Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Bunga yang Tak Pernah Layu
2
Suka
146
Dibaca

Di negeri Aerelis, di mana langit senantiasa berwarna keperakan dan matahari tenggelam dalam kelopak bunga teratai raksasa, hiduplah seorang gadis bernama Eirene. Ia bukan bangsawan, bukan pula penyihir hebat seperti mereka yang sering diceritakan dalam balada istana. Ia hanyalah penjaga taman kerajaan, seorang gadis sederhana dengan tangan lembut yang selalu kotor oleh tanah, namun menciptakan keindahan yang menenangkan mata siapa pun yang melihatnya.

Setiap pagi, Eirene menyiram bunga-bunga dengan air dari Sungai Aethra, air suci yang dipercaya membawa kehidupan. Dan di antara semua bunga yang tumbuh di taman, ada satu bunga yang selalu ia rawat dengan paling hati-hati, mawar putih yang tidak pernah layu.

Konon, bunga itu adalah peninggalan dari Permaisuri Aira, penyihir agung yang dahulu melindungi Aerelis dengan kekuatan cinta sejatinya.

Namun, sejak kematian Permaisuri Aira, bunga itu kehilangan kilau sihirnya. Tak ada yang bisa membuatnya kembali bercahaya, sampai Eirene datang.

Suatu sore yang sunyi, saat langit memudar menjadi ungu dan bintang pertama muncul, Eirene mendengar langkah seseorang di balik semak mawar.

“Tidak seharusnya seorang gadis sendirian di taman ini setelah matahari terbenam,” suara itu dalam, tenang, dan membawa hembusan angin malam.

Eirene menoleh. Seorang pria berdiri di hadapannya, tinggi, berambut hitam keperakan, dan mata birunya memantulkan cahaya bulan. Ia mengenakan jubah kerajaan berwarna kelam, dihiasi simbol naga terbang.

“Maaf,” kata Eirene, menunduk hormat. “Saya tidak tahu taman ini tutup malam hari.”

Pria itu tersenyum tipis. “Aku hanya khawatir kau akan tersesat. Banyak roh bunga yang berkeliaran di malam hari. Mereka suka mencuri napas manusia yang terlalu wangi.”

Eirene menahan tawa kecil. “Kalau begitu aku beruntung, karena tanganku lebih berbau tanah daripada wangi.”

Tawa kecil keluar dari bibir pria itu. Lalu, entah mengapa, ia mendekat dan pandangannya jatuh pada mawar putih yang tumbuh di tengah taman.

“Bunga itu...” katanya pelan. “Kau yang menjaganya?”

Eirene mengangguk. “Setiap hari. Tapi... entah kenapa, meski tak pernah layu, bunga ini juga tak pernah mekar penuh.”

Pria itu menatap bunga itu lama, lalu menyentuh kelopaknya dengan lembut. Seberkas cahaya biru samar menyala di jari-jarinya.

“Nama bunga ini adalah Rosa Aira. Ia tumbuh dari air mata cinta yang tak terbalas,” katanya lirih. “Dan konon... hanya akan mekar jika seseorang mencintai dengan tulus tanpa mengharapkan balasan.”

Eirene terpana. “Kau tahu banyak tentangnya. Siapa kau sebenarnya?”

Pria itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum samar. “Seseorang yang dulu mengenal sang Permaisuri. Kau boleh memanggilku... Alden.”

Sejak malam itu, Alden sering datang ke taman. Kadang ia hanya duduk diam sambil menatap bunga-bunga, kadang bercerita tentang dunia di luar istana, hutan bercahaya, danau tempat bintang jatuh, hingga menara kristal yang hanya muncul setiap seratus tahun sekali.

Eirene menyukai suaranya. Ada sesuatu yang menenangkan dari setiap kata yang keluar dari bibirnya, seolah waktu melambat hanya untuk mereka berdua.

Namun, setiap kali Eirene bertanya siapa dia sebenarnya, Alden selalu mengalihkan topik.

Hingga suatu malam, ketika hujan turun dan taman diselimuti kabut lembut, Eirene menemukan Alden berdiri di bawah pohon mawar putih, matanya bersinar sendu, dan di tubuhnya berkilau sisik-sisik perak seperti serpihan bintang.

“Alden...” bisik Eirene, tertegun. “Kau... bukan manusia?”

Ia menatapnya dengan senyum getir. “Aku adalah Penjaga Mawar, roh yang terikat pada bunga itu sejak ratusan tahun lalu. Dulu, aku manusia, seorang kesatria yang mengorbankan nyawanya demi melindungi sang Permaisuri. Cinta yang tidak pernah terucap, berubah menjadi kutukan. Sejak saat itu, aku hidup di antara dunia, menjaga bunga yang lahir dari air mata kami.”

Eirene menatapnya, jantungnya bergetar. “Jadi... selama ini kau terjebak di taman ini?”

Alden mengangguk pelan. “Dan hanya cinta sejati yang bisa memutuskan kutukanku. Tapi cinta sejati itu... bukan milikku.”

Keheningan panjang mengisi udara, hanya diiringi suara hujan yang menetes pelan ke daun. Eirene menggigit bibirnya. “Bagaimana jika seseorang mencintaimu sekarang?”

Alden menatapnya, seolah tak percaya. “Eirene...”

“Aku tidak tahu sejak kapan,” lanjut gadis itu, suaranya gemetar tapi tulus. “Tapi setiap kali kau datang, taman ini terasa hidup. Aku tahu kau bukan manusia biasa, tapi bagiku, kau nyata. Dan aku... mencintaimu.”

Bunga mawar putih itu tiba-tiba bersinar. Cahaya lembut mengalir di sekeliling mereka, hangat seperti sinar pagi.

Alden menunduk, wajahnya diwarnai kesedihan yang indah. “Jika aku menerimanya, kau akan kehilangan sihirmu, Eirene. Cinta manusia tidak bisa bersatu dengan roh abadi tanpa ada yang dikorbankan.”

Eirene tersenyum lembut. “Kalau cinta harus diperjuangkan tanpa kehilangan apa pun, itu bukan cinta sejati, kan?”

Air mata menetes dari mata Alden, bukan air mata biasa, tapi serpihan cahaya perak yang jatuh ke tanah dan berubah menjadi bunga-bunga baru. Dalam cahaya itu, tubuhnya mulai memudar.

“Aku tidak ingin pergi... tapi akhirnya aku bisa bebas, karena cintamu.”

Ia menyentuh wajah Eirene untuk terakhir kali, hangat seperti musim semi.

“Jika bunga ini kembali mekar setiap tahun, itu artinya aku masih bersamamu.”

Dan setelah itu, Alden lenyap, bersama cahaya, meninggalkan hanya mawar putih yang kini mekar sempurna di tengah taman, kelopaknya memantulkan cahaya bulan.

Bertahun-tahun berlalu.

Taman kerajaan kini dikenal sebagai Taman Bunga yang Tak Pernah Layu, dan setiap musim semi, mawar putih itu selalu mekar lebih indah dari sebelumnya. Banyak yang datang untuk melihatnya, tapi hanya satu orang yang selalu duduk di bawahnya setiap sore, seorang wanita muda dengan rambut cokelat lembut, mengenakan pita perak di lehernya.

Eirene masih menjaga taman itu. Namun kini, setiap kali angin bertiup, ia mendengar suara lembut yang berbisik di telinganya,

“Aku masih di sini.”

Dan entah kenapa, setiap kali bunga itu mekar, kelopaknya selalu bergetar seolah menahan rindu, rindu yang tidak berakhir, namun juga tidak menyakitkan. Kadang Eirene menatap langit keperakan Aerelis, membayangkan Alden di antara bintang-bintang, tersenyum padanya. Kadang ia berbicara pelan, seolah pria itu masih duduk di sampingnya, mendengarkan setiap ceritanya tentang hari-hari di taman.

Suatu malam, ketika angin musim semi berhembus lembut, Eirene menulis di buku kecilnya: “Cinta tidak selalu berarti bersama. Kadang, cinta hanya berarti mengingat, menjaga, dan tetap menumbuhkan sesuatu yang indah meski dunia berubah.”

Ia menutup bukunya, menatap mawar putih yang bercahaya kilau lembut di bawah bulan.

Karena di dunia Aerelis, cinta sejati bukanlah milik mereka yang bisa menggenggam, tapi mereka yang tetap mencintai, meski hanya lewat kenangan.

Dan di antara cahaya perak yang jatuh perlahan malam itu, bunga mawar tampak bergetar lembut, seolah tersenyum.

-TAMAT-

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Bronze
Jejak Yang Tak Terhapuskan
lidia afrianti
Cerpen
Bunga yang Tak Pernah Layu
shaa
Novel
Cinta itu gila
fabian
Novel
Bronze
PACAR VIRTUAL
Cia
Skrip Film
Anemoi
Fey Mega
Cerpen
Bronze
Aku Mencintaimu Seperti Khalil Gibran Pada May Zaidah
Ranang Aji SP
Novel
Bronze
CINTA DIBALIK CADAR
Herofah
Novel
Pantas
bloomingssy
Novel
Bronze
DI kejar Dosa Masa Lalu
Pricilia Zhany
Skrip Film
UNDERAGE MARRIAGE (SERIES SCRIPT)
Ika Karisma
Novel
Paintease
Delima Ami
Komik
Bronze
Experience
Nova ari ismawan
Cerpen
Boulevard
Dina prayudha
Flash
Hai, terima kasih, sampai jumpa lagi, pamit
pelantunkata
Cerpen
Bronze
Bermula di Sebuah Bimbel
Nuel Lubis
Rekomendasi
Cerpen
Bunga yang Tak Pernah Layu
shaa