Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kau tak bisa membedakan Pieter Both dengan Pieterszoon Coen,!?”. Ali menatapku dengan tatapan mengejeknya. Berdecak, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sungguh menyebalkan.
“Astaga Fa, seharusnya kau tak mengantuk saat guru sejarah menjelaskan”. Dia bahkan tak perlu berkaca saat mengatakannya. Padahal dia yang selalu tidur saat pelajaran sejarah.
Hari ini adalah hari pertama ujian akhir semester, mata pelajaran sejarah. Karena nomor absen kami atas bawah, aku terpaksa harus duduk semeja dengannya. Dan yeah, tentu saja dia mengintip lembar jawabku. Dasar kurang kerjaan.
“Diam Al!. Kenapa tak kau katakan sebelum ku kumpulkan lembar jawabnya”. Aku melotot, menatapnya jengkel. Bukan, bukan karena jawabanku salah, melainkan karena tak tahan dengan ejekannya.
Ckckck... Dia kembali berdecak, menatapku prihatin.
“Itu namanya curang Fa, siapa yang mengajarimu seperti itu ha?”. Jawabnya sok serius. Astaga, dia semakin menyebalkan.
Sungguh aku ingin berteriak menyuruhnya berhenti menggangguku. Namun itu tak mungkin kulakukan di dalam kelas. Sejujurnya aku hanya bisa berteriak marah saat kami hanya berdua. Saat di tempat umum aku adalah seorang pendiam yang selalu berkata lembut, yeah seorang tipe INFP. Namun Ali benar-benar membuatku gila dan berubah 180 derajat saat bersamanya.
“Sayang sekali, padahal jawabanmu nyaris sempurna. Hhh, bagaimana mungkin kau selalu menjadi ranking pertama. Kau bahkan tak hafal sejarah VOC yang setiap hari diulang-ulang”. Ali masih melanjutkan kalimat-kalimatnya yang semakin menyebalkan.
“Lantas kenapa tak kau saja yang ranking pertama hah! Bukankah kamu yang tau segalanya? Kenapa selalu di posisi kedua hah!”. Sungguh aku tak tahan lagi. Aku yakin sekarang pipiku sudah memerah.
Dia menatapku serius. “Kau sungguh tak tau alasannya?. Apalagi? Tentu saja aku mengalah untukmu”.
Argh....
Aku benar-benar menggila karenanya. Pipiku memanas, jantungku mendadak berdebar tak karuan.
***
Ali itu memang gila sejak dulu, bahkan sejak kali pertama kami bertemu.
Itu saat aku duduk di bangku kelas 4 SD. Dia dan keluarganya pindah ke kota kami, lebih tepatnya menempati rumah di seberang rumahku. Sejak itu dia menjadi tetangga dekatku.
Dia bukannya berjabat tangan untuk berkenalan, melainkan memelintir tanganku ke belakang, memitingku, dan menjatuhkanku ke tanah. Aku yang tak siap, tentu saja langsung jatuh ke tanah. Kemudian dia tertawa puas karena berhasil melumpuhkanku. Ish ish ish, dia bahkan tak merasa malu tiba-tiba menyerang seorang perempuan.
Mama Ali yang kebetulan melihatnya langsung memarahinya, menjewer telinganya, dan saat itu Ali masih menatapku yang masih terkejut dengan seringai puasnya. Mamanya mewakili untuk meminta maaf pada keluargaku. Ali? Tentu saja dia ikut, namun sebenarnya dia bukan minta maaf. Dia menatapku dengan wajah tanpa dosanya. Matanya menyiratkan pesan kita lanjutkan pertarungannya besok.
Dengar-dengar sebelum berkelahi denganku Ali sudah menantang semua anak kecil penghuni komplek, dan berakhir membuat mereka semua menangis. Karena aku satu-satunya yang tak menangis, besoknya Ali kembali menemuiku. Menantangku kembali berkelahi. Aku yang sudah bersiap sebelumnya, tentu tak mudah jatuh seperti kemarin. Perkelahian berakhir seri saat kami sama-sama lelah. Sore itu kami tertawa bersama dengan tubuh dan wajah penuh debu sisa perkelahian.
Sejak hari itu kami selalu bertemu, berkelahi dengan Ali yang mencoba jurus-jurus barunya. Anehnya aku juga menanti pertemuan itu, sore hari di taman belakang rumah. Belakangan aku tau, ternyata Ali tergila-gila dengan karakter komik genre aksi yang dibacanya.
***
Meski menyebalkan Ali memiliki hobi yang baik, dia suka membaca buku. Perpustakaan pribadinya hampir menandingi perpustakaan kota. Tak heran, keluarganya merupakan keluarga yang cukup berada.
“Kau harus punya hobi antara mengisi otak, mengisi dompet, atau mengisi otot. Selain itu hanya buang-buang waktu”. Begitu jawabnya saat kutanya kenapa dia suka membaca.
“Kau juga harus banyak membaca Fa. Setidaknya kalau kau tak cantik, kepalamu ada isinya sedikit”. Tambahnya, tak lupa disertai seringai menyebalkan miliknya.
Itu kelas 2 SMP, saat dia mengenalkanku pada novel. Dia membawanya ke sekolah, membacanya saat jam istirahat, atau diam-diam saat bosan mendengarkan penjelasan guru.
“Apa yang kau baca Ali?”. Aku tak bisa menahan penasaran saat Ali berhenti menggangguku di kelas, dia sibuk dengan bacaannya.
Ali menatapku dengan sorot antusias “Serial Bumi karya Tere Liye”.
Dia kemudian menyodorkan buku setebal kurang lebih 400 halaman. Dengan sampul berwarna hijau berjudul Bumi.
“Kau juga harus membacanya Fa. Ku jamin kau langsung jatuh hati”. Katanya serius.
Awalnya aku ragu untuk membaca buku setebal itu, namun Ali benar, aku langsung dibuat jatuh hati. Pada Ali. Tentu saja bukan si Gila Ali yang ku maksud, itu nama salah satu tokohnya. Mereka sama-sama jail dan menyebalkan, bedanya Ali di Serial Bumi tentu saja mempesona dengan karakter menyebalkannya.
Dan Ali benar-benar gila. Esoknya saat aku mengembalikan novel miliknya, dia tiba-tiba memasang kuda-kuda, dari jarak satu meter mengarahkan tinjunya padaku.
“Bumm!!” teriaknya_dia melepas pukulan berdentum.
“Splash... Duarr!!” balasku tak kalah, sambil memasang tangan di depan kepala_aku membuat tameng transparan menahan serangan Ali.
Perlahan aku terkontaminasi virus gila Ali.
***
“Aku sudah memutuskan untuk ikut ekskul sepak bola Fa”. Katanya serius saat awal kelas XI.
Aku menatapnya setengah tak percaya, sejak kapan dia suka sepak bola?. Ku kira dia akan ikut ekskul sastra, teater, atau apapun yang mendukung imajinasi gilanya.
“Kenapa? Ku pikir kau tak tertarik pada olahraga”.
“Yeah itu dulu, mulai sekarang aku tertarik dengan sepak bola”. Jawabnya serius sambil menunjukkan novel dengan judul Sebelas. Itu novel terbaru Tere Liye. Aku menepuk dahi, tak habis pikir.
“Kenapa bukan ekskul basket?”. Aku menatapnya, mengejek.
Kemudian dengan gerakan dan raut yang dibuat-buat agar terlihat dramatis, aku menutup mulut dengan kedua tanganku “Oh, aku lupa. Tentu saja tinggi badanmu tak cocok untuk basket. Dan tentu saja kau tak sekeren Tuan Muda Ali dengan teknik bertarungnya”.
Aku tertawa, puas sekali berhasil meledeknya. Kulihat wajah Ali yang mengembang menahan amarah.
“Hei, tak perlu marah, bukankah kau yang mengajariku?”. Aku masih belum bisa menghentikan tawaku.
“Awas saja kau, pasti kubalas”. Katanya sambil berlalu meninggalkanku dan novel miliknya, mungkin hendak mendaftar ekskul sepak bola. Ali selalu meminjamkan novel barunya padaku setelah selesai membacanya.
Dua hari lebih dari cukup untuk menamatkan novel itu. Aku mengembalikannya ke rumah Ali, berkunjung ke perpustakaan pribadinya. Dia punya koleksi lengkap novel karya Tere Liye, sebagian juga sudah kubaca, karena ada beberapa yang tak kupahami isinya. Novel-novel berat yang membahas teori ekonomi seperti Negeri Para Bedebah. Aku belum juga berhasil memahaminya setelah berulang kali berusaha membacanya_meski tidak tamat. Besok-besok novel itu yang membuatku tertarik masuk fakultas ekonomi.
Ali tak menghiraukanku yang melihat-lihat rak bukunya, dia selalu begitu saat tenggelam dengan bacaannya. Satu-satunya waktu dia menjadi manusia waras. Mataku menangkap buku bersampul hitam di deretan serial novel Harry Potter.
Sebuah buku bersampul hitam dengan gambar bulan purnama keemasan berjudul Buku Kehidupan Ali. Perlahan sudut bibirku tertarik ke atas. Kulirik Ali masih sibuk, ia tak akan sadar jika diam-diam ku ambil buku ini. Itu adalah buku catatan pribadi Ali. Maafkan aku Ali, tak seharusya kulakukan, tetapi aku terlampau penasaran, aku janji tak akan membocorkan isinya kepada siapapun. Kataku dalam hati.
***
Aku sungguh tak habis pikir dengan isi buku itu. Kali ini aku sungguhan gila dibuatnya. Aku jadi teringat saat dia meminjamkan novel Sunset Bersama Rosie kepadaku. Dia berkata “Kau harus belajar dari Rosie Fa. Perhatikan perasaan orang-orang dekatmu, kau harus bisa membedakannya”. Kala itu aku tak terlalu memikirkan kalimatnya karena dia selalu bercanda.
“Kau..... membacanya?”. Dia terbata. Wajahnya merah padam. Aku tak mengenali ekspresinya saat ini. Marah, malu, atau salah tingkah?. Aku sedikit takut dan merasa bersalah saat melihatnya, sama sekali tak menduga ekspresinya akan seserius itu. Kupikir aku juga bisa mengatakan perasaanku yang sebenarnya saat mengembalikan buku ini.
Dia menghela nafas dalam, mengendalikan suaranya yang tetap saja terdengar bergetar.
“Tak perlu dibahas, dan jangan tanya apapun”. Katanya datar, merebut dengan kasar buku catatannya dariku.
Kemudian dia mengambilkan novel Hujan dari rak novel fiksinya, menyerahkannya padaku.
“Baca saja novel ini”. Dia pergi begitu saja, meninggalkanku yang masih bingung dengan situasi ini.
Seminggu setelahnya dia sama sekali tak menggangguku. Tak mengajakku bicara. Bahkan sengaja menghindariku. Entah sampai kapan dia akan begitu kalau aku tak mulai bicara padanya.
Dia baru mau mendengarku saat aku berhasil memitingnya, mengunci posisinya agar dia tak bisa lari menghindar.
“Cukup Ali. Kenapa kau harus semalu itu. Kau bahkan tak malu saat dulu tiba-tiba menyerangku. Aku tak akan membahasnya kalau kau tak nyaman dengan itu”.
Ali perlahan menatapku saat aku melepaskannya. Sungguh, jika ini situasi normal aku akan terpingkal melihat ekspresi lucunya. Dia mengusap belakang kepalanya_gestur khasnya saat salah tingkah.
Aku menempeleng kepalanya agar dia sadar.
“Jangan pasang ekspresi seperti itu lagi. Benar-benar tak cocok untukmu”.
Sore itu kami tertawa bersama dengan wajah dan tubuh penuh debu sisa perkelahian. Kami bukan lagi anak kecil usia 9 tahun. Meski begitu kami sama-sama paham, saat ini bukan waktu yang tepat untuk serius soal perasaan.