Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Gimana menurutmu kebijakan pendidikan presiden baru?” tanya Santi sambil menenteng 2 buah buku novel yang hendak ia kembalikan ke perpustakaan.
“Ya, paling nggak berubah dari tahun lalu. Kan baru beberapa tahun kebijakan merdeka ini diterapkan. Masak mau pindah sistem lagi. Capeklah,” pendapatku mengeluh.
“Iya, memang capek. Tapikan tahu sendiri, kaya gimana negara kita setiap ganti presiden. Ganti mulu kurikulumnya.”
“Ya, mau gimana lagi. Kan kita bisanya cuman nerima aja. Emang apa yang bisa kita lakukan?” tanyaku tanpa alasan.
“Demo?”
“Gila apa, masak siswa SMA kaya kita demo. Kayaknya nggak deh. Nggak cocok,” bantahku asal.
Tak terasa mengobrol yang tidak menghasilkan apapun ini mengisi waktu kami hingga kami tidak sadar sudah sampai di gedung perpustakaan. Gedung ini terpisah dengan gedung utama yang dijadikan sebagai kelas. Karena kami berada di kelas tiga, perjalanan untuk mencapai tempat ini menyita waktu yang lama dan melelahkan. Sebenarnya tidak terlalu lelah aslinya, tapi malas saja memikirkan harus berjalan 8 menit untuk mengembalikan buku.
Alhasil terciptalah manusia seperti Santi. Dia dengan sengaja meminjam dua buku langsung karena merasa merepotkan jika harus mengembalikan buku pertama untuk meminjam buku yang kedua.
Kalau aku tidak ada alasan khusus. Aku tidak pergi untuk meminjam atau mengembalikan buku. Aku hanya menemani Santi karena kami berencana pulang bersama. Ya sudah bukan rencana lagi si karena sudah terlalu sering. Jalur pulang kami sama jadi kami memutuskan untuk pulang bersama. Aku menyetujuinya karena membosankan juga jika pulang sendirian.
Selain itu, Santi juga enak diajak ngobrol. Dia tipe orang yang blak-blakan mengutarakan isi pikirannya. Tapi tidak ke semua orang. Hanya beberapa orang saja dia berani melakukan itu. Salah satunya adalah jika dia bersamaku. Jika dalam keadaan dia bersama orang lain yang asing baginya, dia akan diam seperti kucing yang lemah.
Kami sampai di perpustakaan ketika sore setelah jam pelajaran usai. Seharusnya yang menjaga hari ini adalah Si Maya, teman kelas kami.
“Yo, udah sampe di sini aja,” sapaku pada Maya yang sangat fokus pada layar komputer yang menampilkan tabel excel.
“Lho, ngapain kamu di sini. Pergi, nanti gedung pengetahuan ini kena virus malas gara-gara kamu di sini,” balasnya setelah perhatiannya teralihkan kepadaku.
“Jahat sekali. Padahal aku tidak ngapa-ngapain,” ucapku sedih. Tentu aku sadar kalau dia hanya bercanda. Tapi tetap saja.
Santi memiringkan kepala dan mencari seseorang yang bersembunyi di belakangku. “Mau ngembaliin buku?” tanyanya penuh perhatian.
Santi menangguk menanggapinya. Dia lalu berjalan maju dan menjulurkan buku yang dari tadi dipeluknya serta kartu siswanya.
“Dua buku ya. Yang ini awal pinjamnya hari Selasa dan ini juga sama,” ucapnya sambil mengamati antara buku dan excelnya. “Oke, sudah. Sesuai jadwal pengembalian. Ini kartunya,” Maya mengembalikan kartu siswanya setelah memutuskan kalau Sinta tidak telat mengembalikan buku.
“Oke kalau gitu, aku pulang dulu,” kataku berniat undur diri tapi ujung seragamku ditarik oleh jari mungil Santi. Oh ya, aku lupa. Dia kan selalu mengembalikan buku sekalian juga meminjam yang baru.
“Kalau gitu aku tunggu di sini dulu sambil ngganggu kerjaan Maya,” kataku sambil duduk di kursi yang disediakan di dekat konter. Mendengar jawabanku, Santi dengan cepat pergi dan sibuk mengamati tumpukan buku yang ada di rak novel.
“Eh, ngapain. Mending kamu pergi cari buku juga. Pumpung masih di sini, biar malasmu itu terobati. Aku heran Santi yang rajin itu mau berteman denganmu yang super malas,” keluh Maya.
“Aku juga heran. Btw lagi ngapain?” tanyaku mencoba membuat topik pembicaraan agar tidak membosankan. “Hello, hai,” aku mencoba memanggilnya lagi namun tidak mendapatkan respon.
“Daripada mengganggu, mending tak kasih kerjaan. Kamu pintar kan?”
“Ogah. Kerjaan pustakawan ya urusannya pustakawan,” kataku menolak.
“Ini bukan kerjaan. Aku punya sedikit penasaran dengan hal yang terjadi akhir-akhir ini,” kata Maya sekarang sepenuhnya menghadapkan kursinya kepadaku.
“Ho, mari kita dengarkan,” kataku menjawab ketertarikannya.
“Jadi akhir-akhir ini ada sebuah kejadian. Kamu lihat buku ini,” Maya mengambil buku yang berada di rak bertuliskan ‘Untuk dikembalikan’. Pada buku itu tertulis judul yang cukup besar Ilmu Koding untuk Orang Bodoh. Buku itu bersampul biru, tidak bisa dibilang tebal, tidak juga tipis.“Buku ini selalu kembali di rak ini ketika sore, dan hilang di siang hari setiap hari Sabtu,” lanjutnya.
“Gimana kamu tahu kalo hilang di siang hari?” tanyaku mencoba memahami bagian yang kurang dijelaskan.
“Kan aku tugas hari ini. Aku bertugas tiga kali dalam sehari. Pagi ketika membuka pintu perpus, Siang berjaga ketika istirahat, lalu sore setelah selesai pelajaran sampai tutup. Nah di pagi ketika aku membuka perpus, aku masih melihatnya ada di rak. Lalu siang ketika aku berjaga, buku itu tidak ada dan sempat aku cari, namun tidak menemukannya. Lalu di sore hari, buku itu sudah ada di rak ini,” katanya menunjuk rak kayu dengan bagian lebar yang terbuka.
“Ketika kamu nggak jaga, siapa yang jaga?”
“Guru pengelola perpustakaan. Aku tahu jalan pikiranmu. Aku nggak mau tanya beliau. Segan aku hanya masalah seperti ini harus bertanya kepada beliau,” katanya seolah mengetahui apa yang aku pikirkan. Tapi dia benar.
“Berarti jawaban yang paling masuk akal ya siswa,” jawabku tanpa pikir panjang.
“Alasannya?”
“Ya, itu yang paling masuk akal.”
“Aku tidak bisa menerima alasan seperti itu. Berusahalah berpikir sedikit. Jangan sia-siakan otakmu,” katanya yang entah memuji atau mengejek.
“Okelah. Jadi buku itu hilang dan kembali ketika kamu tidak menyadarinya. Ada dua kemungkinan, pertama adalah orang itu mengambil dan mengembalikan ketika kamu tidak memperhatikan. Kedua orang itu mengambil ketika kamu memang tidak berjaga.”
“Untuk kemungkinan pertama, itu tidak mungkin. Jika skenario dia mengambil ketika aku berjaga, itu tidak mungkin. Karena sebab kejadian ini, aku selalu memastikan buku itu ada di rak sebelum aku kembali ke kelas,” bantah Maya dengan jelas.
“Berarti ini lebih mudah. Orang itu mengambil ketika kamu tidak berjaga. Apa ketika kamu keluar dari perpus, masih ada siswa lain yang masih berada di perpus?” tanyaku mencari petunjuk.
“Nggak ada. Aku yang terakhir meninggalkan ruangan setelah aku menyerahkan kuncinya ke guru pengelola perpustakaan untuk ganti jaga.”
“Berarti siswa dicoret dari daftar. Tinggal empat kemungkinan,” aku menyodongkan 4 jari tanganku ke depan muka Maya.
“Ih nyebelin,” katanya menepis tanganku. “Kok tambah banyak, siapa aja itu?”
“Pertama adalah guru, tamu sekolah, alien, dan terakhir kamu berbohong tentang kasus ini,” ucapku mendramatisir.
Melihat muka Maya yang sepertinya siap meletus kapan saja, aku batal meneruskan bercandaanku. “Oke, jadi kemungkinannya hanya guru. Kalau tamu sekolah agak kecil karena cukup aneh jika dia datang hanya setiap hari Sabtu saja. Berarti jawabannya adalah guru karena dialah yang bisa leluasa pergi ke perpustakaan ketika jam pelajaran berlangsung,” jelasku panjang lebar.
“lalu siapa gurunya?”
Maya mengajukan hal yang di luar nalar. Ini seperti harus memilih satu batu yang mengadung berlian dari kumpulan batu kali. “Mana aku tahu. Aku bukan peramal hingga bisa menemukan satu orang dalangnya. Bisa saja guru pengelola perpus, bisa saja kepala sekolah, siapapun guru bisa.”
“Begitukah,” jawab Maya dengan wajah kecewa.
“Kamu bisa menemukannya kok,” tiba-tiba Santi berbicara di belakangku. Di pelukannya sudah ada 2 buku novel yang siap dia lahap minggu ini. “Kamu bisa.”
Mendengar kata mengancam itu, aku serasa tidak bisa mengelak. Dulu aku sempat mencoba mengelak, tapi tidak berhasil sama sekali. Jadi daripada membuang energi, lebih baik aku turuti saja perkataan dia.
“Oke, kemungkinan pertama adalah guru pengelola perpus. Kamu kan tahu beliau. Beliau akhir-akhir ini menunjukkan ketertarikan tidak dengan ilmu koding?” tanyaku langsung.
“Sama sekali tidak. Dia bahkan menyerahkan semua urusan yang berhubungan dengan komputer kepada siswa.”
“Kalau begitu, coret.” Aku tidak bisa memikirkan nama lain. Aku coba ambil buku tersebut dan membuka sampul belakang. Biasanya di sampul tersebut terdapat daftar peminjam yang ditulis dengan pena. Aku memang menemukan kertas tersebut, tapi itu masih kosong.
“Apa peminjam tidak mengisi daftar ini?” tanyaku pada Maya.
“Ya, itu juga yang menjadi masalah. Di excel juga tidak ada riwayat peminjaman buku tersebut. Jadi aku tidak bisa melihat siapa sebenarnya yang meminjam,” jawabnya menyerah.
“Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa buku ini dipinjam. Ya bisa saja hanya karena rasa penasaran, tapi sayangnya aku tidak pernah melihat itu dari guru kita. Jika tidak ada hubungannya dengan mata pelajaran, mereka tidak akan membacanya,” aku kebingungan.
“Ada hubungannya kok. Ini yang aku bahas tadi pagi. Sebenarnya sekolah kita ditunjuk sebagai sekolah percontohan, jadi mulai anak kelas satu diuji coba pembelajaran tentang koding,” jelas Santi memberikan pencerahan secerah-cerahnya.
“Oh, seperti itu ya. Berarti pelakunya mengerucut ke guru kelas satu. Yah, mungkin tidak perlu menerka lagi karena jawabannya sudah kelihatan. Ayo kita sebut nama yang kalian pikirkan secara bersamaan,” aku menguji kebenaran dugaanku dengan dugaan kedua orang ini. “satu, dua, tiga,” aku menghitung mundur.
“Pak Nur,” kami bertiga menyebutnya secara bersamaan.
“Yah, tidak ada nama lain sih. Beliau yang emang pinter komputer di sekolah ini. Dulu dari kelas satu sampe kelas tiga ,semua pelajaran TIK diampu semua oleh beliau,” kata Maya menyadari.
“Okelah kalau gitu. Sepertinya kasus sudah selesai. Aku pulang dulu,” aku berniat mengundurkan diri tapi bajuku ditarik lagi.
“Aku belum meminjam ini,” aku melupakannya lagi. Aku mempersilakan Santi untuk mengurus peminjamannya sambil mengamati kedua orang ini melakukan pekerjaan sesuai bidangnya secara profesional. Aku iri mereka bisa seserius itu dengan hidup mereka.
*brakk
Aku terkejut ketika pintu perpus yang hanya terbuka satu daun pintu itu ditabrak oleh seseorang.
“Oh, masih buka,” kata orang yang ternyata adalah Pak Joko. Salah satu guru yang cukup senior di sekolah ini.
“Bu Yanti ada nduk?” tanya pak Yanto kepada Maya.
“Lagi keluar bentar pak. Ada apa ya?”
“Ini, mau minjem buku,” sorot matanya berkeliling dan berhenti pada buku biru yang barusan kami bahas. “Bapak mau minjem buku itu. Boleh dibawa pulang kan?” katanya menunjuk buku biru.
“Boleh pak. Emang untuk apa Pak?” tanya Maya penasaran.
“Ya, buat belajar yo nduk. Tolong sampaikan ke Bu Yanti ya kalau bapak bawa pulang buku ini,” kata Pak Joko sambil keluar setelah menerima buku tersebut.
“Oh, jadi Pak Joko,” gumam Maya sambil menulis di baris baru tabel excelnya.