Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Arnold masuk ke rumahnya yang remang dengan langkah cepat dan terburu-buru dan mencari istrinya ke setiap ruangan yang biasanya menjadi tempat favorit perempuan itu menghabiskan waktu. Hari masih pukul empat sore, tapi mendung yang menggayut di langit membuat penerangan alami di dalam rumah besar itu menjadi kurang maksimal. Bayangan tubuhnya pun menjadi begitu suram dan seperti kelelahan mengikuti dirinya yang terkadang berjalan cepat, atau berlari kecil, atau mendadak berdiri terpaku; bingung dan merutuki diri.
Tak ada lampu yang menyala. Bahkan, tak ada siapa-siapa. Ia menyerukan nama istrinya dan suaranya hanya membentur dinding dan kembali sebagai gema yang dingin. Meski pintu-pintu dan jendela-jendela semuanya dalam kondisi tak terkunci, namun ia gagal menemukan istrinya di mana-mana. Ia menyusuri halaman belakang dan menghamparkan pandangan ke seluruh penjuru taman, ke rumpun-rumpun melati, ke kolam renang, ke gazebo mungil yang biasanya menjadi tempat istrinya rebahan sembari membaca. Nihil. Ia bahkan tak mendapati bayangan perempuan itu sedikitpun di sana.
Arnold mengeluarkan ponsel dan membuka kembali pesan yang dikirimkan kepadanya tadi pagi. Karina, gadis sembilan belas tahun, anak satu-satunya yang ia dan istrinya miliki dalam perkawinan mereka yang sudah berjalan 20 tahun lamanya itu, mengirim pesan penuh kepanikan dari Kuala Lumpur. Ia telah bermukim selama 3 tahun di negeri itu untuk melanjutkan pendidikan dan Arnold sangat bangga kepadanya.
Papa, sudah dari kemarin sore ponsel Mama tidak bisa dihubungi sama sekali. Papa di mana? Tolong segera pulang dan cari mama ya, Pa. Hati Karina nggak tenang. Tolong ya, Pa. Jangan berantem lagi. Please…
Jantung Arnold berdegup kencang ketika membaca pesan itu dan keringat dingin mengucur deras di dahi dan lehernya seperti bulir-bulir hujan yang menampar kaca jendela, tepat di depannya saat ini. Sudah lima hari ia tak pulang ke rumah seusai perdebatan yang dipenuhi dengan kalimat-kalimat setajam pedang yang berlangsung di kamar utama rumah mereka. Ia mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang penting ke dalam koper di tengah hujan umpatan, lalu bergegas meninggalkan kamar dengan istrinya yang sibuk memaki sembari menangis melolong-lolong seperti anak anjing Siberian Husky milik tetangga mereka. Berisik, menyayat hati sekaligus menguras emosi. Ia tak menyurutkan langkah, meskipun istrinya terus histeris dan memakinya dengan kata-kata yang sering diucapkan oleh perempuan-perempuan penghibur murahan di pinggir jalan. Rasanya Arnold sudah lupa seperti apa ia pernah mencintai perempuan itu sebelumnya. Ia berjalan cepat dengan kepala dan dada yang sesak dan harga diri yang terkoyak.
Arnold terus berjalan menuju mobilnya dan duduk terpaku di balik kemudi untuk beberapa saat. Ia menatap jendela kamar utama di lantai dua dengan mata basah. Dari dalam mobil ia masih dapat mendengar teriakan istrinya, yang suaranya mulai parau dan tercekik-cekik dan terdengar begitu menyedihkan.
“Pergilah! Pergi selamanya dan kau akan menyesalinya!!”
“Pergilah! Kau lelaki paling dungu yang pernah ada di dunia ini! Pergiiii!!” Itu dua teriakan terakhir yang masih terdengar jelas oleh Arnold, sebelum telinganya berdenging kencang, yang tak hilang meski ia menepuk-nepuknya dengan telapak tangan.
Arnold menangis diam-diam di dalam mobil dan membentur-benturkan kepalanya ke kemudi hingga ia merasa kepalanya menjadi sedikit ringan dan tak berapa lama ia mulai mengantuk, seolah-olah ada kantung air mata yang sangat membebani kelopak matanya. Sejak ia kecil begitulah kebiasaannya, kalau sudah menangis maka ia akan mengantuk, lalu tertidur di mana saja. Ibunya melabelinya sebagai anak manja; Sama seperti bapakmu! Selalu menangis dan tertidur dengan cepat, meski di tengah situasi yang tak mengenakkan. Semoga kau tidak selalu membuat kesalahan, menyesali lalu kemudian mengulanginya kembali dan berharap orang lain harus selalu mengerti, seperti dia.
Itu diucapkan ibu ketika ia tertidur di saat ibunya mengomel. Arnold telah memecahkan gelas keramik kesayangan ibu. Tentu saja ia tak sengaja melakukannya. Arnold kecil berlari-larian di dalam rumah, kakinya tersandung kaki meja dan ia nyaris tersungkur kalau saja tak cepat meraih taplak meja yang menjuntai. Sayangnya, taplak meja kain itu tak sanggup menahan berat tubuhnya. Taplak tertarik dan sebuah gelas keramik milik ibunya ikut bergeser hingga ke tepi meja, lalu jatuh membentur lantai; pecah berkeping. TRAAANNG!! Ibu datang dan sesi omelan pun dimulai.
Arnold mendengarkan setiap kalimat yang meluncur dari bibir ibunya dan membayangkan bibir tipis itu seperti sarang pisau yang melemparkan belati-belati kalimat tak berkesudahan di udara dan mendarat di dadanya berkali-kali sebagai nyeri tak terperi. Arnold merasa sekarat.
Arnold meraba dadanya dan memejamkan mata. Ia merasa darahnya mengucur deras dari lubang-lubang di balik dekapan telapak tangannya dan ia mulai mengantuk. Kantuknya semakin dalam, dan tahu-tahu saja ia sudah tertidur dengan tenang. Di dalam tidurnya ia bermimpi menangkap belati-belati ibu dengan tangannya dan menanamnya dengan tenang di dada ibunya yang tipis dan tak bertenaga. Denyut jantungnya yang lemah dan napas yang terengah-engah dari wanita itu membuat Arnold iba dan ia akan mengelus kepala ibunya sembari berbisik, “Tidurlah, Bu. Tidurlah dengan tenang.”
Arnold selalu mengantuk saat ibunya marah dan akan menjadi merasa gembira saat ibunya tertidur.
Tapi sekarang tentu berbeda situasinya. Arnold mulai mengantuk namun tak ingin tertidur di mobil yang masih terparkir di carport rumahnya, dengan istrinya yang masih berteriak-teriak seperti kerasukan setan di kamar mereka. Ia tak ingin istrinya memergoki bahwa ia belum juga pergi. Arnold menghidupkan mesin mobil, melaju dengan kencang di tengah rasa kantuk yang coba ditepis dengan menghidupkan musik rock sekencang-kencangnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama musik yang cepat dan berdentum-dentum hingga menembus jantung itu.
Arnold tak punya tujuan sama sekali dan mengemudikan mobilnya ke mana hatinya menginginkan. Belok kiri, belok kanan, jalan terus tanpa berbelok-belok, lalu berhenti di depan sebuah perumahan dan menatap lama ke gerbangnya dan kembali mengemudi dengan kepala yang penuh dan bergoyang-goyang. Seseorang di perumahan itu adalah topik keributan hari ini antara dia dan istrinya. Ia ingin sekali berbelok ke perumahan dan menemui perempuan itu, tapi hatinya mendadak berat dan enggan. Entahlah, saat ini rasanya ia keberatan bertemu dengan siapapun, meski mereka pernah punya secarik cerita di malam-malam yang tak pernah diingatnya.
Lelaki itu kelelahan mengemudi dan menghentikan mobil di depan sebuah penginapan di pinggiran kota. Penginapan itu begitu sederhana, layaknya rumah-rumah penduduk umum dengan dinding bercat putih yang tampaknya sudah bertahun-tahun tak diperbarui dan jendela sisir dari kayu berwarna cokelat tua yang permukaannya dilekati debu tebal dan dua buah pintu berwarna senada; satu di depan dan satu di samping. Tak seorang pun yang akan memercayai rumah itu sebagai penginapan, kecuali setelah membaca papan kayu besar di depan gerbang pagar besi yang bertuliskan; PENGINAPAN MAWAR.
Arnold sudah benar-benar mengantuk ketika tiba di depan penginapan dan ia tak ingin mencari tempat lain lagi. Baginya, cukuplah saat ini tempat ia bisa merebahkan diri dengan tenang dan nyaman, tidur hingga beberapa jam ke depan, agar seluruh ingatan tentang kata-kata tajam istrinya dapat terbakar di dalam mimpinya. Ia memandang sejenak ke penginapan di depannya, sebelum memasukkan mobil ke halaman penginapan, melintasi gerbang besi berwarna hitam yang terbuka lebar. Musik rock yang ingar bingar di mobilnya sudah cukup lama berhenti.
Arnold turun dari mobil dan menyeret kopernya, lalu mendorong pintu penginapan yang tak terkunci dan menemui resepsionis; seorang perempuan berusia tiga puluhan dengan kacamata berbingkai cokelat bulat yang bertengger di hidungnya dan rambut ikal hitam sebahu. Ia menyambut Arnold dengan ramah dan memberikan kunci kamar paling ujung di lorong panjang tepat di samping kiri meja resepsionis. Ia tak meminta KTP Arnold, tak mencatat nomor ponselnya dan hanya menanyakan nama saja, lalu mempersilakan lelaki itu beristirahat.
Kamar yang diberikan oleh resepsionis itu sudah pasti bukan kamar dengan kualitas hotel berbintang, bukan pula kamar dengan standar kenyamanan dan pengaturan rumah pribadi sebagaimana yang baru ditinggalkannya. Melainkan hanya sebuah kamar berukuran 3 x 4 meter yang memuat sebuah tempat tidur kayu tua berukuran besar, dengan nakas dua laci di kiri kanannya, yang salah satunya dihiasi lampu tidur antik victorian style bertudung kain motif floral kombinasi warna krem dan merah bata, dan ukiran-ukiran rumit yang menyimpan debu dengan sukarela. Selain itu, ada satu stand hanger kayu berwarna hitam di dekat pintu toilet, meja rias tua bergaya victorian style cokelat yang dilengkapi cermin dan lemari kayu dua pintu yang sama tuanya dengan benda-benda lain. Di atas ranjang berseprai putih itu terdapat dua bantal dan satu guling berukuran besar dan satu selimut tebal berwarna merah, kontras dengan tone ruangan keseluruhan. Tapi Arnold tak peduli. Ia sudah sangat mengantuk dan yang dibutuhkannya sudah tersedia di kamar itu. Cukup.
Tanpa membuang waktu lagi, Arnold menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan memeluk guling erat-erat. Ia berharap dapat bermimpi panjang, dengan istrinya yang tak lagi menjerit-jerit dan memaki-maki, dengan anaknya yang ceria dan selalu memeluknya, dengan waktu yang berlalu dalam kebahagiaan. Arnold benar-benar tak ingin diganggu untuk beberapa waktu. Ia telah mengatakannya kepada resepsionis di meja depan untuk tidak mengantarkan air, handuk dan benda-benda lain yang belum dibutuhkannya. Jangan mengganggunya untuk alasan apapun.
*****
Samira menekuri dirinya di tepi telaga yang sunyi, di bawah langit mendung yang temaram dan menyisakan samar wajah rembulan. Tempat ini adalah ruang sembunyinya selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Samira menemukannya pada usia sepuluh tahun, ketika ia tengah bermain layangan dengan tiga bocah lelaki yang menjadi teman sepermainannya, tak jauh dari rumah orangtuanya. Sejak saat itu, ia selalu berada di tepi telaga saat hatinya sedih ataupun gembira. Ia bercermin di permukaannya dan memandangi pantulan wajahnya tanpa bosan dan merasa dirinya secantik puteri-puteri raja.
Telaga itu tak terlalu besar, dengan permukaan air yang kehijau-hijauan karena banyaknya lumut dan tumbuhan air lain yang hidup di dasarnya. Di sekitarnya terhampar padang rumput yang cukup luas dan beberapa pohon buah-buahan. Setelah dewasa, Samira baru mengetahui bahwa tempat itu adalah kepunyaan kakeknya, yang diwariskan seluruhnya kepada ibunya, anak tunggal kakek nenek.
Ibunya meninggal beberapa tahun lalu dan tanah itu menjadi milik Samira, yang juga tak memiliki saudara kandung. Sesekali, saat hatinya gundah, Samira mendatangi rumah masa kecilnya yang kosong sekaligus singgah ke telaga kecil itu dan berkeluh-kesah di sana. Pusaran-pusaran air yang beriak samar seolah memberikan jawaban terhadap keluhan-keluhan perempuan itu. Ada masa-masa di mana berpuluh-puluh tangkai teratai merah muda tumbuh menutupi permukaan telaga, sebelum punah satu-persatu dan menghilang tanpa bekas, kecuali meninggalkan lumut-lumut dan tumbuhan tak berguna di dasar telaga.
Pohon-pohon buah di sekitar telaga telah berulangkali memberikan kebahagiaan bagi orang-orang kampung, baik yang memakannya untuk kesenangan diri sendiri, dibawa pulang untuk keluarga, atau yang mengambilnya berkarung-karung lalu menjualnya diam-diam ke pasar. Samira enggan mempermasalahkan hal remeh-temeh dan ia merasa sudah cukup bahagia jika sesekali datang ke tempat itu masih menemukan buah-buahan bergantung di pohon-pohon. Toh, ia pun sudah hidup dengan bahagia di kota bersama keluarga kecilnya; seorang suami yang baik dan seorang putri yang ceria, sebelum semuanya menjadi terasa begitu membingungkan, sesak dan menyakitkan. Samira akhirnya setuju bahwa penderitaan dan rasa sakit seringkali hadir tiba-tiba di tengah rasa nyaman dan cukup yang berlebihan. Orang beriman menyebutnya sebagai ujian dari Tuhan. Tapi Samira lebih cenderung menyebutnya sebagai kutukan, alih-alih karma. Ia tak pernah merasa ikhlas menerimanya dan celakanya rasa sakit itu semakin menjadi-jadi, mengubah dirinya menjadi Samira yang tak lagi dikenali oleh orang-orang di sekitarnya.
Samira tak menemukan bayangan wajahnya di permukaan air yang kehijauan itu, konon pula tubuhnya, sebagaimana waktu-waktu sebelumnya. Padahal kedatangannya ke tempat ini untuk bercermin, melihat wajahnya yang gundah, seperti hari-hari lampau. Mendadak ia merindukan wajah pucat dan memendam kesedihan itu mengapung-apung di sana, seperti tiga hari sebelumnya. Setidaknya, dengan melihat pantulan wajahnya di sana, Samira mampu berlega hati dan tak menyesali keberadaannya yang fana.
Oh, rindu ini benar-benar membuat Samira gelisah. Ia tak mampu beranjak sedikitpun dari tepi telaga dan berharap menit-menit panjang yang dilaluinya dapat terbayar dengan munculnya bayang wajah perempuan berusia pertengahan empat puluhan dengan hidung bangir, bibir tipis dan sepasang mata sayu di permukaan air itu. Samira tak peduli bila ia harus menunggu beratus-ratus atau beribu-ribu menit lagi. Ia hanya menginginkan pantulan wajahnya kembali sebelum berdiam sepenuhnya di dalam kegelapan yang sunyi. Baginya itu yang paling penting saat ini, ketimbang rasa sakit hati pada seorang lelaki yang telah selama 20 tahun belakangan ia dampingi. Setelah lelaki itu memutuskan pergi dari rumah mereka lima hari yang lalu, ia mendadak lupa tentang perasaan cinta sekaligus kebenciannya yang menggebu-gebu kepadanya. Ia hanya ingat setelah lelaki itu pergi, ia berteriak-teriak hingga suaranya tak tersisa lagi, bahkan saat menelpon anaknya pun harus berbisik-bisik sebelum menyerah dan menutup telpon dan memilih mengirimkan pesan sangat panjang berisi keluh kesah. Sabar ya, Mama, begitu balas Karina menanggapi pesannya, yang dibaca Samira dengan sesenggukan dan tangis panjang memilukan.
*****
Arnold benar-benar merasa kalut dan kehilangan akal kini. Betapapun tajamnya mulut Samira menyerapahinya, namun jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ia tetap mencintai istrinya. Kecemburuannya yang berlebihan, keposesifannya yang seringkali mengada-ada dan kebrutalan kalimat-kalimat makiannya, tak membuat nama perempuan itu tercerabut dengan mudah dari hatinya. Bertahun-tahun nama itu tumbuh membesar dan menguatkan akarnya di dalam hati Arnold, bercecabang dengan serabut-serabut yang mencengkeram. Berjauhan dengan Samira membuat Arnold limbung, meski dekat juga membuat ia kehilangan diri dan ingatan.
Arnold terus mencari istrinya di ruangan-ruangan yang ada di rumahnya, dari satu ruang ke ruang lain dan balik kembali menyusuri ruang-ruang sebelumnya, hingga kegelapan sepenuhnya mengurung penglihatannya yang menua. Tapi Arnold terus berjalan hingga malam dan siang berlalu begitu saja dari pandangan. Ia berjalan mengikuti kemauan kakinya dan menyerukan nama istrinya. Arnold tak benar-benar memahami apa yang terjadi sepanjang perjalanan, hingga tahu-tahu saja ia telah berada di dekat telaga. Ia memandang berkeliling dan mengenali tempat itu dengan segera. Ini tanah mendiang mertuanya yang telah dimiliki Samira. Tempat di mana Samira selalu menghabiskan waktu setelah pertengkaran-pertengkaran mereka yang panjang. Menyadari hal tersebut membuat Arnold melangkah kian cepat. Ia merasa istrinya berada tak jauh dari tempatnya sekarang. Samira pasti di sini, pikirnya optimis.
Arnold terus berjalan mendekati telaga dan di bawah bayang samar cahaya bulan ia melihat sesosok tubuh berada di tepian telaga, berdiri bersandar pada sebatang pohon. Itu pasti Samira, pekiknya dalam hati. Ia menyeret langkahnya kian cepat. Ia tak mau perempuan itu berlari meninggalkannya.
“Samira!” serunya. Perempuan itu menoleh.
Arnold kian dekat dan jarak mereka sudah tak terlalu jauh lagi.
“Kenapa kau mengikutiku?!” Perempuan itu menghardiknya. Arnold menghentikan langkah dan menatap perempuan yang berdiri di bawah cahaya suram itu.
“Maafkan aku, Sayang. Ayo kita pulang,” bujuk Arnold lemah
“Tidak! Aku tidak mau pulang. Pergiii!!” Perempuan itu berteriak histeris. Arnold terpaku di tempatnya.
“Sayang…”
“Diam! Pergi kataku! Pergii!!”
Arnold mulai mengantuk. Ia bergegas mendekati istrinya dan merangkulnya erat. Namun Samira memberontak, bibirnya meracau sumpah-serapah tak karuan, ia memukuli Arnold bertubi-tubi. Di bawah bulan Arnold merasakan dadanya sakit diterjang tinju Samira yang tak terkendali. Ia semakin mengantuk. Samira masih memaki-maki dan dekapan Arnold semakin erat mengunci. Tubuh mereka limbung ke kanan dan kiri. Samar-samar Arnold melihat tepi telaga semakin tak berjarak dari mereka. Dadanya panas oleh tinju Samira dan kata-katanya yang kasar dan penuh penghinaan. Arnold ingin tidur. Ia melihat permukaan danau yang begitu tenang, lalu sekuat tenaga menarik tubuh Samira. Mereka berdua terempas dengan dahsyat, namun Arnold telah sangat mengantuk. Ia tak ingat apa-apa, tak mendengar apa-apa, namun ia masih mendekap erat istrinya. Dan tinju istrinya semakin melemah, kata-katanya lenyap berganti hening yang damai dan suara jangkrik di sekitar.
Di kejauhan samar-samar ia mendengar Karina, anak gadisnya, yang melengkingkan namanya dan nama istrinya dengan histeris. Ia ingin menyahuti Karina, tapi mulutnya terkunci erat, matanya terkatup rapat dan telinganya semakin kedap.
Malam semakin lingsir dengan dingin yang menggigit hingga belulang dan Arnold mulai merasakan kakinya melemah, semakin lemah dan menyerah kemudian, lunglai terkapar di lantai. Angin malam mendesir-desir, mungkin berasal dari pintu-pintu atau jendela-jendela atau ventilasi yang ia lupa di mana letaknya, merambat pelan di wajahnya. Arnold mulai kehilangan wajah Samira di ingatannya, berganti ingatan tentang lampu tidur antik victorian style bertudung kain motif floral kombinasi warna krem dan merah bata yang memenuhi ruang-ruang mimpinya. Ia merasakan kenyamanan yang telah hilang kini kembali lagi dan lelaki itu mendadak enggan keluar dari mimpinya. Senyumnya mengembang; petugas apotek itu benar-benar professional, ia telah memberikan obat tidur yang bagus di bawah todongan senjata miliknya dan membuatnya sangat tenang dan melupakan dunia yang membuatnya menderita.
*****
Arnold berjalan dengan lambat dan menatap sosok perempuan bergaun hitam yang berdiri membelakanginya dengan hati dan pikiran berkecamuk. Siluet tubuh perempuan itu terlihat begitu indah di bawah kilau bulan sabit yang tak sepenuhnya terang. Telaga di depannya tak beriak sama sekali. Pohon-pohon di sekitarnya ibarat bayang-bayang pilar yang menjaga tubuh perempuan itu. Perempuan itu hanya berdiri mematung memandang telaga dan ia tak ingin mengusiknya. Memandang siluetnya saja sudah membuat ia bahagia. Arnold tak ingin lebih.
Samira berdiri dan memandang permukaan telaga dengan hati yang tenang. Ia tahu, sekaranglah saatnya mengucapkan selamat tinggal untuk semua penderitaannya di dunia, juga ingatan menyakitkan tentang seseorang yang bermukim di hatinya. Ia memilih telaga dan padang rumput dengan berbatang-batang pohon buah warisan dari orangtuanya sebagai tempat istirah abadi. Mungkin ia bisa membuat pohon-pohon itu berbuah lebih lebat nanti, seperti kata para tetua kampung “Pohon-pohon berhantu pasti akan menghasilkan buah yang lebat dan lezat.”
*****
Pernah dimuat Magrib.id