Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
BUNGA KUNING KAMBOJA BALI
Cerpen Lian Lubis
Jearinya yang mungil disusun rapih menghaturkan sembah dan menundukkan kepala. Bunga kuning Kamboja Bali terselip di sisi kanan atas telinganya. Ku peluk dia. Wangi bayi masih tersisa di rambutnya. “Ayah, negeri kita indah, ya”, katanya setengah berbisik. Aku mengangguk. Pandangannya menyapu berkuntum-kuntum bunga kuning kamboja bali yang berserakan di halaman pure.
Sore ini kami memang sengaja mengikuti ritual mengambil air suci di bawah Pure Tanah Lot. Sebagai turis lokal, kami sangat menikmatinya. Ibunya membisikkan sesuatu di telinganya -dia menganguk. Aku rasa ibunya menerangkan apa yang harus diikuti dalam ritual ini. Salah seorang pemangku menyelipkan bunga kamboja kuning di telinga kanan gadis kami ini. Memercikkan air suci ke wajahnya dan menempelkan beberapa butir beras di keningnya. Dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
“Ayah, negeri kita indah, ya”. Entah kenapa, kata-katanya membawaku kembali ke suatu kampung pada masa bebarapa dasa warsa silam. Kampung Toegoe, kampung masa kecilku di Tenggara Teluk Jakarta. Pada masa itu, aku selalu bermain di Sungai Chandra Baga bersama kawan-kawan sepulang dari sekolah. Mandi bermain di Sungai Chandra Baga dengan airnya yang jernih mengalir membelah kampung -tempat kami memancing udang-udang kecil dengan benang yang ujungnya diikat cacing tanah kecil sebagai umpannya. Oom Natan adalah orang yang mengajariku pertama kali cara memancing udang di sungai ini. Dia eturunan Potugis orang asli Toegoe. Aku tidak tahu persis dia keturunan yang keberapa. Katanya waktu bercerita di suatu sore, kakek moyangnya adalah orang yang pertama kali datang ke tanah ini pada abad 16-an. Suara daun-daun bambu dan batang-batangnya yang bergesekan dihembus angin tak bisa mengalahkan riuh rendahnya canda gurau kami sambil memancing. Lamat-lamat masih terngiang suara Oom Yacob Quicko dengan Krontjong Toegoe-nya melantunkan “Krontjong Bunga Teratai”. “Taman bunga di tengah rawa. Di Kampung Toegoe yang ku cinta. Burung-burung dari mana datang. Hidup bersama di tengah rawa”.
Selepas Ashar, biasanya permainan mandi dan memancing selesai. Kami pulang membawa ole-ole buat ibu masing-masing. Serantang udang kecil yang masih hidup hasil pancingan untuk lauk makan malam. Ibuku adalah ibu yang paling antusias menerima ole-ole dari anaknya. Wajahnya berseri dan bergegas membersihkan udang-udang kecil hasil pancinganku. Mengolahnya menjadi sambal goreng udang kesukaanku. Selepas magrib aku dan adik-adik pun makan malam dengan lauk udang olahan ibu dengan nasi putih hangat yang agak pera. Ibu tak lupa menyisihkan sejumput sambal goreng udang untuk makan malam ayah. Ayah seingatku selalu pulang kantor menjelang tengah malam saat kami sudah terlelap. Kata ibu, ayah senang sekali makan udang hasil pancinganku.
“Kenapa ayah tersenyum?” Aku menoleh ke arahnya dan menggeleng tak menjawab. Ku genggam jemari kecilnya. Kami berjalan bersisian mengililingi pure. Di tangga keluar kami berpapasan dengan gadis berkebaya seusianya. Anakku tersenyum. Gadis kecil berkebaya itu mengangguk meskipun langkahnya terburu-buru. Aku tertawa dalam hati. Dulu, aku dan kawan-kawan selalu saling mengejek saat kami bermain mengulangi permainan yang sama setiap harinya –gala asin, dampu, tak kadal, boy-boyan, atau petak umpat. Suara kami riuh rendah. Saat ini, rasa senang bermain yang kurasakan di masa anak-anak mulai memudar dari ingatanku –berganti menjadi kerinduan pada kampung yang selalu berwangi asap dapur, Sungai Chandra Baga yang jernih, di tepinya rumpun-rumpun bambu berisik digoyang angin, matahari pagi yang merah selebar tampah tersembul dari ujung batas rawa dan pohon-pohon kelapa berbaris-baris yang ujung-ujung daunnya digelayuti sarang-sarang burung manyar.
“Ayah, kenapa bunga kamboja kuning diselipkan di atas telinga?”. Lamunanku buyar seketika. “Agar terlihat cantik dan wangi”, jawabku sekenanya. Jawaban sederhana yang muncul begitu saja di benakku. Aku sedikit menyesal memberinya jawaban sederhana itu. Kujelaskan padanya, “Oom Yan sahabat ayah yang orang Bali waktu kuliah dulu, selalu menyelipkan bunga di atas telinga setelah selesai sembahyang”. Kata Oom Yan, “Bunga adalah perlambang rasa bakti, cinta, dan terima kasih pada Tuhan”. Anakku tersenyum mendengar penjelasanku.
Beberapa kali ku potret dia dalam berbagai pose. Gerimis yang mulai turun meyerupai embun di rambut dan di lentik bulu matanya. Bunga kuning kamboja bali masih terselip di atas telinga kanannya. Ku tunjukkan padanya hasil jepretanku di monitor camera digital. “Tambah cantik, kan?” Dia tertawa sambil mengacungkan jempolnya. “Like this”, katanya. Aku ikut tertawa karena like this-nya. Raut dan garis wajahnya memang terlihat istimewa. Barangkali karena perpaduan materi genetik yang sangat berbeda -aku dan ibunya memang berbeda suku.
Aku tercenung. Sebait puisi yang baru saja di-publish gadis kecilku di salah satu sosial media tak sengaja terbaca melalui akunku dari salah satu gadget yang selalu kubawa.
Bunga kuning Kamboja Bali berserakan di halaman.
Berguguran karena hujan sejak sore tadi.
Wanginya semerbak.
Esok pagi berkuntum-kuntum ‘kan bermekaran kembali.
Menunggu dipetik gadis kecil berkebaya –diselipkan di atas telinga kanannya.
Wanginya sampai ke Nirwana.
Mengundang Sang Dewi turun dan berbisik tentang harapan.
Di pure, jemarinya tersusun rapih -memohon ampun dan doa,
“Sayangilah negeri kami.”
Ku sembunyikan air mata haru yang jatuh bersama gerimis sore di Tanah Lot.
(Cisarenten Endah, Arcamanik-Bandung. April 2012)
Catatan:
Saat ini kita telah kehilangan banyak rutinitas budaya dalam kehidupan kita sehari-hari. Semua yang kita jalani seperti monoton dan tanpa jiwa. Kita seperti terjebak dalam kehidupan dan keadaan yang tidak bisa kita hindari. Kita terjebak dalam kehidupan dengan rutinitas yang dikendalikan oleh kehidupan itu sendiri. Kita dipaksa dan terpaksa harus berinteraksi secara maya dana dunia sosial yang kasar mata. . Tidak ada lagi interaksi fisik dan jiwa.
Rutinitas ibadah yang kita jalani kadang pun dijakankan dengan tergopoh- gopoh. Seperti kita tidak ingin kehilangan interaksi dalam dunia nyata itu.
Saya masih bisa merasakan kehadiran banyak manusia yang berinteraksi jiwa dan raga di Tanah Bali. Rutinitas ritual yang mereka lakukan begitu bersahaja. Begitu indah dan begitu menggugaj jiwa.
Bunga kuning Kamboja Bali yang tumbuh hampir di setiap halaman pure dan rumah seperti ingin menjaga jiwa dan raga. Seperti ingin menemani setiap doa yang dipanjatkan agar sang Dewi turun dari khayangan. Membawa cinta dan sayang yang ingin dibagi kepada semua. Bunga Kuning Kemboja Bali yang terselip di taleinga seperti ingin berbisik. Seperi ingin bersenandung mengiringi do'a yang dipanjatkan.
Bunga Kuning Kamboja Bali yang berwarna kuning seperti ingin memuliakan cinta dan sayang yang semurni emas. Tak bercampur dengan sirik, dengki, fitnafitnah dan amarah yang terpendam dan ingin ditumpahkan setiap saat. Bunga Kuning💛 Kamboja Bali yang berserakan di halaman pure dan rumah mengiringi langkah mereka menjemput cinta yang dibawa Sang Dewi.