Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Menjelang hari kepergianku kerap kali aku diingatkan ayahku pada kewajibanku. Kuiyakan selalu sembari mencium keningnya. Ayahku tampak senang dan lega, mungkin sebelumnya, karena keinginannya itulah ayahku ditinggal pergi oleh anak-anaknya yang lain—mereka memutuskan menetap di pulau-pulau jauh yang masih subur demi masa depan dan peradaban baru di sana.
Sewaktu melepas kepergianku, sembari terus menyertai langkahku di sepanjang jalan setapak halaman rumah kami yang luas ayahku tersenyum lepas selepas-lepasnya, betapa gembiranya ayahku saat itu, lalu tiba-tiba mencengkeram kuat lenganku. Aku pun berhenti, dan ayahku berkata, “Ayah menunggumu, Nak!”
Aku mendapati tatapan penuh harap di matanya yang keruh tapi bersinar, seakan-akan akulah manusia yang menjadi keturunannya satu-satunya.
“Tidak akan bergeser sehari pun, Yah!” jawabku tegas, “Aku pasti pulang!”
Aku tahu kuatnya cengkeraman tangannya semata-mata bermaksud mengimbangi semangat masa remajaku, yang hingga sekarang tidak sedikit pun pudar, masih menggebu-gebu dan tentu saja aku masih sangat berkomitmen untuk memenuhi kewajibanku itu: begitu batas waktu keluyuranku berakhir aku akan bersungguh-sungguh mempelajari isi dokumen ingatan kakekku.
Maka, yang pertama kali kulakukan ketika aku kembali ke rumah adalah menuliskan kata ‘limbah nuklir’ di kolom pencarian dokumen ingatan kakekku. Hanya satu saja yang dipikirkannya: semestinya Tanah Subur bisa diselamatkan.
Tanah Subur?
Saat aku menuliskan tanah subur di ruang dokumen berita, yang paling banyak dibicarakan orang-orang yaitu mengenai peperangan tiga puluh tahun lalu, dan ternyata sebelum itu, sebelum ditenggelamkan oleh ledakan rudal nuklir, pulau kecil itu juga dijadikan tempat “pembuangan akhir”.
Bisnis seperti itulah yang kemudian diwariskan oleh ayahku kepadaku: mengelola tangki penyimpanan limbah nuklir, dan sekarang menjadi satu-satunya yang tersisa di dunia. Bisnis yang telah membuatnya ditinggal pergi oleh anak-anaknya yang lain.
Kuberitahu ayahku bahwa untuk memahami seluk-beluk mengelola tangki penyimpanan itu agar tetap berlanjut seperti keinginan kakekku tidaklah dapat kuraih dan kuwujudkan secara instan. Ayahku sama sekali tidak mempersoalkannya, ayahku sedang teramat bahagia karena aku benar-benar pulang. Harapanku, kebahagiannya itu akan abadi pula menyertai hari-harinya.
Akan tetapi kemudian aku agak bimbang juga, sebab, kendati menakjubkan, isi dokumen ingatan itu terasa mengerikan. Memberi harapan sekaligus mengintimidasi kenyamanan. Membuatku gugup. Aku tertarik tapi terguncang dengannya. Tapi karena aku mempercayainya, aku memutuskan bertumpu kuat-kuat pada pola pikir kakekku itu. ‘Batas waktu yang kita miliki tidak seberapa, urusan berikutnya semua itu mesti dimusnahkan’. Itulah yang kakekku pikirkan di detik-detik kematiannya.
Dan, pertemuanku dengan Harum Daun, kebersamaan kami di hari-hari keluyuranku saat itu, yang menyenangkan sekaligus menyakitkan selama dua tahun lebih, semakin mengokohkan keyakinanku: melenyapkan Teknologi Nuklir dari kehidupan manusia.
Jauh dari keinginan semula, tidak banyak tempat yang aku datangi saat aku keluyuran. Satu bulan berlalu, begitu tiba di sebuah pulau kecil di antara puluhan pulau kecil yang menyempil di bagian-bagian tertentu bumi ini, aku tidak perlu pikir panjang pada saat memutuskan menetap sementara waktu di tempat itu.
Sore bulan Januari itu kami berkenalan di pelabuhan yang mulai sepi. “Orang asing?!” Nada bicaranya terdengar lebih hendak menyapa ketimbang bertanya.
“Negara kecil adalah negerinya orang-orang periang!” kataku sembari mendekatinya.
Dia bangkit berdiri untuk menyambut kedatanganku. “Wah, benarkah?!”
“Orang periang punya banyak teman,” kataku lagi saat kami sudah berdekatan.
Kami bersalaman, lalu dia menyebut namanya, “Harum Daun."
Kukatakan padanya, sebelum tiba di sini ketika berada di tempat-tempat lain, tiada seorang pun yang menghiraukan kehadiranku. Wajah mereka masam.
Dia tampak sedikit kaget. “Memangnya kamu siapa?”
“Tempat meraka berharap,” jawabku.
“Konyol sekali. Sepenting itukah?”
Aku tertawa lagi dan dia pun ikut tertawa tapi seperti ditahan.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya kemudian.
“Tanpa tujuan pasti.”
“Lalu apa yang kamu inginkan?”
“Orang-orang berhenti berharap padaku.”
Kali ini tawanya benar-benar pecah. “Sialan!”
Dia lalu mengambil joran yang tadinya diletakkan begitu saja di pasir putih saat kami berkenalan.
Tiba-tiba, sebuah roket lewat di atas kepala kami. Aku kaget, "Apa itu?!"
"Kamu tidak tahu?"
"Kamu tahu?"
"Aneh, kamu tidak baca berita?"
"Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri."
"Karena merasa sudah nyaman dengan kehidupanmu sendiri sehingga kamu tidak peduli lagi dengan sekitar?"
"Apa kamu... apa yang kamu pedulikan?"
"Aku menjaganya hampir setiap waktu, agar mereka tidak menemukannya."
"Menjaga..."
Harum Daun segera memotong cepat pertanyaanku. "Resep Nuklir."
"Oh, ternyata kamu orangnya, yang telah menguncinya dengan sangat kuat. Hingga hari ini belum juga bisa dibuka oleh siapapun."
Teman baruku ini semakin menarik perhatianku. Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya. "Kalau memang betul kamu yang menjaganya, kenapa sekarang kamu berada di sini?"
"Sesekali aku keluar sebentar untuk menghibur diriku."
"Bolehkah aku bermain ke rumahmu?"
"Sebaiknya jangan. Tapi aku punya rumah pohon tidak jauh dari sini, jika kamu butuh tempat untuk menginap, aku akan membawamu ke sana."
"Terimakasih atas kebaikanmu. Baiklah, ijinkan aku tinggal di situ. Oh iya, kenapa kamu memberitahukan itu kepadaku?"
"Kamu orang asing dan butuh tempat menginap, sebentar lagi malam."
Aku tertawa. "Bukan itu maksudku."
"Menjaga resep Nuklir?
"Bagaimana jika saja aku orang jahat yang sedang mencari resep itu?"
"Kalau begitu aku akan menyesalinya sekarang. Harusnya aku tidak percaya dengan perasaanku. Awalnya kupikir kamu orang baik."
"Kamu berubah pikiran?"
Harum Daun terdiam.
"Kamu boleh membatalkan keputusanmu tadi. Aku akan tidur di sini malam ini."
"Ceritakan tentang dirimu sebelum aku memutuskan hal tidak baik terhadapmu."
"Hal tidak baik?"
Dia mengeluarkan sepucuk pistol dari tas selempang yang dipakainya dan menodongkannya tepat ke arah kepalaku.
"Aku harus cerita apa?" Aku tersenyum dan berupaya tenang. Tapi aku tetap waspada. Bagaimanapun juga aku belum berteman dekat dengannya. Dia juga orang asing di mataku.
"Kenapa orang-orang akan menaruh harapannya padamu?" Kini wajahnya tampak serius. Di balik anak rambutnya yang sedang dimainkan angin, kulit keningnya tampak berkerut.
"Aku si penjaga limbah. Kalian semua menghidupi kami karena itu."
"Menghidupi kami?"
"Aku dan ayahku."
"Limbah nuklir?"
"Aku harus membantu ayahku, tapi tidak sekarang."
"Aku tahu tentang ayahmu. Bukankah dia tinggal sendirian di sana?" Dia menurunkan pistolnya dan menyimpannya kembali ke dalam tas selempangnya.
"Tentu saja semua orang tahu pada ayahku."
"Berarti aku berbuat benar telah mengijinkanmu tinggal di rumah pohonku."
"Ceritakan padaku tentang rudal tadi."
"Besok saja di rumah pohon, ayo kuantar sekarang ke rumah pohonku itu. Sebentar lagi malam."
Sembari berjalan mengikutinya aku bertanya lagi, "Bolehkah aku bermain ke rumahmu besok pagi?"
"Sebaiknya jangan, bibiku jahat sekali."
"Jahat?"
"Dia juga bisa membuatmu kaya raya."
Aku tertawa. "Tadi katamu dia jahat."
"Makanya dia bisa membuatmu kaya raya."
*
bersambung