Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pontianak, 2015
Surat itu seharusnya ikut terkubur bersama perang, tapi sore itu cucuku menemukannya dari balik anyaman bambu tua.
Lusuh, beraksara Jepang, dan berbau lembap seperti kayu tua.
“Watashi wa ikite iru toki ni, jibun no inochi o seotte. Kimi no tame ni shinda.”
[Aku hidup dengan menanggung nyawaku sendiri. Tapi mati demi hidupmu.]
Zalya terdiam. Matanya membasah, tangannya menggenggam kertas itu erat. Tidak semua orang seusianya mampu memahami luka yang diwariskan generasi sebelumnya, tapi sore itu aku melihatnya—perasaan yang tak bisa diwariskan lewat kata, hanya lewat air mata.
“Zalya…” suaraku tertahan, tapi ia tidak menoleh. Bibirnya bergetar.
“Aku cuma… kenapa semua ini kayak baru sekarang terbuka, Ojii-san? Kenapa nggak dari dulu?”
Aku diam. Panggilan itu—Ojii-san, yang berarti kakek—mengingatkanku pada satu nama lain yang dulu dipanggil dengan gelar yang sama. Seseorang yang tak pernah sempat merasakan cucu memeluknya sambil memanggil “Ojii-chan”, seperti permintaannya dulu.
Okaa-san berjalan pelan ke arah kami, memegang sebuah bingkai foto usang. Napasnya lambat, suaranya nyaris bisikan.
“Surat-surat itu… dia sembunyikan. Dan dia memberitahu tempatnya, malam sebelum ia pergi.”
Matanya menatap jauh, seolah kembali ke hari dua generasi lalu—hari ketika sejarah dipisahkan oleh laut, perang, dan cinta yang tak bisa pulang.
Tangis Zalya jatuh membasahi tulisan tangan yang mulai pudar. Dan tangis itu… bukan tangis biasa. Itu jeritan jiwa.
Aku menatap surat itu sekilas. Aku tahu surat itu. Bahkan sebelum...