Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Buku Harian
0
Suka
100
Dibaca

Ibu Kania memberikan kotak kayu berukuran 30 cm x 25 cm beserta kunci kecil pada Astari usai pemakaman sang suami. Ada gembok pada kotaknya yang memang terkunci dengan rapi.

"Apa ini bu?" Astari menerima kotak tersebut dan menimbang-nimbang, cukup berat rupanya.

"Ngga tau. Kamu cek aja nanti. Itu peninggalan ayah sekaligus ibumu." Jawab ibu Kania, berhenti sebentar untuk memilih kalimat yang tepat.

Lalu melanjutkan, "Amanah dari ayahmu. Berikan kotak ini pada Astari ketika ayah meninggal nanti, begitu katanya."

"Oh gitu. Makasi ya bu." Astari yang masih berduka tak terlalu peduli dengan isi kotaknya, menyimpan kotak itu sembarang saja.

"Adek mana bu?" Astari bertanya karena perlu bantuan sang adik untuk persiapan hari pertama acara tahlil ayah mereka.

"Di luar, lagi angkat-angkat dus minum dan kue-kue." Jawab Ibu Kania

"Yaudah, ibu istirahat aja. Biar Tari dan adek yang beresin semua buat nanti malam." Astari menuntun Ibu Kania menuju kamarnya.

"Ngga usah mikir macem-macem bu. Insha Allah Tari dan adek bisa ngurus semua. Ada tetangga juga yang baik-baik. Ibu istirahat aja." Ucap Astari sebelum meninggalkan sang ibu.

Ibu Kania diam saja. Namun ketika Astari hendak menutup pintu kamarnya, Ibu Kania memanggil, "Astari."

Astari tak jadi menutup pintu, "Ya bu? Ibu perlu sesuatu?" Tanya Astari.

"Ngga, ibu ngga perlu apa-apa. Ibu cuma mau bilang sesuatu." Ucapan sang ibu terhenti, ragu.

Astari mendekati ibunya, "apa bu? Bilang aja."

"Tentang kotak tadi. Ehh." Masih ragu-ragu, ucapan ibu Kania terhenti lagi.

"Iya kenapa?" Astari menjadi penasaran.

"Apapun yang ada di dalam kotak itu, ibu minta maaf ya." Ucap ibu Kania akhirnya.

Astari tersenyum, "emang isinya apa sih bu?" Tanya Astari.

"Ngga tau." Jawab sang ibu cemas.

"Yaudah, kalo ngga tau kenapa ibu harus minta maaf? Kenapa juga ibu jadi cemas begini?" Astari bertanya bingung.

"Ngga apa-apa. Yang perlu kamu tau, ibu sayang banget sama Tari. Tari udah benar-benar ibu anggap anak sendiri. Ngga pernah ibu membeda-bedakan Tari dengan adek. Tari bisa rasain itu kan?" Mata ibu Kania mulai berkaca-kaca.

"Jelas donk bu. Tari tau banget ko. Semua orang bahkan mengira ibu Kania ini memang ibu kandung Tari." Jawab Astari sambil memeluk sang ibu sambung, berusaha menenangkan pula karena sang ibu mulai menangis sesegukan.

"Ibu kenapa sih? Sedih karena ayah baru aja pergi? Wajar sih bu. Tari juga sedih tapi ibu tenang aja ya. Insha Allah Tari dan Adek akan nemenin ibu terus." Astari masih berusaha menenangkan ibu Kania.

Perlu waktu beberapa menit sampai Ibu Kania benar-benar tenang. Meski tak paham betul dengan situasinya, Astari tetap setia menemani. Dalam pikiran Astari, ibunya hanya sedang berduka sekali karena baru saja ditinggal kekasih hati. Ketika ibu Kania selesai dengan tangisnya, Astari segera pamit karena harus membantu adiknya yang telah sibuk sedari tadi. Ia melewati ruang keluarga ketika hendak menuju dapur. Lalu tak sengaja tertangkap sudut matanya sebuah kotak di meja TV.

"Itu kotak yang membuat ibu cemas, kira-kira apa isinya ya?" Astari membatin lalu mengambil kotak itu dan menyimpan di kamarnya lebih dulu sebelum ia melanjutkan berjalan ke dapur untuk menyelesaikan tugasnya. Astari yang awalnya tak peduli tiba-tiba menjadi sangat penasaran.

Tahlilan hari pertama berjalan lancar. Tidak terlalu merepotkan Astari dan keluarga karena para tetangga yang saling membantu. Kebaikan dan keramahan ibu Kania dan Bapak Pratama selaku orangtua Astari dan Rendy, cukup menyentuh hati para tetangga hingga mereka justru berlomba-lomba menawarkan bantuan. Astari sangat bersyukur dengan sifat dan sikap kedua orangtuanya. Apa yang ditanam itulah yang akan dituai. Begitulah yang selalu ada dalam benak Astari. Ketika orangtuanya baik, maka kebaikan lain akan mereka dapatkan.

Tahlilan berjalan selama tiga hari saja. Keputusan ini diambil Astari selaku anak pertama dan disetujui oleh ibunya juga Rendy agar tidak terlalu memberatkan mereka juga tidak merepotkan tetangga.

"Tari, kotaknya belum dibuka ya?" Ibu Kania mengingatkan usai acara tahlil yang ketiga.

"Oh iya, belum bu. Tari masih capek dari kemarin. Jadi tiap udah selesai semua Tari pasti langsung tidur." Jawab Astari santai.

"Oh yaudah. Sekarang mau langsung tidur juga?" Tanya ibu Kania.

"Kayanya sih. Ngantuk soalnya." Astari menjawab sambil menahan diri untuk menguap.

"Yaudah, bersih-bersih dulu. Jangan lupa sholat isya kalo belum sholat. Ibu tidur duluan ya." Ibu Kania menepuk -nepuk pundak Astari lalu berjalan menuju kamarnya. Astari memperhatikan langkah sang ibu yang lemah sekali. Terlihat begitu lelah. Namun, raut khawatir tanpa alasan jelas masih tetap terlihat di wajah sang ibu.

Astari segera membersihkan diri, lalu menuju kamar untuk membuka kotak kayu peninggalan ayahnya. Rasa penasaran itu mendadak muncul lagi. Hatinya mendadak tak karuan. Tangannya bergetar pelan dan berkeringat.

"Bismillah." ucapnya saat membuka gembok kecil di kotak itu.

Beberapa detik kemudian kotak tersebut sudah terbuka. Ada 3 buah buku agenda dengan sampul kulit tebal. Satu berwarna coklat tua dan dua berwarna merah muda. Ada pula dua buah pena yang berukiran nama. Satu berukiran nama ayahnya, Pratama. Satu lagi berukiran nama ibu kandungnya, Aminah. Jantung Astari semakin berdebar.

"Buku harian. Kayanya punya ayah dan mama." Ia membatin.

Meski ia begitu penasaran dengan isi dari buku agenda sang ibu kandung, pada akhirnya Astari memilih untuk membaca buku agenda milik sang ayah lebih dulu. Ia mulai membuka cover agenda. Di halaman pertama langsung tertulis,

"Buku milik Pratama, harap kembalikan jika menemukan ini di jalan." Tulisan sambung khas ayah Astari. Ia tersenyum lalu lanjut membuka halaman kedua.

Juni 1988,

"Gadis tangguh itu telah lulus SMA, harus segera dilamar, sebelum diambil orang." Astari mulai tertawa.

Astari melihat halaman di sebelahnya,

Juli 1988,

"Akhirnya doi mau gue ajak jalan. Toko musik jadi tempat favoritnya." Hanya itu yang tertulis.

Astari membalik halaman itu untuk membuka halaman berikutnya.

Agustus 1988,

"Hadiah kedua yang ngga doi balikin. Gitar. Diterima dengan senang hati. Benar-benar suka musik nih. Selain suka nulis." Astari tersenyum lagi, melirik gitar yang tersimpan rapi di sudut kamarnya.

"Pantas aja ayah suka ngomel kalo aku ngasal pake gitar itu. Hadiah kedua yang di terima mama rupanya." Ia membatin.

Halaman berikutnya,

September 1988,

"Harus gerak cepat. Udah mulai banyak yang nyamper doi."

Astari tertawa cukup keras, sang ayah sempat ketar ketir ternyata.

Desember 1988,

"Akhirnya gadis tangguh ini menjadi istri gue."

"Wihh, tau-tau udah nikah aja ni ayah," Astari berkomentar. "Tapi ini kenapa ayah begini amat nulisnya. Kertas masih penuh udah ganti ke halaman baru. Boros amat." Ia berkomentar lagi sambil terus membuka halaman demi halaman.

Setiap tulisan ayahnya memang tidak panjang. Singkat-singkat saja. Tidak mendetail juga kapan waktu-waktunya. Namun semua yang tertulis adalah hal-hal yang harus selalu di ingat, momen-momen penting yang terjadi di hidup sang ayah juga tentang hal-hal yang disukai dan yang tak disukai oleh mama Astari.

"Kenangan sama mama ternyata cukup indah ya, yah." Ia berbicara seolah ada sang ayah di depannya. Tiba-tiba Astari terdiam lama, matanya tertuju pada tulisan yang membuatnya merasa paling berharga dan istimewa.

July 1990,

"Telah lahir putri pertama gue, dari seorang wanita yang luar biasa kuatnya. Cantik kayak mamanya, semoga tumbuh jadi wanita tangguh dan baik hati kayak mamanya juga."

Tak terasa air mata Astari mulai menetes. Setelah kelahirannya, Ayah Astari rajin menulis tentang perkembangan Astari setiap bulannya juga tentang perjuangan ibu Astari sebagai seorang ibu baru. Meski hanya tulisan singkat tapi pesannya sangat dapat di pahami. Tepat pada intinya. Ayah Astari sangat bersyukur diberikan pendamping hidup seperti Aminah dan anak seperti Astari. Hati Astari tak karuan sekali, ada rasa rindu yang begitu besar pada ibu kandungnya juga pada sang ayah. Namun, tiba-tiba perasaan berubah ketika matanya samar membaca di halaman-halaman berikutnya.

April 1991,

"Pindah ke Jakarta tapi ngga bisa bawa keluarga. Berat rasanya meninggalkan istri dan anak tercinta. Tapi demi bisa menafkahi mereka, gue harus bisa."

Tiba-tiba perasaannya tak enak. Ia mengelap matanya yang basah. Membuka lagi halaman berikutnya. Tulisan sang ayah mulai membuatnya tak nyaman. Beberapa bulan ayahnya tak menulis.

Oktober 1991,

"Ini kesalahan. Semoga ngga terulang. Ya Allah."

Desember 1991,

"Aminah, aku minta maaf atas segala salahku. Semoga kamu dan Astari baik-baik saja."

Perasaan Astari semakin tak enak, buru-buru ia mengambil buku-buku agenda milik ibunya. Tertulis di cover "kisah pertama" dan "kisah kedua". Astari tersenyum, "apa mama sebenarnya seorang penulis?" Lalu mengambil agenda dengan judul kisah pertama. Dugaan Astari sepertinya benar, karena disetiap halaman selalu penuh dengan tulisan. Berbeda dengan buku agenda milik ayahnya.

Di buku pertama, setiap kalimat yang tertulis terasa penuh cinta. Ungkapan kasih sayang untuk lelaki yang ternyata memanglah tambatan hatinya sejak lama.

Sabtu, 4 Juni 1988,

"Hari ini acara kelulusanku. Dia yang memang kuharapkan datang menghadiri upacara kelulusan bersama kedua orangtuaku. Bahagia sekali rasanya. Dan ini buku yang ia bawa sebagai hadiah. Tak hanya buku, ia juga memberikan pena. Terukir namaku di sisi penanya. Indah sekali. Tampaknya ia tahu jika aku suka menulis. Ini hadiah pertama yang kuterima setelah selama ini hadiah-hadiahnya selalu aku tolak. Semoga ada jalan baik untuk kami."

Sabtu, 2 Juli 1988,

"Pertama kalinya jalan dengan dia. Mungkin karena sudah lulus sekolah, bapak dan ambu mengizinkan aku untuk jalan dengan dia. Sepertinya dia juga tau kalau aku suka musik. Kami jalan ke toko musik. Ada gitar bagus sekali. Sayang harganya mahal, mungkin lain kali. Jika aku ada rezeki lebih."

Jumat, 19 agustus 1988,

"Aku selaku panitia acara 17 agustusan mengadakan rapat untuk acara puncak besok. Tak di sangka-sangka, dia membawakan hadiah lagi. Sebuah gitar yang aku mau. Katanya, dia sering melihatku bermain gitar milik tetangga sebelah. Maka dia berinisiatif memberikan gitar ini. Malu rasanya jika ku terima barang semahal ini. Tapi jika ku tolak ya sayang juga. Hahaha. Dia memintaku tampil di acara besok. Memainkan sebuah lagu dengan gitar ini. Duh, deg-degan sekali. Semoga bisa ya."

Sabtu, 20 agustus 1988,

"Acaranya berjalan lancar dan aku akhirnya menyumbang satu lagu dengan gitar baru. Sebenarnya aku malu karena ramai yang melihat. Tapi tetap aku beranikan diri, untuk menghargai dia. Untungnya aku tidak malu-maluin."

Astari membaca cepat buku agenda pertama milik ibunya. Semua tulisan sang ibu di agenda pertama masih bertemakan cinta. Kebahagian sang ibu karena akhirnya dapat menikah dengan sang pujaan hati. Sekian tahun memendam rasa karena usia yang masih belia, akhirnya restu dari kedua orangtua turun juga. Dalam sekejap perasaan Astari berubah lagi, menjadi bahagia. Meski ada rasa geli membaca kisah bucin sang ibu, namun ia bersyukur karena ibu Aminah telah menemukan tambatan hatinya.

Astari membuka halaman terakhir, tulisan sang ibu di halaman itu membalikkan lagi perasaannya. Bahagia yang sempat ia rasakan berubah jadi tak nyaman.

Kamis, 4 april 1991,

"Suamiku harus bekerja ke Jakarta. Berat rasanya harus tinggal terpisah. Ingin rasanya ikut ke Jakarta tapi keadaan belum memungkinkan. Bisakah aku tinggal berdua saja dengan si mungil Astari? Tak apalah, bismillah saja. Lagipula Bogor Jakarta bukalah jarak yang sangat jauh pula. Suamiku berjanji akan pulang setiap satu minggu sekali. Semoga semua selalu sehat dan dalam lindunganNya."

Astari mengambil buku harian ke dua milik ibunya. Di halaman pertama hanya tertulis kata rindu. Halaman berikutnya tertulis tanggal yang agak jauh dari sebelumnya. Ia menduga sang ibu mulai sibuk dengan dirinya hingga tak sempat menulis lagi.

Jum'at, 26 Juli 1991,

"Sudah sebulan lebih sejak kepindahannya ke Jakarta. Aku masih belum terbiasa. Menunggu akhir pekan terasa sangat panjang. Apalagi Astari sudah mulai bisa mengucap pa pa pa. Aduh sedih sekali. Tambahan entah mengapa mengurus semua sendiri terasa merepotkan. Tapi semoga aku bisa."

Benar dugaannya, sang ibu mulai kewalahan mengurus Astari dan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Astari terus membalik halaman demi halaman yang tanggalnya semakin berjauhan. Kisahnya masih tentang keluhan dan ungkapan rindu pada sang suami. Meski ia berharap tak ada kisah yang menyakitkan, namun pada akhirnya ia menemukan kisah yang membuat hatinya sakit sekali.

Minggu, 3 nopember 1991,

"Satu bulan ini suamiku tak pulang. Tidak biasanya ia seperti ini tanpa kabar. Aku berusaha menghubungi kantornya. Dia menjawab, banyak pekerjaan katanya. Aku meragukan, bukan tak percaya tapi apakah iya sampai tak bisa libur untuk pulang?"

Sabtu, 21 Desember 1991,

"Seorang wanita bernama Kania datang menemuiku. Bertanya apakah aku istri Pratama. Aku menjawab iya. Dan menunjukan buku nikah kami. Ia mengakui sesuatu yang membuatku terkejut. Kania telah berpacaran dengan Pratama. Bahkan hubungan mereka sudah terlalu jauh. Kania meminta restu dariku untuk mengizinkannya menjadi istri kedua. Aku tak tau harus bagaimana. Seluruh tubuhku bergetar hebat. Emosi ku campur aduk. Menulis ini saja rasanya sulit sekali. Apa yang harus aku lakukan, aku tak ingin langsung percaya. Aku harus tanya langsung pada Pratama."

Minggu, 29 desember 1991.

"Satu minggu yang sangat panjang. Tiba-tiba Pratama datang dengan putusannya menjatuhkan talak satu padaku. Seperti tersambar geledek. Aku tak paham situasinya. Aku bertanya padanya apa yang salah padaku, namun ia tak banyak bicara. Di saksikan penghulu yang pernah menikahkan kami jatuh sudah talak satu darinya untukku. Entah sah atau tidak. Dunia serasa runtuh. Aku tak sanggup ya Allah. Haruskah kuberitahu orangtuaku?"

Rabu, 1 Januari 1992,

"Ini gila. Belum sempat ku beritahu kedua orangtuaku, Pratama datang bersama Kania menemui ambu dan bapak. Pratama menyampaikan niatan untuk menikah lagi dengan Kania dan mengatakan jika aku sudah ia talak satu. Apa-apaan ini? Ambu murka, memintaku untuk pulang ke rumah ambu saja. Bapak tak banyak bicara. Namun setuju dengan ambu yang memintaku untuk pulang dulu. Aku terpaksa menurut meski banyak sekali yang mengganjal dan ingin aku selesaikan. Tapi biarlah dulu. Masih ada iddah 3 bulan."

Minggu, 16 Pebuari 1992,

"Mereka menikah bahkan saat belum selesai masa iddahku. Bingung sekali apakah semuanya sah? Tapi sudahlah, meski sakit sekali rasanya tetap harus kuterima. Mengapa mereka terburu-buru sekali? Apa Kania sudah hamil?"

Kamis, 27 Pebuari 1992,

"Tadi pagi Pratama dan Kania datang berkunjung, aku sudah di rumah orangtuaku. Tanpa rasa malu mereka menemui kami semua. Adik lelakiku siap melempar Pratama dengan piring yang sedang di pegangnya namun bapak menahan. Tak mau kalah, kakak-kakak perempuanku siap menerkam Kania, tapi ambu juga menahan. Aku hanya bisa diam. Pratama hanya mau bertemu dengan Astari juga meminta maaf padaku. Kania pun berkali-kali mengucap maaf padaku. Aku menggunakan kesempatan itu untuk bertanya mengapa mereka menikah buru-buru? Apa Kania sudah hamil? Kania menjawab belum, tapi mereka sudah melakukan hal itu berkali-kali. Khawatir, katanya. Tubuhku bergetar hebat, kepalaku sakit sekali tadi. Aku pamit pada mereka untuk beristirahat dan tertidur. Lalu ketika terbangun mereka sudah pulang. Adikku bilang, Pratama habis di maki bapak."

Astari berhenti sejenak. Nafasnya mendadak cepat. Ada amarah yang bergemuruh di dadanya. Rasa benci pada ibu sambungnya tiba-tiba muncul. Astari berusaha menenangkan dirinya tapi tak berhasil. Tangisnya meledak. Suaranya tak dapat ia tahan pula. Ia menangis bak anak kecil yang sedang merajuk karena tak dibelikan mainan. Ibu Kania yang sejak awal menunggu di depan kamar Astari ikut menangis. Ia memegang dadanya yang sama sesaknya dengan Astari.

"Maafkan ibu, nak. Maafkan ibu." Ucapnya pelan di sela-sela tangisnya.

Pagi harinya, Astari keluar kamar dengan mata bengkak dan merah. Ibu Kania tidak bertanya karena jelas paham apa penyebabnya. Rendy yang tak tahu apa-apa bertanya dengan polosnya,

"Ka, sehat? Semalam tidur kan?"

"Hm, iya. Tidur ko." Astari menjawab singkat.

"Hari ini kamu udah bisa ke sekolah?" Tanya ibu Kania ke Astari takut-takut.

"Iya, bisa." Jawabnya singkat.

"Tapi matamu," ibu Kania khawatir melihat mata Astari yang bengkak sekali.

"Ngga apa-apa bu. Sebentar lagi Tari Ujian Nasional, mau persiapan tes masuk universitas juga kan. Udah berapa hari ngga masuk sekolah, takut ketinggalan banyak materi ujian." Astari menjawab tanpa melihat ke arah ibu sambungnya.

"Yaudah, sarapan dulu. Ini ibu udah siapin bekal." Ibu Kania pasrah dengan sikap Astari.

"Iya makasih bu." Astari menyelesaikan sarapan secepat mungkin lalu berangkat ke sekolah seorang diri. Rendy bersiap untuk mengejar, namun sang ibu menahannya dan meminta Rendy agar membiarkan kakaknya untuk sendiri dulu.

Hari-hari Astari terasa begitu berat setelahnya. Ia bahkan tak bisa lagi melihat wajah ibu Kania yang telah merawatnya sejak ibu kandungnya meninggal dunia. Astari meragukan ketulusan ibu Kania. Dalam benaknya sekarang, ibu Kania hanya menebus rasa bersalah terhadap ibu kandungnya. Tak lebih.

Astari mulai mempertimbangkan hidup jauh dari keluarganya. Ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Hal yang sebelumnya tak pernah terlintas di benaknya. Janjinya pada sang ibu sambung untuk selalu menemani terpaksa ia langgar.

"Kak, aku mau tanya. Sebenarnya ada apa antara ibu dan kakak?" Tanya Rendy ketika mengetahui kakak semata wayangnya telah lolos masuk universitas negeri di luar kota.

"Ngga ada apa-apa ko." Jawab Astari tersenyum pada adiknya.

"Yang benar?" Rendy meragukan.

"Iya, bener. Kalo nanti kakak jauh, titip ibu. Jagain ibu. Jangan main aja." Biar bagaimanapun, rasa sayangnya terhadap ibu Kania tetap ada.

"Iya, pasti. Tapi kakak ada apa? Nanti-nanti pasti sering pulang donk?" Tanya Rendy malah semakin khawatir. "Kenapa tiba-tiba kakak milih kuliah di luar kota?" Tambahnya.

"Pulang lah, masa ngga. Tapi mungkin ngga akan sering-sering. Karena kakak juga mesti hemat. Kecuali nanti kalo kakak udah ada pekerjaan yang bagus, mungkin akan sering pulang." Ia berhenti sejenak. "Kakak cuma ngga mau ngerepotin ibu." Lanjutnya pelan.

"Tapi ibu sering bilang, ngga ada yang ngerepotin ibu. Baik Rendy atau kakak." Rendy merajuk.

"Duh, ini anak udah segede gini masih aja ngambek." Astari gemas melihat adiknya. "Pokonya doain kakak terus ya."

Tiba saatnya Astari berpamitan untuk melanjutkan hidupnya di kota orang. Ia memeluk Rendy lebih dulu sebelum berangkat. Lalu menyusul memeluk ibu Kania.

"Maafkan ibu ya." Bisik ibu Kania ketika mereka berpelukan.

"Tari juga minta maaf ngga bisa nepatin janji buat terus nemenin ibu." Ucapnya datar. Rasa sakit hati ibu kandungnya telah menular.

"Ibu tau kamu pasti benci sekali sama ibu, tapi ibu benar-benar sayang sama kamu." Ibu Kania menahan air mata.

"Entahlah bu, Tari bingung. Terkadang Tari berpikir, ibu hanya merasa bersalah aja sama mama. Tapi entahlah." Tari melepaskan pelukannya.

"Ibu merasa bersalah, tapi ibu benar-benar menyayangi kamu." Ibu Kania belum mau melepaskan tangan Astari. "Terima kasih karena tetap memanggil ibu dengan sebutan ibu." Suara ibu Kania bergetar.

"Tari butuh waktu bu. Maafin Tari." Astari menanggapi dingin. Ia mencium tangan Ibu Kania lalu melepaskan dan pergi.

Sepanjang jalan Astari membaca kembali tulisan-tulisan di akhir buku agenda kedua ibunya. Beberapa saat sebelum ibu Aminah meninggal dunia. Ia juga mencocokan cerita sang ibu dengan apa yang tertulis di buku agenda ayahnya.

Rabu, 3 Juni 1992,

"Beberapa bulan aku tak menulis. Berat sungguh melewati hari-hari sebagai janda beranak satu. Meski Pratama tak menelantarkan Astari, tapi tetap tak sanggup aku menjalaninya sendiri. Kini aku mulai bekerja. Mengisi acara-acara menggunakan gitar yang ada. Lumayan saja, pelipur lara. Aku juga tak ingin merepotkan ambu dan bapak. Ngomong-ngomong, Astari semakin pintar. Sungguh menggemaskan."

Sabtu, 6 september 1992,

"Tiba-tiba Kania mendatangiku, entah apa lagi maksudnya. Ia memintaku untuk menikah lagi dengan Pratama sebagai istri kedua. Betapa membingungkan hidup ini. Aku tak sudi. Mohon maaf."

Sabtu, 13 September 1992,

"Lagi-lagi Kania mendatangiku. Ia menangis memohon maaf juga memohon agar mau menikah lagi dengan Pratama. Aku jelas menolak. Berkali-kali Kania meyakinkan bahwa cinta Pratama hanya untukku. Tapi aku sudah tak percaya lagi."

Minggu, 6 Desember 1992,

"Aku sakit. Sudah sebulanan ini kurasa. Kulitku memerah seperti terbakar. Kakiku lemas bahkan aku sulit untuk berjalan. Dokter bilang, aku terkena lupus. Entah jenis penyakit apa ini, aku tak tau jelasnya. Astari, maafkan mama ya. Karena tak bisa full mengurus kamu. Sedih sekali rasanya. Kania masih terus datang meski telah ku tolak berkali-kali. Ia tak ingin bercerai namun memaksaku untuk menjadi istri kedua Pratama. Di kondisi seperti ini, aku sudah tak peduli lagi dengan Pratama. Fokusku sekarang hanya bisa sembuh dan kembali menemani hari-hari Astari. Oh iya, Orang-orang bilang sakit ku ini karena pikiran. Aku terlalu memendam sakit hati sendiri. Entahlah, aku sudah berusaha mengikhlaskan. Walaupun memang terkadang masih terasa menyakitkan."

Minggu, 28 Desember 1992.

"Alhamdulillah, aku sudah membaik. Sudah bisa berjalan lagi. Tapi dokter melarangku untuk manggung. Jangan terlalu lelah dan jangan sering keluar malam, begitu katanya. Uangku habis untuk berobat. Aku bingung harus bagaimana. Tak bisa memberatkan ambu dan bapak. Meski mereka merasa tak di repotkan, aku tau ambu dan bapak kesulitan. Keputusan ku menerima Pratama pun awalnya agar aku tak lagi jadi beban orangtua, selain karena memang aku cinta. Pada akhirnya niatku mungkin dinilai salah oleh Allah. Maka inilah yang terjadi pada pernikahanku akhirnya. Ngomong-ngomong Kania belum menyerah. Padahal ia sedang hamil, ku perhatikan perutnya sudah makin membesar. Iseng ku bertanya sudah berapa bulan, masuk 7 bulan katanya. Setelah ku hitung-hitung, sepertinya benar saat mereka menikah, Kania memang belum hamil. Terserahlah. Yang pasti semoga ia selalu sehat. Biar bagaimanapun di dalam perutnya ada anak yang suci dan tak bersalah."

Pebuari 1993,

"Entah tanggal berapa ini. Aku sakit lagi. Bulan lalu aku memang banyak menerima tawaran. Demi mengumpulkan uang untuk orangtua. Ku abaikan nasehat dokter. Akibatnya sekarang aku kembali tak bisa jalan. Bahkan, lebih sakit dari sebelumnya ku rasa. Ya Allah, ada apakah ini? Apa ajalku semakin dekat? Kalau aku meninggal bagaimana dengan Astari?"

Maret 1993,

"Aku semakin tak tau hari. Ini saja aku bertanya pada adikku, bulan apa sekarang. Penyakitku belum juga hilang. Semakin sakit saja rasanya meski obat sudah banyak yang ku makan. Pratama dan Kania berbaik hati merawat Astari untuk sementara waktu ketika tau kondisiku. Meski mereka pernah mengecewakan, aku tetap berterima kasih di kondisi seperti ini. Setidaknya ambu dan bapak tak perlu repot mengurus Astari. Rasanya, kematian semakin mendekat. Entahlah. Tapi aku sudah bicara pada Pratama dan Kania, jika memang ternyata waktuku telah habis, mohon rawat Astari dengan sebaik-baiknya. Aku sudah memaafkan kalian. Maka aku mohon, rawatlah Astari. Khususnya untuk Kania, anggaplah Astari sebagai anak sendiri. Kania sudah berjanji padaku akan merawat Astari dengan sebaik-baiknya. Aku memutuskan untuk mempercayainya. Dan aku agak lega."

April 1993,

"Rasanya badanku semakin melemah. Aku berpikir untuk menulis surat cinta untuk Astari. Entah bisa selesai atau tidak, setidaknya aku harus berusaha. Kemarin Astari datang berkunjung, benar-benar menggemaskan sekali. Tak henti-henti ia memelukku. Sungguh bahagia. Namun entah mengapa orang-orang di sekitarku malah menangis. Aku lelah sekali. Tulisan ku belum terlalu panjang, tapi rasanya seperti telah menulis berlembar-lembar."

1993,

"Aku sudah tak tau hari dan bulan, tapi kurasa ini masih di tahun 1993. Aku di rawat di rumah sakit karena kondisiku yang semakin parah. Sebenarnya aku tak sanggup mengangkat pena ini. Tapi tadi pagi Astari datang lagi berkunjung. Sayang rasanya jika aku tak menulis tentang Astari. Karena ia semakin pintar. Celotehnya lucu juga. Berkali-kali ia memanggilku mama mama mama. Bahagianya. Astari tampak sehat dan gemuk. Kurasa aku tak salah menitipkan ia pada ayahnya dan Kania. Semoga saja. Meski dokter tak membolehkan Astari berlama-lama denganku karena ini rumah sakit, alhamdulillah aku sempat menimang Astari hingga tertidur lelap."

1993,

"Aku semakin lelah, tak sanggup berlama-lama membuka mata. Entah pengaruh obat atau apa. Sempat terpikir olehku, mungkin ini maksudnya. Umurku tak akan lama. Setidaknya Pratama sudah mendapatkan pengganti diriku sebelum aku pergi. Bahkan ia sudah mendapatkan ibu sambung yang baik untuk Astari. Pratama tak perlu lagi bersusah payah mencari pasangan yang cocok setelah aku pergi karena memang sudah ada. Doaku tulus untuk Pratama dan Kania, semoga mereka selalu langgeng, bahagia bersama hingga akhir hayat, saling menyayangi dan menjaga. Khusus untuk Pratama, semoga tidak pernah terulang lagi kesalahan yang pernah dilakukan. Dan untuk Astari anakku tercinta, mama berharap buku ini sampai padamu. Bukan untuk membuatmu terluka, namun untuk membuatmu bersyukur karena Allah telah memberikan orang-orang yang sangat menyayangimu, menyiapkan semua hal baik ketika mama harus pergi meninggalkanmu. Segala rasa sakit mama tak ada artinya selama hidupmu aman dan nyaman. Mama yakin ayah dan ibu Kania adalah orang yang tepat. Ini hanyalah kisah hidup nak, jangan pernah mendendam. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan, tugas manusia lain hanya memaafkan. Jika hidupmu kelak baik-baik saja, mama minta setelah membaca inipun hidupmu harus tetap baik-baik saja. Sayangi orang-orang yang selalu ada untukmu. Siapapun itu. Entah mama masih bisa menulis atau tidak, disini mama akan bilang bahwa mama mencintaimu lebih dari hidup mama sendiri. Semoga Allah selalu menjagamu, nak."

Astari menutup buku agenda ibu Aminah. Itulah tulisan terakhir ibunya. Mata Astari sudah sembab karena air mata. Ia berusaha menyembunyikan matanya dengan hoodie dari jaket yang ia pakai. Lalu di bukanya buku agenda milik ayahnya. Lama sang ayah tak menulis sejak tulisan permintaan maafnya.

Juni 1993,

"Wanita yang paling gue cintai meninggal dunia. Putri kecil gue resmi ikut gue. Belakangan gue tahu segala luka Aminah dari buku agenda miliknya."

Juli 1993,

"Astari masih sering menanyakan Aminah. Tapi Kania dengan sigap mengalihkan semuanya. Bukan untuk membuat Astari melupakan mamanya, tapi sekedar menjadi penghibur hatinya. Pada akhirnya gue harus bersyukur dengan adanya Kania. Ia bisa menjadi istri yang baik sekaligus ibu yang baik pula bagi Astari."

Ayah Astari mulai jarang menulis. Hanya sekali-sekali saja.

04 April 1994,

"Hari ulang tahun Aminah. Entah mengapa gue masih merindukannya. Gue merasa berdosa pada Kania karena masih menyimpan rasa untuk Aminah. Beberapa kali gue bertanya, kalau-kalau ia ingin berpisah. Namun ia selalu menolak."

July 1996,

"Astari masuk sekolah. Lucu sekali. Kania dengan cekatan mempersiapkan semua keperluan Astari. Di sela-sela repotnya mengurus Rendy. Sepertinya gue harus mengubur rasa pada Aminah dan mulai mencintai Kania sepenuhnya."

Setelah hari itu ayahnya tak pernah menulis lagi. Astari pun tak memerlukan kisahnya pula karena ia sudah bisa mengingat kejadian-kejadian setelah ia mulai masuk sekolah. Astari menjadi saksi bahwa sang ayah sudah benar-benar bisa mencintai ibu Kania. Begitu pula dengan ibu Kania yang terlihat sangat bersyukur dengan apa yang selalu diberikan oleh ayahnya. Dalam benak Astari sejak kecil, bapak Pratama dan ibu Kania adalah pasangan yang ideal. Namun setelah tahu segala kisahnya Astari berpikir bahwa tidak pernah ada yang ideal di dunia ini. Astari sudah hampir menutup agenda milik sang ayah, namun terhenti karena ia baru menyadari masih ada satu lembar tersisa yang belum ia baca. Di halaman terakhir.

Desember 2007,

"Anak gadis gue hampir menyelesaikan masa SMAnya. Wajahnya semakin mirip Aminah. Begitu pula sikap keras kepalanya. Melihatnya selalu berkeras mengingatkan gue pada masa-masa itu. Masa dimana Aminah tak ingin di bantu untuk mendorong air berisi dirigen-dirigen besar. Lucu juga jika ingat masa itu. Tapi karena keras kepala dan tangguhnya itulah awal gue jatuh cinta pada Aminah. Astari, waktu ayah sepertinya tak akan lama. Mungkin saat kamu menerima buku ini ayah sudah entah dimana. Ayah mau meminta satu hal padamu, sayangilah ibu Kania selayaknya mama Aminah. Tari boleh membenci ayah seumur hidup Tari karena ayah telah menyakiti ibu Aminah, tapi ayah minta tetap sayangi ibu Kania. Maafkan kesalahannya di masa lalu. Ibu Kania selalu tulus pada Tari. Tak sedikitpun ia berpikir Tari anak sambungnya. Ayah tak membela ibu Kania. Ayah hanya berharap Tari bisa tetap adil padanya. Semoga Astari mengerti. Dan bisa memaafkan ayah juga. Salam sayang buat anak gadis ayah yang istimewa, ayah Pratama."

Astari menangis tersedu-sedu. Penumpang bus melihatnya keheranan namun tetap mengabaikan. Ia menutup agenda milik ayahnya, lalu menyimpan semua buku agenda di dalam tasnya. Tangisnya belum juga bisa berhenti setelah sejam berlalu. Bingung harus bersikap bagaimana. Ia paham sekali akan sakit hati ibu Aminah maka ia berusaha tetap ada di pihak mamanya. Namun, ibu Aminah bahkan ayahnya meminta Astari untuk tetap sayang pada ibu Kania. Ingin rasanya semua berjalan seperti biasanya, menganggap ibu Kania adalah ibu kandungnya. Tapi keadaan sudah berbeda, ada perasaan aneh yang bersarang di hatinya. Ia merasa telah mengkhianati ibu Aminah pula jika tetap bersikap seperti biasa pada Ibu Kania.

2023,

Astari telah selesai dengan segala persiapan menjelang lebaran. Rumah ibu Kania kini penuh dengan hiasan-hiasan idul fitri dan bunga-bunga sedap malam. Harum sekali. Hidangan khas lebaran sudah rapi tertata di meja makan. Rendy dan istrinya sudah siap di depan pintu menyambut para tamu. Kegiatan rutin tiap tahunnya di rumah ibu Kania selalu seperti itu.

Astari dan keluarga kecilnya tak pernah absen untuk meramaikan rumah ibu Kania. Meski awalnya ia sempat melanggar janjinya untuk selalu menemani ibu sambungnya, pada akhirnya ia tersadar. Ketulusan seseorang mampu meluluhkan hati yang beku sekalipun. Ibu Kania tak pernah marah sejak Astari memutuskan keluar dari rumah. Ia bahkan tak henti-henti menanyai kabarnya meski sering diabaikan.

Astari mulai berdamai dengan dirinya sendiri dan melepaskan rasa-rasa tak nyaman di hatinya. Selepas lulus kuliah, Astari kembali ke kota asalnya dan mendapat pekerjaan yang cocok disana. Sejak hari itu Astari tak pernah lagi meninggalkan ibu Kania.

"Ibu, selamat lebaran ya. Makasi udah selalu ada buat Tari. Maafin kesalahan dan segala keras kepalanya Tari ya bu." Astari sungkem lebih dulu sebelum menerima tamu.

"Ibu yang minta maaf sama Tari." Ibu Kania menangis haru tak sanggup melanjutkan bicara. Astari menggeleng lalu memeluk erat sang ibu. Rendy yang pada akhirnya tahu akan semuanya, tersenyum senang melihat pemandangan di depannya.



Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Buku Harian
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Bronze
Kerja, Kerja, Dikerjain
spacekantor
Cerpen
Kompas
Hai Ra
Cerpen
KARBAK 85
Sky Melankolia
Cerpen
A Journey of Self-Discovery
Tiisept
Cerpen
Bronze
Panda
NRP
Cerpen
Bronze
Manusia Kayu
anargya andini damarashri
Cerpen
Harus Bersama
Mariana Sibuea
Cerpen
Bronze
Arini
Imajinasiku
Cerpen
One Meal, One Story, One Movie Before Bed
Cléa Rivenhart
Cerpen
Bronze
Restaurant Jang Kie
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Bukan Babi Ngepet
Jasma Ryadi
Cerpen
Bird (Burung)
Celica Yuzi
Cerpen
Mahasiswi si Pengamat
O. Caella Symphonia
Cerpen
Bronze
AKU PULANG, MAK
Citra Rahayu Bening
Rekomendasi
Cerpen
Buku Harian
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Sebuah Keputusan
Amalia Puspita Utami
Novel
Bronze
(Secuil) Tentang Bakti
Amalia Puspita Utami
Novel
Hello Life
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Bronze
Tipu-Tipu Media Sosial
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Rumah yang Hilang
Amalia Puspita Utami
Cerpen
(Serasa) Ngga Punya Tetangga
Amalia Puspita Utami