Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Bunga (di Retakan Dinding)
3
Suka
201
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bunga di Retakan Dinding

Berkali-kali menghela napas tidak membuatku merasa lega. Hatiku berat seperti membawa beban yang tidak terlihat. Apakah mengampuni tetap menjadi cara?

Isakan tertahan mengoyak dadaku. Setiap embusan napas terasa seperti desahan terakhir. Aku bersembunyi di balik selimut tipis, berharap kegelapan kamar bisa menelan semua rasa sakit yang tak terperi.

Kepalaku berdenyut-denyut nyeri, sisa pukulan Ayah yang barusan mendarat. Aku mencoba menekan pelipisku berharap rasa sakit itu sirna. Bibirku perih dan saat aku mencoba merapatkan mulut, rasa sakit begitu hebat hingga aku tidak sanggup melakukannya. Rahangku terasa kaku. Setiap gerakan kecil mengirimkan sengatan ke seluruh wajah.

Air mata terus mengalir, tak peduli sudah seberapa banyak yang keluar. Dinginnya malam ini menjalar ke seluruh tubuhku. Aku sendirian. Ayah dan Ibu tidak ada yang peduli. Mereka mungkin sedang tertidur pulas. Sedangkan aku sendiri dengan dunia kecilku yang hancur.

Tidak ada yang mencintaiku. Kalimat itu berputar-putar di kepalaku mengalahkan segala upaya untuk bernapas. Aku hanya ingin menghilang. Aku ingin rasa sakit ini berhenti. Tapi kenyataan menghantamku kembali. Aku masih di sini, dan aku harus menghadapi esok.

Dua hari yang lalu, aku masih mempunyai secercah harapan. Aku menghabiskan berjam-jam di depan layar laptop untuk mencari informasi pengobatan depresi. Semuanya kulakukan sendiri. Aku bertemu dokter sambil meyakinkan diri bahwa akan ada jalan keluar. Aku sudah menceritakan semua beban dan rasa sakit ini kepada psikolog. Tapi rasanya tidak pernah cukup.

Malam itu aku tidak tidur. Hingga cahaya pagi menyapaku melalui celah gorden. Cahaya yang tidak akan sanggup menembus kegelapan di dalam diriku. Hari itu aku tidak bergerak. Kasur adalah satu-satunya duniaku. Setiap otot terasa lumpuh, bahkan untuk sekadar bergeser. Perutku tidak terasa lapar, tenggorokanku tidak terasa kering, yang ada hanya rasa sedih dan kecewa.

Di balik kelopak mataku yang terpejam hanya ada kekosongan. Suara Ayah dan Ibu dari luar kamar menjadi gumaman tak berarti. Duniaku berhenti. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin mati. Aku hanya ingin kegelapan ini abadi dan semua rasa sakit ini hilang.

Waktu terasa berhenti. Aku tak tahu sudah berapa lama aku terbaring dalam diam, membiarkan dunia di luar sana berjalan tanpaku. Menjelang sore, terdengar ketukan di pintu. Pintu terbuka dan menampilkan Ibuku yang membawa secangkir teh. Ia tidak mengatakan apa pun. Tidak ada senyum dan tidak ada kata maaf. Hanya keheningan yang mengisi ruangan. Apakah ia merasa bersalah? Atau hanya sekadar tugas seorang ibu? Aku tak tahu, dan jujur aku terlalu lelah untuk peduli. Ia hanya meletakkan secangkir teh hangat di meja samping kasurku.

Dengan tenaga yang tersisa, aku menyeret tubuhku. Aku meraih cangkir itu. Kehangatan teh mengalir menuruni tenggorokanku, membawa sedikit kehidupan ke dalam diriku. Setelah itu ada desakan yang muncul. Sebuah naluri dasar. Aku bangkit dan berjalan gontai menuju dapur. Aku mengambil sebungkus mi instan rasa ayam bawang dari lemari, merebusnya dengan sebutir telur.

Di sore itu, aku duduk di meja dapur sambil menyantap mi instan hangat dan menyesap teh buatan ibuku. Aku memakannya dengan tenang, seolah hari kemarin tidak pernah ada. Seolah rasa sakit itu tidak pernah menembusku. Seolah semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk yang kini telah berlalu. Aku dan mi hangat ini, di tengah keheningan terasa seperti kedamaian.

Kedamaian itu meski hanya sekejap membuka sebuah celah kecil di dinding hatiku yang retak. Rasa hangat yang menjalar dari mi dan teh buatan ibuku mengingatkanku pada sesuatu yang nyaris kulupakan: bahwa masih ada sedikit kebaikan, sedikit kehangatan, bahkan di tengah kehancuran. Mungkin saja ada cara untuk keluar dari ini, sekecil apa pun itu. Pikiran itu datang perlahan seperti tunas yang memaksa diri menembus bebatuan. Sebuah harapan baru perlahan muncul.

Besoknya, ketika fajar datang lagi. Tidak ada keinginan untuk kembali meringkuk di dalam kegelapan. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak tahu apa yang menantiku di sana. Aku tidak tahu apakah ini berhasil. Tapi satu hal yang kuyakini sekarang: hari ini aku akan bangkit. Aku akan mendatangi rumah sakit itu dengan kedua kakiku sendiri. Hanya berbekal surat rujukan dan keberanian yang samar-samar. Aku sendiri, dan entah bagaimana pikiran itu tidak lagi menakutkan.

Aku duduk di depan pintu poli jiwa, di sebuah bangku kayu yang keras. Aku melihat banyak pasien lain. Pandangan yang menunduk, kaki yang terus bergerak, hingga helaan nafas, seolah menggambarkan kegelisahan mereka. Mereka terlihat biasa saja, seperti orang-orang yang kutemui di pasar atau di jalan. Aku tidak tahu apa yang mereka alami. Beban tak kasat mata apa yang mereka pikul di balik wajah-wajah datar itu.

Tidak lama setelah itu, sebuah suara memanggil namaku. “Nona Bunga?”

Aku bangkit membawa tasku. Dengan langkah yang berat aku masuk ke dalam ruangan. Aku menarik kursi dan duduk di depan dokter. Aku menatap mata dokter itu dengan tenang. Perlahan, aku menjelaskan semua yang membawaku sampai ke titik ini. Semua luka, semua rasa sakit, semua keputusasaan yang telah menggerogoti. Aku tak menyembunyikan apa pun.

Setelah aku selesai. Dokter itu tersenyum tipis. “Terima kasih,” katanya. “Terima kasih karena mau datang.”

Aku menghela napas, kali ini bukan karena isakan melainkan seperti melepas beban berat yang telah lama mengimpit. Setelah dokter itu meresepkan obat, aku keluar menuju farmasi. Aroma antiseptik bercampur bau obat-obatan yang menyengat memenuhi udara, tapi entah mengapa aku merasa sedikit lebih ringan.

Sambil menunggu namaku dipanggil, aku duduk di bangku panjang yang dingin menatap lalu-lalang orang. Aku menggenggam erat nomor antrian di tanganku. Aku menguatkan diriku. Menguatkan bahwa ini akan berakhir. Bahwa suatu hari, rasa berat di dada ini akan sirna. Luka-luka di wajahku, di hatiku, akan mengering.

Ketika namaku dipanggil dan kantung kecil berisi obat-obatan itu berpindah ke tanganku, ada secercah keyakinan yang mengalir. Ini bukan akhir, tapi awal. Bukan obat ini yang akan menyembuhkan segalanya, tapi langkah pertama yang berani ini. Aku menggenggamnya erat, seolah menggenggam janji untuk diriku sendiri. Aku melangkah keluar dari rumah sakit. Setiap langkah terasa lebih ringan dari saat aku datang. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi aku tahu satu hal: Aku pasti bisa melewati ini.

Meski rasanya seperti perahu yang terombang-ambing sendiri di tengah badai, ternyata aku bisa melewatinya. Setidaknya akan aku lalui satu hari dengan harapan. Aku tidak akan berhenti berharap karena hanya harapanlah yang membuatku bertahan. Akan kutumbuhkan bunga di sela-sela retakku.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
DOA SI 5 INCI
Kwikku.com
Cerpen
Bronze
TEMAN KATANYA, CINTA RASANYA
Rain dandelion
Cerpen
Bunga (di Retakan Dinding)
Sekar Kinanthi
Cerpen
Politik Kardus
Fadlinursufi
Skrip Film
A Writer and A Liar (Script Film)
Silvia
Skrip Film
HAPPINESS IN THE LITTLE THINGS
Reiga Sanskara
Cerpen
Bekas Luka di Meja Kafe Itu
Pinkan Maulinda
Novel
Miserably 30
Angela Loewi
Cerpen
Bronze
Hujan Di Hari Jumat
Sendang Ayuningrum
Novel
Pelarian Dua Arah
dalamnamasaya
Cerpen
Bronze
Susah Senang Perantau
Nimau Kum
Novel
Fatihah, kembara cinta
Sondang ria hasibuan
Novel
Rumah Yang Sama, Pulang Yang Beda
Goebahan R
Novel
SI ANAK BUNGSU
Melysa Dwi Anggraeni
Komik
Zav & Din
NF
Rekomendasi
Cerpen
Bunga (di Retakan Dinding)
Sekar Kinanthi
Cerpen
Kereta Terakhir Menuju Rumah
Sekar Kinanthi
Cerpen
The Unseen Hand: Prolog
Sekar Kinanthi