Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seorang pria terperangkap di dalam ruangan sempit. Sinyal ponsel tidak sanggup menjangkaunya. Ia berteriak sekeras-kerasnya namun tiada yang mendengar kecuali dinding aluminium, yang kemudian memantulkan suara kepada dirinya kembali. Di tempat pengap ini, napas terasa semakin berat. Asa pelan-pelan menipis, tinggal menunggu waktu sebelum putus. Di luar, tak seorang pun menyadari keberadaannya. Begitu pula ketika hilang nyawanya.
Hari itu sekitar pukul 12 siang ditemukan tubuh yang sudah membusuk di dalam lift apartemen di kawasan Jakarta Barat. Baunya begitu menyengat, sebelah tangan dan kakinya bengkok. Dinding lift penuh oleh goresan, dan pada salah satu sisinya terlihat agak penyok. Nampaknya orang itu berupaya meminta pertolongan dengan memukul, menendang, sampai batas antara kewarasan dan kegilaan mengabur, ia mencakar-cakar dinding lift sekuat tenaga. Tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya. Ia mati karena dehidrasi dan kelaparan, menurut pemeriksaan forensik, dan waktu kematiannya diperkirakan nyaris sebulan yang lalu.
Sebulan sebelumnya.
Suryono mendatangi Apartemen Puri Elok di Jakarta Barat. Kunjungan ini adalah bagian dari jadwal rutinnya sebagai teknisi sebuah perusahaan penyedia layanan lift. Perawatan lift-lift di apartemen ini sebagian dilakukan setelah pukul 10 pagi, dengan harapan saat pengerjaan berlangsung sudah tidak banyak penghuni yang berlalu-lalang menggunakan lift untuk memulai aktivitas sehari-hari.
Di depan meja petugas keamanan ia menyapa seorang satpam yang sudah mengenalnya. Selesai berbasa-basi sebentar membahas skor pertandingan sepak bola semalam, kakinya bergegas melintasi lobi yang tidak luas, melangkah menuju salah satu lift di sudut kiri ruangan.
Posisi lift ini terpisah dengan dua lift lain yang berdiri berdampingan pada sisi kanan ruangan. Dan tidak seperti dua lift tersebut, yang umum digunakan oleh para penghuni apartemen, lift di pojok ruangan ini boleh dibilang terbengkalai. Posisi yang kurang strategis membuatnya jarang dilewati penghuni. Hingga kemudian lift tersebut lebih sering rusak ketimbang berfungsi, pihak pengelola apartemen pun cenderung abai, biasanya tidak segera menghubungi teknisi dari penyedia layanan lift, melainkan membiarkan saja sampai jadwal pemeriksaan berikutnya, awal bulan depan.
Pria akhir empat puluhan itu mengetuk pintu lift. Lift bergeming. Tidak ada orang di dalam. Dirinya baru saja akan memulai pemeriksaan lebih lanjut, namun tiba-tiba ponsel di saku kanan celana kargonya berdering.
“Halo,” ia mengangkat panggilan itu.
“Selamat pagi, Bapak Suryono. Perkenalkan saya debt collector dari layanan pinjol Quick Cash,” jawab suara di ujung sana.
Debt collector? Ada apa ini? Pikir Suryono.
“Maaf, saya tidak pernah menggunakan layanan pinjol,” balasnya.
“Memang tidak, tapi anak Bapak, atas nama Iwan Arianto.”
Betul, itu adalah nama putra semata wayangnya.
“Kami dari pihak pinjol sudah berkali-kali menagih tapi anak Bapak selalu mangkir. Terpaksa kami jemput ke tempat kerjanya, lalu membawanya ke kantor polisi.”
Deg. Dada Suryono seperti dihantam oleh palu godam. Seumur-umur belum pernah ia maupun anggota keluarganya berurusan dengan pihak berwajib.
“Selagi polisi melakukan pemeriksaan, saya ingin infokan jumlah uang yang mesti dibayar,” sambung suara itu.
“Berapa?”
“Termasuk bunga, totalnya tujuh puluh juta rupiah kurang sedikit.”
Jeda. Suryono tidak mampu berkata-kata. Palu itu menghantamnya sekali lagi. Kali ini di bagian kepala. Nyaris saja tubuh Suryono ambruk gara-gara kesadaran yang hendak meninggalkan dirinya, kalau lengan kirinya tidak buru-buru berpegangan pada pintu lift di hadapannya.
Kembali suara debt collector itu, “Bayar saja lima juta dulu kalau mau anak Bapak kami keluarkan dari kantor polisi, selebihnya silakan dicicil sesuai ketentuan pinjol. Sama-sama enak, kan?”
Tanpa perlu berhitung, Suryono tahu jumlah itu sama saja menguras tabungannya. Telapak tangan kanannya gemetar ketika ia tanpa permisi memutus sambungan telepon, demi melarikan diri dari perasaan yang campur aduk.
Masih sesak perasaan serta otaknya oleh kekhawatiran, ia mencari kontak anaknya itu di ponsel kemudian menghubunginya.
Tidak aktif.
“Pasti sedang diinterogasi oleh polisi,” pikirnya.
Kali ini giliran nomor istrinya yang ia hubungi. Namun sama saja. Ia mafhum, di jam-jam segini biasanya wanita tersebut antara sedang sibuk beberes rumah atau terlelap setelahnya.
Suryono memandangi lift sesaat, kemudian menoleh ke tas perlengkapan servis di sebelah kaki kanannya. Bimbang apakah ia mesti melanjutkan pekerjaan lebih dulu? Akhirnya, dirinya memilih tidak, dan memutuskan untuk bergegas pulang mengabarkan sang istri.
Di jalanan matahari semakin terik. Sepeda motor bebek ia paksa melesat di luar kebiasaan, hingga terasa gemetaran. Sudah gigi empat, tapi rasanya masih kurang cepat melibas jalan raya di hadapannya yang cukup kosong, mengingat arahnya berlawanan dengan ramai lalu-lintas yang menuju lokasi kerja orang-orang.
Di depannya adalah sebuah mobil MPV abu-abu yang terkenal punya lebar bodi di atas mobil-mobil setipenya. Suryono merasa terhalangi. Keadaan jiwanya sekarang bikin ia jauh lebih mudah disulut rasa tidak sabaran. Dengan sedikit perjudian ia mencoba menyalip di tikungan.
Apes, tiba-tiba dari balik kelokan ke kanan itu muncul sebuah mobil pickup, secara tiba-tiba, tidak kalah cepat dengan sepeda motornya. Refleks, kaki kanan Suryono menginjak pedal rem belakang, dan jemari tangan kanannya menarik tuas rem depan, sekuat tenaga.
Tapi untuk tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tabrakan tidak terelakkan.
Tubuh Suryono terpelanting ke depan, kemudian sempat membentur kaca depan pickup, sebelum mendarat dengan posisi tengkurap tertindih ban belakang sepeda motornya yang rebah ke samping, lalu bersama terseret beberapa meter, terdorong oleh mobil, sampai akhirnya mobil tersebut betul-betul berhenti.
Sontak kejadian ini membuat beberapa pengguna jalan menghentikan kendaraannya. Termasuk dua orang yang keluar dari sebuah mobil. Melihat keadaan Suryono yang terluka parah, bercak darah di beberapa bagian tubuh, mereka segera melarikannya menuju rumah sakit terdekat.
***
Orang di ujung sambungan telepon sana tahu-tahu menutup panggilan. Maka pria berkaos oblong ini meletakkan ponselnya di atas meja di hadapannya, dan menarik tubuhnya ke sandaran kursi kerja tempat ia duduk saat ini. Sambil menunggu perkembangan selanjutnya, ia beralih kepada laptop di meja itu juga, kemudian menyusuri data nomor telepon lain.
Diteguknya kopi yang sudah agak dingin saat dirinya menghubungi salah satu nomor. Dengan cara yang mirip-mirip dengan sebelumnya, ia mengaku sebagai seorang debt collector.
“Kami dari pihak pinjol sudah berkali-kali menagih tapi suami Ibu selalu mangkir. Terpaksa kami jemput ke tempat kerjanya, lalu membawanya ke kantor polisi,” ucapnya. Dan seterusnya.
Selebihnya tinggal menunggu sejumlah uang ditransfer ke rekening yang telah ia siapkan, seperti terjadi tadi malam ketika dirinya berhasil menggasak habis tabungan seseorang yang tidak punya simpanan selain Rp4 juta di rekeningnya itu, kemudian menghilang dengan memblokir panggilan telepon dari sang korban.
Diulanginya beberapa kali aksi tersebut, dengan ponsel yang berbeda-beda, hingga tanpa terasa waktu sudah melewati pukul 12 siang. Perutnya mulai keroncongan menuntut hak. Telapak tangan kirinya mengusap-usap perut yang agak menggelambir itu, kemudian bangkit dari kursi dan keluar dari ruangan apartemennya.
Pada jam-jam segini, koridor Apartemen Puri Elok cukup ramai oleh penghuni yang berlalu-lalang hendak maupun pulang dari bersantap siang. Entah itu mengisi perut di gerai-gerai kuliner di dalam mal kecil pada lantai dasar tower sebelah, atau warung-warung di area ruko dari apartemen, maupun sekadar menjemput pesanan makanan yang diantar oleh supir ojol di lobi.
Berjalan dari unit apartemennya yang terletak di ujung koridor, ia sempat berpapasan dengan 2-3 orang tetangganya namun tidak menyapa mereka, seperti di hari-hari yang lain. Begitu pula ketika dirinya melangkah masuk ke dalam lift dan menekan tombol untuk turun ke lantai dasar.
“Yah, setidaknya aku sudah melempar sedikit senyum dan mereka membalas,” pikirnya. “Mengingat pekerjaanku sekarang ini, tidak ada gunanya juga aku bersosialisasi dengan tetangga sekitar, bukan? Tidak pula aku mengharapkan momen ‘I Love The Smiths’ di dalam lift seperti scene yang memorable itu, dari film 500 Days of Summer. Ingat, kan? Bisa-bisa aksiku malah terbongkar!”
Pernah suatu kali seorang bapak sesama penghuni apartemen menyapanya di dalam lift, mencoba sekadar berbasa-basi. Ia berusaha menanggapinya sesingkat mungkin. Sejak saat itu setiap kali berada di dalam lift apartemen, laki-laki berpotongan rambut cepak tentara ini – kelihatan culun memang – menyumbat telinganya dengan earphone dan mendengarkan musik dari ponsel, demi menghindari seseorang berinteraksi dengannya. Biasanya ia memutar lagu-lagu The Smiths.
“Ting nong,” suara bel lift. Lampu sign berwarna merah itu menampilkan huruf “GF”, ground floor, kemudian pintu terbuka. Ia masih berdiri diam, mempersilakan para penumpang lift yang lain keluar lebih dulu.
I was happy in the haze of a drunken hour
But Heaven knows I'm miserable now
I was looking for a job and then I found a job
And heaven knows I’m miserable now…
Jarinya menyentuh tombol “stop” pada perangkat lunak pemutar musik di ponsel, menyudahi alunan lagu Heaven Knows I’m Miserable Now di earphone-nya, kemudian melangkah keluar.
Siang ini ia tidak membeli makanan menggunakan layanan pesan-antar dari ojol - bahkan sebenarnya sampai detik ini belum tahu mau makan apa. Dalam pikirannya masih berputar-putar calon korban yang bakal ia ‘prospek’ selanjutnya.
Jangan salah, ia tidak asal dalam melakukan aksinya. Akun-akun buatannya bertebaran di berbagai grup social media. Mulai dari grup jual beli, grup penyedia layanan angkutan barang, grup hobi, hingga grup parenting dan masih banyak lagi. Dari situ ia bisa mengintai transaksi, yang kadang turut menyertakan nomor ponsel pihak penjual maupun pembeli, juga menambah pertemanan di dunia maya untuk mengintip kehidupan pribadi empunya akun, sebagai titik awal untuk melancarkan aksi penipuan.
Di tengah pikirannya yang masih mengawang-awang, dirinya baru sadar, saat tangan kirinya merogoh kantong celana pendek yang ia kenakan, ternyata tidak ada dompet di situ. Padahal beberapa detik yang lalu dirinya tahu-tahu teringat sajian warteg favoritnya yang sudah beberapa waktu ini tidak ia dikunjungi, sehingga memantik niat untuk makan di situ meski mesti berjalan kaki memutar ke kawasan di belakang apartemen.
“Kira-kira di situ bisa bayar pakai QRIS apa nggak, ya?” Benaknya bertanya. Tapi sepanjang ingatannya, tiap kali makan di situ dirinya selalu membayar dengan uang kertas maupun logam. Ketimbang nanti tidak bisa makan gara-gara tidak membawa uang fisik, langkahnya berhenti kemudian putar balik buat mengambil dompet.
Namun saat ingin naik lagi ke lantai unit apartemennya menggunakan lift, antreannya ramai. Lebih ramai daripada biasanya hingga mesti mengantre juga jika ingin naik menggunakan lift di sebelahnya.
Suara keroncong di perutnya makin nyaring. Rasa lapar meremas-remas lambungnya. Nafsu makan seperti memerah seluruh asam yang ada di situ. Tidak tahan, ia menoleh kepada lift di pojok kiri ruangan. Lift yang terbengkalai itu.
Di sana sepi, tidak ada satu pun orang yang mengantre di depan pintunya. Tidak ada pilihan lain, ia bergegas menuju ke sana. Sampai di hadapan lift, jarinya buru-buru menekan tombol yang sudah kusam untuk membuka pintunya. Pintu terbuka meski suaranya agak kasar. Ia masuk dan membalikkan badan untuk menekan tombol lantai tujuan, lantai 15.
Dengan malas, lift mulai merangkak naik meninggalkan ground floor menuju lantai 1… 2… 3… 4… dan terus naik, tidak ada penghuni lain yang memaksa lift berhenti karena ingin menggunakannya juga. Lanjut menuju lantai 10… 11… 12… 13…, di antara lantai 14 dan 15 tiba-tiba lift berhenti. Tidak pernah bergerak lagi.
(Epilog)
Sebulan berlalu dari kejadian penemuan mayat di lift itu. Suryono sudah dapat kembali bekerja. Seperti sebelum mengalami kecelakaan, ia memenuhi jadwal rutinnya melakukan pemeriksaan dan perawatan lift di apartemen Puri Elok. Bedanya, kali ini dirinya hanya perlu bertugas di dua lift yang berdampingan, sedangkan lift nahas itu sudah tidak lagi boleh digunakan.
Anehnya, pihak apartemen sampai saat ini belum juga mengganti ataupun meminta lift di sudut kiri ruang lobi tersebut untuk diperbaiki. Pada pintunya hanya ditempeli kertas HVS, bertuliskan “Lift Rusak” menggunakan tinta spidol berwarna merah. Sama sekali tidak tersentuh pengguna, nampak jelas dari luar lift tersebut kian kusam.
Selesai mengerjakan tugasnya, Suryono membereskan perkakas-perkakas miliknya, memasukkan ke dalam tas, kemudian melangkah menuju pintu keluar. Ketika melintasi lobi, sudut matanya sempat melirik ke pojok ruangan dan melihat sekilas lift itu, lift yang tidak sempat ia periksa saat terakhir kali berkunjung ke sini, sehingga menyebabkan seorang pria terperangkap hingga tewas di dalamnya. Pria itu. Pria yang beberapa saat sebelumnya mencoba menipu dirinya.
Pada jam besuk ketika Suryono dirawat di rumah sakit, anaknya menyangkal perkara pinjol itu. Oleh si penipu, Iwan dilarang buat mengangkat telepon selama kurang lebih setengah jam dengan dalih dirinya tengah diincar oleh komplotan penipu yang biasa menjalankan aksinya melalui panggilan telepon.
Bagaimanapun, salah satu hikmahnya adalah uang tabungan Suryono selamat.
Alarm lapar di perut Suryono mulai berbunyi. Dari pintu keluar, ia lanjut berjalan kaki menuju warteg yang biasa ia datangi untuk makan siang tiap kali selesai bertugas di sini. Tidak masalah baginya meski harus berjalan memutar mengingat letak warteg tersebut di belakang apartemen, yang penting rasa makanannya sesuai dengan selera lidahnya dan harganya cukup murah buat kantongnya.
Nasi, tumis pare, kerang, gorengan tahu, sambal, dan kerupuk putih keriting bulat tandas dalam beberapa kejap, diikuti oleh dorongan air putih tawar. “Totalnya berapa, Bu?” tanya Suryono kepada pemilik warteg saat hendak membayar, sambil mengelap bibirnya menggunakan tisu. Yang ditanya menjawab singkat di tengah kesibukannya melayani pelanggan lain.
Suryono hendak merogoh saku kiri celana kargonya untuk mengambil dompet, ketika baru menyadari kalau pada dinding di sebelah kirinya tertera QR code untuk membayar makanan menggunakan QRIS.
“Wah, ternyata sekarang cara bayarnya sudah canggih, Bu,” tuturnya seraya mengangkat ponsel untuk memindai.
“Iya, sudah dua bulanan ini. Bapak, sih, sudah lama nggak mampir ke sini.”