Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Eduard.”
Anak itu menolah. Seorang lelaki yang tingginya baru satu meter lebih sedikit. Matanya tegas, seperti elang. Bukan muka anak bandel yang senang membuat masalah, tetapi bukan tipikal penurut pula. Dia jenis yang suka mengamati hal-hal kecil, membuat pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawabannya, serta melibatkan segalanya dengan apa pun yang dia ketahui.
Sederhananya, anak dengan pemikiran independen.
Mungkin bagi beberapa orang, dia dianggap sebagai sulit dikendalikan.
“Heb je goed gewerkt?”
“Ik heb het boek gelezen,” katanya, mengatakan bahwa dia telah belajar dengan membaca buku-buku.
Kedua orang tua, tempat sekolah, teman-teman, orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya; semua Belanda. Beberapa barang di rumah, kalender dan sebagainya, termasuk tumpukan buku yang disediakan oleh orang tuanya, berbahasa Belanda—begitu pula cara mereka berbicara setiap hari.
Anak itu menghabiskan waktu dengan tumpukan buku sejak kecil. Orang tuanya bekerja sepanjang waktu, hanya pulang malam hari dan tinggal di rumah ketika akhir pekan terakhir pada setiap bulan.
Rumah besar mereka tak lebih membosankan dari sebuah petak yang kosong. Buku-buku memang selalu bisa menemaninya menghabiskan waktu, tetapi tak pernah menarik perhatian dengan begitu kuat.
Setidaknya, sampai kebetulan pintu kamar utama—milik orang tua mereka yang selama ini dia tidak terlalu tertarik untuk memasuki karena selalu ditutup—sedikit terbuka dan dia melihat adanya pintu kecil di dalam sama.
Sebuah pintu menuju ruangan bawah tanah.
Hanya sebuah ruangan kecil, dengan meja lebar di tengah-tengah. Sementara dua sisi dinding terdapat lemari dan rak-rak. Dia menemukan berbagai buku, dokumen, potongan-potongan kertas. Semua tulisannya berbahasa Indonesia.
Cerita-cerita Kedatangan Belanda, begitu judul yang tertera.
Belanda di Kota—sebagian tulisan agak hilang.
Sementara sisanya ada tumpukan dokumen bertulis: Perjuangan.
Isinya kertas-kertas, surat yang dikirim dari berbagai orang dan lokasi. Laporan pergerakan Belanda, taktik para tentara pribumi, hasil diskusi, informasi-informasi yang diperoleh secara rahasia.
Kemudian yang paling menarik perhatiannya…
Orasi perjuangan.
Kami tak akan pernah menyerahkan tanah ini!
Kami tak akan membiarkan tanah air direbut!
Kami akan memperjuangkan apa yang telah diberikan Tuhan kepada kami!
Milik kami, harga diri kami, bumiputera!
Tepat di sampingnya, ada dokumen lain. Mata anak itu menyusuri dengan teliti. Sertifikat Kepemilikan Tanah dan Bangunan. Jelas-jelas tertera nama seorang pribumi. Ada denah di lembar berikutnya. Abstrak, tetapi dia yakin, itu adalah tempat ini.
Ketika otaknya mulai dapat menampung ingatan, dia telah menyadari bahwa tempat tinggalnya berbeda dengan rumah para Belanda. Bukan dinding batu bata, tak ada jendela besar, atapnya tidak berbentuk perisai—limasan.
Pemilik asli tempat ini telah diusir!
Tak ada kesimpulan yang telah masuk akal dari itu, meski dia tak menemukan dokumen yang menuliskan secara pasti bahwa Belanda yang datang kemari, merebut kediaman ini.
Saat dia mengambil beberapa dokumen lain dari rak, selembar foto jatuh. Mendarat di lantai, tepat di sebelah kakinya. Terbalik. Dia membungkuk untuk mengambilnya. Kemudian berdiri tegak kembali, memutar tangan untuk melihat apa di balik kertas putih itu.
Kediaman ini. Seorang pria dan wanita berdiri di halaman. Menggendong bayi.
Ada tulisan tangan dengan bolpoin biru di bawahnya.
Kelahiran Edi
Edi?
“Ze hebben een baby?” dia bergumam sendiri. “Ed….”
Dia tiba-tiba terkejut, menyadari sesuatu. Edi terdengar seperti nama dalam bahasa Inggris, Eddy. Itu sebuah panggilan yang biasanya diberikan kepada orang dengan nama Edward. Lalu, dalam versi Belanda—yang lebih mudah diucapkan dengan aksen Belanda—adalah Eduard.
“Ongelooflijk, deze baby is…”
Semenjak itu, dia kerap memasuki tempat itu kembali, untuk membaca setiap buku dan kertas-kertas yang ada di sana. Tulisan berbahasa Indonesia sedikit asing di pikiranya. Namun, dia selalu saja lebih ingin mengetahui tentang lembaran-lembaran usang daripada tumpukan buku baru berbahasa Belanda yang baru saja datang dua hari lalu—kiriman dari orang tuanya.
Makin banyak yang dibaca, makin dia memahami pribumi. Keinginan mereka, ambisi mereka, pandangan mereka terkait para Belanda. Setiap perjuangan mereka, penolakan dan penyerangan yang dilakukan oleh Belanda.
Dia makin tenggelam dalam tulisan-tulisan itu, dalam pemikiran para pejuang pribumi.
Pada suatu waktu, selepas membaca tulisan di sana dan naik untuk kembali ke lantai pertama, melewati pintu yang tersembunyi di kamar utama, dia menoleh ke kaca besar di sebuah lemari pakaian. Paras anak itu terpampang dengan begitu jelas di depan matanya sendiri.
Tepat di depan cermin, ada sebuah pigura. Foto dua orang, yang dilihat sejak kecil, yang merawatnya: orang tuanya.
Wajah mereka berbeda dengannya. Tidak, dirinyalah yang berbeda. Bahasa yang dia gunakan setiap hari, pakaian, tempatnya sekolah, teman-teman, tidaklah membuatnya kemudian memiliki lekuk wajah seperti para Belanda.
Dia lebih mirip dengan pria dan wanita di foto usang ruang bawah tanah: orang tua kandungnya.
“Ik—aku…” Dia membenahi bahasanya.
Memang bukan tentang wajah atau fakta bahwa dirinya lahir dari seorang pribumi, tetapi kenyataan bahwa parasnya begitu mirip seseorang di foto—yang terselip di belakang teks orasi perjuangan—yang sedang meneriakkan keinginan-keinginannya, menimbulkan rasa tak biasa.
Rasa yang selama ini tersembunyi jauh di dalam, dan tertutup oleh kebosanannya terkait hal-hal berkaitan dengan Belanda, akhirnya melompat keluar seperti sebuah ledakan.
Ledakan yang akan dia tutupi dengan sempurna seakan-akan tak terjadi apa pun.
“...seorang bumiputera.”
Bunyi khas pintu rumah terbuka, terdengar jelas. Dia sudah tak terkejut. Sekarang akhir pekan keempat di bulan ini. Orang tuanya akan berada di rumah selama dua hari.
“Bent u thuis? Vader, ik wil het ergens over hebben.”
Dia menyusul ke pintu depan, menyapa dua orang itu seperti bulan-bulan lain ketika mereka akhirnya tidak lagi sekadar kembali di malam hari.
Anaknya yang gemar membaca itu tak jarang menanyakan berbagai hal yang terkadang cukup rumit, tetapi pria itu akan selalu bisa menjawab. Meski wajah anak itu kemudian tak pernah lebih dari datar dengan anggukan kecil serta beberapa komentar dan sanggahan.
Namun, kali ini, anak itu tahu yang dia lakukan. Dia sengaja lebih ekspresif, ketika menanyakan mengenai pekerjaan ayahnya. KNIL, pasukan tentara milik Belanda yang tersebar di mana-mana. Ayahnya adalah bagian dari mereka, dengan pangkat elit.
“Ben je daarin geïnteresseerd?”
“Ja, ik ben erg geïnteresseerd. Kan je daar me meer over vertellen?”
Sejak saat itu, ayahnya mulai mengajarkan kepadanya berbagai hal tentang KNIL. Sejarah, sistem kerja mereka, misi, visi. Bahkan lebih jauh lagi, mengenai bagaimana memahami pergerakan pasukan lawan, menyusun strategi, memimpin pasukan. Hingga yang paling utama, cara memegang senapan.
Sungguh seorang anak yang dibesarkan oleh petinggi elit KNIL, pikir orang-orang, saat dia kemudian resmi menjadi bagian dari KNIL di usia sembilan tahun dengan nama Edie.
Identitasnya tercatat sebagai seorang pribumi. Pribumi memang dapat bergabung dengan KNIL, meski jumlahnya sangat terbatas, dengan jabatan tertinggi sebagai letnan kolonel.
Sudah diketahui sendiri oleh para prajurit lain, bukan hanya satu dua, tetapi hampir seluruhnya, bahwa Edie adalah prajurit yang tak kenal takut, selalu bisa membaca gerak-gerik lawan, dan pandai bersembunyi.
Anak yang sempat diremehkan—terlepas dari siapa orang tuanya—di beberapa bulan pertama, dengan cepat diakui sebagai bocah yang jenius. Banyak orang tak berani memandangnya sebelah mata. Sebagian menghormati, bahkan dia disegani, saat perlahan-lahan jabatannya naik dengan cepat berkat berbagai pujian dari para atasan.
Menjadi pemimpin asisten pasukan, kemudian wakil, hingga menggantikan sang pemimpin itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, dia dipercaya untuk memegang sebuah batalyon.
Di usia delapan belas tahun, Edie kemudian menjadi petinggi termuda KNIL dengan jabatan mayor jenderal.
Semua orang hormat padanya tiap kali dia memasuki markas KNIL. Seragamnya penuh dengan berbagai tempelan dan pin. Wajahnya sudah jauh lebih tegas. Tubuhnya cepat tinggi. Pundaknya tegap sempurna. Setiap gerakannya seperti tertata dengan begitu detail. Tak ada yang terlewat, tak ada yang terjadi tanpa melalui pemikirannya yang rinci terlebih dahulu.
“Seorang tamu datang, ingin menemui Anda.”
“Sambut dia, seperti tamu-tamu yang lain.”
“Dia tampaknya kurang senang bila sekadar menemui seorang letnan.”
Edie memeriksa senapannya, memastikan amunisi terisi penuh dan tak ada yang salah, kemudian menyimpannya di belakang punggung. “Lantas persilakan dia kemari,” perintahnya, “Capellen.”
“Laksanakan!”
Edie menunggu di tempat dia kerap menyambut tamu. Sebuah ruangan luas, langit-langit tinggi, dengan meja lebar dan kursi di dua sisi. Tak ada teh atau cemilan seperti halnya perjamuan rumah para bangsawan. Begitu pintu dibuka, lambang besar KNIL menyambut, terpasang kokoh di dinding, seperti sebuah tegasan secara tidak langsung bahwa ini adalah wilayah kekuasan mereka.
“Mayor Jenderal Edie, suatu kehormatan bertemu Anda.”
“Tuan Masahiro.” Dia tersenyum singkat, menyalami pria itu, sebelum tatapannya bergeser kepada makhluk kecil yang bersembunyi di belakangnya.
Pria itu tertawa kecil. “Maaf sedikit merepotkan. Ini putriku, Hanako.”
“Hallo,” katanya, tetapi gadis kecil itu tak merespons. Lantas, Edie tersenyum sedikit lebih lebar. “Konbanwa….”
Gadis kecil itu akhirnya menatapnya. Seperti tertarik, tetapi malu-malu pula.
“Aku yakin dia akan menjadi anak yang membanggakan dalam beberapa tahun ke depan, anak kecil begitu cepat belajar.”
Hari itu mereka mendiskusikan banyak. Namun, Edie tak begitu mengingatnya. Yang ada di pikirannya adalah sebuah strategi besar, yang tersimpan rapat-rapat di dalam kepalanya, dia membuat berbagai garis dari sebuah skenario besar untuk mengira kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di setiap bagian-bagian kecilnya. Sebuah rencana kompleks dan tak boleh salah barang sedikit pun.
Yang Edie ingat hanyalah sebuah foto yang diambil tepat setelah diskusi mereka. Edie berdiri di sebelah Masahiro. Pria Nippon itu bersampingan pula dengan salah satu anak buahnya. Di sisi lain, di sebelah Edie ada anak buahnya, Letnan Samuel Julio de Capellen. Sementara Hanako kecil berdiri di tengah, sudah lebih tidak malu-malu setelah berada di ruangan yang sama dengan Edie selama beberapa jam—anak itu sudah lebih terbiasa dengan keberadaannya.
Sayangnya, meski gadis kecil itu tampaknya mulai terbuka, bahkan inisiatif untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Edie lebih dahulu ketika hendak pergi, dia tak akan bertemu kembali dengan Mayjen Edie—setidaknya, itu yang Edie yakini.
Lantaran tepat sepuluh bulan setelahnya, saat usia Edie baru mencapai sembilan belas tahun, sebuah insiden besar mengguncangkan seluruh KNIL. Sebuah bom yang dipasang diam-diam dan seharusnya meledak ketika pasukan pribumi merebut markas sementara salah satu batalyon KNIL, justru meledak lebih awal.
Menghabisi seluruh pasukan KNIL di sana. Kecuali satu orang, pimpinan mereka.
Mayor Jenderal Edie.
“Suatu kelalaian?”
Pertanyaan besar itu di tengah sidang paling mencekam di sejarah KNIL, tak pernah ada yang tahu jawabannya. Edie di sana hanya memandang sang pimpinan besar. Tidak menunduk, tetapi juga tidak sepenuhnya begitu acuh untuk mendongak memandang orang itu.
Satu dua tatapan penuh keheranan yang bercampur harapan kecil, masih terlihat dari para prajurit tiap kali Edie berjalan di sepanjang markas KNIL. Namun, tidak lagi ketika rentetan peristiwa menggemparkan terus terjadi setelahnya.
Ledakan itu, hanyalah suatu acara pembuka.
Kehancuran satu batalyon memang tak membuat pasukan sebesar itu lumpuh, tetapi masalah-masalah berikutnya, membuat para petinggi geram bukan main.
Petinggi KNIL menjadi begitu gempar dengan drastis. Masalah tak pernah dibocorkan kepada para prajurit—entah untuk mencegah kepanikan atau begitu pengecutnya mereka hingga terlalu takut bila-bila ini menimbulkan pemberontakan atau pelengseran jabatan secara paksa.
Yang pasti, Edie yang semula sudah seperti anak emas yang dibangga-banggakan, kini diumpat habis-habisan oleh para petinggi.
Betapa malunya petinggi, hingga aib yang dilakukan Edie disimpan begitu rapat oleh mereka. Mengetahui betapa rahasianya hal tersebut, desas-desus di kalangan prajurit mengenai keburukan Edie—yang padahal bagi mereka entah apa itu—meluas dengan cepat.
Menghancurkan nama baik Sang Mayor Jenderal yang dibangun semenjak usia sembilan tahun saat dia pertama memasuki KNIL—hanya dalam hitungan hari.
Kini, tak ada lagi Mayjen Edie yang dibangga-banggakan.
Capellen satu-satunya yang mau repot-repot mencercanya—saat seluruh KNIL melontarkan berbagai umpatan dan ujaran kebencian padanya—meski Edie tak pernah sekali pun menjawab, tentang apa yang sebenarnya dia lakukan dan mengapa dia melakukan semua ini.
Lelaki itu selalu saja menggeleng, wajahnya menjadi sedikit lebih dingin setiap hari berlalu. Seperti meninggalkan Edie—yang para prajurit KNIL kenal—pada ledakan hari itu.
“Mayjen…,” hanya itulah yang tersisa ketika Capellen melihat Edie meninggalkan markas KNIL.
Tanpa pernah kembali lagi.
Edie memang tak membuat kehancuran begitu besar yang dapat dilihat menggunakan mata. Namun, tepat saatnya dirinya meninggalkan KNIL, dia bisa memastikan bahwa pasukan tentara itu perlahan-lahan akan hancur dari dalam.
Lelaki itu, meninggalkan tempat itu dengan sebuah pedang tajam yang menusuk dari bawah tanpa dilepas. Tak membuat banyak darah keluar—mungkin hanya rembesan, tak membuat lubang besar yang terlalu menghancurkan, tetapi merusak perlahan-lahan, seperti sebuah kutukan yang tak dapat dielakkan.
“Bumiputera!”
“Bumiputera!”
Edie menutupi segalanya dengan sempurna. Hari ketika dirinya diolok oleh seluruh KNIL, rasanya sudah seperti masa lalu yang hampir hilang. Kini dia telah berada di tempat yang begitu berbeda, tanpa seseorang mengetahui latar belakangnya.
Berdiri di sisi paling belakang dari deretan pemuda yang bersemangat dengan menggebu, sedangkan di depan terdapat pelataran tinggi tempat satu orang berteriak lantang akan perjuangan. Edie memandang mereka.
Mukanya tak lagi seperti anak lelaki yang keras kepala, atau mantan petinggi yang dingin, melainkan tenang—terlalu tenang, yang sesungguhnya sedikit mengerikan—dan samar-samar memberi petunjuk bila kata-kata sarkas sering keluar darinya bersamaan dengan tawa yang sulit diartikan.
“Bagus. Semuanya kembali ke lapangan latihan.”
Dia bukan seperti pemuda di atas pelataran barusan yang begitu menggebu dan mencolok, jauh lebih santai—bahkan hampir tak terlihat. Namun, bicaranya yang terlampau tenang dan percaya diri itu, mendorong kepercayaan semua pemuda.
Edie, seperti sebuah figur bagi mereka, bahkan kemerdekaan pasti akan bisa mereka raih, cepat atau lambat.
Warga sipil apalagi penjajah, hampir tak bisa menyadari keberadaan Edie saking tersembunyinya dia. Namun, di kalangan para penjajah, Edie adalah bayang-bayang besar di atas mereka. Tiada seorang pun tak tahu.
Tempat itu menjadi sepi saat para pemuda pergi. Namun, sebuah langkah mendekat, perlahan terdengar. Sama sekali bukan seperti jangkah tegas bercampur ceroboh para pasukan pribumi.
Langkahnya lebih tertata, bahkan hampir tak bisa disadari.
Senyuman tinggi terukir di bibir lelaki itu, seakan ramah, tetapi tidak sama sekali. Dia tetap berdiri di sana, membelakangi seseorang yang datang. “Ada keperluan, Tuan?”
Malam ini, tepat tiga tahun berlalu semenjak Edie resmi ditendang dari KNIL. Anak buahnya—lebih tepatnya mantan—yang dahulu mukanya masih kencang, kini terdapat satu dua kerutan samar-samar. Seragamnya telah berbeda dari terakhir kali Edie melihat, lebih ramai, walau tak seramai yang dia kenakan dahulu.
Langkah lirih itu akhirnya berhenti, tepat di belakang lelaki itu. “Aku selalu mengawasimu selama ini, kau tahu… sejak pertama kali Belanda datang dan kau masihlah seorang bayi yang tak tahu apa pun, ketika kau perlahan tumbuh menjadi anak lelaki yang belajar di sekolah Belanda, betapa bangganya aku ketika melihatmu pertama kali datang ke KNIL dengan muka khas anak baru remaja yang sulit diatur, mengetahui kau mendapat promosi jabatan—lagi-lagi, tak kusangka-sangka bahkan menjadi mayjen yang begitu cerdik yang selalu kuhormati… hingga kini, malah menjadi seorang pemuda pengkhianat! Apa yang sebenarnya kau lakukan, Bocah?! Ke mana perginya Eduard kecil yang menggemaskan itu?”
Satu detik keheningan—terasa begitu dingin dan sesak padahal siang tengah berik dan mereka berada di tempat terbuka, sebelum lelaki itu berbalik, lantas berlalu pergi, melewati orang itu begitu saja. “Maaf, tetapi sepertinya kau salah orang. Sejak awal, anak yang kau kenal sebagai Eduard, tidaklah pernah ada. Namaku bukan Eduard… melainkan Edie.”
Sebuah hentakan kaki kencang tiba-tiba terdengar. Ujung senapan menempel tepat di belakang kepala Edie.
Lelaki itu hanya tertawa, meliriknya. “Kau tak akan pernah bisa menembakku. Benar, bukan,” kemudian, nada bicaranya berubah, persis seperti si anak lelaki sembilan tahun yang baru saja menjadi bagian dari KNIL, “Letnan Capellen?”
Suaranya lantas berubah lagi, kembali tak acuh dan terlampau santai seperti biasa, “Tidak… saat ini, kau telah menjadi seorang letnan kolonel rupanya.”
Sisanya, setelah itu, hanyalah udara kosong yang kering.
Rembulan telah menjadi makin tinggi, tanda malam telah larut, saat bangku kosong di belakang sebuah markas prajurit pribumi yang biasanya hanya ditemani oleh hembusan angin dan deru gesekan ranting serta dedaunan, sedikit terasa hidup oleh satu orang di sana.
Lebih tepatnya dua, tetapi satunya baru datang.
“Bukannya aku sudah bilang untuk mengganti perban? Lukamu tidak akan dengan ajaib sembuh.”
“Marie akan mengurusnya nanti. Mengapa kau begitu peduli?”
“Aku bukan peduli,” dia menggerutu. Rambutnya telah lebih panjang dari momen saat pertama kali bertemu dengan lelaki itu. Tingginya juga dengan cepat bertambah—walau belum menyalipnya.
“Kau akan ketinggalan kapal menuju kediaman besar ayahmu, lho… Hanako.”
“Mengapa kau peduli?” katanya, dengan enteng membalas omongan lelaki tersebut barusan. Gadis itu justru duduk di sisi lain bangku kosong, agak jauh darinya. “Ngomong-ngomong, yang tadi siang… bukankah dia anak buahmu, si Letkol Capellen itu? Aku terkejut dia masih hidup.”
“Kau pandai menguping rupanya—dan juga memata-matainya.”
Siang tadi saat Edie mengawasi para prajurit pribumi memberikan orasi, Hanako tak ada di sana—tentu saja.
Gadis itu menghela napas panjang, setengah mengeluh. “Tragedi waktu itu benar-benar sebuah berita besar. Petinggi di Tentara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang beberapa kali membicarakan tentang itu.”
Edie menyandarkan punggungnya. Meski seperti bersantai, mata lelaki itu seperti tak bisa menurunkan waspada barang sedikit saja. Tatapan lurus pada gulita malam di balik pohon-pohon tinggi, tetapi entah apa yang sebenarnya dia lihat.“Yah, tak salah bila kau bertanya-tanya….”
Hanako menoleh, menatapnya.
Namun, Edie kemudian tak mengatakan apa pun lagi.
Hari itu, semalam sebelum pasukan yang dipimpinnya berangkat menuju lokasi, Edie mengungkit kesalahan Capellen dan memberinya hukuman berupa penangguhan untuk bekerja di bawahnya sementara waktu—dengan sengaja.
“Pasalnya… dia satu-satunya yang berbeda.”