepang. Tapi kami tahu... bahwa cinta itu pernah ada. Dan kami berdiri di sini karenanya.”

Nama Takeyama bukan warisan. Itu adalah janji.

Dan janji itu, bahkan jika tak bisa ditepati... akan tetap dikenang, ditanam, dan diwariskan. Seperti bunga liar Kalimantan yang pernah ia petikkan untuk Obaa-chan—meski tak pernah mekar kembali.

Obaa-chan, eyangku, tidak menunggu dalam rasa sedih. Ia hidup, tertawa, membesarkan anak-cucunya. Tapi hatinya... tidak pernah benar-benar dimiliki siapa pun lagi.

Karena cinta sejati bukan siapa yang tinggal sampai akhir...

Tapi siapa yang masih kau pilih, bahkan setelah mereka pergi.”

—Zalya Hana Takeyama, Renji & Senara : Kisah yang Tak Pernah Tuntas

Tamat

(…tapi hanya di atas kertas. Di hati, mereka akan tetap ada. Selamanya...)

Aku menutup buku itu perlahan. Memejamkan mata.

Dan setiap kali aku menutup mataku, aku masih bisa melihat seorang pria berseragam asing...

Menanam bunga di bawah matahari Kalimantan.

Menoleh padaku sambil tersenyum...

Seakan aku adalah alasan ia tetap hidup.

—Haruki Takeyama—

Seorang pria tua yang selalu merindukan ayahnya.

 

🥀🥀🥀🥀🥀 

∆ Catatan Penulis ∆

Tragedi Mandor Berdarah adalah pembantaian massal yang terjadi di Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat pada tahun 1944, ketika pasukan pendudukan Jepang mengeksekusi lebih dari 21.000 orang—mayoritas dari kalangan cendekia, tokoh masyarakat, dan keluarga mereka.

Sebagian besar korban tidak pernah ditemukan jasadnya.

Cerita ini adalah fiksi. Tapi luka sejarah itu nyata.

Dan seperti bunga yang tak sempat mekar,

Beberapa cinta pun gugur tanpa sempat menyebut nama.

Tambahan :

Cerpen ini merupakan bagian dari semesta novel Cinta Terlarang di Tanah Jajahan.

Membaca novel utama akan memberi gambaran utuh, tapi cerpen ini bisa dinikmati secara mandiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Little Sun
Ei
Komik
David and his ordinary life
Tri Agustinauli
Skrip Film
LOST BUT FOUND
Nadya Octaviana
Flash
PESAN UNTUK MELATI HATI
Deasy Wirastuti
Flash
Bronze
Mengatasi Rotasi
Silvarani
Flash
Momen Ketika (Duduk)
Rizqi Khoirul Hakim Sholihin
Cerpen
Kemboja Kelopak Empat
Suryawan W.P
Cerpen
Pelantara Hijrah
Ismawati
Cerpen
Bunga yang Tak Sempat Mekar
Desy Cichika
Novel
Dream Trace
Nur Rahma
Novel
Gadis jari Lucah dan Gadis pemalu
Dhailillah
Novel
Bronze
Balada Sepasang Kekasih Gila
Han Gagas
Novel
Bronze
Gerimis di Musim Kemarau
Syamsul arif
Skrip Film
LISTEN (SCRIPT)
Ika Karisma
Skrip Film
TROUBLESOME CHOISE
Eka Kartika D S P
Rekomendasi
Cerpen
Bunga yang Tak Sempat Mekar
Desy Cichika
Flash
Reuni
Desy Cichika
Novel
Pretty Boy for Sheana
Desy Cichika
Novel
Cinta Terlarang di Tanah Jajahan
Desy Cichika
Cerpen
Error 404, Identity Not Found
Desy Cichika