Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di jalan kecil yang dilalui kendaraan lambat dan angin malas,
berdiri satu pohon tua dengan batang bengkok, daunnya jarang, dan akar yang menjulur ke arah yang tidak pernah dipetakan.
Pohon itu tak pernah ditebang.
Tak pernah tumbang.
Tapi juga… tak pernah bertambah tinggi.
Ia seperti satu-satunya hal di kota ini yang tidak berubah tidak tumbuh, tidak mati.
Tepat di bawah pohon itu, setiap pagi, seorang lelaki tua meletakkan setangkai bunga kertas.
Hanya satu.
Kadang berwarna putih, kadang ungu muda, tapi selalu bunga yang sama: ringan, sederhana, dan tampaknya tidak penting.
Ayu memperhatikan itu dari balik jendela dapurnya.
Ia baru tinggal di rumah sebelah selama dua minggu, masih menyusun piring, masih belajar menyapa tetangga, masih menebak mana orang yang bisa ditanya arah, dan mana yang lebih baik dibiarkan dalam sunyi.
Tapi lelaki itu berbeda.
Bukan karena ia aneh.
Justru karena ia terlalu biasa, terlalu tenang, hingga membuat pagi tampak seperti bagian dari dirinya.
Setiap pukul tujuh lewat sepuluh, ia keluar dari rumah kecil bercat abu yang mulai pudar, membawa sapu lidi dan bunga kertas yang dibungkus koran bekas.
Ia menyapu pelan, seperti tak sedang membersihkan, tapi mengusap bumi agar tetap terjaga.
Setelah itu, ia menunduk di hadapan pohon.
Bersihkan akarnya.
Letakkan bunganya.
Lalu duduk sebentar di bangku beton yang mulai retak.
Tak satu pun dari rutinitas itu terdengar istimewa.
Tapi justru karena itulah, Ayu merasa ingin tahu.
Ia tidak tahu kenapa.
Mungkin karena bunga itu tidak pernah dibawa masuk.
Tidak pernah ditaruh di vas.
Tidak dijadi...