Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Buncis Warisan
6
Suka
595
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Hari ini ibuku masak buncis.”

Kalimat yang terlontar beberapa puluh tahun lalu dari mulut mungilku itu, kini juga terdengar dari mulut gadis kecilku. Persis. Tak lain karena tanya dari kawan sepermainannya. Sama sepertiku dulu.

Buncis. Hanya itu. Tidak ada daging, wortel tempe, atau tahu. Mungkin hanya sedikit irisan tomat dan cabai merah besar yang telah dibuang isinya, sebagai bumbu pelengkap. Sederhana bukan main. Ada alasan dibalik kenapa hanya buncis. Alasan yang dulu kutanya pada ibuku. Mungkin juga nanti akan ditanyakan oleh anak gadisku.

Kutengok siluetnya sore itu dari balik jendela. Paparan terakhir mentari yang siap terlelap hari ini menegaskan lekuk tubuhnya yang imut. Gadis kecilku yang paling cantik. Keriting rambutnya, sesekali melambai ringan tergoda angin. Kuberi nama ia Mariyah. Malaikat kecil yang sosoknya mampu menyapu habis lelah yang menyelubungiku. Tawa riangnya tengah mengisi beranda samping rumah. Tangannya mengayun-ayunkan boneka monyet kecil kesayangannya di udara. Sesekali ia berbicara dengan dua kawan sebayanya.

“Mari, buncis yang dimasak ibumu apa berasal dari halaman ini?” salah seorang gadis kecil yang dikepang dua bertanya sembari menunjuk pada pekarangan yang beberapa meter persegi kutanami buncis.

Mariyah mengangguk. “Ibu sangat suka dengan buncis.”

Gadis kecil lain yang berambut lurus ikut berbicara padanya, “Ibuku masak sup yang ada buncisnya. Aku tidak suka. Rasanya tidak enak. Buncisnya selalu tidak kumakan.” Kemudian ia menirukan gaya orang mau muntah.

Hoek… hoek… begitu kiranya.

Mariyah dan gadis berkepang itu tertawa ngakak. Aku pun geleng-geleng kepala.

“Buncis yang dimasak ibuku rasanya enak. Manis, sedikit asam, tapi gurih. Kalau tidak percaya ayo ikut aku ke dalam! Coba rasakan sendiri,” Mariyah berlari ke dalam sembari menyeret tangan kedua kawannya. Ia berseru memanggilku, “Ibu….”

Aku mematikan kran air lalu mengentas piring terakhir. Sementara itu, Mariyah sudah ada di hadapanku. “Ada apa, Mariyah sayang?”

“Boleh Mari ajak Sisil dan Dinda makan sayur buncis buatan ibu bersama? Sedikit saja. Ya, ya, ya? Mari mau kasih tahu mereka kalau sayur buncis buatan ibu rasanya enak,” rengeknya padaku.

Aku tersenyum dan mengangguk padanya. Ia pun girang bukan kepalang. Lepas itu kusiapkan tiga piring berisi nasi hangat dan sayur buncis buatanku untuk tiga gadis kecil yang sudah siap di meja makan.

Sekali lagi, mereka membicarakan perihal buncis itu. Kali ini Mariyah sangat puas. Si gadis berambut lurus di hadapannya melahap habis isi piring. Begitu pula dengan si gadis berkepang.

“Apa kubilang!” seru Mariyah kala kawannya itu mengakui jika sayur buncis buatan ibunya memang enak.

***

Malam kala Mariyah berusaha membantuku membereskan meja makan, ia berceletuk. Kali ini kalimat yang terdengar darinya membuatku terkejut dan bungah. Dadaku terasa begitu hangat.

“Ibu, kalau sudah besar nanti ajarkan Mari masak buncis seperti buatan ibu ya?”

Aku tak kuasa untuk tak merengkuh kepalanya yang hanya setara perutku itu. Kuelus-elus kepalanya. Rambut keriting hitamnya yang mengkilat begitu lembut. Aku menunduk dan mengecupkan bibirku di sana. Menghirupnya sesaat. Aroma jeruk segar memenuhi hidungku.

“Ibu pasti akan ajarkan pada Mariyah.”

Selepas itu kusuruh ia mencuci kaki dan tangan lalu bergegas tidur. Ia pun pergi dari hadapanku dengan senyuman lebar. Rona merah di kedua pipinya menjadi pemandangan indah terakhirku malam ini.

Pandangku kembali ke meja makan. Sisa buncis yang kumasak tadi siang masih ada di mangkuk. Tinggal sedikit. Aku selalu bersyukur Mariyah dan ayahnya selalu lahap memakan apa yang kumasak. Rasa puas selalu melingkupiku ketika petang seperti ini sambil memandang dapur. Apa yang kucurahkan untuk tersaji di meja makan, hampir selalu tandas. 

Aku teringat ibu dan nenekku. Awal mula resep buncis sederhana itu sampai kini bisa terwujud di hadapan Mariyah. Masa ketika nenek sudah tak sanggup lagi berkutat di dapur. Tinggal ibu dan bibiku yang berjibaku di sana. Hari raya yang meriah. Ketupat ada dimana-mana. Opor ayam, sate, gulai kambing, ikan bakar, sampai emping dan roti kering macam nastar memenuhi meja.

Nenek tak banyak makan. Mungkin orang lansia memang begitu, pikirku dulu. Sekalinya makan, nenek duduk di kursi belakang di dapur. Sendirian. Kutengok ia yang tengah menyendokkan nasi. Lauknya tak seberapa banyak. Kunyahnya lamat-lamat. Sambil memandang langit cerah melalui celah jendela yang setengah terbuka.

“Nek, kenapa makannya sembunyi di sini? Kenapa tidak tadi bersama-sama?”

Ia seakan salah tingkah. Atau mungkin terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. “Tidak, nduk. Nenek baru lapar sekarang. Mau sedikit-sedikit mengincipi lauk yang banyak itu. Supaya semua bisa nenek rasakan dan muat di perut. Ibumu kan pandai sekali masak banyak makanan,” ia tersenyum padaku dan kembali berkutat pada piringnya.

Aku berlalu. Hari juga berlalu. Dua hari berikutnya kudapati hal serupa. Namun, aku tak lagi bertanya. Di hari keempat selepas Hari Raya, kuutarakan apa yang bergumul dalam benakku pada ibu. Kala itu ibu sedang sibuk membereskan rumah nenek. Ia menjawabku dengan lontaran tak tahu sambil lalu. Aku hanya menghela nafas dan kembali bermain bersama sanak saudara di ruang tengah.

Esoknya kudapati ibu kembali di dapur rumah nenek. Setengah anggota keluarga besar telah pulang. Suasana gaduh mereda. Aku mendekat pada ibuku. Ia tengah mengiris buncis kecil-kecil dengan tenang. Sementara itu, aku mengambil satu yang masih utuh. Memperhatikan bentuk hijau panjangnya yang berisi.

“Ini sayur apa, bu?”

“Buncis, nak.”

“Kenapa masak sayur? Kok tidak ayam dan daging lagi?”

Ibuku memotong buncis yang tadi di tanganku. Satu yang terakhir. “Kemarin kan sudah masak daging terus. Yang berlebihan itu tak baik, nak. Tubuh juga perlu sayur, supaya sehat. Jadi, hari ini ibu akan masak sayur-sayuran.”

Aku berdecak. Tak suka.

Ibu menyentil dahiku. “Jangan manja! Tunggu saja nanti, kamu pasti suka!” katanya yakin sekali. Sedangkan aku tetap manyun.

Lepas itu ibuku memasukkan potongan bawang putih dan jahe ke dalam wajan. Ada pula beberapa lembar daun yang belakangan kuketahui bernama Salam. Sama seperti nama tetangga nenekku yang biasa kupanggil Mbah Salam. Ia yang membuka warung untuk berjualan sayuran yang biasa orang-orang kampung masak.

Salam, bawang putih, dan jahe itu pun sudah layu di penggorengan. Aroma sedap gurihnya menguar di udara. Lepas itu, ibu menambahkan sedikit potongan tomat dan cabai merah. Lalu ia memasukkan potongan buncis. Tak lupa ia memberikan asam jawa, kecap, air sedikit, gula dan garam. Tangan ibu begitu cekatan. Kalau saja aku tak melotot dan menyaksikan dengan fokus ke atas kompor, pasti aku sudah luput ia memasukkan apa saja.

Siang itu saat kami hendak makan bersama, kulihat nenek siap sedia di hadapan meja makan. Ia menengok ke setiap mangkuk sajian yang beberapa masih mengepulkan asap. Nenek dengan cepat mengambil tumis buncis asam manis buatan ibu. Aku mengunyah nasiku sembari memperhatikannya. Nenek tak lagi makan sendiri di belakang. Nenek mengunyah dengan antusias. Porsinya pun lebih banyak dibanding yang selama ini kulihat. Wajahnya berseri, sesekali menyunggingkan senyum padaku. Lepas kejadian itu aku melaporkan apa yang kuperhatikan pada ibu. Pancaran wajah ibu menyiratkan kelegaan.

“Dulu sewaktu ibu masih kecil ketika tak punya banyak uang, nenek kerap kali masak tumis sayur-sayuran. Tapi, kakekmu paling lahap ketika menyantap tumis buncis asam manis buatannya. Kakek dan nenek memang suka buncis. Itulah yang juga menjadi alasan kenapa ladang kakek ditanami buncis, selain karena perkara kondisi yang cocok. Kakekmu bilang tidak ada sayuran yang rasanya seistimewa buncis. Jika banyak yang pahit, buncis terasa manis dan renyah ketika dikunyah. Terlebih kata kakek, buncis baik untuk kesehatan jantung. Tumis buncis asam manis dengan nasi hangat saja sudah cukup membuat mereka bahagia dan kenyang. Wajah nenek selalu berseri-seri ketika masak tumis buncis asam manis,” terang ibuku sebelum kami tidur.

“Kakekmu petani buncis. Sewaktu kecil, ibu dan pamanmu kerap bermain sekaligus membantu kakek di ladang. Ketika musim panen, wajah kakek dan nenekmu penuh harap dan berseri-seri. Ibu juga sangat senang, rasanya puas bisa ikut memetik buncis siap panen dari cabangnya. Ketika kakek sudah tak ada, ladang penuh buncis jadi tak bertahan lama.” Ia mengecup keningku. Lalu berkata, “Terima kasih ya, sudah mengingatkan ibu.”

Aku tak paham mengapa ia berucap demikian. “Aku kan tidak bilang apa-apa, bu.”

Ia mengusap lembut pipiku yang bulat. “Sewaktu kau ceritakan bagaimana nenek makan siang di belakang kala itu, ibu seperti diingatkan. Ibu merasa sedih tak memperhatikan mengapa nenek seperti itu. Ibu merasa luput mempedulikan keinginan nenek. Apalagi di Hari Raya seperti itu, nenek pasti sangat merindukan kebersamaan dengan kakek. Lengkap dengan menu kebesaran keluarga seperti dahulu.”

Semenjak itu aku paham arti buncis bagi keluargaku. Bagi ibuku pun nenekku. Masakan sayur sederhana yang diramu dengan rempah-rempah dan curahan kasih sayang tulus. Tidak muluk-muluk. Cukup nasi hangat dan tumis buncis asam manis. Menyedapkan hari-hari keluargaku.

Pikiranku yang melayang kembali ke masa kini. Ketika kuperoleh Mariyah. Gadis kecil yang menyukai sajian serupa. Aku bersyukur ia tertarik untuk bisa menyajikan menu yang sama. Aku berharap ia mampu mewarisi resep keluarga yang sederhana itu. Mempersembahkannya dengan ketulusan dan cinta untuk keluarganya kelak.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@andiyetty : Terima kasih, kak :)
Gemes amat ini cerita
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Buncis Warisan
Inggita Hardaningtyas
Novel
Bronze
Garis Hitam
Ryo Meta Olympia
Novel
Bronze
Pulang
Dillon Gintings
Cerpen
Mulut Mu Adalah Harimau Mu
Yovinus
Novel
Gold
KKPK Little Ballerina 3
Mizan Publishing
Novel
DANUM
Abroorza Ahmad Yusra
Flash
Cabai
Deden Darmawan
Flash
Bronze
Janji Palsu
Nabil Bakri
Novel
Gold
Big Magic
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
MENCARI TENANG
Aldi A.
Novel
Bronze
Ratu, 25 Tahun Kemudian
Rizky Brawijaya
Novel
A Missing Part
Rara Rahmadani
Flash
Kisah Kucing Jalanan
Dava Satya
Flash
Dinding Biru
Seto Yuma
Novel
CINTA TERHALANG KRISMON
Lirin Kartini
Rekomendasi
Cerpen
Buncis Warisan
Inggita Hardaningtyas
Novel
Bronze
Sekar yang Mekar di Kanvas itu
Inggita Hardaningtyas
Flash
Rou dan Pipin di Ujung Hari
Inggita Hardaningtyas