Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Haru bangun pagi, seperti biasa, pada jam lima. Suara jam dinding yang berderik pelan membangunkannya. Rumah mereka masih sunyi, hanya ada suara kipas angin yang berputar perlahan di ruang tamu. Haru mengusap wajahnya, mempersiapkan diri untuk memulai rutinitas pagi yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
Di dapur, aroma kopi menguar. Haru sudah terbiasa dengan kebiasaan ayahnya yang bangun lebih pagi, duduk di meja makan dengan buku catatan harian di tangan. Setiap pagi, ayahnya selalu mengulang kegiatan yang sama. Menulis di buku itu, membaca halaman-halaman yang dipenuhi dengan catatan tentang hidup mereka—hari-hari yang penuh kenangan. Meskipun Haru tahu bahwa ayahnya semakin sering lupa akan banyak hal, mereka tetap melanjutkan rutinitas ini. Itu adalah cara mereka menghadapinya.
“Ayah sudah bangun?” tanya Haru sambil membuka pintu dapur.
Ayahnya, yang duduk di meja makan, mengangkat wajahnya. Matanya yang sudah mulai pudar tak lagi begitu tajam, dan senyumannya tidak secerah dulu. Namun, ada kebiasaan yang tak bisa diganggu gugat—buku catatan harian yang selalu dipegangnya setiap pagi.
“Sudah, Haru,” jawab ayahnya dengan suara yang pelan. "Aku sedang menulis hari ini."
Ayahnya membuka buku itu, memegangnya dengan hati-hati, seolah-olah buku itu adalah satu-satunya benda yang membuatnya merasa terhubung dengan dunia. Haru hanya mengangguk, mencoba menahan kegelisahan yang mulai terasa di dalam dirinya. Ia tahu, di balik kebiasaan ini, ayahnya sedang berusaha mempertahankan ingatannya.
Setelah menyiapkan sarapan, Haru duduk di hadapan ayahnya. Mereka makan bersama, meskipun tidak banyak percakapan. Haru tahu bahwa ayahnya tak ingat banyak hal, bahkan wajah-wajah yang dulu sangat dikenalnya. Namun, satu hal yang selalu tetap: ayahnya mengenali buku harian itu. Ia tetap menulis di sana, seolah itu adalah pegangan yang bisa mengingatkan dirinya pada dunia yang semakin pudar dari ingatannya.
Haru memandangi ayahnya dengan hati yang berat. Sejak penyakit ini mulai berkembang, mereka berdua telah menyesuaikan diri dengan perubahan yang datang setiap hari. Kadang-kadang, ayahnya mengingat beberapa hal, dan kadang-kadang, ia tidak mengenali siapa dirinya. Namun ada satu hal yang tak pernah berubah: setiap pagi, ayahnya selalu memulai hari dengan menulis.
. . .Pagi itu, Haru terbangun dengan perasaan gelisah yang tak biasa. Begitu ia melangkah keluar dari kamarnya, sesuatu yang aneh terasa. Rumah yang biasanya dipenuhi dengan kegiatan pagi itu tiba-tiba terasa sepi. Di ruang makan, hanya ada kursi kosong tempat ayahnya biasanya duduk. Haru mengerutkan kening, mencoba menenangkan diri.
Ketika ia berjalan ke kamar ayahnya, ia menemukan ayahnya duduk di tepi tempat tidur, dengan ekspresi yang sangat bingung. Matanya kosong, menatap ruang sekitarnya seolah-olah ia berada di tempat yang asing.
“Ayah?” Haru bertanya pelan, matanya melintasi kamar yang tampaknya tidak ada perubahan apa pun. Namun, ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang sangat penting.
Ayahnya menoleh dengan tatapan bingung. "Siapa kamu?" suara itu keluar begitu pelan, penuh kebingungan.
Haru merasa seolah-olah tubuhnya tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat. Ia terpaku sejenak, merasa ketakutan yang tak terungkapkan. "Ayah… aku… aku Haru, anakmu."
Ayahnya hanya menatapnya lebih lama. "Anakku…? Kenapa aku tidak ingat kamu?" tanya ayahnya, suaranya terdengar sangat lemah.
Haru menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu apa yang terjadi. Penyakit itu—penyakit yang perlahan merampas ingatan ayahnya—telah mengambil sebagian besar kenangan ayahnya, termasuk kenangan akan dirinya sendiri.
“Ayah, kamu… kamu biasa menulis di buku harian setiap pagi,” ujar Haru, mencoba mengingatkan. "Kamu selalu menulis di sana, untuk mengingat."
Ayahnya mengerutkan kening, bingung. "Buku harian? Apa itu?"
Haru merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. Selama ini, ia selalu menganggap buku harian itu sebagai sesuatu yang sangat penting bagi ayahnya, sesuatu yang membantu ayahnya mengingat kembali kehidupan mereka. Tetapi hari ini, bahkan buku itu tak ada di meja seperti biasanya. Tidak ada buku harian, dan lebih parah lagi—ayahnya tidak mengingat apapun.
Dengan perasaan yang semakin berat, Haru mulai mencari di sekitar kamar. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari buku harian yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Tetapi tidak ada. Buku itu hilang, dan tidak ada petunjuk ke mana ia bisa pergi.
"Apa yang harus kita lakukan, Ayah?" Haru bertanya dengan suara bergetar, namun tak ada jawaban. Ayahnya hanya menatapnya dengan mata kosong, tampak lebih bingung dari sebelumnya.
Perasaan cemas itu melanda Haru. Selama ini, ia selalu bergantung pada buku harian itu, karena buku itu adalah pengingat bagi ayahnya untuk mengenal dunia di sekitarnya. Tapi sekarang, tanpa buku itu, mereka berdua terjebak dalam ruang kosong—terjebak dalam kebingungan yang tak terpecahkan.
. . .
Hari-hari berlalu dengan perasaan yang semakin berat. Setiap pagi, Haru bangun dengan rasa cemas yang menumpuk, berusaha menjalani rutinitas yang tak lagi terasa familiar. Ayahnya yang dulu penuh semangat, kini hanya duduk diam di sudut ruang tamu, menatap ruang kosong dengan pandangan yang kehilangan arah. Kadang-kadang, ayahnya akan bertanya tentang hal-hal yang tidak ia ingat, atau bahkan lebih buruk lagi, ia hanya duduk dalam kebisuan, tampak tidak tahu harus berkata apa.
Buku harian itu tidak ditemukan. Haru sudah mencari di seluruh rumah, memeriksa setiap sudut, tetapi tidak ada petunjuk. Ayahnya tidak ingat apa-apa, bahkan dirinya sendiri.
Suatu sore, ketika Haru sedang merapikan kamar ayah, matanya tertarik pada sebuah benda kecil yang tergeletak di bawah tumpukan pakaian lama di lemari. Itu sebuah kertas kecil yang tampaknya telah lama tersembunyi. Dengan tangan gemetar, Haru menarik kertas itu dan membacanya.
"Jika suatu hari kamu membaca ini, itu artinya aku sudah kehilangan ingatan. Buku ini adalah caraku mengingatmu, mengingat hidup kita. Jika aku suatu saat tidak mengenali siapa dirimu, jangan biarkan diriku lupa apa yang telah kita lalui. Kamu harus kuat, Haru. Kamu harus meneruskan, meski aku tak lagi bisa."
Haru berhenti membaca, napasnya tertahan. Setiap kata di dalam catatan itu seperti menyentuh hatinya yang paling dalam. Ayahnya, meskipun sudah kehilangan begitu banyak ingatan, ternyata sudah menyiapkan cara agar Haru bisa menghadapinya. Buku itu—sekarang hilang—ternyata adalah bagian dari upaya ayahnya untuk menjaga kenangan hidup mereka tetap hidup, bahkan jika dia harus melupakan semuanya.
Dengan catatan itu di tangan, Haru merasa seperti menemukan sesuatu yang sangat berharga—sesuatu yang ia butuhkan untuk terus melanjutkan perjuangan ini.
. . .
Keesokan harinya, Haru berdiri di depan rak buku yang kosong, memandang ruang yang kini terasa semakin sepi. Ayahnya duduk di kursi di dekat jendela, tatapannya kosong seperti biasanya, namun kali ini ada keteguhan di hati Haru. Ia tahu bahwa apa yang mereka hadapi sekarang tidaklah mudah. Penyakit ayahnya sudah merenggut banyak hal, bahkan identitas dirinya sendiri. Tetapi Haru tidak bisa membiarkan kenangan itu menghilang begitu saja.
Dia pergi ke toko buku di dekat rumah, membeli sebuah buku baru. Ketika ia kembali, buku itu ada di tangannya—sebuah buku kosong yang menanti untuk diisi. Ia memasuki kamar ayahnya, dengan langkah hati-hati, dan meletakkan buku itu di depan ayahnya.
“Ayah,” Haru berkata pelan, mencoba mengumpulkan keberanian. “Ini buku baru. Aku ingin kita mulai menulis lagi. Setiap hari, seperti dulu.”
Ayahnya menoleh dengan tatapan kosong, matanya memandang buku yang tergeletak di depannya. Tidak ada reaksi langsung. Tetapi, setelah beberapa detik yang terasa lama, ayahnya mulai meraih buku itu, menggenggamnya dengan tangan yang sedikit gemetar.
“Apa ini?” tanya ayahnya, suaranya datar dan terputus-putus.
“Itu untuk Ayah,” jawab Haru dengan lembut. “Aku ingin kita mulai menulis kenangan lagi, meskipun Ayah mungkin tidak ingat. Aku akan menulis, dan Ayah bisa menulis juga. Setiap hari, kita akan mengingat apa yang penting.”
Ayahnya menatap Haru sejenak, lalu membuka halaman pertama buku itu. Ia memegang pena dengan perlahan, seolah ragu untuk menulis sesuatu. Namun, akhirnya ia mulai menulis.
"Aku tidak tahu siapa aku sekarang. Tetapi aku tahu aku masih ingin hidup."
Haru melihat dengan mata berkaca-kaca. Ayahnya menulis, meskipun tidak mengingat siapa dirinya, meskipun tidak mengenali apa pun dari dunia di sekitarnya. Tetapi dengan setiap kata yang ditulis, Haru tahu bahwa ia sedang membantu ayahnya menghidupkan kembali kenangan, meskipun tidak ada jaminan ingatan itu akan bertahan.
Haru membuka halaman kedua buku itu dan mulai menulis.
"Hari ini, aku akan menulis untuk Ayah. Aku akan mengingatkan Ayah tentang aku, dan Ayah akan mengingatkanku tentang dirinya."
Setiap hari, mereka mulai mengisi buku itu bersama. Melanjutkan kisah baru tentang hubungan mereka berdua.