Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit Jakarta sore itu mulai redup, menebarkan cahaya jingga yang mengintip malu-malu dari balik gedung pencakar langit. Di lantai 20 sebuah gedung perkantoran megah di bilangan Sudirman, seorang wanita berdiri di balik kaca besar, memandangi jalanan yang mulai padat oleh kendaraan.
Astri, 34 tahun, CEO dari Marabella Indonesia perusahaan kosmetik lokal yang sedang naik daun mengenakan setelan jas putih elegan dengan sepatu hak tinggi warna nude. Wajahnya cantik dan tegas, dipoles dengan riasan natural, menyiratkan kekuatan sekaligus keanggunan.
“Selamat, Bu Astri,” ucap sekretarisnya, Rena, sambil menyerahkan laporan penjualan kuartal pertama tahun ini. “Angka penjualannya naik dua puluh persen dari target.”
Astri tersenyum tipis. “Bagus. Tim marketing berhak dapat bonus bulan ini.”
Rena mengangguk dan undur diri. Setelah pintu tertutup, Astri kembali memandangi Jakarta yang mulai temaram. Sukses, uang, kekuasaan semuanya sudah ia genggam. Tapi, kenapa rasanya seperti ada yang hilang?
Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Dimas, mantan tunangannya.
'Astri, semoga kamu baik-baik saja. Aku mau bilang… aku akan menikah bulan depan.'
Astri menarik napas dalam. Tangannya sedikit gemetar saat meletakkan ponsel itu ke atas meja. Matanya berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat mengedipkan air mata yang hampir jatuh.
“Kenapa ya, dalam hal bisnis aku selalu bisa mengatur strategi. Tapi kalau soal cinta…” gumamnya sambil tertawa getir. “Selalu gagal.”
Ia duduk di kursi kerjanya, membuka laptop dan menatap jadwal rapat esok hari. Tapi pikirannya sudah melayang jauh.
Pikirannya kembali ke masa lalu, saat ia dan Dimas masih bersama. Pria itu menemani perjuangannya dari awal membangun Merabella. Tapi saat Astri semakin sibuk dan perusahaan berkembang, waktu untuk mereka semakin berkurang. Dimas merasa tersisih, merasa bukan lagi prioritas.
"Aku cinta kamu, Astri. Tapi aku butuh pasangan, bukan bos," kata Dimas dalam pertengkaran terakhir mereka.
Saat itu Astri hanya diam. Terlalu keras kepala untuk mengalah. Dan kini, penyesalan jadi teman paling setia.
Lalu terdengar ketukan di pintu.
“Masuk,” sahutnya.
Seorang pria muda masuk membawa dua gelas kopi.
“Ini kopi pesanan Ibu. Satu cappuccino, dan satu black coffee.”
Astri mengernyit. “Saya cuma pesan satu.”
Kata kurir itu tersenyum ramah. “Yang satu lagi hadiah dari barista kami. Katanya, kopi hitam untuk wanita kuat.”
Astri mengangkat alis, lalu tersenyum kecil.
“Lucu juga. Terim...