Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Buku-Buku di Penjara
1
Suka
20
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku menulis cerita ini dari dalam penjara. Ya, aku adalah seorang tahanan yang dihukum seumur hidup. Kawan, jika tulisanku ini berhasil dibaca olehmu, bukan berarti aku sudah mati. Namun, aku telah berhasil menyelesaikannya. Kawanku, ternyata menulis adalah suatu pekerjaan yang tidak bisa dianggap enteng. Terlebih, oleh orang yang baru mengenal buku di penjara sepertiku.

Sejujurnya, alasan aku bisa masuk penjara bukan karena telah melakukan kejahatan, tetapi, Aku hanya seorang tahanan pengganti. Ya, sungguh. Hey, penegasanku ini bukan suatu upaya untuk membuatmu percaya bahkan meminta untuk dikasihani. Terserah kepadamu, para pembacaku yang budiman—ah, itu pun jika ada yang mau membaca tulisan tak berbobot ini.

Aku mempelajari ilmu tentang logika dasar dari sebuah buku yang kubaca di penjara yang itu pun diajarkan oleh seorang “teman”, bahwa semua sebab ada akibatnya. Ah, ya, hukum kausalitas. Tunggu, jangan beranggapan bahwa aku ini orang yang mencoba kelihatan pintar atau orang yang berpura-pura bodoh. Sungguh, karena ini adalah karya pertamaku, maka mohon dimaklumi saja, jika tulisanku tak tentu arah dan urakan seperti ini.

Seperti ku katakan tadi, aku bisa mendekap seumur hidup di penjara karena aku menggantikan tahanan sesungguhnya. Siapa itu? Baik, biar ku ceritakan sebabnya:

Suatu hari ada seorang pria berpakaian seperti orang yang ada di baliho datang menggunakan mobil mewah ke rumahku—sebenarnya lebih tepat disebut bilik. Kamu tahu, aku melebih-lebihkan menyebut tempat itu sebagai rumah tidak lebih hanya mengekor gaya bercerita para penulis pendahuluku saja. Demi apa pun, Aku kenal baik benda bernama baliho itu, sebuah benda yang dapat menghalau angin yang paling mungkin kami miliki secara gratis. Kawan, kami tinggal mencopotnya jika musim pemilihan sudah selesai—Ia menawarkan sejumlah uang dengan syarat: aku mau masuk penjara untuk menggantikan anaknya.

"Pak, ini uang pak! Ya Tuhaan," kata istriku dengan sangat histeris.

Ia begitu kaget melihat uang dengan jumlah yang sangat banyak berada dalam satu koper—di sini aku tidak mengada-ada dan sulit sekali menjabarkan kegirangan istriku saat melihat uang itu di depan matanya. Sungguh, kawan, aku hanya mencoba konsisten dengan peranku dan sang istri di dunia ini sebagai orang yang melarat, dengan sedikit menunjukan reaksi alami yang disebutkan oleh pepatah: bagai mendapat durian runtuh atau seperti ungkapan mimpi saat siang bolong.

Uang sebanyak itu—mungkin kurang lebih berjumlah satu miliyar—bisa kami miliki jika aku mau menggantikan anaknya di penjara. Aku sedikit terharu membayangkan betapa susahnya kami menjaga persediaan beras untuk dimakan selama sebulan. Sekarang, nasibku—atau aku berpikir minimal nasib istriku bisa berubah.

"Ini saatnya kita merubah nasib, Pak!"

Aku melihat matanya berbinar-binar. Lalu istriku berkata: dengan uang itu kita bisa membeli perhiasan dan juga rumah mewah. Katanya, ia sudah muak dengan bau sampah. Melihat halaman penuh sampah. Di dapur juga ada sampah. Hidup memulung sampah. Pokonya dia muak dengan semua ini.

Istriku sangat berhasrat untuk meninggalkan perkampungan miskin dekat pembuangan sampah ini. Dia berkata dengan penuh semangat sambil menggoyang-goyangkan bahuku, “Aku juga ingin merasakan hidup di rumah yang hangat dan wangi, Pak. Seperti rumah yang ada di kawasan elite sana. Rumah-rumah yang sebagian sampahnya berada di sini!”

Karena tidak tega, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran si bapak tadi, dengan syarat, bahwa istriku harus menjenguk ku selama di penjara. Karena sungguh, aku begitu mencintainya dan tidak ingin terpisah darinya—hey, kawan, orang melarat juga berhak untuk memiliki cinta sehidup semati, bukan? Jangan tertawa dan merasa aneh!

Aku melewati proses panjang di persidangan dan terpaksa mengakui bahwa aku telah membunuh orang dengan disengaja. Akhirnya, aku dijatuhi hukuman seumur hidup. Istriku tidak tahu. Ia tidak datang dipersidangan itu dan aku merasa tidak akan bertemu lagi dengannya. Hatiku merasa sakit.

Sungguh, Aku melewati hari-hari di penjara dengan sangat murung. Ternyata hidup miskin lebih bisa dibilang hidup dari pada tinggal di penjara. Aku melihat berbagai kekerasan yang dilakukan tahanan lain. Pemukulan kepada pendatang baru. Pertarungan antara geng yang berkuasa. Ada juga beberapa sipir yang suka menyiksa.

“Hei, Bung, jadi, Kau seorang pembunuh itu? Sini duel bersamaku sampai mampus!” kata salah satu di antara mereka.

Pukulan sambutan mendarat di pelipis ku. Aku merasakan ada darah yang mengalir. Aku hanya menatap cairan merah itu dengan nanar. Aku tidak membalas dia dan hanya diam saja. Hatiku tidak merasakan apa-apa bahkan untuk merasakan sakit secara fisik. Bukan berarti aku memiliki ilmu kebal, tetapi, semua itu tidak tampak menyakitkan ketimbang rasa sakit hatiku kepada istri. Membuatku berpikir kembali dan membatalkan ucapanku tadi, bahwa hidup di sini lebih baik daripada di luar sana.

Karena kejadian itu, dan kejadian seterusnya ketika mereka sudah puas memukuli ku, tetapi, aku tidak kunjung membalas mereka, akhirnya, mereka pun meninggalkanku. Menganggapku sebagai mayat hidup. Jangankan untuk memukuli, bercinta saja, jika tak ada respons—huhu, aku sekarang bisa menggunakan kata-kata yang tidak lazim dilontarkan oleh seorang pemulung—dari pasangan akan terasa membosankan.

Setidaknya, ada hal baik yang bisa ku ambil dari hidup di dalam penjara—aku mencoba sekuat mungkin menegasikan pandangan pertamaku—seperti, aku tidak perlu repot-repot mencari makan. Ya, aku tidak mengeluh soal itu. Bahkan bisa ku bilang, rasa masakan di sini cukup lezat untuk dikunyah lama di dalam mulut. Kawan, Aku sudah terbiasa memakan hal yang lebih buruk daripada ini. Satu-satunya hal yang memberiku sedikit bergairah adalah ini. Makan. Aku bisa makan secara gratis dan memperpanjang nafas.

Aku tidak tahu, kenapa tidak ada keinginan sedikit pun untuk melarikan diri atau pun mati bunuh diri di sini. Seperti, ah, aku meminjam kembali ungkapan: Mati segan, hidup tak mau. Semua keberanian ku untuk berbuat nekat telah habis—sepertinya, sedari awal aku hidup di dunia ini, aku tidak memiliki keberanian dan pikiran untuk bertindak nekat selain memberanikan diri untuk menggantikan peran hidup di penjara. Perasaan hampa ini melumat habis jiwaku. Bahkan pada hari-hari ceria seperti hari minggu.

Ya, pada hari minggu, kita dapat mendapatkan sinar matahari untuk menghangatkan tubuh. Para sipir memandu kami untuk berolahraga di lapangan. Aku tidak tertarik. Biasanya, pada saat itu, aku memilih untuk bersembunyi di tempat pembuangan sampah penjara. Ah, aku jadi merasa nostalgia dengan kehidupanku sebelumnya—aduh, maskudku, saat aku menjalani hidup sebagai orang melarat. Bau busuk ini, yang setiap hari ku hirup.

Tanpa ku sadari, kekosongan pikiran dan juga hasratku, perlahan membuatku lupa akan rasa sakit hati ini. Seperti, borok yang belum sempurna kering. Bila tidak dikenang, maka perasaanku akan baik-baik saja. Namun, seandainya saja terbersit kenangan akan janji istriku itu, maka sudah, sesak di dada kembali menghampiri.

Rasa sesak itu, adalah akibat dari aku memikirkan tentang istriku yang sudah hidup mewah di luar sana, memakai perhiasan sampai ke sikut, memiliki mobil dan juga pembantu. Ah, pada saat itu, aku sebenarnya juga berdoa dan turut bahagia, tetapi, pikiran jahat segera menyambar dan membakar semua itu. Aku tidak sepenuhnya naif. Ada juga kemungkinan bahwa istriku, sudah menikah lagi dan memulaui hidup yang baru. Jadi, Aku mendoakan dengan sangat tulus, bahwa suaminya yang baru itu hanya mengincar hartanya saja, sehingga istriku akan kembali hidup melarat. Dan, ujung-ujungnya, aku akan kembali merasa hampa dan tidak ada gairah sedikit pun.

Ah, ya, kamu pasti bertanya, “memangnya ada buku di penjara?” Kawanku, buku-buku itu dibawa ke penjara oleh seorang dermawan bernama Dr. A, nama samaran. Dia rajin melakukan kunjungan sekedar untuk berbagi dengan kami. Membawa makanan mewah dan obat-obatan. Terakhir, dia membawa buku dalam jumlah yang sangat banyak. Para tahanan diminta untuk memindahkan buku itu ke satu ruangan. Lalu kami disuruh untuk membuat rak. Dan jadilah sebuah perpustakaan di dalam penjara.

Perpustakaan itu terpisah dari sel para tahanan. Tepatnya, berada di sudut bangunan dekat ruangan kepala sipir. Saat peresmian Dr. A datang memberi suatu pidato. Kami disuruh berkumpul di lapang. Pagi itu sangat terik. Banyak tahanan yang mengeluh. Sipir yang melihat tahanan yang tidak mendengarkan langsung dipukul dengan pentungan.

"Membaca itu sangat penting. Bacalah apa pun! Baik itu novel, sains, ekonomi, bahkan tips menanam tumbuhan. Saya tidak berharap muluk-muluk, saudara, dengan membaca semoga engkau akan menghabiskan rasa bosan yang melanda,” katanya sambil menatap kami dengan penuh kewibawaan.

Begitulah, kawan, cerita singkat tentang buku-buku itu bisa sampai di sini. Suatu cerita yang sangat biasa saja. Bahkan sampai tulisan ini berakhir, aku menjamin tidak akan ada sesuatu yang sepesial. Apalah arti dari tulisan seorang penulis kelas tiga? Sangat tidak berharga. Dan, tidak layak mendapatkan penghargaan apa pun. Sungguh, jika sampai tulisan ini mendapatkan suatu anugrah, kita perlu mempertanyakan kembali tatanan penilaian yang sudah kokoh sejak zaman nenek moyang kita.

Ah, di tulisan yang jelek ini, yang berasal dari penulis pemula, yang tidak jelas arah dan tujuannya, Aku hanya ingin bergundah gulana, dan sungguh ajaib jika ada Tuan pembaca yang budiman, membacanya sampai titik ini. Sungguh, Tuan, itu pun kembali kukatakan, jika ada yang membacanya, Anda sudah menghabiskan waktu yang sia-sia.

Sama sia-sianya dengan buku yang dikirimkan Dr. A ke penjara. Ternyata di mana pun, buku yang berkualitas, tidak bisa diterima oleh orang kebanyakan. Mereka akan tersisih dan terkubur lumpur. Lalu, dengan seenak jidat, orang di masa mendatang berkata, “Ah, aku menemukan mutiara di dalam kubangan lumpur.” Padahal, karya yang para pemikir buat, sudah mulia sejak awal pembuatannya. Masyarakat yang bodoh saja, yang membuangnya ke dalam lumpur.

Ah, kawanku, betapa tidak mudahnya merubah bangsa barbarian ini menajdi beradab. Aku berkata tidak mudah, bukan berarti tidak bisa. Ada bermacam orang di penjara, setelah kuperhatikan dan memikirkan juga bagaimana sebaiknya mendidik mereka itu agar sesuai keinginan Dr. A. Rupanya, aku berkesimpulan bahwa ada benarnya juga mendidik hewan laknat dengan pecut agar mereka menurut. Dan, untuk mendidik manusia harus dengan ilmu. Tetapi, bagaimana caranya mendidik Iblis? Hanya Tuhan yang tahu—Ahaha, aku meminjam kata-kata Fyodor.

Di antara para tahanan itu, kebanyakan menganggap sepele pemberian dari Dr. A ini. Mereka bahkan mencemooh dan menganggap Dr. A sebagai orang dungu. Bahkan, para sipir berlaku seperti itu. Aku melihat mereka—para sipir itu—malah asyik bermain gawai saat menjaga kami. Namun, ada juga orang yang peduli, bahkan, sampai merasa bersyukur karena mendapat “hiburan” baru di penjara. Ah, dan ini yang paling jarang. Ternyata, ada juga dari mereka itu berasal dari golongan terpelajar. Mereka terkadang dikategorikan sebagai tahanan kelas berat karena membangkan pemerintahan. Si terpelajar sangat mencintai buku apa pun di dalam penjara ini. Dia merawatnya dengan setulus hati.

Aku tahu itu, bukan karena aku serba tahu. Namun, dalam kediaman yang tidak ada gairah ini, aku masih memperhatikan orang-orang di sekitar. Dan, Aku sangat memperhatikan dia, si terpelajar itu, yang sama-sama dihukum seumur hidup di penjara. Dia adalah penghuni lama, jauh sebelum aku berada di sini. Aku memperhatikan, sebelum kedatangan buku-buku itu di penjara, dia juga adalah seorang yang hampa. Kami satu sell, tetapi, tidak saling menyapa, mengobrol dan bahkan... Namun, sikap diamnya itu yang membuat suasana terasa canggung ini, tidak membuatku tersinggung.

Aku mengetahui seluk-beluk kehidupannya setelah buku-buku itu datang. Dia seperti mayat hidup yang kembali mendapatkan jiwanya. Dia dan buku, seperti sepasang kekasih yang sedang bercinta di pinggir pantai yang sepi pengunjung. Hanya ada mereka dan deburan ombak, juga burung camar yang terbang saat senja. Ah, aku jadi iri. Sekaligus merasa kagum bahwa dia sudah mendapatkan kembali jiwanya. Kapan giliranku? Sebentar lagi, kawan. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menyapanya. Dia menoleh dengan tatapan dingin.

“Buku apa itu?” tanyaku, dan aku merasa heran. Untuk pertma kalinya dalam hidupku, aku bertanya “buku apa itu” biasanya, setiap ada buku yang dibuang ke tempat sampah, aku pungut tanpa peduli dengan judul dan isinya. Buku-buku di tempat sampah itu adalah pundi-pundi rupiah yang sangat berharga untuk dijual kembali ketimbang membacanya.

“Mau baca?” tawarnya sambil menyodorkan buku itu.

“Tidak, aku tidak bisa membaca,” tolak ku.

“Biar ku ajarkan.”

Perkataannya itu sungguhan, aku diajarkan untuk membaca dan menulis olehnya. Dia tekun dan sabar mendidik ku. Ah, sampai aku bisa membaca meski sangat lamban. Dan, sekarang aku bisa menulis. Kawan, berkat buku dan kejadian semua ini, sekarang aku sudah memiliki gairah lagi. Memiliki jiwa lagi. Memiliki cara pandang baru dalam menilai dunia.

Mungkin, dapat ku katakan, sepenuhnya luka di hatiku telah sembuh. Aku menjadi ikhlas dan melupakan istriku sepenuhnya. Bahkan, jika kukorek lagi kenangan tentangnya, hal itu hanya membuatku terbahak.

Oh, ini kah perubahan? Buku-buku di penjara ini membawa perubahan bukan hanya hiburan. Demi apa pun, sekarang aku rela hidup selamanya di penjara asal diijinkan membaca buku dan menulis. Tentunya, asal makan juga gratis. Aku pun jadi berprilaku baik dan mengikuti segala kegiatan yang ada di penjara ini.

Ah, kawan, wangi buku itu lebih nyaman dihirup daripada bau sampah. Seandainya, orang yang menyuruhku menggantikan anaknya itu tertangkap dan semuanya terbongkar, Aku akan dengan sukarela tanpa perlu dibayar sepeserpun berkata bahwa: Dia tidak bersalah. Aku lah sebenar-benarnya pembunuh itu. Sehingga aku bisa hidup selama-lamanya di dalam penjara. Istriku, beruntungnya aku berpisah denganmu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Buku-Buku di Penjara
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Jas Hujan Biru
aksara_g.rain
Cerpen
Seorang Asing
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
Bronze
Aku Dan Ariadne
Vitri Dwi Mantik
Cerpen
Bronze
Menunggu Petang
spacekantor
Cerpen
Bronze
Iri sama Tetangga
Selvi Rain
Cerpen
Bronze
Api Luka Dan Kesuksesan
LISANDA
Cerpen
Malam Dingin di Cigigir
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Solitary
Ravistara
Cerpen
Bronze
By Your Side
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Bronze
Kerja / Dikerjain?
Rolly Roudell
Cerpen
Bronze
Grooming
Alya Nazira
Cerpen
04 Dia Tabib
Bima Kagumi
Cerpen
MENJADI KETUA RT DAN HIKMAH-HIKMAHNYA
Agung Satriawan
Cerpen
Janu Kara
rdsinta
Rekomendasi
Cerpen
Buku-Buku di Penjara
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Oh, Nani, Mastrubasi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Balada Tiga Hyang
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Di Penghujung Hari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Balada Cinta Gila
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pemangsa Paling Kejam
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sisifus Erostus not Ereksi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Simulasi Mati
Galang Gelar Taqwa